Chapter 11

2082 Words
“Sudah. Yang penting kamu percaya sama aku” jawabku kepada Andin. Kami pun pergi menyusuri jalan untuk keluar dari kampus. Ternyata Liz dan Rose melewati gerbang keluar yang sama dengan mahasiswa lainnya. Aku mengira kalau dia akan memiliki jalan khusus atau rahasia hanya bisa di akses oleh orang dalam kampus. Tapi ternyata sama saja dengan mahasiswa biasa seperti kami. Mobil itu kemudian berbelok ke kiri setelah berhenti di depan loket karcis parkir masuk yang dicegat oleh satpam gerbang. Kami menunggu cukup lama di 3 mobil belakang mereka, dengan jarak seperti itu kami masih bisa mengamati gerak-gerik mereka dengan jelas. Aku tak tahu apa yang membuat mereka berhenti begitu lama. Aku menduga kalau ada semacam kesalahan saat mereka hendak membayar karcis atau kehilangan karcis itu. Tapi tiba-tiba mobil itu berjalan lagi dengan lancar. Di depan kampus, ada banyak sekali pedagang kaki lima yang mendirikan tenda di pinggir jalan. Tenda-tenda itu cukup membuat lingkungan depan kampus cukup sesak untuk dilewati, tapi sebagai gantinya kami bisa melihat dan mencium aroma masakan yang sangat khas dari tempat itu. Aku juga suka sekali melihat pemandangan dimana orang beramai-ramai mengantri untuk membeli makanan yang mereka sukai. Di dalam mobil ini, aku bisa merasakan bagaimana jadinya bila aku adalah orang yang kaya. Aku tahu kenapa orang-orang di atas birokrat dan memiliki status yang tinggi enggan untuk memberikan jabatan atau melepaskan harta yang mereka punya begitu saja kepada orang lain. Karena hanya dalam sekejap saja, aku bisa merasakan kalau mobil ini benar-benar nyaman untuk dikendarai. Suspensinya benar-benar bekerja saat menghadapi jalanan yang lumayan keras dan bergejolak. Sedangkan kursinya juga benar-benar empuk membuatku ingin tertidur karena lelah setelah seharian menjalankan ospek. “Loh Kill. Jangan tidur! Ini kita harus kemana?” sahut Andin membangunkanku. Mungkin ini memang tidak sopan, tapi aku seharusnya tidak duduk di kursi belakang seperti ini. Aku malah terlihat seperti bos yang kurang ajar dengan Andin sebagai supir cantikku. Aku pun langsung bangun setelah Andin memegang lututku. “Nih, aku tadi pagi beli roti di minimarket, cuman ga habis. Mungkin kamu kelaperan makanya kelihatan capek banget kek begitu” sahut Andin kepadaku sambil memberikan sebuah plastik roti beserta isinya. Bungkus ini masih terlihat rapi dan juga masih banyak roti yang tersisa. Aku tidak pernah melihat roti semacam ini, menemukannya di minimarket saja tidak pernah. Aku yakin kalau Andin membeli ini di sebuah minimarket spesial tempat orang-orang kaya saja membelinya. Aku pun memakan satu potong roti sobek itu. Dan benar saja, rasanya benar-benar berbeda daripada roti murah yang aku makan di minimarket biasanya. Ini benar-benar enak sampai-sampai aku tidak bisa mendeskripsikan apa saja yang aku rasakan di dalam bidangku. Tak terasa aku terlalu lahap memakannya sampai-sampai aku menghabiskan seluruh potongan roti sobek itu. “Eh ya ampun. Maaf ya Din aku sudah habisin rotinya. Entar aku ganti deh bagaimana?” tanyaku sungkan kepada Andin. “Ya ampun Kill. Kamu masih saja kayak begitu. Sudah gapapa. Aku tadi sudah makan sebagian kok. Gak perlu ganti-ganti juga kali” balas Andin sambil memandang ke depan menyetir mobilnya, “Itu masih ada selai kacang di toples kalau kamu kurang. Ya cuman gak ada rotinya. Kalo kamu mau makan selai doang tanpa roti, ya gapapa coba saja” Di sampingku ada sebuah toples selai kacang yang masih tertutup dengan segel rapat. Aku pun berusaha membukanya karena jujur saja perutku masih terasa lapar. Agak susah membuka toples ini hanya dengan tangan tanpa adanya alat bantuan. Sampai-sampai aku berusaha menggigit penutupnya agar bisa terbuka dengan lancar. Akhirnya aku berhasil membukanya. Tidak hanya toples, ada sebuah pisau kecil yang tak terlalu tajam di samping toples itu. Andin benar-benar berniat untuk sarapan di dalam mobilnya sampai ada sebuah pisau di sana. Aku tidak terbiasa memakan roti untuk dijadikan sebagai sarapan. Karena nanti perutku bisa-bisa mual karena tak cocok memakan makanan seperti itu. Aku pun mencelupkan pisau itu ke dalam toples, melumurinya dengan selai kacang itu. Ternyata cukup lezat, walaupun sejujurnya bila memakannya seperti ini saja tidak bisa membuatku kenyang. Setidaknya aku bisa merasakan sesuatu sambil duduk dengan santai di mobil mewah ini. “Ngomong-ngomong. Kita beneran jadi ngejahilin mereka gak?” tanya Andin kepadaku sambil menjilat pisau roti. Saat Andin mengatakan itu, aku benar-benar lupa dengan apa yang harus kulakukan saat ini. Secara refleks, aku pun memandang ke depan dan melihat mobil keluarga berwarna hitam ada di depan kami. Aku masih mengingat plat nomor itu, milik Liz dan juga Rose. Kami berhenti di lampu merah, menunggu mobil yang berlawanan arah untuk berhenti dan membiarkan kami untuk lewat. “Jelas jadi dong. Aku kayaknya tahu mereka bakal kemana” ucapku dengan yakin kepada Andin. Aku tahu jalan ini, jalan dimana tepat berada di tengah-tengah perkotaan. Sebenarnya aku belum yakiin betul kemana liz ataupun Rose akan pergi, hanya saja kemungkinan besar mereka akn pergi ke tempat yang akan menjadi incaranku sangatlah besar. Di kota ini, ada sebuah mall bernama “The DC” mall itu merupakan mall terbesar di kota Sourbay, sampai-sampai tidak hanya seseorang dari kota Sourbay saja yang datang untuk berkunjung, melainkan kota-kota tetangga karena tidak ada yang tidak ada di mall itu. Aku bisa menduga kalau mereka akan pergi ke tempat itu. “Din, cepat ambil jalan ke kanan. Aku tahu rute rahasia agar kita bisa pergi ke sana lebih cepat” sahutku kepada Andin yang masih menunggu lampu hijau muncul di sana. “Loh... kalo kita belok kanan. Kita bakal kehilangan jejak Liz sama Rose dong? Bukannya rencana kita dari awal adalah untuk mengikuti mereka sampai ke tempat tujuan?” ucap Andin kebingungan. Aku lupa memberitahukannya kepada Andin kalau mereka kemungkinan besar akan pergi ke Mall “The DC” “Sudah nggak usah. Kita ganti rencana, aku sudah tahu mereka bakal kemana. Sudah pokoknya kamu ikutin arahan dariku oke” ucapku kembali dengan sangat yakin. Lampu merah pun langsung saja berganti ke warna hijau. Mobil Liz dan Rose langsung tancap gas dan lurus ke depan. Andin agak khawatir saat itu dengan rencanaku yang menyuruhnya untuk berbelok ke kanan. Dia agak ragu-ragu saat berbelok karena jalanan di bagian kanan bukanlah jalan yang ramai dan cenderung sepi dilalui lalu lintas. Hingga akhirnya kami sudah berada di jalur yang aku inginkan. Jalur ini adalah jalur andalanku dahulu saat masih sekolah pergi kemana-mana. Karena memang walau kondisinya sangat jelek, tapi jalur ini lebih cepat bila harus pergi ke tempat manapun di Sourbay. Dulu jalur ini memang sangat ramai dipadati orang-orang berkendara baik itu motor ataupun mobil. Tapi setelah ada pembangunan jalan tol, orang-orang lebih memilih kenyamanan berkendara dibandingkan jalur lalu lintas yang lebih cepat. Aku memilihkan jalur ini kepada Andin karena aku tahu, meskipun kondisi jalannya sangat buruk, tapi dengan mobil milik Andin tidak akan terasa terlalu signifikan. Hampir seperti berjalan di area berkerikil untuk saat kami berjalan melewati tempat ini. Aku melihat sekeliling kanan dan kiriku, banyak sekali tenda ataupun bangunan-bangunan yang sudah usang tidak terpakai. Aku merasa kasihan dengan mereka, karena sebuah proyek kapitalis membuat mereka tidak bisa menjalankan hidup mereka seperti dulu lagi. Tapi itu hanyalah anggapan sok tahuku sih, aku tidak yakin apakah hidup mereka benar-benar berubah menjadi buruk setelah pembangunan tol itu. “Kill. kamu yakin rencana kamu aman? Maksudku mereka ini anak-anak orang yang memiliki power loh. Jika kita salah melangkah kemungkinan besar kita akan mendapatkan masalah nantinya” di jaman serba sosial media dan informasi yang bisa berkembang dengan cepat seperti ini, mendapat masalah sepertinya merupakan sebuah kasus yang sangat lumrah ditemukan di berita-berita. Sebenarnya bukan teknologi yang salah, melainkan para manusia yang tak siap menggunakannya terlalu lali untuk menggunakan teknologi itu dengan baik. “Kan sudah kubilang. Santai saja, kita gabakal kena tuntut kok setelah kita mengusili mereka” jawabku kembali meyakinkan Andin, “Kalaupun kita beneran kena masalah. Seenggaknya kita bakalan bener-bener puas karena mereka pantas mendapatkan perbuatan yang jahat kepada kita Din. Jadi santai saja ya” Andin menurunkan alisnya, tak puas mendengar jawabanku. Aku pun langsung tertawa melihat ekspresi kagetnya saat itu. “Heh... kalo dapat masalah jangan ngajak-ngajak ya. Sudah kamu saja sana yang dapat masalah. Dasar Berandalan” “Yahhh... jangan sok-sokan ya lo. Sekali-sekali dapat masalah jugalah kaya aku. Dasar Gendut!” kami berdua tertawa bersama-sama setelah saling mengejek di dalam mobil. Kami tak pernah mengira kalau saling mengejek seperti itu membuat kami menjadi semakin akrab. Aku benar-benar merasa bersyukur telah bertemu Andin saat ini. Kami pun berjalan cukup jauh. Dan di ujung jalur yang kami lalui ini sudah sampai ke jalur dimana jalan bagus mulai terlihat. Aku pun menyuruh Andin untuk berhenti di tempat yang memiliki lahan luas agar mobil ini bisa parkir dan kabur dengan mudah. Memikirkan rute pelarian juga merupakan rencana yang harus dipikirkan di saat seperti ini. Karena tidak semua rencana akan berjalan dengan lancar sesuai dengan ekspektasi kita. “Ngapain kita tunggu di sini Kill?” tanya Andin kebingungan. Aku rasa aku harus menjelaskan rencanaku kali ini kepada Andin. “Jadi di ujung jalan sana. Aku tidak tahu kau mengingatnya atau tidak, ada sebuah jalan yang selalu tergenang oleh air karena topografinya yang rendah. Jalan itu hanya dilalui satu jalur dan sangat lebar. Dan rencana kita adalah untuk membuat mobilmu melaju sekencang mungkin sampai-sampai membasahi mobil mereka secara keseluruhan.” Ucapku kepada Andin. Saat mendengarnya, dia terlihat sangat terkesan namun juga khawatir “Tapi Kill. Bukannya itu gak mudah ya? Karena kita harus berada di posisi dan timing yang tepat saat mencoba untuk melewati jalur genangan itu. Bagaimana jika kita malah lewat dan berada di waktu yang salah menyebabkan mobil lain tersembur. Kita akan mendapatkan masalah nanti!” Ungkap Andin khawatir. “Tentu saja risiko seperti itu akan datang. Namun tenang saja, itulah sebabnya kita harus menunggu mereka untuk tiba di jalan yang kita diami sekarang. Saat mereka lewat, kita langsung saja menancap gas dan lewat di depan mereka membasahi mereka” tegasku kepada Andin mencoba untuk meyakinkannya sekali lagi. “Karena din. Pepatah pernah mengatakan. Kuah harus dibalas dengan kuah” Andin yang ragu-ragu kemudian kembali tersenyum mendengar ucapanku barusan. “Kayaknya kamu salah pepatah deh Kill. Mungkin saat kamu jadi berandalan otakmu rada geser 45 derajat ke kanan makanya hasilnya jadi begini”. Kami pun tertawa bersama-sama sekali lagi. “Ahahahaha. Yaudah Din. Yang penting kamu harus yakin kalo kamu bisa. Karena aku juga yakin kalau latihan yang kamu jalani saat membuat surat izin mengemudi memiliki sebuah alasan tersendiri. Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan seperti ini” Andin memegang stirnya dengan sangat erat. Ia melihat jalan dan berada di dalam mode pembalap sekarang ini. “Tapi Kill, bagaimana kalau mereka tahu kalau yang baru saja membasahi mereka adalah kita? Maksudku mereka bisa saja ngelacak plat nomor mobilku kan?” Aku mengira kalau Andin sudah benar-benar yakin saat itu. Tapi ternyata dia juga memiliki keraguan sama seperti sebelumnya. “Jadi gini Din. Saat kamu selesai nyipratin mobil mereka, kamu juga harus kabur cepet juga sampai mereka gak bisa lihat plat mobil ini. Mereka pasti akan terlalu sibuk buat ngurusin mobil mereka yang kebasahan dan juga gak kelihatan apa yang terjadi di luar. Makanya kamu itu tenang saja oke” bisa-bisanya aku menghimbau Andin untuk tenang padahal dia lah yang melakukan semua pekerjaan. Tak lama kemudian, Mobil hitam itu muncul di hadapan kami. Andin yang sudah bersiap-siap untuk menggas mobilnya langsung saja mencoba untuk menyusul dari belakang. Aku merasa kalau Andin sudah tahu jalan tergenang yang aku sebutkan tadi karena dia bisa menjaga kecepatannya di belakang. Dan untungnya lagi, jalanan sedang sangat sepi sekarang. Hanya ada 2 mobil di hadapan kami yang memiliki ukuran dan kecepatan hampir sama dari 3 jalur yang kami lewati. Mobil milik Liz sudah berada di depan dan lewat di jalur tergenang. Seketika aku memiliki ide dadakan untuk berimprovisasi. Aku memegang selai kacang yang aku makan tadi milik Andin dan membukanya untuk kemudian aku lemparkan ke arah mobil Liz dan juga Rose secara bersamaan saat Andin melewati mobil mereka. “Din, maafin aku yah. Aku tahu ini bakal terkesan mubazir, tapi aku merasa kalau ini akan benar-benar memuaskan” ucapku kepada Andin yang sepertinya dia tahu apa yang aku maksud. Dia mengacungkan ibu jarinya mengisyaratkan kalau dia setuju dengan apa yang akan aku perbuat. Andin melaju dengan kencang melewati mobil milik Liz dan juga Rose. Kami juga berhasil membuat mobilnya basah kuyup sampai-sampai terlihat seperti mobil butut. Di saat yang bersamaan pula, aku melempar selai kacang itu dengan toplesnya mengenai kaca depan mobil Liz dan Rose. Selai itu pecah dan memenuhi kaca bagian depan mobil mereka. “Kill, mobil mereka sekarang terlihat seperti mobil tinja. Eh nggak ding, mobil tinja masih lebih bagus. Mobil mereka sekarang lebih terlihat seperti di endorse oleh tinja
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD