Chapter 26 Real

2023 Words
Beberapa hari setelah kejadian di ruangan multimedia itu. Entah kenapa semua orang tidak pernah menganggap kalau kejadian antara aku dan juga pak Harry pernah ada. Bahkan mereka seperti tidak tahu ada apa kejadian yang sangat heboh kemarin. Aku tidak tahu harus merasa bersyukur atau cemas. Karena di satu sisi cukup aneh bagi mereka yang dengan susah payah mengintipku bergerombol di luar ruangan namun seperti merasa tidak terjadi apa-apa. Aku berusaha untuk melupakan kejadian itu. Untuk pertama kalinya, aku memberita tahu Andin apa yang terjadi denganku kemarin. Benar-benar mendebarkan bagiku menceritakan sebuah cerita masalah personalku kepada orang lain, karena meskipun aku sudah menganggap Andin sebagai sahabat, aku tidak pernah bisa terbuka kepadanya dengan leluasa. Dan saat aku membicarakan perkara itu dengannya, dia langsung saja memelukku dengan erat. Aku tidak tahu perasaan apa ini yang kurasakan saat merasakan pelukan hangat dari Andin, namun setelah aku mengatakannya, hatiku benar-benar lega. Seperti jari yang tertusuk oleh kayu kecil, aku sangat merasa lega setelah berhasil mengeluarkan kayu itu dari jari kakiku. Tidak ada perasaan lain yang bisa menggambarkanku dengan perasaan itu sekarang. “Kill... kamu janji kepadaku. Kalau kamu punya masalah, kamu harus cerita kepadaku terlebih dahulu. Mengert? Aku tidak peduli jika yang kau ceritakan penting atau remeh, aku benar-benar ingin kau menceritakannya terlebih dahulu.” Ucap Andin sambil air mata terus mengalir membasahi pipinya. Sementara aku terdiam di sana membantu, tak tahu harus merespon apa. Rasa-rasanya, air mataku sudah mengering, tak bisa mengeluarkan apa-apa lagi. Buih-buih tersisa di kornea mataku juga enggan untuk keluar. Padahal seluruh organku masih sehat tak terkena apa-apa. Aku juga heran, kenapa hal seperti itu bisa terjadi padaku. Apa mungkin ini adalah bentuk kepedihan yang terlalu fatal sampai-sampai aku tidak bisa menangis dengan leluasa? Apa yang terjadi dengan diriku sendiri saat ini? Aku sendiri bingung entah harus melakukan apa setelah melihat Andin senantiasa sukarela untuk menjadi bahan curhatanku. “Entahlah Din. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menceritakan semua hal kepadamu. Walaupun aku merasa cukup sulit untuk mengatakannya.” Balasku kepada Andin. Sebenarnya, aku tidak bermasalah untuk bercerita kepada Andin. Masalahku adalah diriku sendiri, aku bahkan tidak bisa menceritakan apa yang terjadi dengan diriku. Seperti otak dan ingatanku benar-benar tercampur baur tak bisa disinkronkan dengan baik. Mereka bergerak sendiri-sendiri tanpa bisa aku perintah ataupun aku lakukan apa-apa. Aku tidak tahu mengapa hal seperti ini terjadi di dalam diriku. Namun bukannya marah dan kesal, Andin malah tersenyum mengangguk sambil air matanya keluar dengan membuat matanya bengkak. Andin benar-benar sosok yang aku butuhkan di dalam hidupku. Dia memelukku kembali, dia lebih mirip seperti seorang ibu bagiku bila dibandingkan seorang sahabat, karena dia benar-benar bisa tahu cara untuk menghadapiku dan berbicara kepadaku layaknya anak dan ibunya. Tapi aku tidak tahu menahu tentang hal itu, aku tidak pernah merasakan mempunyai ibu untuk waktu yang cukup lama. Kemudian, Andin pergi. Dia memiliki kelas lain yang tak berbarengan denganku. “Kill, kamu tunggu di sini saja ya. Tapi kalo kamu bosan, kamu boleh ke perpustakaan untuk baca-baca sesuatu atau hal lain. Kelasku nggak lama-lama amat kok cuman sebentar. Nanti aku menyusul ke kamu lagi kalau kelas sudah selesai.” ucap Andin kepadaku. Kelasku sudah habis minggu in, aku hanya datang untuk berjumpa dengan Andin. “Santai saja Din, aku pasti nungguin kamu kok. Mana mungkin aku ninggalin kamu.” Balasku kepada Andin, dia pun kemudian mulai berjalan menuju gedung kuliah meninggalkanku sambil melambaikan tangannya. Berlebihan kurasa, aku tidak memerlukan salam perpisahan seperti itu. Tapi entah kenapa aku malah senang saat Andin melakukan itu kepadaku, serasa kalau aku memang penting sampai-sampai dia mengucapkan salam selamat tinggalnya kepadaku. Aku pun duduk sendirian di gazebo ini. Area kuliah benar-benar terasa sepi, tidak ada mahasiswa yang duduk-duduk dan bercengkrama di area kursi umum dekat gedung kuliah. Karena biasanya, akan ada anak-anak yang sibuk memandang laptop mereka ataupun juga mengerjakan sesuatu di di kertas yang mereka bawa. Aku tidak pernah melakukan hal semacam itu, karena aku biasanya mengerjakan di area yang sepi seperti warung kopi, cafe, atau tempat-tempat umum murah bisa aku jangkau dengan kantongku. Aku pun memeriksa handphoneku. Sama seperti anak-anak lain saat tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan, mereka akan membuka handphone mereka meskipun mereka sendiri tahu bahwa tidak ada apa-apa untuk mereka baca. Mereka hanya membuka handphone agar terlihat seperti orang yang sibuk atau tidak merasa gabut. Tidak ada email ataupun pesan sama sekali di handphoneku. Hanya sebuah tanda penerimaan pertemanan di jejaring media sosial yang tidak pernah aku cek. Aku adalah tipe anak yang tidak pernah update status ataupun aktif di media sosial seperti kebanyakan cewe seumuranku. Karena aku merasa, media sosial bukanlah tempat untuk mengumbar sesuatu ataupun memamerkan pencapaian yang seseorang punya, karena itu hanya akan membuat orang yang membaca status mereka merasa iri ataupun dengki dengan diri mereka sendiri. Akan timbul suatu sugesti dimana mereka akan menginginkan apa yang orang lain punya dalam diri mereka. Padahal, mereka sendiri sebenarnya tidak membutuhkan hal itu. Aku juga jarang untuk memeriksa permintaan pertemanan di dalam media sosialku. Karena jika mereka memang ingin berkenalan, cukup hampiri aku saja di dunia nyata bukan menjadi seorang pengecut yang hanya berani di dunia maya. Aku akan dengan sangat senang berkenalan dengan mereka di dunia nyata jika orang-orang seperti itu memang ada. Tapi di dalam pesan media sosialku, aku melihat sebuah rentetan pesan yang sangat panjang. Mencapai 9- kiriman. Aku tidak tahu siapa itu, namanya anonim dan dia tidak memakai foto profil mukanya sendiri. Tapi saat aku klik foto profilnya, dia adalah seseorang yang aku kenal Miguel. Dia memberikan pesan padaku dalam waktu yang cukup lama, dan kebanyakan dari pesan itu adalah pesan minta maaf dan juga permohonan untuk menjalin hubungan denganku lagi. Aku tidak tahu kenapa Miguel begitu terobsesi denganku. Dia adalah seorang pria yang tampan dan juga bertubuh atletis, dia bahkan bisa saja memilih banyak wanita jika dibandingkan denganku. Tapi kenapa dia sampai berbuat seperti itu hanya untuk bisa berhubungan lagi denganku. Terakhir kali aku bertemu dengan Miguel hanya pada saat aku membeli sesuatu di Mbok Liya. Setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi saat berada di kampus ini, aku sering sekali melihat Miguel sedang asyik berbincang-bincang dengan temannya. Aku hanya meliriknya tanpa dia tahu dan tidak menyapanya. Miguel masih tampan seperti dahulu, bahkan ia jauh lebih tampan dibandingkan dahulu. Tubuhnya benar-benar atletis seperti aktor hollywood, aku terus saja berpikir kenapa dia begitu terobsesi denganku yang bahkan tidak mempunyai kelebihan apa-apa ini? Saat aku mengecek profil dari Miguel, dia terlihat benar-benar bersenang-senang saat masih tinggal di luar negeri. Aku tidak tahu apa alasannya kembali ke Indonesia, karena jika alasannya kembali hanya untuk menemuiku, itu adalah alasan paling tidak kreatif yang pernah aku dengar. Kemungkinan besar ia berkata seperti itu setelah membaca sebuah n****+ romansa atau sejenisnya yang dilakukan oleh protagonis utamanya kepada wanita pujaannya. Aku tidak akan tertipu oleh alasan semacam itu. Tapi memang, foto-foto yang ada di media sosialnya tidak lebih tampan dibandingkan Miguel di dunia asli entah kenapa. Entah sihir apa yang dia pakai bahkan setelah bertahun-tahun kepeninggalannya dia masih membuatku terpesona akan ketampanannya. Aku berpikir dalam hati, apa mungkin aku masih belum bisa melupakan Miguel yang bisa dibilang sebagai cinta pertamaku? Mendadak, Aku menerima sebuah panggilan dari nomor yang tidak aku kenal. Aku bingung harus menjawabnya atau tidak, karena bisa saja itu adalah panggilan penipuan atau semacamnya. Namun nomor ini tidak terasa mencurigakan seperti nomor lain dengan banyak sekali nomor cantik di belakangnya. Benar-benar terlihat dari nomor biasa. Dan aku berpikir, jika pun itu merupakan seorang penipu, aku bisa menipunya balik hanya untuk mengatasi kebosanan yang menghantuiku saat ini. Aku pun mengangkatnya. “Halo, bisa berbicara dengan siapa?” tanyaku penasaran dan bernada sopan seperti customer service. “Killa, kamu dimana?” balas suara itu menanyakan balik kepadaku. “Aku ada di gazebo gedung kuliah ekonomi ini. Sebentar, saya berbicara dengan siapa ya?” sebelum dia menjawabnya, dia langsung saja menutup teleponku. Aku iseng saja mengatakan lokasiku kepadanya, karena jika dia penipu, dia tidak mungkin akan menghampiriku. Tapi karena dia tiba-tiba menggantungkan teleponnya, bagaimana jika itu bukan penipu? Bagaimana bila ada seseorang yang mengincarku dan ingin membunuhku? Bagaimana jika itu adalah seorang psikopat yang ingin menguliti kulitku? Atau bagaimana jika itu orang yang pernah kusakiti di masa lalu dan menaruh dendam kepada diriku sekarang? Apa yang harus kulakukan jika semua itu terjadi kepadaku? Dan tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundakku dengan kencang. Secara refleks, aku langsung saja memegang tangan itu dan membantingnya ke depan. Aku masih bisa melakukan beberapa gerakan gulat untuk membanting seseorang, dan bantingan ini sudah aku lakukan berkali-kali dan teruji klinis mampu mengalahkan banyak orang dengan sekejap. Orang itu terlempar ke depan terjatuh menabrak meja, dan aku benar-benar kaget saat melihat orang yang baru saja kubanting adalah Miguel. “Hah... ternyata kamu masih memiliki jiwa petarung di dalam dirimu ya. Aku benar-benar terkesan dengan kemampuanmu itu Killa.” Ucap Miguel yang malah terkesan dengan apa yang aku lakukan. Aku langsung saja berdiri karena panik melihat Miguel terjungkal di hadapanku itu. Bisa-bisanya dia masih bisa tersenyum dan tetap terlihat tampan. “A.. apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau tiba-tiba menepuk bahuku? Aku benar-benar kaget dengan perbuatanmu tahu!” ucapku sambil marah-marah membentak. Sementara Miguel berusaha untuk bangun sendiri meskipun aku tahu kalau tubuh bagian belakangnya retak sedikit karena bantinganku yang terlalu keras. “Bukankah aku sudah menelponmu barusan. Saat aku mengetahui kau ada di sini. Aku langsung saja menghampirimu, maaf jika aku bertingkah menakutkan tanpa memberitahumu terlebih dahulu.” Balas Miguel sambil meregangkan pinggul dan tangannya. “Darimana kau bisa mengetahui nomorku? Aku tidak pernah membagikannya kepada siapapun, kecuali..” Aku mengingat satu orang. Orang yang kemungkinan besar telah membagikan nomorku kepada Miguel. “Seorang gadis bernama Andin memberikanku nomormu. Awalnya kami tidak sengaja bertemu, tapi kemudian dia mengatakan kalau ia mengenalmu. Aku yang sudah bersusah payah untuk mencari nomormu ternyata dengan sangat mudah dia kasih kepadaku. Dia berkata kalau kau memiliki masalah juga barusan. Tapi dia tidak mengatakannya kepadaku, sih memangnya ada apa lagi Killa?” tanya Miguel khawatir kepadaku. Sudah kuduga kalau Andinlah orang yang menyebar nomorku kepada Miguel. Aku takut jika Andin memberikan nomorku kepada pria lain. Karena setelah Andin tahu kalau aku tidak pernah memiliki pacar seumur hidupku, dia begitu terobsesi untuk mencarikanku pasangan. Padahal aku tidak pernah menginginkan hal tersebut. Jika aku ingin mendapat seorang kekasih, aku akan dengan sangat mudah mendapatkannya. Namun buktinya aku tidak menginginkan itu. Bahkan waktu insiden bersama Kaila dan juga Ketua Hima, Beno juga menjadi sasaran perjodohanku oleh Andin. Dia benar-benar ingin agar kami menjadi seorang sepasang kekasih. “Lalu, apa yang kau inginkan kemari? Bukankah sudah kubilang kalau kita tidak memiliki hubungan apa-apa lagi?” jawabku dengan judes kepada Miguel. Melihat wajahnya yang sangat tampan, aku merasa sedikit bersalah harus berkata seperti itu kepada Miguel. Namun Miguel menjulurkan tangannya, aku mengira dia akan mengajakku bergandengan. Namun di dalam kepalan tangannya ada sebuah tiket berwarna hijau yang lalu ia buka. Ada dua tiket di sana. Aku langsung mengambil salah satu tiket itu karena penasaran. Ternyata, itu adalah tiket konser sebuah Band, bernama The Gist, band yang aku dan Andin dengarkan saat berada di dalam kamarnya. “Aku tahu kalau aku sudah tidak memiliki hubungan denganku. Namun kau juga berkata kalau aku bisa meraihnya kembali jika aku mengusahakannya. Dan tiket ini, adalah usahaku untuk kembali berbaikan denganmu.” Ucap miguel dengan nada serius. Aku tidak tahu kalau dia masih mengingat kata-kata yang aku ucapkan kepadanya saat berada di warung Mbok Liya. Aku menyesal pernah mengatakan itu karena dia pasti merasa memiliki kesempatan untuk kembali bersama denganku lagi. “Apa kau pikir satu buah tiket ini cukup sebagai bukti permintaan maafmu dan juga usahamu untuk berbaikan kembali denganku? Maaf Miguel karena aku tidak bisa menerima tiket ini.” Balasku sambil mencoba mengembalikan tiket yang Miguel berikan kepadaku. Namun Miguel menolak pengembalianku, dia mendorong tanganku dan berusaha agar aku menyimpannya. “Tidak Killa. Aku tidak ingin kau mengembalikan tiket ini. Anggap saja ini sebagai penawaran berjangka. Kau masih bisa memikirkan keputusanmu nanti, aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Karena aku tahu setelah semua kejadian yang kau alami akhir-akhir ini, kau pasti membutuhkan hiburan bukan? Baiklah, aku akan pergi terlebih dahulu sementara kau, pikirkan tiket itu dengan matang-matang. Oke?” Miguel langsung saja beranjak pergi meninggalkanku sendirian di Gazebo ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD