Chapter 12

2030 Words
Mobil Andin melaju cukup kencang, sampai-sampai aku harus menyuruhnya untuk berjalan pelan-pelan. Aku menunggu bagaimana reaksi mereka setelah kujahili seperti itu. Dan benar saja, mobil mereka berhenti tak jauh dari genangan air itu. Mereka berdua turun sambil harus menginjak genangan air itu membasahi sepatu hak tinggi mereka yang mahal. “Din din, coba lihat” Aku menepuk bahu Andin, dia pun menoleh kebelakang. Liz dan Rose tiba-tiba berteriak dengan kencang. Sebuah teriakan gadis manja sampai-sampai terdengar ke dalam mobil kami yang jaraknya cukup jauh dari mereka. “Dasar mobil b******n!” ucap mereka berdua berbarengan ke arah kami. Kami tak bisa berhenti tertawa di dalam mobil melihat nasib mereka yang begitu malang. Tak lama kemudian, ada sebuah motor sport yang melaju kencang di samping mereka. Bukan membasahi mobil lagi, melainkan membasahi baju mereka sampai kuyup seperti kehujanan es coklat. Aku kembali tertawa melihatnya. Nasib sial datang kepada mereka berturut-turut, mungkin itu memang sebuah hukuman yang pantas diberikan kepada cewek sok-sokan seperti mereka. Seakan-akan tak bisa memroses segala sesuatu menjadi satu, mereka pun berteriak kembali. Namun tidak terdengar jelas karena jarak kami dengan mereka sudah jauh. Kami hanya bisa melihat eskpresi kesal yang terlukis sangat menyenangkan di wajah mereka. Aku takut, jika mereka mengalami nasib buruk sekali lagi, mungkin mereka akan ketagihan mandi es coklat seperti sekarang ini. “Kill. sekarang kita mau kemana? Makan ke kah?” tanya Andin kepadaku. Aku sebenarnya tidak terlalu suka makan di tempat umum, aku lebih suka makan sendirian di rumah dan menikmatinya. Bersama dengan kipas angin dan juga kasur empuk sambil tiduran. “Boleh Din. Tapi take-away saja yah. Aku cape nih. Pengen pulang terus tidur di kasur saja. Kamu tahu kan kalau aku keliatan capek banget tadi sampai ketiduran” balasku kepada Andin. “Yaudah. Kita pergi ke tempat burger saja deh ya. Aku tahu tempat burger yang enak di sekitar sini” Sahut Andin lagi. Aku sebenarnya enggan untuk makan burger bersama Andin. Bukan karena aku tidak suka, hanya saja aku takut kalau harga dari burger yang aku pesan nanti itu sangat mahal sampai-sampai aku tidak bisa membayarnya. Aku juga tidak enak bila harus meminta Andin membayarkan makananku. Di sisi lain juga aku tidak tahu bagaimana cara untuk menolaknya. “Nah ini sudah sampai” Sebelum aku berkata untuk keberatan, Andin sudah mengantarku tepat di toko burger itu. Di sana ada pelayanan Drive-Thru sehingga kami tidak perlu turun dari kendaraan untuk memesannya. Andin pun tiba-tiba memesan banyak sekali jenis burger dalam porsi yang banyak. Aku bahkan belum sempat mengatakan makanan apa yang aku inginkan tapi dia dengan cepatnya memesan. “Eh Din. Aku belum mesen apa-apa loh ya” ucapku sungkan. “Loh, tenang saja Kill. aku sudah mesan semua menu di restoran ini. Masing-masing dua. Kalau kamu mau ambil saja” Tiba-tiba dari jendela. Sebuah plastik makanan tiga bungkus masuk lewat jendela mobil. Aku yang ikut membantu memasukkannya ke dalam takut bil asalah satu makanan ini tumpah ataupun jatuh dari plastiknya. “Din. Kamu makan ini semua?” tanyaku kebingungan melihat jumlah makanan yang sangat banyak seperti ini. Bahkan lebih cenderung porsi makanan kuda kalau aku bisa mengatakannya. Aku melihat bungkus-bungkus burger itu. Ternyata perkataan Andin memang benar, tidak ada varian yang sama dari semua burger-burger ini. Semuanya berbeda, aku langsung saja tanpa sadar mengambil salah satu burger itu. “Hehe. Kayaknya sudah kebiasaan sejak kecil. Aku selalu makan makanan dalam jumlah banyak. Tapi tenang saja, aku nggak ngehanbisin ini semua sekaligus dalam satu hari kok. Ada tahapannya. Dan juga kalau aku merasa makanannya sudah gaenak atau basi. Aku biasanya bagiin ke orang-orang rumah. Sudah kamu ambil saja semau kamu yang menurutmu enak” Perasaan beruntung dan sangat merasa senang berkecamuk dalam hatiku. Seperti rejeki nomplok yang datang di siang hari, rejeki itu ternyata tidak hanya berupa uang atau materi, namun juga sahabat yang sangat baik seperti seorang Andin sekarang ini. Sambil menyetir dengan sebuah burger di tangan kirinya, Andin dengan lahapnya memakan burger itu dan terlihat sangat mengenyangkan. Aku yang baru saja memakan satu gigitan saja masih belum bisa memuaskan perutku yang walaupun memang terlihat kecil tapi memiliki nafsu makan yang besar. Saat aku memakan burgerku hingga habis, Andin sudah habis 3 porsi burger. Aku tidak mengira anak ini bisa makan selahap itu tidak takut akan masa lalunya yang berubah menjadi buruk dan penuh dengan bullyan. “Kill. kamu mau aku antarkan sampai mana?” tanya Andin kepadaku. Aku sudah memberinya peta GPS dimana rumahku yang sebenarnya sangat dekat dengan kampus, ia memutar balik arahnya hanya karena mencoba untuk mengusili Rose dan juga Liz tadi. Kami sudah sampai di sebuah jalan besar dengan dua jalur yang dihalangi oleh sebuah bunga-bunga. “Sudah sampai sini saja Din gapapa. Gang rumahku sempit soalnya, mobil kamu gak bisa masuk ntar” ucapku berdusta kepada Andin. Tidak ada alasan khusus mengapa Aku tidak ingin agar andin masuk ke dalam rumahku, hanya saja aku tidak ingin dia mengetahui rumahku yang sangat besar tapi kosong di isinya. “Yakin? Yaudah deh kalo begitu” Andin membuka pintunya untukku lewat sebuah tombol di dasbor mobilnya. Sebuah teknologi yang cukup canggih. Bahkan aku tidak menyentuh gagang pintu mobilnya sekalipun. “Dadah Killa. Hati-hati ya di jalan” Sapa Andin kepadaku sambil membuka jendela mobilnya kembali. Dia pun langsung saja pergi dengan cepat menggunakan mobil mewahnya itu. Saat aku melihatnya dari luar. Aku benar-benar sadar kalau mobil milik Andin benar-benar sangat bagus. Aku pun berada di tengah-tengah jalan. Berjalan menyusuri trotoar sambil bersembunyi di balik terik matahari. Di sepanjang jalan ada banyak sekali warung dan warkop yang menjajaki jualannya. Di sana juga, banyak sekali laki-laki baik muda ataupun tua melihatku saat aku berjalan. Aku sudah terbiasa dilihat seperti itu, karena setiap hari saat aku berjalan juga sudah menjadi pemandangan bagi mereka. Tapi hari ini ada yang aneh. Tidak hanya laki-laki yang memandangiku dengan serius, tapi juga para wanita seperti ibu-ibu atau anak muda. Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku hari ini, hingga aku melihat ke bawah. Kaos yang aku pakai milik Andin benar-benar ketertaluan. Kaos itu merupakan kaos tipis transparan berwarna polos membuat tali BH ku kelihatan. Tidak hanya itu, ukuran bajunya yang kecil juga membuatku terlihat benar-benar seksi. Setelah paham mengapa aku dilirik semaut itu, aku pun langsung melipat tanganku ke depan. Mencegah pandangan mereka kepadaku yang terkesan menyeramkan. Jika aku berlari sekarang, aku hanya akan terlihat semakin aneh di hadapan mereka. Aku hanya bisa berjalan dengan mode kecepatan penuh dan sambil menunduk ke bawah agar tidak tergelincir saat menapaki jalanan. Hingga akhirnya tibalah aku ke sebuah warung langgananku. Warung itu adalah warung yang biasa aku gunakan untuk membeli sembako ataupun barang-barang keperluan hidup. Aku ingat kalau stok kamar mandiku seperti pasta gigi, sabun, sampo. Sudah mulai habis. Aku pun berniat untuk membeli beberapa barang itu di sana. “Eh dek Killa. Sudah pulang kuliahnya?” sambut Mbok Liya kepadaku dengan ramah. Mbok Liya sudah kenal denganku sejak orang tuaku masih hidup. Dia tahu betapa susahnya hidupku menjadi pengembara dan bertahan hidup sendirian di alam liar ini. Dia juga merupakan saksi hidup bagaimana kisahku yang menjadi seorang berandalan sampai menjadi lebih tobat sampai sekarang ini. “Iya bu. Saya mau pesan pasta gigi, sabun, sama sampo ya” ucapku langsung mengutarakan niatku. Aku tidak ingin berbasa-basi atau berlama-lama berada di tempat ini. Karena aku sedang tidak nyaman memakai baju milik Andin sekarang ini. Mbok Liya pun langsung saja mengambilkan barang-barang yang aku pesan. Di depan warung milik Mbok Liya, aku melihat sebuah motor sport yang sangat bagus. Aku mengira mungkin itu adalah pelanggan Mbok Liya yang sedang ingin membeli sesuatu sama sepertiku. Tapi tak lama kemudian, Mbok Liya datang bersama dengan pemuda yang wajahnya sangat familiar. “Dek Killa. Kenal mas ganteng ini? Dia datang kemari mau nyariin adek. Katanya ada sesuatu yang penting mau dia sampein ke adek” seorang pemuda tinggi dengan rambut yang dicukur tipis bagian sampingnya dan berkacamata. Kumis tipis di atas mulut manisnya benar-benar terlihat cocok dan benar-benar tampan saat dipadu padankan. Sedangkan pipinya yang tirus juga membuatku semakin familiar dengan wajah yang kulihat sekarang. Miguel. “Killa. Aku dengar kamu ada masalah. Cepat ceritain ke aku?” dengan khawatirnya, dia tiba-tiba memegang tanganku. Aku pun tentu saja langsung melepaskan tangannya karena merasa tidak nyaman bila tiba-tiba diperlakukan seperti itu. “Miguel, kenapa kamu di sini? Setelah sekian lama kita gak ketemu. Kenapa kamu tiba-tiba ngekhawatirin aku?” tanyaku kepadanya. Siapa yang tidak kaget, melihat orang yang dulu kita kasihi yang tiba-tiba hilang sekarang datang lagi di hidup kita dan berusaha untuk sok mengkhawatirkan kita. Seperti seakan-akan dia sendiri lupa dosa apa yang mereka perbuat kepada kita. Saat aku berkata bahwa Beno adalah laki-laki yang pertama kupikirkan di hidupku. Tidak, itu salah, sosok itu sebenarnya adalah Miguel. Seseorang yang pernah menjalin hubungan tanpa status denganku semasa SMA. Dia jugalah salah satu orang yang menuntunku menjadi lebih baik daripada sebelumnya menjadi berandalan. Cerita kami berdua bertemu sebenarnya cukup panjang, namun yang jelas di adalah anak paling pintar di kelas. Aku yang berusaha untuk belajar bersamanya tiba-tiba timbul rasa jatuh cinta dengan parasnya. Kami menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih saat itu, tapi tidak ada yang menyatakan perasaan diantara kita satu sama lain. Tapi aku benar-benar yakin, kalau saat itu aku benar-benar mencintai sosok Miguel. Aku tak tahu aku benar-benar membutuhkannya saat itu, tapi jika saat itu tidak ada dia, mungkin aku tidak bisa menjadi diriku yang sekarang. Tapi seiring berjalannya waktu, Miguel yang merupakan seorang anak blasteran tiba-tiba menghilang dari hidupku. Tanpa sebuah ucapan perpisahan atau apapun, seakan-akan aku memang tidak penting berada di hidupnya. Aku benar-benar cukup terpukul menyadari itu, karena saat itu aku memang hanya menggantungkan hidupku kepada Miguel. Tapi lambat laun aku berhasil melupakannya, dan sekarang, dia muncul lagi di dalam hidupku dengan muka yang masih sama seperti dahulu. “Dengar Kill. maafin aku yang dulu. Jujur, aku ini memang lelaki yang b******k. Tapi sekarang aku sudah berubah, aku jauh-jauh kembali ke Indonesia meninggalkan keluarga di spanyol hanya agar aku bisa kembali sama kamu lagi Kill. aku juga sudah mendaftar di kampus yang sama denganmu” Miguel membuka tas kantong miliknya, memperlihatkan almamater dan juga logo Kampus yang sama denganku. “Lihat ini. Aku dengar kamu mendapat sebuah masalah. Aku mau tahu kebenarannya kayak apa. Dan aku mau ngebantu kamu keluar dari masalah itu Kill” Ucap Miguel kembali kepadaku. Tapi aku hanya menanggapinya dengan kecut. “Buk. Pesanan saya tadi sudah ada apa belom?” sahutku kepada Mbok Liya. Dia terlihat kebingungan dan dengan tergesa-gesa mengambil barang-barang yang aku pesan kembali. Aku mengabaikan Miguel yang terus saja mencoba untuk berbicara denganku. “Kill, sampai kapan kamu gak mencoba mendengarkan penjelasanku ini?” sahut Miguel lagi kepadaku. Jujur saja, dulu saat kami masih menjalin hubungan, aku mengira Miguel berbeda daripada lelaki lain yang kukenal. Aku mengira dia adalah versi terbaik dari semua lelaki. Tapi persepsiku salah, aku sekarang merasa malahan mungkin lelaki berandalan memiliki sifat yang lebih baik daripada dirinya. “Kamu tahu kan, apa kesalahan kamu? Aku nggak punya apa-apa untuk dijelasin” balasku dengan judes. Miguel memegang kepalanya merasa frustasi. Seperti bingung harus berkata apa lagi kepadaku. “Dengar Kill. Ayahku nggak setuju kalau aku harus pergi ke Indonesia. Aku nggak menjelaskan kepada mereka alasan sebenarnya aku kemari. Dan sekarang kamu malah begini!” Miguel memberikan sebuah penjelasan yang tidak logis dan diluar nalar kepadaku. Mungkin selama berada di spanyol kemampuan berpikirnya sudah menurun akibat terlalu banyak mengobrol dengan para bule. “Siapa suruh kamu kembali ke Indonesia! Aku juga gak pernah minta kamu kembali kok! Jangan Geer deh” balasku lagi dengan judes. Aku melihat Mbok Liya berlari tergesa-gesa sambil membawakan plastik berisi barang-barang yang aku pesan. Aku pun langsung membayarnya dan berunjuk pulang ke rumah. Tapi tangan Miguel menahanku untuk melangkah lebih jauh, aku pun menoleh. Dan jujur saja, Miguel nampak lebih tampan sekarang dibandingkan dengan dia yang dulu. Badannya menjadi lebih atletis dengan otot-otot di lengannya. “Kill, aku mohon berikan aku satu kesempatan lagi sama kamu. Aku gak akan ngecewain kamu lagi” Aku tak tega melihat Miguel memohon-mohon seperti itu kepadaku “Miguel, dengar. Aku bukanlah gadis yang kau temui 2 tahun yang lalu. Aku berbeda sekarang. Dan jika kau menginginkan kesempatan kedua. Maka berusahalah, aku tidak ingin memberikannya kepadamu dengan gratis”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD