Chapter 13

2051 Words
Sebuah Klub Malam, Dini hari Aku melihat ke dalam kaca, diriku sendiri yang terlihat anggun dengan dandanan sangat cantik. Seorang perias datang dari pintu itu masuk ke dalam ruanganku, sambil membawa banyak sekali tas make up bersamanya. “Dewi, tumben-tumbenan kamu datang lebih cepat dari biasanya. Padahal kamu kan selalu telat kalo datang kerja. Kenapa?” ucapnya dengan nada yang khas para perias. Dia mencukur habis rambutnya menjadi pendek, membuatnya terlihat lebih ke laki-lakian. Aku lebih suka penampilannya yang dulu dengan rambut bondol di bawah leher membuatku serasa familiar. Di tempat ini, aku membiarkan agar orang-orang memanggilku dengan nama Dewi. Nama depanku. Hal itu kulakukan agar aku bisa tahu darimana mereka mengenalku. Killa merupakan nama bagi orang-orang yang tahu akan kehidupan normalku. Namun sekarang, aku berharap tidak ada orang yang memanggilku dengan nama Dewi di luar sana. “Nggak papa kok sis. Kata orang tua dahulu kan memang semakin cepet menjemput rezeki maka semakin baik. Ya sudah aku nerapin itu sekarang.” Balasku sambil tersenyum manis, walaupun terasa pahit dan sangat menyedihkan di dalam hati. Perias itu tahu kalau aku tidak baik-baik saja, dia pun langsung saja mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain. “Kamu sudah tahu belom tamu yang kamu layanin nanti kayak apa?” tanyanya kepadaku. Pekerjaan utamaku sebagai Hostess memang seperti itu, melayani tamu dengan pakaian minim, membuat mereka bahagia dan melepaskan penat untuk sementara. Perias itu pun memberikan smartphonenya kepadaku, dan menunjukkan daftar nama identitas orang-orang yang akan memesan kami. Sudah kuduga, mereka pasti adalah seorang bapak-bapak m***m dengan kemampuan finansial yang super kaya. Beberapa dari mereka memiliki tubuh yang atletis ataupun cukup enak dipandang. Sementara kebanyakan dari mereka juga merupakan bapak-bapak pada umumnya dengan perut yang bergelambir ke depan lebih mirip seperti babi kekenyangan. Aku pun menghela nafas panjang. Aku tidak mempunyai pilihan lain, ini memang caraku agar bisa bertahan hidup di dunia yang kejam dan tidak adil ini. Per malam, kami dibayar cukup mahal, yaitu sekitar 3-4 juta per malam. Tapi kami tidak melakukan hubungan seksual atau semacamnya, kami hanya bertugas untuk menemani mereka di malam hari sambil bernyanyi-nyanyi di ruangan karaoke dan minum-minuman keras bersama-sama. “Kenapa Dewi? Kamu sesak nafas kok menghirupnya panjang banget?” Perias itu melakukan candaannya padaku. Aku pun tersenyum sungkan setelah mendengarnya. Aku sadar kalau pekerjaanku sebagai Hostess haruslah professional untuk menangani mereka. Aku tidak bisa bermuka kecut ataupun bermuram saat mencoba melayani mereka. Aku harus professional untuk melakukannya. Walaupun aku tahu kalau ini bukanlah pekerjaan legal yang bisa dibangga-banggakan kepada orang lain, tapi tetap saja aku masih memiliki harga diri untuk bisa bekerja dengan baik. Tiba-tiba pintu ruangan rias itu kembali terbuka. Kami kedatangan seorang hostess yang bisa dihitung sebagai rekan dalam bekerjaku. Dia adalah seorang gadis cantik seumuranku yang bekerja jauh lebih lama daripada aku. Bisa dikatakan kalau dia adalah seniorku dalam dunia ini. Dia datang dengan memakai sebuah sweater panjang dengan kepalanya yang tertutup oleh Hoodie. Kacamatanya menyembunyikan matanya yang masih belekan dan tanpa alis seperti seorang biksu yang ingin melihat makhluk gaib. Walaupun bisa dikatakan orang-orang yang akan kami layani adalah makhluk setengah gaib sih. “Loh Dewi, tumben kamu datang duluan timbang aku?” tanyanya keheranan. “Hehe, iya kak Ani. Sebenarnya lagi gabut saja sih di rumah. Ga tahu mau kemana soalnya sudah malam juga. Jadi alhasil ke sini saja deh” jawabku dengan sopan. Bila ada pepatah mengatakan tidak ada kehormatan diantara para pencuri, aku menolak pepatah itu. Walaupun pekerjaan kami ilegal, kami merasa kalau yang kami lakukan ini merupakan sebuah pekerjaan yang mulia. Walaupun tentu saja aku tidak bisa mengatakan aku bangga dengan pekerjaanku sendiri. Aku hanya mencari sebuah rasionalisasi atau pembenaran terhadap apa yang kulakukan. Aku sudah bekerja di dunia malam ini saat aku SMA. Tepat setelah aku berhenti menjadi seorang berandalan. Aku diajak oleh salah satu orang yang ku kenal. Aku awalnya menolak untuk bekerja seperti itu, karena aku pada dasarnya tidak suka hal-hal atau pekerjaan yang berbau ilegal. Namun karena keadaan Ekonomi makin menipis dan tabungan orang tuaku yang tak bisa di jadikan sebagai penyambung hidup lagi, aku pun berpikir untuk tidak ada salahnya memilih pekerjaan ini. Setiap orang pasti memiliki dosa, hanya saja mereka memilih dosa apa yang mereka ambil. “Wih keren... bisa-bisa penghasilan kamu lebih banyak nih daripada aku” balas Kak Ani dengan santai. Aku tidak tahu siapa nama aslinya, hanya saja aku tidak berpikir kalau Ani adalah nama yang ada di ktpnya. Dia merupakan anak hasil persilangan antara arab dan cina, kebudayaan yang memiliki diferensiasi yang sangat kuat membuat hasil yang sangat cantik dan molek seperti dirinya. Waktu aku masuk pertama kali ke pekerjaan ini, aku cukup iri dengannya karena memiliki fisik yang sangat bagus. Tapi aku sadar tidak ada yang harus aku iri darinya. Dia pasti sama-sama memiliki hidup yang tidak enak sepertiku, dan aku tidak ingin tahu apa kisah hidupnya sampai-sampai memilih pekerjaan ini. Aku bahkan pernah sempat bertemu dia di luar sana. Aku pun yakin dia juga melihatku saat itu. Tapi kami memutuskan untuk tidak bertegur sapa. Semua hal yang ada di ruangan ini tetap akan bertahan di ruangan ini tanpa ada satupun yang keluar. Selain di ruangan ini, kami semua hanyalah orang asing yang tak saling mengenal. Sadar kami berdua sudah datang, perias itu pun mulai mendandani kami dengan cantik. Dia memasang blush on di pipi kami dan menggambar alis agar terlihat lebih menarik. Tak lupa hal yang sangat penting, dia memakaikan gincu warna merah padam kepada kami agar terlihat seperti wanita yang anggun. Aku sebenarnya bisa melakukan tata rias itu semua sendirian. Namun jika aku melakukannya, maka tidak ada gunanya perias ini berada di ruangan sama denganku. “Maaf ya Dewi, Ani, hari ini kita pakai baju ini sekarang. Aku tahu kalian mungkin merasa gak nyaman memakainya, tapi orang-orang itu menyuruh kalian spesifik memakai baju ini” Perias itu memberikan sebuah dress minim agar kami bisa memakainya. Dress dengan bagian depan sangat minim dan perut dibiarkan terbuka, tidak ada bagian lengan di situ, benar-benar bolong. Sedangkan bagian bawahnya hanya sebesar 10 centimeter. Kami tidak boleh memakai celana dalam saat memakainya. Lalu bagian kainnya yang berenda-renda dengan tekstur seperti sisik ikan koi membuatku merasa gatal selama memakainya. Karena tidak ada pilihan lain, kami pun terpaksa memakainya. Kami mengambil baju itu dan segera masuk ke dalam kamar ganti. Tapi tiba-tiba saat kami hendak untuk pergi, seorang gadis yang umurnya jauh lebih muda dariku datang dengan riasan hoodie. Dia terlihat tergesa-gesa dan panik, saat dia membuka hoodie dan celana trainingnya, dia ternyata sudah memakai gaun yang sama dengan kami. “Maaf Ton, apa aku telat?” ucap gadis itu. Aku tidak tahu siapa yang bocah itu panggil dengan nama Ton, namun aku bisa mengira kalau itu mungkin kependekan dari Toni ataupun juga Anton. Nama perias itu. Selama aku bekerja bertahun-tahun di sini aku tidak tahu siapa namanya, aku hanya memanggilnya dengan sis. “Enggak kok, santai. Justru kamu tepat waktu” balas Perias itu dengan santai. Aku dan kak Ani yang kebingungan siapa gadis yang baru saja datang ini pun memasang muka heran dan tak tahu apa yang terjadi. “Ehh sis. Dia siapa?” “Maaf kak, aku belum kenalan. Nama saya Belva, saya kerja mulai hari ini” Seperti teringat akan masa lalu, aku merasa Belva benar-benar mirip dengan diriku yang dahulu. Seorang gadis manis yang memiliki harapan dan cita-cita tinggi harus bekerja di tempat antah berantah seperti ini. Di satu sisi, aku merasa kalau gadis ini mungkin memiliki harapan tinggi bekerja di tempat ini, namun di lain sisi juga aku berpikir kalau dia mungkin tidak memiliki pilihan lain dalam hidupnya sampai harus bekerja di sini. Dan aku tidak ingin mengetahui tentang hal itu darinya. Kami berdua yang hendak berganti baju pun langsung memperkenalkan diri kami kepada dirinya. Mukanya yang berseri-seri dan penuh harapan benar-benar membuat kami tak tega untuk melihatnya terlalu lama. Pekerjaan kami seharusnya memang hanya untuk menemani para tamu sambil minum-minum bersama, tapi ada hal lain yang mungkin dia sudah tahu akan terjadi. Setelah berkenalan, kami pun langsung berganti pakaian di dalam sebuah bilik kecil. Aku memakai dress itu dan tidak menyangka kalau sudah sesak saat aku pakai padahal sebelumnya masih muat. Aku berpikir apa mungkin karena aku makan burger bersama Andin tadi siang makanya sekarang berat badanku mulai naik, tapi aku merasa hal seperti tidaklah mungkin terjadi. Mungkin saja kalau baju yang kukenakan ini sudah mengkerut kekecilan. Aku pun memaksa memakainya, dan melihat merasa payudaraku sangat sesak dibuatnya. Hampir tak bisa digunakan sambil bernafas. Aku pun keluar dari bilik kecil itu. Melihat Kak Ani sudah siap dan memakai “Baju Dinas”nya kami berdua berjalan menuju ke ruangan dimana para tamu kami akan datang. Di ruangan VIP itu, sudah ada minuman dan juga camilan yang dihidangkan di meja-meja. Namun kami tidak memakannya, hidangan itu dibuat untuk para tamu. Aku Melihat Belva yang benar-benar ngiler melihat jumlah makanan itu yang tak biasa. Tapi aku terus menyentuh bahunya agar menyiratkan dia untuk menahan hasrat memakan makanan itu. Pintu pun terbuka. Sama seperti daftar para tamu yang perias itu berikan kepadaku, mereka terdiri dari lima orang dengan background yang berbeda-beda. Mereka terlihat seperti sekelompok sahabat masa kecil. Saat tiba dan melihat kami duduk dengan anggun, aku tak bisa melihat wajah mereka yang tertawa dengan m***m kepada kami. Aku yang mencoba bersikap professional hanya bisa tersenyum sambil menahan rasa muntah di dalam perutku. “Lihat ini, para gadis itu sepertinya siap untuk ‘ditembak”!” ucapnya dengan ambigu. Aku tak tahu tembak apa yang dia maksud, karena wajah dan penampilan mereka juga benar-benar mirip seperti seorang yakuza dan mafia di film-film. Orang-orang itu pun duduk di antara kami. Aku yang berada di tengah-tengah dipandangi dua laki-laki itu. Mereka berdua mengelus-ngelus lenganku yang putih mulus seperti sebuah pajangan. Aku tahu mereka tidak akan menganggapku sebagai seorang wanita sekarang, melainkan sebagai sebuah objek untuk memuaskan diri. Karena risih, aku pun mencoba keluar dari belenggu itu dengan menawarkan mereka minuman yang sudah tersaji rapi di meja. “Pak, ini diminum dulu minumannya biar gak haus” sapaku dengan senyum ramah. Mereka pun meminum makanan yang sudah aku tuangkan, hanya saja menenggakknya dengan sangat cepat seperti kesetanan dan balik untuk menyentuh tubuhku lagi. Sekarang, tangan mereka yang meraba-raba sudah berpindah dari tadinya tengan, menuju ke perutku yang terbuka lebar. “Shal, aku sudah gak sabar ini. Aku bawa saja ya” ucap laki-laki di pojok dekat dengan Kak Ani. Sebenarnya lagu karaoke sudah di putar, namun tidak ada yang mulai menyanyi. Aku yang merasa aneh dengan itu dan mencari cara agar mereka melepaskan tangan mereka di tubuhku pun mulai mengambil mic dan bernyanyi untuk diriku sendiri. “Ya ampun, lihat deh. Dia bener-bener pintar loh. Lu memang gak salah milih tempat ini Jon” ucap laki-laki di sampingku tadi. Aku yang sedang enak-enak bernyanyi sambil berdiri di depan meja tiba-tiba ditarik dari belakang. Tubuhku tersandung oleh meja yang dipenuhi makanan tadi sehingga jatuh ke bawah lantai dan juga membasahinya dengan minuman yang sudah di siapkan. Aku tak tahu kapan mereka pergi, namun tiba-tiba Kak Ani dan juga Belva menghilang dari ruangan ini. Seakan tiba-tiba raib dengan seketika. Sekarang hanya tinggal ada aku dan pria berkepala klimis ini sekarang. Dia meremas-remas Dadaku. Aku tidak bisa menahan ataupun menolaknya, tak lama kemudian tangannya berjalan ke bawah, mengenai Kemaluanku. Di tusuk-tusuk dengan jarinya yang kotor. Aku merasa kesakitan saat itu karena caranya yang benar-benar tidak manusiawi. Aku dianggap seperti sebuah hewan yang hanya digunakan sebagai pemuas nafsu pria itu. Tak lama kemudian, dia membalik badanku, memasangnya ke bawah sofa. Aku tak bisa melihat wajahnya, namun bisa mendengar resleting di celananya yang mulai terbuka dengan sangat cepat. Sebuah benda keras dan pada mulai menempel di punggungku, mirip seperti sebuah mic yang aku gunakan untuk bernyanyi tadi. Dia pun menggesek-gesekkannya tepat di punggungku, seperti melakukan sebuah pijat, tapi hanya untuk dirinya sendiri. Mic itu kemudian perlahan-lahan turun ke bawah sampai ke bagian mahkota. Aku pun kemudian benar-benar teriak karena kaget merasakan Mic menyerang masuk ke dalam tubuhku secara tiba-tiba. Ibarat seorang tentara yang masuk ke daerah konflik, dia benar-benar memberiku sebuah bom nuklir yang membuatku tak bisa berkutik. Dia memompa terus bazooka miliknya kepadaku sampai-sampai aku tak bisa berteriak dan berkata-kata lagi. Aku hanya bisa memegang sofa erat-erat sambil berharap ia sudah cepat selesai dengan urusannya padaku. Tapi hanya ada satu orang yang akan bertahan di sini, aku pun terlelap ketiduran sambil melakukan itu semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD