DUA PULUH LIMA : Failed

1889 Words
Akhirnya, booking-an untuk makan malam di tempat Philip aku batalkan. Rendi sedang berada di Adelaide mengurus pekerjaan. Aku pun enggan untuk makan sendiri dan membiarkan diriku terlihat sangat nelangsa di antara banyaknya orang yang menikmati makanan mereka dengan pasangan atau dengan orang terkasih. Aku membatalkannya H-1 setelah ku lihat Rendi sedang berkemas ketika aku pulang. Weekend bag miliknya sudah dipenuhi dengan beberapa potong baju dan laporan. Ia bahkan sudah memasukkan satu-satunya barang yang ia cintai di muka bumi ini, laptopnya. Belakangan aku selalu melihat Rendi dengan laptopnya yang tidak pernah lepas. Sungguh, ku rasa sekarang ini rasa cintanya pada sang laptop melebihi rasa cintanya padaku. “Aku pergi dulu ya ada tugas dinas ke Adelaide, tiga hari. Kalau ada apa-apa telepon aku aja.” Rendi pergi dengan ciuman singkat di keningku. Hah, bukan ciuman, rasanya seperti tersentuh sekilas saja tidak seperti biasanya. Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya bisa berdiri diam di tengah ruangan dan memandang kosong ke apartemen yang hanya lampu tengah dan kamar saja yang menyala, sama seperti perasaanku yang juga kosong. Aku tak bergeming sampai beberapa menit, kemudian akhirnya aku menaruh tas di atas meja depan televisi dan duduk di sana sambil bersandar. Suasana di apartemen ini sangat sepi, tidak ada suara apa pun bahkan aku bisa mendengar deru napasku sendiri.  Dan sekarang, aku tengah duduk di depan komputer sembari menulis laporan untuk Anne dan Zoe. Sebentar lagi aku harus pergi ke tempat bakery dan memberikan konsep kue untuk resepsi pernikahan pada Miguel si Cake Designer yang namanya sudah terkenal sampai ke pelosok dunia. Dulu aku sering melihat Miguel wara-wiri di berbagai berita, dan sampai masuk ke acara lomba masak dan acara talk show pagi hari. Miguel tidak suka membicarakan bisnis lewat email atau pun chat dan telepon. Ia lebih menyukai semua konsumennya bertemu dengannya secara tatap muka, dan menjelaskan semua keinginannya dengan detail. Dari warna, tinggi, lebar, rasa, topping, tema, dan semua hal yang bisa ia gali dengan sebaik-baiknya. Ia tidak peduli jika waktunya terbuang hanya dengan mengobrol dengan klien, ia suka bersosialisasi dan berkat hal itu namanya semakin melambung dan terkenal di banyak kalangan dari lapisan masyarakat biasa sampai lapisan atas.  Setidaknya ku harap pergi ke tempat Miguel nanti bisa membuatku senang atau terhibur paling tidak. Melihat bagaimana semua kue-kue cantik tersusun dan mungkin bahkan bisa menyicipi satu scone dan teh hangat.   Aku tersenyum simpul karena tidak sabar meski hati masih sedikit nyeri.   *** “Silakan, silakan masuk Nona-nona. Bagaimana permintaan klien kalian kali ini? Apakah kau kalian ingin aku membuat kue dengan bentuk kastil lagi? Atau kue bertingkat lima dengan berries segar dan permen-permen mint berbentuk daun rambat? Apa pun yang kalian inginkan!” kata Miguel yang selalu terlihat bersemangat ketika dihadapkan pada projek pembuatan kue pernikahan super ajaib yang biasa diminta oleh klien di tempat kami.  Aku dan Anne mengikuti Miguel menuju ruang tunggu yang sangat besar yang berbeda ruangan dengan toko pastry miliknya. Aroma di ruangan ini tercium sangat manis. Campuran antara harumnya roti yang baru selesai dipanggang, kayu manis, dan aroma lain yang membuat perasaan senang dan lapar secara tiba-tiba. “Kali ini tidak ada pesanan yang ajaib, Miguel.” Kata Anne sembari duduk di sofa panjang yang muat untuk empat orang. “Klien kali ini ingin yang simpel dan hangat. Tidak perlu sampai bertingkat-tingkat dengan banyak aksesoris. Kira-kira bagaimana kau mau merancangnya?” Miguel duduk dihadapan kami dan terlihat kecewa, tak ada lagi senyuman hangat di wajahnya yang meski sudah terlihat banyak kerutan, namun selalu terlihat menyenangkan. “Apa kali ini klienmu terkendala budget?” tanya Miguel bingung. “Tidak, dia co-founder Exelation Technology, perusahaan start up yang terkenal itu. Namanya Louis dan ia juga sama seperti dirimu, ia berasalh dari Prancis bagian Selatan kalau aku tak salah ingat.” Jawab Anne. “Begitukah? Apa kau serius? Kena orang seperti dia tidak ingin sebuah kue yang magnificent, mewah, elegan, sempurna? Itu sungguh mengherankan! Tidak bisa aku percaya, Darling. Orang seperti itu yang pernikahannya bisa dijadikan untuk menambah relasi dan memperbesar bisnis hanya menginginkan pernikahan yang sederhana? Dear God, apa yang dipikirkan orang-orang itu.” Miguel terlihat keheranan, perubahan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba dan berlebihan membuatku entah kenapa malah senang meski aku tahu aku rasanya merasakan perasaan seperti itu sungguh sangat salah karena tidak di waktu yang tepat.  “Ya, aku juga heran. Semuanya berjalan terlalu mudah dan terlalu simpel. Tidak ada penolakan apa pun, perubahan konsep dan portofolio. Semuanya berjalan sangat mulus sampai-sampai aku jadi takut kalau ada apa-apa di kemudian hari. Perasaan cemas ini sungguh membuatku tidak nyaman. Kau paham kan bagaimana semua hal berjalan terlalu mulus sampai rasanya terasa janggal? Itulah yang aku rasakan saat ini.” Kata Anne yang juga sudah aku dengar berulang kali. Seorang staff yang membawakan teh hangat di porselen cantik dengan motif bunga berwarna merah muda. Sepiring kue yang ku pikir adalah Mille-feuille dengan buah raspberry and krim bertingkat yang manis. Di sisi kanan piring, ditaruh selai raspberry yang manis dan kecut sebagai hiasan. Siapa pun yang melihat karya cantik ini pasti akan langsung terkesima. Aku melihat cangkir dan piring kecil itu disajikan dihadapanku dan Anne dengan serius sampai Miguel tertawa melihatku seperti itu. “Silakan dicoba, ini salah satu yang sedang populer. Baru saja selesai dibuat lagi karena stoknya sudah menipis. Dan tehnya, teh Assam yang rasanya sedikit kuat untuk mengimbangi manis dan asam dari Mille-feuille.” Miguel mempersilakan aku dan Anne untuk menikmati hidangan yang tersaji di depan kami. “Trims.” kataku singkat dengan senyum senang. Aku memotong sedikit makanan manis khas Prancis tempat di mana Miguel lahir dan dibesarkan sebelum ia memutuskan untuk memulai bisnis pastry miliknya sendiri di Australia. Aku menatap dessert cantik dihadapanku ini dengan seksama sebelum menikmatinya. Ada tiga lapis krim dan berries yang ditumpuk dan dipisahkan oleh pastry renyah yang dipanggang sampai berwarna keemasan. Di lapisan paling atas yang dipenuhi krim, berries yang diselimuti oleh gula cair yang membuatnya jadi terlihat mengilap, dan juga gula halus, akan membuat siapa saja tak bisa tidak memuji tampilan mahakarya yang cantik ini hingga rasanya sayang untuk dinikmati. Tapi tentu saja makanan penutup ini tidak bisa untuk tidak ku cicipi, selain tidak enak dengan Miguel, aku tidak sabar menikmati cita rasa yang sudah dijamin enak ini. Dan tentu saja, ketika aku memotong sedikit semua lapisan itu dan menyendokkannya ke mulut, rasanya tepat seperti dugaanku, manis dan asam yang berpadu penuh di mulut dan tidak membuat mual. Rasa mahal yang sudah terjamin kualitasnya itu sudah meluncur lancar ke perutku. Aku menaruh piring kecil itu di meja, dan menyesap teh Assam dari India yang rasanya lumayan kuat namun pas dengan padanan pastry yang tersaji. Rasanya seperti masuk ke negeri dongeng dan berteman dengan semua puteri Disney untuk menikmati afternoon tea yang disajikan sedemikian rupa rasanya. Perasaanku jadi jauh lebih baik dari pada pagi tadi. Satu hal yang bisa membuatku jadi senang, salah satunya dengan pastry yang enak dan manis. Meski aku tahu setelah ini, setelah semua rasa dimulut hilang karena makan siang nanti, perasaanku bisa kembali seperti semula. Siklusnya sudah seperti itu, perubahan mood yang cepat. Sepertinya aku benar-benar harus menghubungi dokter Hanifah untuk berkonsultasi dan meminta resep baru. Mungkin akhir minggu nanti, jadi aku bisa menyesuaikan waktu dengan Jakarta. “Biar aku membuat sketsa untuk kalian sementara kalian menghabiskan semua hidangan yang ku berikan itu. Sebentar, aku pergi ke belakang.” Kata Miguel. “Tentu, terima kasih, Miguel.” Kataku cepat. Anne memperhatikan piringku yang sebentar lagi ludes isinya, “kau benar-benar suka makanan manis, ya?” tanyanya. “Iya. Makanan manis membuat mood-ku jadi lebih baik.” Jawabku jujur. “Hmm... begitu. Pantas saja wajahmu tidak terlihat murung lagi seperti pagi tadi. Sekang aku bisa melihat matamu berbinar-binar hanya karena satu hidangan kecil karya Miguel ini.” Anne menatapku seakan tahu kalau aku sedang ada masalah.  Ketika Anne megatakan hal barusan, tiba-tiba saja aku kembali teringat dengan Rendi dan momen Rendi pergi untuk dinas kemarin. Kepergian yang menyisakan segumpal rasa sesak di tenggorokan dan d**a hingga membuat heartburn yang lumayan menyakitkan. Entah apakah yang kuhadapi ini adalah sebuah masalah atau hanya perasaan insecure-ku saja pada keadaan sekarang ini. Ada yang berbeda antara aku dan Rendi, dari saat kami masih berpacaran dulu di Jakarta. Mungkin karena kami sekarang hidup berdua, selalu bertemu setiap hari dari membuka mata sampai kembali menutup mata, selisih paham ketika kami hanya memiliki satu sama lain di sini menjadikan satu hal yang sebenarnya kecil dan bisa dimengerti jadi terasa berat seperti ini. Kadang, kalau aku sedang sendirian, aku sering mempertanyakan diriku sendiri. Apakah keputusanku untuk menikah ini benar? Apakah hubunganku akan baik-baik saja? Apakah aku tidak akan bercerai seperti Mama dulu? Banyak pertanyaan yang terlintas saat pikiran ini sedang tidak keruan ditambah lagi badan yang sudah kelelahan karena seharian bekerja.  Ada terlalu banyak ‘What If’ yang bekerja, ada terlalu banyak sekenario yang berputar seperti sebuah film layar lebar dengan aku yang hanya menjadi satu-satunya penonton di ruangan besar layaknya sebuah bioskop. Bagaimana aku bisa memberhentikan satu episode, dan memperbaikinya, dan menyambungkannya dengan potongan-potongan episode cadangan yang sekiranya akan menjadi satu film utuh yang jauh lebih baik lagi. Ah, tapi andaikan hidup seperti itu, bisa diganti episode-episode yang kurang menyenangkan, dan diganti dengan episode cadangan yang akan mengubah seluruh alur cerita di kemudian hari. Ini hanyalah pikiran naif yang seringnya ada dibenakku.  Mungkin aku kurang sabar, mungkin juga aku terlalu sensitif, atau bahkan mungkin penyakit mentalku kini makin parah jadi aku sampai berkelakuan seperti ini dan menganggap semua ini adalah masalah besar yang mungkin akan meledak kemudian.  Aku berdiri dan menaruh piring kecil itu ke meja. Anne yang kaget dengan sikapku yang tiba-tiba ini menoleh cepat. “Aku ingin ke toilet dulu.” Kataku. Aku melangkah cepat. Tanganku sudah gemetaran, keringat dingin pun sudah keluar. Aku segera masuk ke salah satu bilik yang ada di dalam toilet. Ku pilih bilik paling pojok yang paling tersembunyi. Dengan mata nanar, aku memperhatikan tanganku yang kini bergetar hebat. Aku menahan diri untuk tidak menangis dan membuat penampilaku jadi mencolok karena mata merah yang bengkak. Aku mencoba bernapas, cara napas yang dulu diajarkan oleh guru Yoga saat aku sempat berlibur ke Bali bersama anak-anak yang lain. Saat itu Tio belum menikah dan Mila masih bersama Dion si mantannya yang b******k itu. Metode pernapasan empat tujuh delapan (478) yang dapat meredakan perasaan cemas. Menarik napas dengan hitungan empat detik, kemudian menahannya selama tujuh detik, dan menghembuskannya selama delapan detik. Aku mencoba cara itu selama beberapa saat sampai tanganku tak lagi gemetar. Keringat dingin pun sudah lagi berhenti mengucur, aku sudah jauh lebih baik. Di tarikan napas terakhir, aku mendengar suara Anne dari balik bilik memanggil namaku. Aku pun merapikan rambut dan keluar dari bilik setelah tak lupa berpura-pura mengguyur toilet yang tidak aku pakai. “Kau sudah tidak tahan sampai berlari seperti itu?” tanya Anne. “Maaf, ku rasa terlalu cepat makan dan dan menghabiskan selai serta raspberry membuat perutku jadi tidak bersahabat begini.” kataku sambil mencoba untuk tersenyum tulus. “Kalau ada apa-apa, kau bisa membicarakannya denganku.” Katanya lagi. “Trims, Anne. Aku baik-baik saja.”  “Oke, kalau begitu ayo kita kembali ke Miguel, ku rasa ia sudah selesai dengan kue rancangannya yang tidak pernah mengecewakan itu.” Anne tersenyum dan berjalan mendahuluiku. Ku patut wajahku di cermin sebentar, dan mengekori Anne yang keluar dari toilet menuju ruangan tadi tempat kami menikmati makanan dan mengobrol bersama.  Ya, aku sudah baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD