DUA PULUH EMPAT : As Expensive As Flower

1670 Words
“Oh, kalian datang lebih awal.” Sapa Fleur yang sedang berada di depan counter dengan apron yang membalut tubuhnya. “Fleur bunga apa yang menjadi rekomendasimu? Kali ini temanya simpel dan intim. Hanya dihadiri beberapa undangan terdekat, dan ingin terkesan hangat.” Kata Deby yang langsung mengecek lemari kaca seperti anak kecil yang penasaran dengan isinya. “Bagaimana kalau Lily, Astilbe. Eucalyptus dan Dusty Miller? Atau kalau mau lebih simpel Lily dan Eucalyptus saja. Simpel dan hangat, tidak terkesan berlebihan. Sangat pas dnegan tema yang kalian inginkan. Untuk di meja, aku memikirkan Peonies, Astile, Black Pearl Gerberas dan beberapa yang hijau-hijau.” Kata Fleur sambil mengambil beberapa bunga yanh tadi ia maksud dan menjadikannya sebagai contoh. “Sesuai, kan? Simpel, hangat, dan intim. Paduan yang tidak akan pernah salah.” Aku menerima buket bunga kecil yang diberikan oleh Fleur dan mengambil fotonya sebagai contoh. “Apa tidak ada yang memesan bunga-bunga mahal lagi?” tanya Deby yang mesih meneliti pendingin kaca dari luar. “Kemarin aku menjual Gloriosa satu buket, pembelinya pria tampan yang katanya ingin memberikan kado pada pasangannya. Tipe pasangan yang royal dan ingin membahagiakan pasangannya, bukankah itu sangat manis? Kalau aku pasti akan menikahi orang yang mengenal dengan baik semua jenis bunga dan menghargai value dari harga yang bertengger pada tiap-tiap tipe bunga. Terlebih kalau tampan dan memiliki uang, satu surga dunia.” Deby menepuk lengan Fleur bersemangat dan tersenyum lebar tanda setuju dengan apa yang dikatakan oleh Fleur. “Tentu! Siapa yang akan menolak jenis pris semacam itu! Di zaman sekarang ini, hidup harus realistis. Kita tidak bisa harus menjadi orang yang di andalkan dalam satu hubungan. Paling tidak, pasangan harus memiliki pekrjaan yang baik dengan gaji yang juga baik.” Deby mengatakan semuanya dengan lancar dan bersemangat sampai suaranya naik satu oktaf dari biasanya. Deby yang bisanya terlihat tenag dan kalem, kini terlihat berbeda kalau sudah membahas tentang pasangan dan uang. Sementara Fleur dan Deby membahas tentang kriteria pasangan ideal mereka. Aku hanya berdiri di lain sisi dan tersenyum saja mendengarkan obrolan yang entah kenapa tidak bisa masuk padaku. Mungkin karena aku sudah memiliki Rendi jadi kriteria idealku kini berporos pada Rendi? Aku sendiri tidak terlalau yakin dan paham. Semuanya terlihat dan terasa jadi abu-abu. “Aku jadi ingat waktu suamimu menjemput dirimu di kantor, Bianca! Kau tahu, suami Bianca itu tampan dengan badan yang bagus.” Kata Deby pada Fleur, “dan ia memiliki satu flat apartemen skyscraper baru yang mahal dan terkenal itu. Semua kriteria yang diperbinacangkan sudah ceklis semua di kotak-kotak formular pria idaman.” Lanjutnya yang membuat Fleur kini tertarik. “Dia bekerja di mana? Wah! Bahkan aku rasanya tidak akan mau membeli flat apartemen di sana karena harganya yang kurang ajar. Aku lebih suka tinggal di rumah.” Kata Fleur yang sedikit membuatku sakit karena aku setuju dengan pernyataannya. “Ia bekerja di Ruido Blanco. Tapi apartemen yang ia beli bukan hanya dari gajinya di kantor saja, itu tidak akan pernah cukup ku rasa.” Kataku yang agak malas menjelaskan lebih lanjut dari mana uang untuk membeli apartemen berasal. Bercerita tentang Rendi di situasi sekarang ini membuatku agak malas dan membuat mood jadi kurang baik. “Perusahan yang sangan stylist! Apakah perusahaan semacam itu khusus merekrut orang-orang yang memiliki tampang sangat rupawan? Adakah seleksi fisik terlebih dahulu? Aku selalu penasaran dengan perusahaan yang berafiliasi dengan fashion.” Tanya Fleur lagi. Mau tak mau aku tertawa kecil, “ku rasa tidak. Itu perusahaan normal seperti perusahaan lainnya. Andaikan iya, ku rasa kau bisa mau dengan mudah, Fleur. Kau sangat cantik, ku rasa banyak pelanggan pria yang sengaja datang ke sini hanya untuk bertemu denganmu dan beralasan saja kalau bunga-bunga yang dibeli mereka untuk pasangan atau bahkan ibu mereka.” Kataku. “Aku memang banyak menemukan orang-orang yang seperti itu, tapi sekarang aku sudah bisa menikai niat asli mereka. Yang selalu datang hanya untuk beralasan ingin memberikannya pada orang terkasih dan yang hanya beralasan seperti itu dapat dengan mudah aku kenali. Sudah lebih dari lima belas tahun aku bekerja di bidang ini, aku sudah paham benar karakteristik setiap pelanggan. Tapi aku tidak keberatan karena merka semua membuat daganganku laku terjual dengan baik sampai aku bisa membuka cabang lain di Adelaide dan Canberra. Ku rasa itu satu privilege yang aku miliki dan harus aku syukuri.”  Aku dan Deby mengangguk setuju, Beauty privilege memang nyata adanya. Ibarat ketika kita ingin naik anak tangga, orang-orang yang memiliki beauty privilege ini bukan sama seperti manusia biasa yang tampangnya pas-pasan yang memulai naik dari tangga pertama. Si orang-orang yang memiliki beauty privilege bisa jadi sudah berada di tangga ke lima secara otomatis atau bahkan lebih tergantung dengan jalur mana yang mereka tempuh dan menuju mana mereka akan berjalan. Dan Fleur adala salah satunya. Satu di antara banyak orang yang memiliki satu kelebihan yang menguntungan di masyarakat. Terkadang privilege semacam ini membuat iri dan terlihat seperti sebuah kesenjangan sosial yang mencolok, namun bagiku itu adalah satu keuntungan yang dimiliki namun juga memiliki mungkin lebih dari satu hal yang membuat orang-orang yang memiliki privilege ini juga merasakan dampak buruk--mungkin buruk terlalu kejam, intinya ada juga hal yang membuat ini berdampak negatif juga.  Mila contohnya. Dengan begitu banyaknya privilege yang ia miliki seperti uang, kecantikan, otak yang encer dan kemudahan di masyarakat karena semua hal itu, banyak pria yang jadi minder kalau ingin dekat dengannya. Sudah ada satu contoh, Zaki. Tapi bukankah itu sebuah hal yang diluar kehendak Mila sendiri? Lagi pula, bukan jadi satu kewajiban perempuan untuk membuat pria jadi merasa tinggi ego dan statusnya di masyarakat. Perempuan juga tidak harus menurunkan semua kualitas yang ia miliki untuk bisa terlihat sejajar atau di bawah seorang pria. Para orang tua di luar sana menyekolahkan anak mereka bukan hanya untuk dituntut untuk lebih rendah karena katanya, itu kodratnya. Hah, kalau aku sudah mengatakan ini semua di depan Candra, aku pasti sudah habis dikatakan seorang feminist pejuang yang sedang menuntut hak-hak mereka dan menilai kesetaraan gender itu satu hal penting yang harus dibahas terus menerus bahkan kadang jadi kelewatan batas.  “Bagaimana kalau kita mulai lihat koleksi bunga milikmu, Fleur? Ku rasa Anne akan kewalahan kalau kita telat kembali ke kantor dan harus menghadapi banyak pekerjaan seorang diri.” Kataku, yang mencoba kembali pada tujuan awal aku dan Deby datang ke sini bertemu dengan Fleur. “Tentu! Obrolan ini sudah jauh ke mana-mana, sungguh, kalau aku sudah bertemu dengan permpuan yang sepemahaman denganku, aku bisa lupa diri dan meninggalkan pekerjaanku hanya untuk mengobrol dengan mereka. Semua pegawaiku di sini terlalu sibuk pada pekerjaan mereka dan terlalu berdedikasi. Aku sampai bingung sendiri, harusan aku memasang lowongan pekerjaan dengan syarat, kerjalah dengan santai dan nikmati hidup? Karena semakin kau bekerja terlalu keras, aka nada banyak hal yang kau lupa dan akhirnya terlewat sampai membuat dirimu nanti akan menyesal selamanya. Wah, aku sudah terlalu banyak bicara, ayo kita ke belakang, ke rumah kaca untuk melihat semua bunga yang ada dan aku akan menunjukan bunga-bunga apa saja yang ku pikir akan cocok untuk kebutuhan klienmu nanti. Ayo!”  Fleur akhirnya munyuruh kami untuk mengokorinya meuju rumah kaca yang berada di halaman belakang dari gedung utama yang tidak terlalu besar. Berbeda dengan si gedung utama, rumah kaca ini dua kali lebih luas dengan bentuk yang memanjang. Jadi dari depan, tiddak akan terlihat kalau gedung ini memilihi gedung lain yang terpisah bahkan lebih luas lagi. Siapa pun bisa betah berlama-lama ada di rumah kaca ini dan merasa waktu yang dihabiskan di sini adalah salah satu cara healing terbalik selain menghabiskan uang untuk membeli berbagai macam barang yang diinginkan dengan harga-harga yang tidak masuka akal dan tidak diperlukan. Tapi tidak semua orang bisa masuk ke sini. Kalau orang yang baru pertama kali datang, biasanya Fleur tidak mengajak mereka untuk mengunjungi tempat terbaiknya ini. pertama kali aku masuk, itu karena ada Anne dan Fleur mengizinkanku masuk karena pekerjaanku dan hubungan relasi bisnis yang baik antara Zoe dan Fleur membuat semua pegawainya memiliki akses yang baik. Ini salah satu privilege yang ku miliki ketika aku masuk ke kantor Zoe. Bukan hanya berbagai macam bunga yang ada di sini. Namun juga ada pohon pisang entah jenis apa dan juga beberapa jenis tanaman hias di pot-pot yang berjajar, yang siap untuk diangkut oleh pelanggan mana saja.  Harga bunga-bunga yang dijual oleh Fleur tidak bisa dikatakan murah. Harganya agak lebih mahal, namun nama memang tidak pernah salah. Langganan yang biasa memesan bunga padanya bukan hanya orang-orang biasa atau pun Wedding Organizer sepertiku dan Deby. Namun juga pejabat dan bahkan artis dnegan nama-nama mentereng dan sering berjalan di berbagai acara red carpet di Hollywood.  “Aku tidak pernah bosan berkuncung ke sini.” Kata Deby dengan suara yang masih sama ketika kami masuk meski ini bukanlah pertama kali ia datang ke sini, “rasanya seperti masuk ke negeri dongeng dan membuat perasaanku jadi senang.” Tambahnya. Aku mengangguk setuju denga napa yang dikatakan oleh Deby. Andaikan aku setiap hari di sini, apakah penyakitku akan sembut? Panic attack yang aku derita akan segera mereda? “Aku pun lebih senang menghabiskan waktu di sini dari pada di depan. makanya rata-rata pegawaiku ada di gedung depan karena aku sudah berada di sini dan aku hanya memerlukan dua asisten di sini. Tak perlu banyak-banyak.” Fleur tersnyum hangat dan melihat sekeliling property yang ia miliki.  “Mungkin kalau aku sudah tak lagi bekerja sebaga Wedding Organizer, aku akan melamar ke tempatmu dan memilih untuk menjadi asistenmu untuk bekerja di sini.” Ujarku. “Silakan, tapi pekerjaanya sangat berat dan tidak seindah dengan apa yang sekarang dirimu pikirkan dan rasakan. Memang rasanya enak berada di sini sebagai pelanggan, namun sebagai pegawai, itu beda soal.” Fleur mengatakannya secara jujur dan blak-blakan. “Kalau aku jadi dirimu, aku tidak akan mau. Fleur sangat menyeramkan ketika ia sudah menjadi bos.” Deby menyolek lenganku dan mengatakannya dengan nada yang sedikit kencang jadi Fleur bisa mendengar. Aku yakin ia hanya ingin menggoda Fleur saja meski apa yang dikatakannya ku rasa benar adanya. “Tentu! Uang tidak pernah jalan sendiri ke arahmu kalau kau tidak berusaha dengan baik.” Ujar Fleur. -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD