Chapter 27

2035 Words
Hari libur telah tiba, Aku memikirkan tawaran Miguel dengan sangat keras. Aku bingung harus membalas apa atas tawaran itu. Karena di sisi lain, Killa juga sangat ingin pergi ke konser itu. Namun jika bersama Miguel, aku takut jika benih-benih asmaranya dengan Miguel akan tumbuh kembali. Dan aku benar-benar tak ingin hal itu terjadi, apalagi dengan semua yang telah ia lalui, aku takut bila harus mengalami hubungan dengan orang lain dan gagal lagi. Sebenarnya aku tidak hanya memikirkan tentang Miguel, tapi juga tentang Beno. Selama dia diskors, aku belum menemui Beno sama sekali. Killa ingin sekali menemui Beno hanya untuk sekedar bertegur sapa atau semacamnya. Aku belum sempat berterima kasih kepada Beno. Karena Beno sudah berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Aku bingung harus berterima kasih dengan cara apa kepada Beno agar aku bisa membalas budinya. Dua pria ini menjadi pikiranku di saat senggang akhir-akhir ini. Bukan berarti aku bingung memilih siapa diantara mereka yang paling baik, hanya saja mereka berdua sungguh berarti dalam hidupku sampai-sampai aku tak tahu bagaimana caranya memilih dan tidak memikirkan hal tersebut terlalu dalam. Kedua orang ini adalah representasi masa lalu dan masa depanku. Aku bingung mana yang harus aku dahulukan atau aku kejar. Karena, aku berada dalam posisi dimana aku tak bisa memilih dengan seenaknya. Pasti ada risiko yang aku harus tanggung untuk dapat membuat semua pilihanku benar-benar berarti. Hingga akhirnya aku memiliki ide, yaitu untuk menghampiri Beno ke rumahnya dan berterima kasih kepadanya secara langsung. Aku tak ingin Beno datang lagi dalam hidupku dan menjadi pahlawan kesiangan dalam hidupku. Aku sudah tidak mampu melakukan apapun untuk membalas budinya. Dia sudah berjasa terlalu banyak dalam hidupku saat ini. Sementara untuk Miguel, aku akan membahasnya nanti. Aku perlu dengan sangat untuk menemui Beno saat ini. Tanpa dia, mungkin aku benar-benar akan hancur dan sisa jiwa di dalam tubuhku tidak akan tersisa hanya menjadi onggokan daging dan juga otak berkumpul menjadi satu tanpa mempunyai nyawa ataupun pikiran untuk bisa berpikir. Aku merasa kalau tanpa dia, Aku tidak akan bisa menjadi diriku yang sekarang lagi seperti biasa. Masalahnya, bagaimana aku mengetahui rumah Beno jika aku tidak pernah mengetahuinya? Aku sudah membuat pesan untuknya agar dia memberitahu alamat rumahnya. Namun sampai sekarang, dia tak kunjung membalas pesanku dan hanya malah mencuekkannya. Dia bahkan tidak membaca pesan yang ku kirim. Aku yang mudah merasa bersalah saat itu benar-benar pusing karena memikirkan apa yang terjadi dengan Beno. Apa mungkin dia sakit sekarang dan tak bisa membuka handphone? Atau apa mungkin dia memang menganggapku tidak ada saat ini. Dia benar-benar marah padaku karena aku membuatnya terkena skors tak boleh masuk ke dalam perkuliahan. Aku benar-benar putus asa mencari tahu bagaimana caranya agar bisa mengetahui alamt rumah Beno. Hingga akhirnya, aku tahu siapa yang bisa aku andalkan di masa-masa putus asa seperti ini. tidak lain tidak bukan dia adalah Andin. Aku meminta bantuan kepada Andin untuk mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa mengetahui alamat dari Beno. Aku sebenarnya agak sebal bila harus bercerita itu kepadanya, karena dia pasti akan menganggap kalau aku memiliki sesuatu yang harus ku sampaikan kepada Beno. Padahal kenyataannya aku hanya ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas segala apa yang terjadi dengannya. “Hmmm... agak sulit sih memang melihat alamat orang yang tidak kita kenal. Dan jika kita terlihat terlalu menggebu-gebu untuk mencarinya, bukankah kita akan terlihat dan dipandang seperti seorang penguntit?” ucap Andin membalas curhatanku. Itu juga mungkin alasan kenapa seseorang tidak bisa membagikan informasi pribadinya secara sembarangan, karena kemungkinan besar orang-orang yang tidak bertanggung jawab akan menyalahgunakan informasi itu demi kepentingannya sendiri. “Hmmm... benar juga, lalu apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengetahui alamat dari Beno tanpa terdengar seperti seorang penguntit?” tanyaku kebingungan kepada Andin. Namun Andin justru malah tertawa mendengarkan pertanyaanku. Andin sering sekali tertawa tanpa aku paham apa yang lucu dengan diriku. “Killa, meskipun kau berkata seperti itu. Justru kau malah terdengar seperti seorang Penguntit sungguhan. Aku mengapresiasi keteguhanmu untuk mencari cinta sejatimu.” Langsung saja, aku melayangkan kepalan tanganku ke arah Andin pelan. Dia pun kemudian mengeluh sakit berlebihan. Aku benar-benar kesal dengan ucapannya yang selalu menjodoh-jodohkanku dengan Beno, ataupun Miguel. “Kamu itu sebaiknya kasih saran. Jangan malah ngecengin mulu. Hadeuhh.” balasku kesal. Andin terus saja tertawa dan terdengar sangat puas menggodaku. “Bagaimana kalau kamu tanya ke temannya saja? Kalau nggak salah Beno itu anak teknik kan? Mungkin saja ada salah satu temennya yang tahu dimana rumah Beno berada.” Saran Andin cukup masuk akal. Pasti dari segelintir banyak anak teknik, salah satunya pasti kenal dan aku perlu bertanya kepada mereka. “Ya, perkataanmu memang benar. Namun dari sebanyak itu anak teknik. Bagaimana aku bisa tahu siapa diantara mereka yang merupakan teman Beno? Apalagi kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Aku benci bila berhadapan dengan mereka dan mencoba untuk menggodaku.” Ucapku tidak tenang. Aku sebenarnya biasa saja jika harus menjadi objek godaan para lelaki di jalan, namun aku tidak bisa menerima kalau Andin ikut menjadi korbannya. Andin adalah anak yang polos dan suci tak ternodai. Akan sangat berdosa sekali jika aku sampai membuatnya seperti itu. “Hmm... memang benar sih. Akan tampak sangat membingungkan jika kita menanyai mereka semua satu persatu,” balas Andin sambil memegang dagunya berpikir dengan matang-matang apa yang harus kami lakukan. Tapi tiba-tiba dia mempunyai ide di kepalanya yang aku tak tahu apa maksudnya. Dia berkata, “Apa kau tahu hobi Beno? Maksudku jika kau tahu hobi misal motor, sepakbola, atau musik, kita mungkin bisa bertanya kepada orang-orang yang memiliki atribut atau penampilan yang mirip seperti kegemarannya itu”. “Bukankah itu malah terdengar aneh. Maksudku seseorang bisa saja berpakaian dengan style yang sama tanpa harus saling kenal bukan? Seperti misalnya bisa saja mereka berpakaian karena suatu tren yang lagi naik daun. Bisa saja karena hal itu mereka semua memakai baju yang sama kan?” tanyaku mencoba mengelak dan membantah ide dari Andin. “Ya memang benar. Namun jika kita melakukan itu lebih baik daripada menanyai semua anak teknik di gedung teknik. Kita bisa mengeliminasi beberapa orang agar kita bertanya ke orang-orang secara spesifik. Apakah kau tidak mempelajari tentang sampel dan survei?” balas Andin lagi. Kali ini, aku cukup merasa masuk akal dengan ide yang dia katakan. “Benar juga. Baiklah, apa yang kau pikirkan dengan seseorang yang identik sebagai berandalan?” tanyaku kepada Andin barangkali dia memiliki ide lagi atau sesuatu yang muncul dari balik kepalanya. Memang tidak salah jika aku mencurahkan apa yang ada di isi hatiku kepada Andin. Serasa dia benar-benar tahu jawaban dan respon apa yang tepat untuk menjawabnya. “Bentar-bentar, biar kupikirkan terlebih dahulu,” ucapnya sambil melongo ke atas berlagak seperti berpikir, “Aku menemukan sesuatu. Diantaranya adalah jaket jeans, gelang, tindik, celana bolong-bolong dan juga rambut mohawk” Cukup ekstrim memang, tapi sepertinya kita bisa mencoba mencarinya dengan bertanya kepada anak-anak beratribut seperti itu. “Baiklah cepat siapkan mobilmu. Kita akan pergi ke gedung teknik sekarang”. *** Kami berdua berkeliling-keliling menggunakan mobil milik Andin mencari anak teknik yang kira-kira mempunyai ciri-ciri yang paling mendekati dengan kriteria kami. Tapi ternyata, ciri-ciri yang kami cari benar-benar sulit untuk ditemukan. Bagaikan mencari semut di dalam pasir, semakin kami masuk ke dalam, semakin kami terjerembab. Bagaimana tidak, semua anak teknik berpakaian yang sama dengan ciri-ciri yang kami inginkan. Entah karena tren apa, tapi tren menjadi seorang berandalan benar-benar membuat kami kewalahan untuk memilih salah satu anak untuk kami tanyai. Banyak sekali di antara mereka bertindik dan mencukur habis separuh rambut mereka di sisi kiri dan kanan menyisakan sedikit sekali rambut di tengah-tengah. Tak hanya itu, hampir semua mahasiswa baik cewek maupun cowok menggunakan celana robek di dengkul. Aku benar-benar merasa kalau aku tak punya harapan lagi untuk mencari alamat Beno. Namun Andin yang berada di sampingku terus saja mencoba untuk menyemangatiku agar tetap berusaha mencari anak yang kami inginkan. Masalahnya, bagaimana kami bisa tahu anak mana yang tepat untuk kami cari? Aku mengira anak teknik adalah anak-anak culun yang hanya memikirkan presisi dan ketelitian. Ternyata anggapanku salah, mereka adalah anak berandalan sama seperti Beno dengan penampilan mereka yang awur-awuran. Hingga akhirnya, Andin memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di area lahan parkir milik anak teknik. Sedikit sekali mobil terparkir di sana sehingga mobil milik Andin harus memakan lahan yang cukup luas. Andin sebenarnya rada sungkan karena harus parkir di area itu karena ia merasa akan mengganggu anak teknik yang akan parkir di tempat itu. Tapi karena tidak ada pilihan lain, Andin terpaksa dengan buta mata parkir mobil di tempat itu “Killa. Kenapa kamu bingung? Bukankah berarti kalau semua orang berpenampilan mirip seperti Beno. Mereka semua pasti mengenal Beno bukan?” ucapan Andin cukup masuk akal. Namun realita tidak berkata demikian. Karena setahuku, anak berandalan yang asli saat masuk kuliah tidak akan berpenampilan layaknya berandalan. Mereka sudah bosan berpenampilan seperti itu saat masih sekolah. Sehingga mereka mencoba untuk mencoba style yang baru dengan pakaian lebih rapi. Hal ini bisa dilihat dari contoh seorang Ketua Hima. Dari luar, dia memang nampak biasa saja seperti seorang mahasiswa teladan. Namun sebenarnya, aku yakin di adalah bos geng terkuat di kampus ini memegang banyak sekali anak buah dan juga sumber daya. Dia berpenampilan sopan hanya untuk mengelabuhi orang-orang dan juga untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang-orang yang berpenampilan seperti berandal di masa kuliah, mereka hanya melampiaskan apa yang tidak bisa mereka lakukan semasa sekolah. Kuliah yang memberikan kebebasan kepada para mahasiswa agar memakai apapun yang mereka mau asalkan sopan menjadi ekspresi mereka meluap-luap siap diledakkan setelah dikekang peraturan-peraturan aneh di sekolah mereka membelenggu. Jika aku ingat-ingat kembali, Beno tidak berpenampilan seperti seorang berandalan, ataupun terlalu rapi. Dia berpenampilan biasa saja seperti mahasiswa asal desa mencoba untuk tidak terpengaruh dalam dunia perkuliahan namun tetap bisa menjaga adat dan istiadat mereka. Dan dari yang kulihat sekarang, tak banyak anak teknik memakai pakaian seperti itu sekarang. Mereka benar-benar terlihat seperti akan manggung atau melihat sebuah konser band rock metal garis keras. Aku heran kenapa dosen mereka tidak melarang mereka memakai pakaian dan kostum seperti itu. Sampai-sampai, aku melihat seorang anak berkacamata dengan rambut gondrong berjalan membawa sebuah tas jinjing yang aku bisa lihat ada laptop di dalamnya. Dia berjalan menuju gedung teknik, aku langsung saja mencoba untuk menghampirinya. Namun Andin yang aku tinggalkan di belakang tiba-tiba kaget dan memanggilku karena pergi begitu saja tanpa memberitahunya, “Heh Killa. Mau kemana?!” “Hai namaku Killa, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu” salamku kepada bocah itu. Mukanya datar, namun aku bisa melihat kalau dia mengenalku. Aku tidak bertanya apakah dia mengenalku atau tidak karena itu bukanlah pertanyaan yang penting sekarang. “Apakah kau kenal dengan Beno?” tanyaku lagi. Dia pun menggerai rambut di depannya dan berusaha untuk merapikannya di hadapanku. Dilihat dari tampangnya, dia benar-benar terlihat seperti wanita, namun juga pria di saat yang bersamaan. Aku tak melihat tanda-tanda kalau dia adalah seorang berandalan sebelumnya. “Ya aku mengenalnya, ada urusan apa kau dengannya?” jawabnya. Dia terlihat mencurigaiku karena tiba-tiba bertanya tentang Beno. Aku sadar kalau tingkahku sedikit aneh karena tiba-tiba menghampirinya dan bertanya soal Beno. “Ah syukurlah... aku benar-benar kesulitan untuk mencari seseorang yang mengenalinya. Seberapa dekat kau dengan Beno?” tanyaku lagi sambil menghela nafas setelah berkali-kali berkeliling mencari orang yang tepat. Namun bila anak ini sekedar kenal dengan Beno, maka aku tidak akan menghasilkan apa-apa. “Cukup dekat, bahkan hampir semua anak teknik mengenal siapa Beno. Memangnya ada perlu apa kau dengan Beno?” jawabnya. Dia benar-benar mencurigaiku, dia pasti mengira kalau aku adalah salah satu orang yang dikirim untuk mencelakai Beno. Aku tidak bisa membiarkannya salah paham denganku menganggapku seperti itu. “Aku ingin bertemu dengannya dan meminta maaf. Karena aku, dia mengalami kesialan yang bertubi-tubi akhir-akhir ini. Walaupun aku tahu permintaan maaf tidak akan cukup untuk mengganti kerugian yang dia alami, aku hanya berpikir mungkin saja kita bisa bertemu dan membicarakan sesuatu di antara kami” jawabku. Namun bocah itu terlihat kaget dan juga syok setelah mendengar kata-kataku. Aku tak paham apa yang membuatnya sekaget itu. “Tunggu, apakah kau Killa yang itu?” ucap bocah itu. “Killa yang mana?” tanyaku tak paham apa yang dia maksud. Namun dia tiba-tiba menjulurkan tangannya mengajakku untuk saling berjabat tangan. Itu adalah sambutan yang hangat, pandangannya yang datar kepadaku berubah menjadi sedikit ceria. “Aku adalah Anton, teman Beno. Aku akan segera mengantarmu ke tempatnya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD