Chapter 16

2051 Words
Aku tidak sadar saat aku melakukannya, tiba-tiba tanganku sudah penuh dengan tinta. Aku langsung membersihkan tanganku dengan tisu yang kubawa di dalam tas. Tapi aku berpikir, aku ingin sekali mengelap tanganku ke kepala ketua hima itu. Mengotorinya sampai rupanya tak berbentuk seperti manusia lagi. Tinta yang berada di tanganku ini juga menjadi tanda kalau aku masih menaruh dendam kepadanya, dan suatu hari nanti aku akan membalasnya. Saat aku menoleh ke belakang, aku tak bisa paham kenapa Andin begitu terobsesinya kepada Sang Ketua Hima. Meskipun dia sudah ku anggap sebagai teman, bahkan mungkin sahabat, aku tidak berhak mengatur-ngatur apa yang dia suka atau tidak boleh sukai. Aku tidak berhak mengatur-ngatur hidupnya. Mungkin Andin juga merupakan orang yang sudah termakan propaganda dan juga karisma Sang Ketua Hima, sama seperti mahasiswa lainnya. Jika saja mereka mengerti apa yang aku rasakan saat itu, mungkin mereka akan ingin memukulnya dengan keras sama seperti yang aku rasakan sekarang. Sang Ketua Hima berdiri di sana dengan tatapan sok kegantengan dan juga memandang kami dengan rendah. Senyum di wajahnya sangat pelit sekali ia berikan kepada kami, seakan-akan itu hanya bisa ia berikan kepada orang-orang yang hanya ia ingin beri. Mungkin dia menganggap memasang ekspresi seperti itu akan membuatnya terlihat lebih ganteng atau berwibawa. Padahal menurutku, dia malah terlihat seperti mandor yang mencoba untuk memandang rendah para bawahannya. Mereka pun selesai memperkenalkan diri mereka masing-masing. Aku tak mendengar dengan jelas siapa nama mereka meskipun diucapkan dengan sangat lantang. Bukan tidak mendengar, mungkin lebih tepatnya tidak ingin tahu dan mengingat nama-nama mereka. Aku hanya ingin mereka menempel di otakku dengan nama kroco dan kecoak-kecoak tengik yang mengikuti pemimpin bodoh mereka kemanapun ia pergi. Mereka benar-benar terbutakan oleh kekuasaan dan juga kewibawaan sampai-sampai menjual jiwa mereka sendiri kepada manusia tak bermoral itu. Saat mereka berjalan menuju ke meja, mereka memandangiku. Dan rupanya mereka sadar aku sekelas dengan mereka. Sang Ketua Hima, memandangiku dengan tersemyum sinis. Sedangkan aku berusaha untuk menutupi pandanganku darinya. Aku sadar kalau aku seharusnya tidak melakukan itu, karena aku akan dipandang rendah oleh kelompok mereka. Tapi aku benar-benar tidak mood untuk melakukan konfrontasi, mungkin sekarang aku memang harus mengalah dan membiarkan mereka mengintimidasiku dengan mudah. Termenung dalam diam, aku sadar kalau aku akan sekelas dengannya selama satu semester lamanya. Aku berpikir apakah aku mungkin bisa bertahan selama itu untuk bisa fokus dalam belajar di tempat ini? atau apa mungkin aku harus meminta dosen atau administrasi agar bisa berpindah kelas dari sini. Namun sebagai gantinya aku tidak akan bisa sekelas lagi dengan Andin. Dan juga, aku harus mengatakan alasan mengapa aku ingin berpindah kelas. Aku tidak bisa dengan mudahnya mengatakan kalau aku tidak nyaman, alasan seperti itu tidak akan diterima dengan mudah oleh siapapun. Setelah semuanya memperkenalkan diri, pelajaran pun dimulai dengan normal. Dosen itu akhirnya berdiri dari kursinya dan mencoba untuk menerangkan kami materi yang akan ia terangkan kepada kami. Materi tentang ekonomi yang sebenarnya aku sangat paham dan tidak pernah mendapat nilai buruk. Tapi kenapa, selama jam pelajaran mata kuliah berlangsung, aku tidak bisa fokus memahami kata-kata yang keluar dari guru itu. Seakan-akan hanya masuk ke dalam kuping kanan dan keluar dari kuping kiri. Andin menepuk punggungku, “Kill. kamu kenapa” sahutnya sepertinya dia sadar kalau aku sedang bertingkah cukup aneh kali ini. Aku pun berbalik, “Nggak apa-apa kok Din” balasku sambil tersenyum. Untuk saat ini, aku tidak ingin Andin mengetahui masalah yang aku hadapi. Aku hanya ingin agar dia menjalani hidupnya dengan tenang tanpa terseret masalah yang sedang aku hadapi sekarang. Aku kembali menulis di catatanku. Aku mencatat semua hal yang penting dan juga kata-kata yang diucapkan oleh dosen di depan kelas. Aku tak tahu mana hal yang penting dan mana yang tidak, hanya saja aku merasa semua yang berhubungan dengan bisnis dan memiliki istilah aneh pastilah sesuatu yang penting. Tapi karena sepanjang waktu dia terus mengucapkan istilah aneh, alhasil aku menulis semua yang dia ucapkan kepada kami. Sampai-sampai aku harus menulis sepanjang 3 halaman buku. Tak terasa, ternyata kuliah sudah selesai. Dosen tersebut mengucapkan salam selamat tinggal dan pergi dari ruang kelas. Aku tidak menyangka kalau kelas akan selesai secepat ini. Namun saat aku mengecek jam di tangan kiriku, ternyata memang kelas sudah saatnya untuk selesai. Aku merasa baru saja menulis catatan-catatan ini di buku tapi tiba-tiba semuanya telah berhenti. Aku merasa seperti berada di mesin waktu yang bisa mempercepat segalanya di sekitarku. Semua orang berdiri dari kursinya, mereka langsung bubar dan pergi dari kelas. Termasuk Sang Ketua Hima dan komplotannya, dia berjalan melewatiku namun kali ini tidak melirikku sama sekali. Seakan-akan aku tidak ada di sana. Jujur aku sangat bersyukur dia telah melakukan itu padaku. Ada waktunya untuk kami berkonfrontasi lagi. Aku masih duduk di sana, menunggu semua orang untuk pergi dan meninggalkanku sendirian di kelas. “Killa, kenapa masih ada di sini?” Sahut Andin keheranan. Dia sudah berkemas dengan menenteng tasnya di samping. Sedangkan aku masih berantakan dengan catatanku yang tergeletak di atas meja. “Eh sudah bubar ya. Iya deh Din. Ayo pergi” balasku kepadanya sambil merapikan catatan yang ada di meja. Kami pun keluar bersama-sama. Di dalam lorong gedung, terlihat banyak sekali mahasiswa yang mengobrol dan juga bercanda dengan sesamanya. Aku senang melihat suasana seperti itu, mengingatkanku akan masa-masa berandalan yang mungkin memang kejam tapi kami selalu berada di dalam nuansa kekeluargaan. Aku hanya berjalan mengikuti Andin dari samping, tanpa tahu kemana kami akan pergi. “Hmm.. Bisnis CSR perusahaan itu ternyata baik juga yah. Aku nggak tahu kalau ada hal semacam itu. =Tapi menurutmu hal kayak begitu penting gak sih Kill?” tanya Andin soal pelajaran kepadaku. Aku tidak mengerti apa maksud yang baru saja dia ucapkan, karena walaupun mencatatnya sejak tadi. Tidak ada pelajaran yang benar-benar tercatat di dalam otakku, seakan-akan semuanya hangus bersama dengan angin dibawa kabur. Aku pun hanya menjawab Andin sekenanya, “Ah iya Din. Kayaknya penitng sih” “Menurutku juga iya. Soalnya CSR kayak begitu pasti membangun branding perusahaan agar lebih baik. Gak mungkin mereka melakukan sesuatu tanpa memikirkan manfaat dan juga konsekuensinya terhadap perusahaan” lanjutnya lagi. Tak kusangka kalau Andin memerhatikan pelajaran semenjak tadi, aku mengira kalau dia adalah tipe mahasiswa yang tidak peduli dengan hal semacam itu dan hanya mengurusi hal-hal yang membuatnya senang saja. Sepertinya Andin memang cocok untuk dijadikan teman belajar bersama. Aku pun hanya menjawab dengan mengangguk-angguk apa yang barusan Andin ucapkan. Aku tidak mau terlihat seperti mahasiswa yang bodoh menghambur-hamburkan uangnya hanya untuk datang ke kelas tanpa mendapatkan apa-apa. Aku sering melihatnya, mahasiswa seperti itu. Mereka datang di pagi hari seperti Zombie tanpa memiliki semangat untuk menjalani hidup dan pulang dengan lemas seperti takut terkena sinar rembulan. Maksudku, apa alasan mereka masuk kuliah jika seperti itu? Kami pun keluar dari gedung, Tujuan pertama kami pasti menuju ke kantin, karena para mahasiswa biasanya datang ke sana untuk makan ataupun sarapan di pagi hari. Namun tepat di depan gazebo depan gedung, aku melihat seseorang yang tidak asing. Dia duduk sendirian sambil memeriksa handphonenya. Aku tidak tahu kenapa dia duduk di sana padahal gedung tempatnya belajar tidak berada di sekitar sini. Dia adalah Beno “Kill, kamu mau makan sate, bubur, atau-“ sebelum Andin menyelesaikan kata-katanya, aku pun langsung memotong pembicaraannya dan berkata, “Din, kamu ke kantin dulu ya. Aku masih punya urusan. Nanti aku menyusul kok tenang saja” Aku tidak bisa mengatakan apa urusanku kepada Andin. Namun saat ia melihat seseorang duduk di dalam Gazebo itu. Dia sepertinya paham tentang urusan apa yang akan aku urusi. Andin pun langsung saja pergi dari depan gedung fakultas menuju ke kantin. Sedangkan aku langsung saja pergi menghampiri Beno. “Eh... lu ngapain ke sini? Gedung teknik kan di sebelah sana? Apa lo nggak punya teman sampai nangkring kemari hah!” bentakku kepada Beno yang duduk terdiam. Aku melihat dia memang kaget saat melihat kedatanganku, tapi beberapa menit kemudian. Dia tersenyum manis ke arahku. Aku tak tahu kenapa dia berulah seperti itu, tapi tak bisa dipungkiri wajahnya memang benar-benar tampan sekarang. “Akhirnya kamu datang juga, yok kita pergi” dai mengangkat tas jinjingnya. Dan langsung saja menarik tanganku untuk dia ajak pergi dari tempat ini. Tanpa melalui persetujuanku, dia benar-benar berbuat seenaknya seakan-akan aku langsung setuju untuk mengikutinya. Aku yang tak ingin dia berbuat semena-mena langsung saja menghempaskan tangannya dan berusaha untuk pergi dari genggaman tangannya. “Apa-apaan sih lo? Denger ya, gue ga kenal sama lo. Jadi jangan berbuat seenaknya ya!” bentakku dengan keras agar dia dengar dan paham dengan hati dan maksud yang akan ku utarakan. “Ya ampun Kil. Kita kan sudah kenal lama. Masa kamu tiba-tiba lupa sama aku begitu?” jawab Beno dengan cukup membingungkan bagiku “Kenal lama? Sejak kapan kita ketemu sejak kejadian itu?” “Kamu pikir, siapa saat itu yang telah menyelamatkanmu dari sergapan geng SMA? Aku padahal sudah jemput kamu dan nganterin kamu sampai rumah lo. Kalo kamu masih ga inget, kita sempat dikejar-kejar juga dulu” balas Beno lagi. Ternyata dugaanku benar, dia adalah Beno yang sama dengan Beno pada waktu itu. Entah kenapa, dia datang lagi dalam hidupku hanya untuk melakukan sesuatu yang aku tak paham apa maksud dan tujuannya. “Apakah kamu Benp-“ Beno tidak mendengarkanku, dia malah langsung pergi dari gazebo itu dan pergi meninggalkanku dari depan. Karena aku belum selesai untuk berbicara dengannya, aku pun mengikutinya. “Heh dengerin aku dulu!” namun Beno sama sekali tak mendengarkanku. Aku tak tahu kalau itu adalah strategi yang ia kembangkan untuk mengajakku atau mungkin dia memang tak ingin mendengarkanku, tapi dia benar-benar mengajakku ke tempat parkir. Dia berhenti di sebuah motor butut yang usianya mungkin sama dengan usia kakeknya sendiri. “Kalo kamu mau dengerin penjelasan aku. Yaudah cepet pasang helm dulu. Aku mau ajak kamu makan, kantin di sini gak enak. Aku tahu tempat yang cocok dan pastinya murah” seperti tahu dengan isi hatiku. Aku juga sebenarnya tidak senang saat makan di kantin itu apalagi saat terjadi insiden antara aku dengan cewek-cewek sok cantik tempo hari itu. Dan juga kantin itu terlalu mahal untukku, meskipun aku sudah mendapatkan rejeki tadi pagi. Beno memberikanku helmnya, sebuah helm imut berwarna pink. Aku tidak tahu mengapa dia memiliki helm semcam ini. Aku menduga kalau dia mengambilnya dari mantan terdahulunya. Cowok seperti Beno tidak mungkin tidak memiliki kekasih di masa lalunya. Dengan memasang muka cemberut, aku pun mengambil helm itu dari tangan Beno. Dan memasangnya di kepalaku. Saat aku mencoba memasangnya, ternyata penutup pengaman helm itu cukup susah untuk dikunci. Beno yang menyadarinya langsung saja membantuku untuk menguncinya. Kami bertatapan mata saat itu. Tangannya yang kasar penuh dengan urat menyentuh daguku yang halus. Seperti panas bertemu dengan dingin. Tubuhku tiba-tiba merasa merinding, aku tidak pernah merasakan suasana seperti ini sebelumnya. Saat aku menatap Beno, dia malahan tiba-tiba tersenyum seperti melihat sesuatu yang lucu, aku tak tahu apa yang membuatnya tersenyum seperti itu, tapi senyumannya benar-benar manis sampai membuatku memandang ke arah yang lain. “Ya ampun. Begitu amat melihat mataku, apa aku memang senajis itu ya di matamu?” Sahut Beno sadar aku memalingkan muka. Aku tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi aku merasa sebal dengannya, di satu sisi lain aku benar-benar merasakan sesuatu yang aneh. Namun aku benci harus memikirkan itu. Helm di kepalaku sudah terkunci dengan benar. Dia pun kemudian naik, dan aku mengikutinya dengan dibonceng dari belakang. “Pegangan yang erat ya, aku kalau naik motor suka kecepatan. Takutnya kamu nanti terbang kebawa angin” ucap Beno sambil melihatku dari kaca spion. “Kurang ajar, emangnya aku sekurus itu apa hah?” Beno mulai menyalakan mesinnya. Terdengar sangat bising dan berisik sampai-sampai aku sungkan dengan orang-orang yang mendengarnya di dalam wilayah parkiran. Namun mereka melihatku sambil tersenyum, lagi-lagi aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan atau sesuatu yang lucu denganku. “Jangan sampe kamu hilangin helmnya ya. Aku baru beli helm ituloh kemarin” ujar Beno. Aku tak percaya dengan omongannya, bisa saja dia mengatakan itu kepada semua wanita yang ia dekati. Aku tak akan tertipu dengan itu karena aku berbeda dengan wanita lain. “Gombalan kamu gak mempan. Mana mungkin kamu beli kemarin. Jujur saja, ini pasti punya mantan kamu kan?” Balasku dengan judes. “Hah mantan? Maksudmu mantan presiden? Atau mantan menteri? Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud. Tapi kalau kamu tidak percaya, ya sudah, itu bukan masalah bagiku” balas Beno. Dia kemudian melajukan motornya dan bergegas untuk pergi dari parkiran ini
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD