“Bianca, Ayo!” kata Anne begitu aku baru meletakkan tas ke atas meja.
Aku memandang Anne bingung dan ia tersenyum sambil melirikku seakan mengatakan kalau aku harus mengikutinya pergi entah ke mana. Aku menatap Matt yang melambaikan tangan padaku sambil tersenyum lebar, dan aku pun mengmbil hand bag milikku dan mengekori Anne. Zoe tidak mengatakan apa-apa ketika aku dan Anne melewati mejanya, ia sedang sibuk dengan gunting kuku dan manicure sendiri jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Aku jadi sangsi kalau ia memiliki empati pada lingkungan kerjanya ini.
“Kita mau ke mana?” tanyaku pada Anne yang berjalan menuju mobilnya.
“Ke tempat kita akan mengecek gedung untuk pernikahan di tanggal tiga bulan depan, Jocelyn dan Abraham. Ketika kita sudah memesan venue jauh-jauh hari, kita harus kembali memastikan palling tidak tiga minggu sebelum resepsi berlangsung. Jangan sampai ada kesalahan pada tanggal booking dan tentu saja kita harus mengambil banyak foto untuk venue, meski sebelumnya kita sudah pernah menyelenggarakan pernikahan di sana namun terkadang ada renovasi kecil-kecilan yang bisa mengacaukan semua design dan persiapan yang ada. Mengecek kembali tidak akan merugikan siapa pun, jadi lebih baik harus dilakukan.” Jelas Anne ketika mobil sudah keluar dari lahan parkir di basement gedung.
“Apakah biasanya hanya kau sendirian yang pergi mengecek semuanya?” tanyaku.
“Kadang Deby atau Diane. DUlu Clara juga suka mengecek, tapi aku lebih percaya pada diriku sendiri jadi biasanya meski mereka sudah pergi aku akan kembali mengeceknya dan baru yakin kalau semuanya memang sudah sesuai denga napa yang kami harapkan.” Ia menoleh sebentar dan tersenyum tipe orang yang tidak bisa percaya pada orang lain dan sulit mengandalkan orang lain.
“Bukankah itu jadi merepotkan?”
“Aku suka kalau aku harus bekerja di luar dan bertemu dengan banyak orang. Bekerja hanya di dalam gedung membuatku stress dan marah-marah.” Jelasnya.
Aku paham perasaan itu, namun tidak persis karena apa penyebabnya. Aku tidak akan stress karena harus bekerja di dalam gedung seharian, tapi kalau sudah stress aku sama seperti Anne yang akan marah-marah dan bahkan sampai menangis karena kesal. Ternyata dibelahan dunia mana pun efek stress akan selalu sama. Karena ya, tentu saja! kita semua in ikan hanyalah manusia!
Mobil Anne berbelok di perempatan menuju bangunan yang berada di sebelah taman kota. Di sini banyak sekali taman kota, dari yang sangat besar yang bisa aku liat dari beranda apartemenku, sampa taman-taman kecil yang biasanya dijadikan tempat bermain bola anak-anak kecil atau pun tempat bersantai orang-orang yang sedang mengajak jalan anjing mereka. Dan melihat banyknya orang yang mengajak peliharaan mereka di setiap sore dari jendela kantor, aku jadi berpikir untuk mengadopsi binatang juga. Mungkin kucing atau hamster? Apa Rendi mau ya?
Pikiranku yang berpetualang kambali setelah Anne menghentikan mobilnya tepat di lahan parkir kecil yang dimiliki oleh entah itu kafe, butik, atau apa karena depan gedungnya seperti bangunan berarsitektur Baroque dengan tiang-tiang kokoh di depan gedung. Anne membuka pintu yang berdenting karena lonceng kecil nyaring yang berada di ujung pintu berbunyi.
Ini restoran, dengan meja-meja yang dikelilingi kursi dan taplak putih yang sangat bersih tanpa noda.
“Halo, Anne. Senang bertemu dneganmu, apa kabar?” tanya pria paruh baya yang emngenakan setelan jas hitam licin lengkap dengan sepatu pantofel hitam mengilat yang membuatnya terlihat sangat professional dan bisa diandalkan.
“Hai, Philip. Aku baik, bangaimana denganmu? Kedatanganku ke sini ingin mengecek venue tempat klienku melangsungkan pernikahan.” Katanya langsung ke topik utama pembicaraan.
“Baik, sangat baik. Senangnya tempatku ini bisa menjadi tempat paling bahagia untuk klienmu melangsungkan resepsi pernikahan mereka. Ayo mari silakan dicek tempatnya.”
“Ah, Philip aku sampai lupa. Kenalkan ini Bianca, pegawai baru di tempat Zoe.” Kata Anne yang memegang punggungku seakan menyuruhku untuk berkenalan dengan Philip si pemilik tempat ini.
Philip tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Saya Philip. Senang berkenalan denganmu, semoga pekerjaan dalam membantu orang-orang yang ingin menikah bisa membuatmu bahagia dan merasakan kebahagiaan mereka juga.” Katanya bijaksana.
“Bianca.” Aku menyambut uluran tangan Philip dan tersenyum sopan ke arah pria yang terlihat hangat ini, “setiap aku datang ke pernikahan aku selalu senang, kecuali mendatangi pernikahan mantan. Ku harap aku bisa ikut berbahagia menyiapkan pernikahan orang lain tanpa merasa terbebani.” Jawabku.
Philip tertawa, “ah, ya. Tempat ini pernah kehilangan lima gelas porselen dan selusin piring karena insiden mantan yang datang dengan kehamilannya dan membuat heboh sebuah resepsi. Si mempelai wanita sampai masuk ke rumah sakit karena pingsan.” Ceritanya.
“Itu tragedi yang sangat mengerikan, untung bukan aku yang menjadi Wedding Organizernya.” Kata Anne terdengar ngeri.
“Waktu itu kami semua sampai takut kalau tempat ini akan jadi tempat kejadian perkara yang akan melibatkan polisi, untungnya tak lama keadaan bisa kembali teratasi meski beberapa orang bahkan Ayah dari sang mempelai wanita juga harus turun tangan.” Ia tersenyum, “baiklah, mari kita cek venue yang pernah menjadi tempat paling mengerikan di sepanjang karirku ini.”
Kami berjalan mengikuti Philip ke satu lorong kaca yang menghubungkan antara ruang utama restoran dengan satu ballroom seperti rumah kaca yang kaya akan sinar matahari namun tidak terasa panas karena sekarang sedang musim dingin, namun terdapat satu AC besar di ats ruangan andaikata ada acara yang diadakan di musim panas. Bisa terbayang bagaimana panasnya ruangan ini karena bangunan didominasi oleh kaca.
Terlepas dari panas atau tidaknya ruangan ini, ballroom yang kami datangi terlihat sangat indah dengan beberapa tanaman hias di berbagai pot ukuran bentuk.
“Kalau sedang tidak ada acara besar, ruangan ini menjadi tempat kesukaan pelanggan untuk makan malam. Kau bisa melihat hamparan bintang dari atap rumah kaca yang ada. Sangat romantis.” Jelas Philip yang membuatku mendongakkan kepala untuk melihat atap kaca yang ia jelaskan.
“Aku bisa membayangkan makan malam di sini dengan pasangan. Pasti sangat indah.” Kataku yang masih menatap atap kaca.
“Kalau kau mau makan disini kau harus memesan tempat sebulan sebelum makan. Untuk pernikahan, satu tahun sebelum resepsi.” Kata Anne tersenyum karena aku takjub dengan sistem booking yang ada di tempat ini.
“Aku pesan sekarang, makan bulan depan. Baiklah, ku rasa aku akan memesan tempat untuk bulan depan untuk dua orang.” Kataku pada Philip.
“Dengan senang hati.”
“Baiklah, kita selesaikan pekerjaan kita di sini dulu, baru kau urus untuk makan malam sebulan lagi.” Kata Anne.
“Baiklah, ku rasa aku harus kembali untuk mengurus keperluan di jam makan siang nanti. Silakan nikmati waktu kalian, aku undur diri dulu.” Philip pamit meninggalkan aku dan Anne yang kini mengeluarkan kamera dan sibuk memotret di sekeliling venue ruangan. Bukan hanya di dalam saja, namun Anne pun mengambil gambar di luar Venue dan mengukur beberapa sisi bahkan tangga untuk kemudian ia catat.
“Kenapa sampai mengukur tangga?” tanyaku pada Anne.
Ia menatapku dan mencatat apa yang ia ukur ke bukunya dan menjawab pertanyaanku.
“Ini satu hal yang kadang terlewati. Tangga yang akan digunakan oleh pengantin harus aman, apa lagi kalau pengantinnya mengenakan gaun yang menyempit di pinggul, atau pun yang sangat dalam. Hak sepatu pun begitu, apakah aman memakai hak yang tipis, atau harus memakai hak tebal karena celah bebatuan tidak aman untuk dilewati dan rawan terselip. Semua harus dipertimbangkan dnegan matang.” Jawab Anne.
“Kau benar-benar profesional, ya.” Pujiku tulus.
“Semua ini Zoe yang mengajarkan. Meski ia seringnya tidak acuh pada bisnisnya ini dan jarang sekali datang ke kantor, tapi semua ilmu yang harus dimiliki oleh semua Wedding Organizer, Zoe yang mengajarkannya pada semua orang. Bisnis ini adalah usaha keluarga turun temurun dari neneknya.”
Aku mengangguk kagum. Ternyata, meski sering sekali absen ke kantor, Zoe tetap memiliki tanggung jawab juga.
“Kau mau booking berdua bersama pasangan?” tanya Anne.
Ia sudah selesai mengukur dan mengambil foto, kini kami duduk di kursi salah satu meja yang berada di dalam ruangan.
“Ya, bersama suamiku.” Jawabku.
“Oh, kau sudah menikah? Apa menikah itu menyenangkan?”
Aku menatap Anne, “kalau kau menikah dengan orang yang tepat, semua akan menyenangkan meski pun banyak masalah.”
“Menikah ya,” Anne memandang ke atap seakan sedang berpikir, “menikah tidak pernah ada dalam kamusku meski aku senang kalau ada klien yang bahagia di hari pernikahan mereka. Melihat mereka yang bahagia sudah cukup buatku.” Tambahnya menerawang.
“Menikah atau tidak selama kau bahagia, jalani saja. Hidup manusia itu kan beragam, tidak harus semua orang memiliki jalan hidup yang sama. Dulu aku juga takut menikah, tapi ketika ada orang yang benar-benar memperjuangkanku meski aku sudah melukai hatinya entah sedalam apa, akhirnya aku luluh juga dan kami menjadi pasangan suami istri sekarang. Hidup itu aneh, tidak ada yang tahu akan speerti apa nantinya hidup kita berjalan.”
“Aku turut senang kau menemukan orang yang tepat. Kalau begitu rasanya kau harus segera mengatur booking untuk makan malam sebulan lagi sebelum ada yang menempati tanggal yang kau inginkan. Kita sudah terlalu lama di sini, masih ada banyak hal yang harus dilakukan dan kita harus berkendara ke tempat lain untuk mengecek hal-hal kecil yang sangat penting. Kali ini aku akan mengajakmu untuk pergi ke salah satu toko roti kecil yang semua makanannya sangat enak, pengantin perlu tamu-tamu yang diisi perutnya dengan makanan enak.” Kata Anne yang kini berdiri dan berjalan menuju gedung utama tempat Philip berada.
Aku mengikuti Anne, namun kali ini dengan perasaan senang yang tak lagi khawatir karena ternyata ia sangat bisa untuk diandalkan dan aku perlu belajar banyak dari Anne yang penampilannya sangat mirip dengan Mila. Bukan hanya penampilannya, namun statusnya juga.
-Continue-