“Kita mau kemana?” tanyaku kepada Beno. Dia membawaku ke jalan yang tidak pernah aku lewati sebelumnya. Itu membuatku cukup takut saat berada di dekat Beno. Aku tidak tahu kemana dia akan membawaku pergi. Di sekeliling kami ada banyak sekali tempat cukur rambut, aku tak tahu mengapa semua toko itu berkumpul di tempat yang sama. Bukannya itu malah memperketat persaingan mereka?
Tak hanya itu, banyak sekali juga orang-orang berlalu lalang menggunakan kendaraan butut dan berasal dari masa yang kuno. Aku merasa kalau aku sedang berjalan di mesin waktu dan pergi ke masa lampau. Kendaraan kuno dengan kebisiningan bahan bakar dan juga onderdil mereka membuat tempat ini mengalami polusi suara. Sebenarnya tidak hanya suara mesin, namun banyak sekali orang-orang mengobrol sambil berteriak di antara semuanya membuat keadaan menjadi semakin runyam. Aku benar-benar ingini untuk menutup telingaku mendengar itu semua.
Tidak hanya suara, polusi udara yang disebabkan oleh asap knalpot juga membuat pandanganku yang semula buruk menjadi tambah kacau setelah berada di tempat ini. Padahal cuaca sedang sangat terik memanggangku tapi suasana di sini benar-benar mirip pegunungan berkabut. Hanya lampu lalu lintas dan juga kendaraan lain yang bisa membuatku melihat menembus jalan. Aku tak tahu bagaimana Beno masih bisa melihat keadaan jalanan dengan kondisi seperti ini. Aku mengira kalau Beno adalah salah satu orang yang dikaruniai dengan penglihatan tajam sehingga tidak takut berada dalam situasi seperti itu.
Setelah melewati jalanan penuh sesak itu, Beno membawaku berbelok menuju gang sempit di salah satu kampung. Ada gapura yang tertulis di atas gang yang aku lewati itu, namun aku belum sempat membacanya karena terhalang oleh kabut-kabut j*****m. Bukannya tambah sepi, malah saat berada di gang tersebut suasana menjadi semakin ramai. Seharusnya gang sempit itu hanya bisa dilalui satu kendaraan, tapi aku melihat banyak sekali orang berlalu lalang sampai-sampai harus menuntun motor mereka sendiri agar bisa lewat dengan mudah.
Mungkin jalanan ini adalah salah satu jalanan yang paling cepat untuk dilewati meskipun sulit untuk di tempuh. Aku bisa mengiranya dengan melihat banyak sekali bapak-bapak dengan pakaian rapi lengkap dengan tas jinjing yang ia taruh di depan motor lewat melalui kami. Tidak hanya itu, ada juga anak-anak SMA dengan motor yang berisik dan pakaian tak bermoral sangat petentang-petenteng menggeber motornya. Beno menoleh saat dia melihat bocah itu, seakan-akan ingin marah. Namun ia membatalkan niatnya karena melihat jalanan yang lebih lega sudah sampai di depan.
Jalanan ini adalah jalanan utama dimana 4 jalur sudah ada. Mobil-mobil mewah maupun keluarga juga berlalu lalang di sana. Sepertinya pandanganku kalau jalur ini adalah jalur tembusan memang tepat. Tapi saat Beno melaju ke jalan besar itu, motornya malahan berjalan dengan pelan-pelan. Dan berbelok ke arah kiri berhenti di sebuah warung tegal.
“Nah kita sudah sampai” sahut Beno sambil mematikan motornya dan juga melepas helmnya. Aku yang kesusahan untuk melepas helm saat itu kembali Beno bantu. Aku pun turun dari motornya dan menaruh helm yang aku pakai di spion.
“Kita dimana ini?” ucapku dalam hati. Di depan gedung itu, memang benar tertulis warung. Namun lahan parkirnya sangat luas sama seperti lahan parkir di gedung fakultas milikku. Banyak sekali motor dan mobil terparkir di sana dengan di dampingi Sang Juru Parkir duduk bersiaga di sampingnya. Ia melihat-lihat dan membantu orang yang ingin mengeluarkan motornya. Aku merasa ini adalah tempat yang mewah, dan aku mungkin tidak akan mampu untuk membeli di tempat ini.
“Ini warung tegal langgananku. Yuk kita masuk dulu” Beno langsung saja menarik tanganku dan menyeret untuk masuk ke dalam gedung. Aku tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti kemana ia pergi.
Dari depan aku sudah bisa mencium bau gorengan dan juga makanan-makanan tegal yang aku biasa makan sehari-hari. Aku bisa melihat mbak-mbak dengan umur paruh baya sibuk memasakan sambil memakai celemek di badannya. Sedangkan wanita berusia lebih muda melayani para pelanggan dengan mencatat menu yang mereka katakan. Kami pun masuk dan melihat keadaan gedung itu dari dalam.
Benar-benar luar biasa. Aku tak mengira kalau gedung ini sangat luas, bahkan mungkin lebih luas daripada kantin di kampusku. Ternyata, warung tegal yang ada di depan tadi hanyalah salah satu gerai dari berbagai macam gerai di tempat ini. itu mungkin juga menjelaskan kenapa tempat ini memiliki lahan parkir yang luas, tidak mungkin warung tegal itu melayani hampir semua orang berada di dalam gedung ini sendirian. Mereka pasti memiliki pesaing atau partner lain yang menjajakkan makanan juga.
Tapi Beno langsung mengajakku ke gerai warung tegal yang ada di depan tadi. Sang pelayan itu tersenyum manis ke hadapan Beno, namun aku tidak mengerti apa yang dia anggap lucu.
“Ih pacar barunya ya mas. Selamat ya” sahut mbak-mbak itu sambil tersenyum.
“Ah bukan kok mbak. Saya Cuma temennya saja” jawabku mencoba untuk membenarkan informasi yang salah itu. mbak-mbak tadi kembali melirik ke arah Beno. Dia terlihat tersipu malu sambil menggaruk-garuk kepalanya padahal aku tahu tidak ada yang gatal di sana. Mbak-mbak itu kembali tersenyum sambil menutup mulutnya walaupun aku masih bisa melihatnya. Dia pun memberi kami menu makanan untuk di pesan. Menu itu ada di sebuah kertas terlaminating namun sudah banyak bagiannya yang terkikis robek.
Aku melihatnya dengan sebentar, dan ternyata benar-benar luar biasa. Harganya sangat murah, bahkan lebih murah dari warung tegal yang biasa aku makan. Aku menengok ke arah Beno, bergumam di kupingnya memastikan akan sesuatu. “Ini benar harga aslinya begini? Mereka nggak akan pakai bahan aneh-aneh kan. Aku takutnya saat kita makan nanti di grebek satpol pp!”
Di TV, banyak sekali berita soal pedagang nakal mencampurkan bahan-bahan aneh ke dalam makanannya hanya semata-mata untuk membuatnya mengembang atau mencampurinya agar menjadi lebih murah. Seketika Beno langsung tertawa mendengar ke khawatiranku yang mungkin terdengar lucu di matanya.
“Ya ampun Kil. Kamu kebanyakan nonton berita apaan sih? Sudah tenang saja. Aku sudah makan di tempat ini sejak zaman bocah. Kalau memang mereka campurin makanan pakai boraks, apa aku terlihat seperti orang yang sakit-sakitan?” Balas Beno dengan lantang dengan diakhiri sebuah tawa. Aku malu jika ia berkata seperti itu dengan sangat keras karena takut menyinggung hati pelayan warung itu. Tapi ternyata pelayan itu malah ikut tertawa karena ucapan Beno
“Iya mbak. Kenalin, nama saya Mawar, awalnya sih coba-coba, lama-lama ketagihan euy” mbak-mbak itu mengulurkan tangannya kepadaku sambil meninggikan suaranya. Benar-benar mirip seperti penjual makanan ilegal di tv. Aku sempat benar-benar takut karena mungkin saja orang yang ada di tv itu adalah dia. Aku tiba-tiba terdiam seperti melihat seorang artis di TV!
“Hahahaha... ya ampun mbak. Santai saja, kami memang murah, tapi bahan kami aman kok. Dan dijamin halal. Sudah nggak usah dipikirin” balas mbak-mbak itu lagi. Hatiku lega karena mbak-mbak itu tidak menganggap apa yang sudah kukatakan sebagai singgungan. Andai saja semua orang berada di dunia ini bersikap seperti mbak-mbak itu, mungkin dunia ini akan berubah baik-baik saja.
“Saya pesan pecel, gorengan tempe, sama es teh satu ya mbak. Sambelnya yang banyak jangan lupa!” jawab Beno menunjuk-nunjuk kertas laminating itu seperti layaknya sebuah tablet pintar.
“Saya juga deh mbak sama kayak dia. Tapi nggak pedes” lanjutku sambil ikut memencet-mencet kertas itu. Siapa tahu itu mungkin aturan main disini, aku hanya ikut alurnya saja.
“Oke mbak mas, silahkan duduk dulu ya. Nanti saya antarkan makanannya di meja oke” balas mbak-mbak pelayan itu sambil mengambil menunya kembali. Kami pun berjalan menuju salah satu meja yang kosong berada di ujung tembok. Tempat ini benar-benar ramai bahkan mencari meja dengan kursi kosong saja kesusahan.
Saat aku berjalan menuju meja itu, aku sadar kalau banyak sekali mahasiswa yang berasal dari kampusku juga makan di sini. Mereka kebanyakan adalah mahasiswa baru dan mahasiswa satu tingkat di atasku, dan kebanyakan dari mereka memang makan sambil mengerjakan tugas atau sekedar mengobrol saja. Waktu kuliah memang seharusnya dimanfaatkan untuk mencari channel dan juga teman sebanyak-banyaknya. Karena itu akan sangat berguna di kemudian hari.
Aku pun akhirnya duduk di meja saling berhadap-hadapan dengan Beno. Ada sebuah tisu roll dan juga rak sendok garpu di depanku. Kami berdiam diri sebentar saat itu, tak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku mengambil sendok dan garpu di sana sebagai mainan.
“Kamu kek anak kecil saja mainan sendok sama garpu” Sahut Beno tersenyum gemas melihat tingkahku. Namun aku tidak memperdulikannya, aku terus saja bermain dengan mendentingkan sendok dan garpuku berkali-kali sampai berbunyi.
“Ini mbak, mas. Minumannya. Makanannya entar dulu ya menyusul.” Mbak-mbak pelayan itu datang memberikan kami dua buah es teh manis segar. Karena sudah merasa haus, aku pun meminumnya melalui sedotan di gelas itu.
Tapi mbak-mbak pelayan itu tak kunjung pergi, dia malah melihatku dengan senyuman, seperti ada sesuatu yang aneh. Dia menyahut, “Loh mbak, mas. Kalian kok diem-dieman sih? Lagi pada berantem ya?” aku langsung tersedak sampai tak bisa bernafas saat mendengar itu. Mulutku yang penuh dengan air langsung saja kusemburkan ke arah Beno yang ada di depanku, membasahinya dari muka sampai ke dagu.
“Waduh... beneran berantem ini. Yaudah deh saya tinggal dulu ya mas,mbak” dia kemudian mengibrit pergi sambil membawa talenan. Sedangkan Beno yang basah kuyup terlihat sangat ikhlas dan sabar saat aku menyemburnya. Karena aku merasa tak enak, aku pun mengambil beberapa helai tisu roll di depanku untuk menyeka wajah dan juga dagu Beno. Aku melakukannya secara tak sadar.
Secara tidak langsung, aku menyentuh dagu tegas Beno. Terlihat sangat kuat dan berwibawa. Aku juga menyeka mulutnya yang kebasahan, aku tidak memikirkan itu sebelumnya, namun yang aku lakukan sekarang benar-benar personal. Setelah itu, aku pun membersihkan lehernya, dan jakunnya yang sangat besar benar-benar terasa keren. Kami saling bertatap-tatapan muka saat itu. Dan di saat itu aku sadar kalau Beno benar-benar tampan. Mantannya yang terdahulu memang sangat benar-benar beruntung bisa mendapatkan Beno dengan segala kemolekannya.
Tapi saat aku mengelap jakunnya dan kami bertatap-tatapan, Beno langsung memegang tanganku dan membuang tanganku dari lehernya. “Maaf” sahutku refleks. Mungkin keadaan seperti sekarang ini benar-benar tidak membuat Beno merasa nyaman, aku pun menyadarinya. Jika aku berada di posisi yang sama dengan Beno, aku mungkin akan langsung membanting orang itu di depan.
Kami saling diam lagi. Aku pun sampai harus memalingkan mukaku menghadap ke arah lain agar tidak menatap matanya lagi. Tapi aku tiba-tiba ingat akan suatu topik, suatu hal yang masih membekas di pikiranku dan benar-benar ingin aku tahu apa jawabannya.
“Beno. Aku ingin bertanya” tanyaku dengan sopan. Aku tak ingin langsung menembak pertanyaan itu di depan mukanya, namun dengan sedikit ancang-ancang dahulu agar ia sadar aku akan menanyakan sesuatu yang penting. Aku menatap matanya dengan serius dan tak tersenyum sedikitpun, walaupun aku sadar kalau ia benar-benar tampan di mataku.
“Iya kenapa Kill?” jawab Beno sambil menyedot sedotan es teh di gelasnya. Dia tidak menganggap aku bertanya serius kali ini.
“Kenapa waktu itu, saat kami dikepung. Kau dan gerombolanmu menyelamatkan kami? Apa tujuanmu?” tanyaku dengan serius kali ini. Aku tidak peduli dia menganggap ini sebagai pertanyaan bodoh atau tidak. Aku hanya ingin tahu jawabannya
“Hemm... kenapa ya? Jadi gini. Apa ada alasan untuk seseorang untuk menyelamatkan orang lain yang berada di dalam bahaya? Jika kau memang tipe orang yang menyelamatkan seseorang hanya untuk menginginkan sesuatu. Maaf, aku bukan orang seperti itu” jawabnya dengan nada sok keren. Walau memang kuakui dia memang terlihat keren.
“Ohh.. apa kalian adalah segerombolan superhero sekarang? Kami tidak pernah diselamatkan oleh siapapun saat itu, namun entah kenapa kau tiba-tiba muncul di hari itu. Benar-benar seperti datang di waktu dan tempat yang tepat” balasku tak percaya dengan omongan penuh kekosongan yang dia ucapkan.
“Ya... mungkin saja kebetulan. Aku dan gerombolanku di sana melihat geng kalian terlihat benar-benar susah payah. Dan aku berinisiatif untuk menyelamatkan kalian. Itu saja, tidak ada sesuatu yang spesial waktu itu. Benar-benar hari keberuntunganmu” jawabnya lagi. Aku sadar kalau dia seakan-akan menutupi sesuatu yang lebih besar di dalamnya.
“Hahh... ucapanmu benar-benar tidak bisa aku pegang. Lalu minggu kemarin. Kenapa kau bisa tahu kalau aku berada di dalam dekapan Ketua Hima. Apakah kau memang menganggap itu hanya sebuah kebetulan juga?” tanyaku dengan sedikit mengancam. Dia mungkin tahu akan sesuatu yang aku tidak pernah tahu.
Namun Beno hanya diam, tak menjawab apa-apa. Karena merasa muak, aku langsung berdiri dari bangkuku. Mencoba untuk tidak ingin berurusan dengannya lagi. Namun saat aku berjalan dan hendak menuju keluar, Beno memegang tanganku seakan-akan mencegahku untuk pergi lebih jauh. “Kill... dengar. Aku tahu sesuatu tentang Namira”