Terakhir kali aku tidur sendirian adalah saat aku masih single dan belum menikah dengan Rendi. Itu pun aku masih tidur di kamarku sendiri yang terkadang ditemani tumpukan buku di atas kasur. Buku-buku yang baru setengah k*****a atau yang ingin k*****a namun belum juga terealisasi. Dan sekarang, sudah empat hari aku tidur sendirian sementara Rendi tertidur di ruang tamu karena sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai lupa kalau ia memiliki kasur di sini dan juga seorang istri.
Aku tidak tahu serumit dan seburuk apa keadaan kantor Rendi saat ini. namun niatanku untuk mengajaknya mengobrol selalu kandas karena Rendi selalu bilang, “sebentar dulu.” Dan ia melanjutkan pekerjaannya seperti orang yang sedang kesetanan. beginikah rupaku dulu saat maish bekerja di perusahaan broker? Saat kasus besar satu demi satu datang dan aku bekerja tanpa henti seakan hidupku itu hanyalah untuk pekerjaan saja. Tipe-tipe b***k korporat yang hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup.
Aku mengerjapkan mata dua kali untuk bisa menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang malam tadi tidak aku tutup gordennya. Badanku sedikit hangat, mungkin karena stress dan kelelahan. Bukan kelelahan fisik, tapi kelelahan mental. Sudah dua bulan aku absen menghubungi dokter Hanifah. Seharusnya aku sudah berkonsultasi kembali ke dokter dan resep obatku bisa diperbaharui. Tapi sekarang aku hanya mengandalkan resep obat yang lama dan mungkin itu juga yang membuatku jadi seperti ini.
Penyakit mental memang menyusahkan. Membuat badan yang sebenarnya biasa-biasa saja bisa menjadi hangat dalam sekejap kalau sudah sedikit panik. Asam lambung bisa tiba-tiba naik dan membuat perut jadi tidak enak dan pada akhirnya mengeluarkan semua makanan yang ada di dalamnya sampai membuat mulut menjadi asam. Rasanya kalau sudah begitu, kepala bisa pusing bukan main dan badan semakin lemas saja. hanya karena stress, orang yang sehat bugar bisa berubah menjadi lemas hanya dalam hitungan detik.
Aku menutup wajahku dnegan kedua tangan. Tiba-tiba saja aku jadi ingin menangis tanpa sebab. Dan air mat aitu pun meleleh sampai membuat ingusku juga jadi keluar. Entah kenapa hatiku terasa berat dan aku jadi sangat sedih sekali tanpa alasan yang jelas. Tapi satu yang aku tahu, ini adalah gejala penyakitku yang lama. Menangis tiba-tiba seakan ada hal yang sangat berat telah terjadi sampai membuat uluh hati sakit.
***
“Kau terlihat pucat dan lemas.” Kata Matt ketika aku baru duduk di kursiku dan ia sudah datang lebih dulu dibandingakan siapa pun. Selalu seperti itu, entah apa yang dikerjakannya sampai harus datang pagi-pagi buta.
“Kelelahan.” Jawabku asal.
“Oh, aku paham.” Katany dengan pipi yang bersemu dengan senyum penuh arti.
“Aku kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk.” Jelasku cepat sebelum Matt memikirkan hal-hal laon yang malah membuatku tambah malas.
“Andaikan kau kelelahan yang lain pun aku tidak masalah, aku tidak pernah menilai seseorang hanya karena kehidupan seksual mereka.”
Aku hanya tersenyum saja menangapi Matt dan menyalakan komputer di hadapanku untuk mengecek email kalau-kalau ada pesan dari klien atau pun vendor. Email yang kuganak di kantor ini memang tidak seaktif ketika aku bekerja dulu, setiap hari aku hanya mendapatkan tak sampai dari sepuluh email yang harus dibalas. Dan semuanya juga kadang ada yang tidak perlu aku balas.
Aku mengecek buku notes milikku untuk mengecek jadwal apa yang harus aku lakukan, klien mana yang harus aku sambangi, dan vendor mana yang aku harus cek kembali. Dan ketika aku mengecek jadwal di buku notes, ada satu tanggal yang aku lingkari dnegan pulpen berwarna merah. Tanggal di mana aku memesan tempat untuk makan malam di tempat Philip. Ternyata sudah satu bulan berlalu sejak aku datang ke sana, dan tanggal yang ku lingkari itu hanya tinggal tiga hari lagi. aku bahkan belum mengatakan apa pun pada Rendi, jangankan mengatakan tentang booking-an untuk makan malam, mengobrol seperti biasanya pun belum. Miris rasanya melihat sebulan lalu aku melingkari tanggal ini dengan sangat bahagia dan berangan-angan kalau makan malam dengan Rendi di tempat Philip nanti akan menjadi satu momen yang sangat indah, satu di antara beberapa kencan yang aku dan Rendi lakukan semenjak aku menginjakkan kaki di Australia.
Ah, perasaan itu lagi, perasaan yang membuat ulu hati jadi sakit. Aku segera mengeluarkan obat dari kotak transparan kecil yang berisikan beberapa jenis obat yang selalu aku bawa ke mana-mana. Obat panik, mual, sakit perut, pain killer, sampai obat alergi yang kadang muncul kalau terlalu banyak debu di udara. Aku mengambil sebutir obat panikku dan menelannya dengan air mineral.
“Kau terlihat sangat buruk hari ini.” Kata Anne yang datang dengan dengan dua tas. Tas yang satu berisi laptop dan berberapa barang dan tas yang satu berisikan bekal makan siangnya.
“Aku tahu, kau orang kedua yang mengatakannya. Aku kelelahan.” Kataku.
“Oh! Oke.” Ia tersenyum, pikiran yang sama seperti Matt pasti mempir ke kepalanya.
Aku malas menanggapi, biarkan saja otaknya itu memikirkan berbagai hal yang ia inginkan. Aku sedang tidak bertenaga mengelak dua kali dan mengulang kata-kataku seperi apa yang aku katakana pada Matt barusan karena obat yang aku minum belum berfungsi seperti apa yang aku harapkan.
Siang nanti aku memiliki jadwal bertemu dengan perangkai bunga dan memilih beberapa bunga yang tempo hari Louis setujui. Malamnya ketika aku sudah pulang, ia mengrimkan pesan kalau Tiffany setuju dnegan konsep yang kami buatkan untuknya. Sebenarnya itu cukup mengejutkan, gol di portofolio pertama tanpa mengubah atau menambahkan apa pun bukanlah hal yang sering terjadi. Selama aku disini, sudah ada tiga klien sebelum Louis yang aku tangani dan semuanya tidak pernah setuju pada konsep pertama yang aku dan tim ajukan. Selalu ada penambahan dan pengurangan, bahkan di saat-saat terakhir. Dan mengetahui kalau konsep pertama yang aku ajukan langsung distujuioleh Louis dan Tiffany membuatku mengernyitkan dahi keheranan. Aku hanya berharap kalau mereka, terlebih Tiffany, tidak akan mengganti konsep di saat-saat terakhir ketika sadar kalau ada yang kurang di portofolio yang aku berikan. Aku menggelengkan kepala cepat dan melihat beberapa foto yang dikirimkan oleh Fleur si perangkai bunga yang juga memiliki beberapa toko bunga besar yang tersebar di berbagai daerah.
Pertama kali aku datang ke tokonya, aku tidak menyangka kalau di depan toko yang kelihatan kecil itu, terdapat rumah kaca besar yang berisi berbagai macam koleksi bunga dari yang pernah aku lihat sampai yang membuatku takjub karena baru pertama kali melihatnya. Juliet Rose yang terkenal sebagai mawar termahal di dunia pun ada di sana meski stoknya ada ketika ada yang memesannya. Ketika mendengar harganya saja, aku sampai mundur karena takut kalau napasku akan bisa membuat bunga itu layu padahal si Juliet Rose berada di dalam pendingin kaca yang di taruh di dalam baskom kaleng.
Ada beberapa contoh yang menarik perhatian, dan nanti siang aku hanya perlu memilih beberapa jenis dan berkonsultasi dengan Fleur, kemudian besok aku dan entah dengan siapa akan pergi ke tempat yang akan menjadi pusat acara. Villa milik Louis yang berada di Mawson. Memang beberapa foto telah dikirimkan oleh Louis, pekarangan belakangnya juga luas dengan batuan besar yang menjadi pembatas antara pekarangan dan lahan kosong yang dipenuhi semak hibiscus dan beberapa bunga liar lain yang katanya akan bermekaran di musim semi. Satu pemandangan yang indah tentu saja, dan Louis bilang villanya tidak jauh dari danau. Aku sampai mengecek tempat itu dengan Google Earth untuk mengetahui seindah apa tempat yang dimaksud oleh Louis.
“Kau yakin tidak ada perubahan yang akan dilakukan oleh kedua pasangan kali ini? juju raku kurang menyukai sikap mempelai wanitanya tempo hari itu, tapi kalau dia mengatakan oke-oke saja, aku malah jadi sangsi.” Deby duduk di ujung kubikalku dengan teh hangat di cangkir yang ia tangkupkan di kedua tangannya untuk membuat tangannya terasa lebih hangat.
“Iya, aku juga kaget. Aku takut nanti malah di saat-saat terakhir dia meminta hal-hal yang ajaib dan membuat kita jadi kebingungan. Aku jadi ingat Deborah yang meminta dibuatkan ayunan yang bisa muat untuk dua orang. Matt harus menjadi asisten tukang kayu dadakan sampai cemberut dan kesal bukan main.”
Deby tertawa mengingat bagaimana Matt yang dipaksa untuk membuat ayunan kayu yang dipasak kuat ke tanah di malam sebelum resepsi berlangsung dan kami hampir saja tidur di mobil karena terlalu lelah mempersiapkan semuanya. Itu satu pengalaman yang menyusahkan tapi kalau diingat kembali, sekarang ini menjadi satu pengalaman yang lucu dan bisa menjadi bahan obrolan yang menyenangkan.
“Memang sangat efisien memiliki staff laki-laki yang bisa disuruh-suruh. Matt pernah menjadi tunangan palsu si mempelai wanita saat si wanita bertemu dengan mantan pacarnya karena si tunangan yang asli masih berada di Dubai, dan mantannya kerap kali menghubungi si mempelai wanita padahal hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari.”
Aku menaikkan sebelah alisku karena tertarik dengan cerita yang disampaikan oleh Deby, “lalu apakah akhirnya dia bonyok?” tanyaku penasaran.
“Aku ini sabuk hitam karate. Yang ada dia yang hampir aku hajar kalau si mempelai wanita tidak memisahkan kami.” Kata Matt tiba-tiba.
“OMG! Kau mengagetkanku!” kata Deby setengah berteriak.
“Makanya, jangan suka membicarakan orang apa lagi orangnya ada di sebelah mejamu sendiri dan tidak sedang menyumbat telinganya dengan earphone. Lain kali, silakan membicarakanku ketika aku tidak ada.” Katanya sambil tertawa.
“Ya! Lain kali aku akan membicarakanmu di depan wajahmu sendiri dan menertawaimu sampai puas!” balas Deby yang membuatku jadi tertawa begitu pula dengan Matt yang langsung menyumbat telinganya kembali dengan earphone dan kembali subuk dengan pekerjaannya.
“Ah, jantungku hampir copot.” Kata Deby mengurut dadanya.
“Kalian itu lucu kalau sedang berdebat dan bertengkar. Kata orang, terlalu dekat itu bisa menjadi suka.”
“Hah! Mustahil!” Deby pun cemberut dan kembali pergi ke meja kerjanya sendiri sementara kali ini aku yang tertawa.
-Continue-