Chapter 14

2023 Words
Aku terbangun di kasur dengan menoleh ke samping, melihat segepok uang sudah ada di meja tidurku. Pelayanan yang aku lakukan kemarin malam tidak ada dalam perjanjian. Namun sebagai gantinya, aku mendapat kompensasi uang sebanyak 10 kali lipat dari biasanya. Mereka tidak memberitahuku soal itu dari awal, karena mereka mengatakan kalau aku melakukannya akan bisa merusak pengalaman orang-orang yang menyewaku. Sudah lama aku tidak melakukan itu, berbulan-bulan bahkan. Itu jugalah yang membuat hatiku selalu dag dig dug saat pergi bekerja. Aku tidak tahu kapan hal itu, akan terjadi kepadaku. Membiarkan secara pasrah pun juga tidak mungkin, aku masih seorang manusia waras dan memiliki hati. Pergi dari pekerjaan ini juga pun tak mungkin, aku masih membutuhkan uangnya agar tetap bertahan hidup. Semua pilihan yang aku lakukan di dalam hidupku seolah salah untuk dilakukan, aku hanya di sini mencoba untuk bertahan hidup sembari melakukan apa yang kubisa. Aku pun bangun dari tempat tidurku, mengecek berapa nominal uang yang ada di sana. Benar dan juga pas. Tidak ada yang dikurangi atau dilebihkan. Aku pun langsung pergi ke kamar mandi sembari melepaskan bajuku. Setiap aku selesai di pesan dengan jasa “itu”. Aku selalu diantarkan ke rumah oleh seseorang sesaat aku sudah tidak sadarkan diri. Aku sendirilah yang meminta mereka untuk melakukan hal itu, karena aku takut jika aku pulang sendirian dalam keadaan mengerikan, nyawaku akan berada dalam bahaya. Apalagi jalanan kota Sourbay saat malam memang mengerikan dan terkenal akan kejahatannya. Aku menyalakan shower kamar mandiku, namun aku lupa kalau aku belum memperbaiki shower ini agar bisa digunakan kembali. Aku tidak memiliki waktu ataupun uang untuk memperbaikinya. meskipun sudah lama rusak, aku selalu mencoba untuk memutar kerannya di pagi hari, siapa tahu kalau itu memang berguna dan bisa sendiri saat aku mandi. Tapi percuma saja, hari ini belum juga bisa baik dengan sendirinya. Sebelum bergegas untuk mandi. Aku nongkrong terlebih dahulu di wc, mencoba mengeluarkan dan membersihkan ampas-ampas semalam. Aku selalu menghabiskan waktu yang lama saat berada di toilet, karena aku selalu suka memikirkan apa saja yang terjadi selama hidupku. Mungkin alasan aku tidak begitu marah saat kejadian bersama ketua Hima dan juga Beno adalah itu, aku sudah terlalu sering mengalami aksi pelecehan sehingga tidak merasakan apa-apa di dalam diriku lagi. Aku merasa kalau aku adalah manusia yang sangat buruk, bahkan lebih buruk daripada para napi yang berada di penjara. Aku tidak bisa menjadi wanita tangguh sesungguhnya yang berjuang demi harga dirinya sendiri. Tubuhku dijual hanya untuk kepuasan sementara seperti macamnya sebuah komoditi. Tak sadar, keluar air dari mataku. Namun aku tak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis. Sambil mengusap pipiku, aku hanya mencoba untuk berpikir apa mungkin ini nasib yang sudah Tuhan takdirkan kepada diriku, atau aku sendiri yang sudah berdosa sejak awal. Itupun jika Tuhan memang ada. Dari kamarku, aku mendengar alarm smartphone berbunyi dengan keras. Aku memasang lagu di alarmku sama dengan sebuah lagu saat aku ditelepon. Itu membuatku tidak meremehkan alarm yang aku pasang sendiri. Karena penasaran alarm apa itu, aku pun langsung berlari keluar kamar mandi sambil telanjang memeriksa handphoneku. “Sial, aku akan telat untuk datang ke kampus!” Teriakku pada diri sendiri. Aku langsung saja bergegas kembali ke kamar mandi untuk menyelesaikan upacara pagiku. Aku sudah tidak memiliki waktu sekarang, ini adalah hari pertama kuliah. Sudah tidak ada waktu bagiku bersedih ataupun memikirkan hal-hal yang tidak penting. Dengan kecepatan super cepat seperti seorang bapak-bapak di pagi hari, aku hanya berusaha mengangkat gayungku dan mengusap tubuhku dengan sabun. Aku melakukannya dengan sangat cepat. Mungkin jika ada rekor muri lomba kecepatan mandi, akulah pemenangnya. Aku berjalan menuju ke lemari, membuka pintu dan memilih baju mana yang akan aku pakai. Aku memiliki cukup banyak baju, namun semuanya memiliki ragam dan suasana yang berbeda-beda sehingga aku kebingungan harus memilih yang mana. Hingga akhirnya aku memilih pakaian yang tebal sambil ditutup oleh jakit hoodie, kontras sekali dengan pakaian yang aku pakai dikala ospek terkesan seksi saat dipandang oleh orang lain. Aku ingin mengubah imejku saat ini di dalam kampus meskipun aku tidak tahu hal itu akan benar-benar-benar bekerja atau tidak. Aku juga tidak memikirkannya terlalu dalam. Setelah aku berhasil memakai bajuku, aku melihat jam di dinding kamarku. Aku melihat kalau jam masuk akan dimulai 5 menit lagi, aku tidak tahu apa aku bisa sampai tepat waktu karena aku akan berlari menuju ke kampus dari rumah. Aku pun memasang sepatu dan juga kaos kakiku. Aku pun akhirnya berlari menuju ke kampus dengan cepat. *** Aku berada di depan gerbang kampus sekarang, aku melihat jam tanganku dan sadar kalau aku benar-benar tepat 5 menit. Aku melihat satpam yang akan menutup gerbang, padahal setahuku saat berada di kampus orang-orang bisa datang dan juga pergi sesuka mereka tanpa adanya batasan seseorang itu merupakan mahasiswa ataupun bukan. Aku tidak tahu kalau kampus in menerapkan peraturan seperti itu sebelumnya. Aku pun datang menghampiri satpam tersebut, mencegahnya agar tidak buru-buru menutup gerbang. “Maaf pak, saya mau masuk” ucapku sambil menghela nafas panjang tergesa-gesa. Melihatku kecapekan dan tak tega, dia pun membiarkanku masuk ke dalam kampus. Namun dia kemudian memanggilku saat aku hendak masuk menuju ke dalam ruang kelas, “Loh Mbak, mau kemana?” “Saya mau ke kelas pak. Saya sudah telat ini!” jawabku dan buru-buru membalik badan agar tidak terlambat. Tapi pak satpam itu memanggilku kembali dan berkata, “Kelas apa mbak? Mbak sudah telat, silahkan berbaris di sana sama yang lain ya” ujarnya menunjuk ke lapangan. Aku melihat di sana banyak sekali mahasiswa yang tidak aku kenal berdiri sambil berada di bawah terik matahari. Mereka menunduk diam seperti menerima hukuman. Di depan mereka ada seorang bapak-bapak berukuran tambun seperti mencoba memarahi mereka. Dia memakai atribut olahraga seperti peluit, sepatu futsal, dan juga rompi kuning. Aku sempat berpikir kalau dia adalah tukang parkir, tapi sepertinya tidak. Aku melihat kembali ke jam tanganku. Kelas pagi seharusnya dimulai di jam 07.30, tapi entah kenapa semua mahasiswa itu berdiri di sana seperti di hukum. Seharusnya aku datang tepat waktu. Karena merasa aku tidak salah, aku pun langsung saja bergegas masuk ke dalam gedung dan duduk di ruang kelas. Tapi saat aku mencobanya, ada seorang wanita paruh baya yang melarangku untuk masuk dan menyuruhku untuk berbaris bersama yang lain, “Ngapain kamu di sini? Cepat baris ke sana!” dari penampilannya, dia terlihat seperti ibu-ibu pejabat dengan makeup tebal dan juga pernak-pernik berkilau menempel di bajunya. Firasatku mengatakan kalau dia mungkin adalah seorang dosen di tempat ini. Mencoba untuk mematuhinya, aku pun berjalan menuju lapangan untuk berbaris bersama lainnya. Dari depan gerbang, aku hanya melihat barisan anak laki-laki saja, namun ternyata di belakang juga ada barisan perempuan, bahkan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Aku tidak tahu apa mungkin para mahasiswa ini memang hobi terlambat, atau mereka memang suka untuk melanggar aturan. Aku pun berdiri di antara mereka, matahari terik benar-benar menyinariku sehingga aku harus menutup kepalaku dengan tanganku sendiri. Aku melihat sekeliling kanan kiriku, ekspresi mereka benar-benar tampak muram dan sedang sedih. Aku pun mencoba untuk bertanya kepada mereka apa yang sedang terjadi. “Eh, permisi mbak. Kita di sini ngapain ya?” dia menoleh ke arahku, memasang muka heran dan bingung. Mungkin aku satu-satunya orang di lapangan ini yang tak tahu kenapa aku berada di sini. Dia pun menaruh tangannya di kepalaku dan menundukkannya ke bawah, seakan-akan mencegahku untuk berbicara tatap muka dengannya. “Dengar, kebanyakan dari kita adalah mahasiswa baru. Dan kampus ini cukup bre****k. Di pengumuman ditulis kalau jadwal masuk adalah 07.30, namun itu bukanlah jadwal masuk yang sebenarnya. Sebelum masuk ke dalam kelas, ada sebuah tradisi di kampus ini dimana mengharuskan para mahasiswa untuk melakukan upacara. Itu dilakukan setiap hari senin dan di jam 06.30. Dan kita sudah terlambat satu jam, upacara sudah berakhir. Kita sekarang dihukum karena tidak melakukan upcara itu!” jelas gadis itu. Aku pun melihat ke sekeliling lagi. Dan memang benar kalau kebanyakan orang di sini adalah mahasiswa baru. Aku bisa membedakan mana mahasiswa lama dan baru terlihat dari mukanya. Meskipun mereka menutupinya dengan memakai pakaian yang lebih terlihat dewasa, tapi mereka tidak bisa menutupi keraguan dan gerakan kikuk saat mereka mencoba melakukan sesuatu. “KALIAN TAHU ALASAN KALIAN BERADA DI TEMPAT INI!” Ucap seseorang bapak-bapak tadi dengan menggunakan toa sehingga berbunyi sangat nyaring. Dan juga beberapa kali toa itu mengalami gangguan sehingga mengeluarkan suara ultrasonik mengganggu pendengaran kami. Aku hanya bisa menutup kupingku agar tidak merasakan sakit yang terlalu menusuk saat mendengarnya. Suaranya benar-benar menggetarkan gendang telingaku. Saat bapak-bapak itu bertanya, tidak ada dari barisan kami yang mencoba menjawab. Kami hanya diam. Dia kemudian bertanya lagi, “Dimana mulut kalian, apakah kalian tiba-tiba menjadi bisu?” tak lama kemudian ada seseorang yang mengangkat tangannya. Dia adalah seorang pemuda berkacamata, terlihat seperti seseorang yang pintar. “Kami nggak tahu pak. Kenapa kami berada di lapangan ini” Bapak-bapak itu kemudian menaruh toanya ke bawah. Dia berjalan menuju pemuda itu dan melepaskan topinya. “Sekarang, kamu cepat lari 5 kali di lapangan ini. Tanpa istirahat” dia tiba-tiba memberikan perintah kepada anak itu. Tapi anak itu mencoba untuk protes karena tak puas dengan perintah bapak-bapak tadi, “Tunggu sebentar pak. Maaf sebelumnya, tapi salah saya apa ya sampai di suruh lari?” “Hoo... sudah salah kamu berani protes ya. Hukuman kamu saya tambah. Cepat lari 10 kali!” benar-benar bengis. Aku merasa seperti berada di dalam kamp militer. Dengan tergesa-gesa, bocah itu kemudian mulai berlari mengelilingi lapangan. Dari postur tubuhnya, aku bisa sadar kalau dia adalah seseorang yang jarang melakukan olahraga. Berlari sampai 10 kali mungkin saja akan membuatnya benar-benar kelelahan “Wihh gila. Jangan main-main sudah boss kalau begini” “Iya ngeri banget. Sudah kayak di pelatihan tentara jalur gaza saja kita” semua orang yang berada di dalam barisan itu bergumam. Lapangan yang awalnya tenang berubah menjadi seperti pasar malam dengan segala keramaian yang membanjirinya. Tapi aku tidak ikut untuk mengobrol, aku hanya mencoba diam sambil mengamati apa yang terjadi. Kemudian tak lama satu persatu, banyak sekali pemuda-pemudi datang dengan pakaian olahraga mirip dengan kostum yang dikenakan bapak-bapak tadi. Jujur saja, jika aku bertemu dengan mereka di jalan, aku pasti akan mengira mereka sebagai tukang parkir. Mereka datang menghampiri kami, dan menanyakan sesuatu. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena jaraknya terlalu jauh. Tak lama kemudian salah satu dari orang berkostum olahraga itu datang ke barisan di depanku. Ternyata dia menanyakan perihal alasan mengapa aku terlambat. Salah satu cewe dengan rambut bondol di tanya namanya, dia bernama Sany. Orang-orang berkostum itu bertanya apa alasan Sany terlambat, dan Sany menjawab kalau dia sedang sibuk menulis sebuah makalah untuk website online yang dia punya. Pemuda berkostum itu kemudian membiarkan Sany kembali ke dalam kelas. Sementara itu cewe di sampingnya bernama jean, di tanya apa alasannya terlambat. Dia menjawab kalau dia terlalu lama menunggu antrian bubur ayam untuk sarapan. Sebagai bukti, dia memperlihatkan bungkus bubur ayam yang dia bawa di tangannya. Namun entah kenapa pemuda berkostum itu malah menyuruh Jean lari sambil membawa bubur ayamnya. Tidak ada indikator khusus apa yang membuat para orang-orang ini terkena hukuman untuk berlari. Aku juga melihat sebagian di barisan pria hanya dihukum untuk disuruh push up selama beberapa kali, hukuman yang terhitung cukup mudah bagiku karena aku bisa melakukannya dalam waktu yang lama. Tak lama kemudian, salah satu pria berkostum olahraga itu datang kepadaku. Dia menanyakan apa alasan aku terlambat. Aku tidak mungkin menjawab dengan jujur alasanku kemari karena “Pekerjaan” yang aku lakukan semalam. Bisa berubah menjadi sebuah bencana ataupun kasus lain lagi. Aku pun mencoba menjawab sekenanya dengan segala pikiran yang berada di otakku. “Maaf pak” jawabku dengan sopan meskipun aku sadar kalau dia mungkin masih sepantaran umurnya denganku. “Saya kemarin menonton drama korea sampai malam. Dan di pagi hari saya ketiduran tidak melihat jam. Saya pun akhirnya berusaha memaksakan diri dan berlari menuju kampus dengan kondisi masih mengantuk. Karena saya tahu saya telat, saya berlari dari rumah menuju kampus. Kalau Anda tidak percaya, lihat sepatu yang saya kenakan sekarang” Aku memperlihatkannya sepatu sneakers lari yang aku kenakan. Dia tidak terlihat senang ataupun marah akan hal itu. Aku berpikir kalau aku mungkin akan selamat dalam hukuman ini. Tapi dengan lantang dan sangat keras di depan mukaku, dia malah menyuruhku untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak 5 kali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD