Chapter 15

2044 Words
Serasa berada di dalam roda hamster di mana harus berputar-putar dan berlari tanpa henti, aku benar-benar kecapekan saat itu. Bapak-bapak yang menyuruh kami juga tidak memiliki sebuah naluri ataupun belas kasihan kepada orang-orang. Tidak hanya para pria, wanita yang memiliki tubuh fisik lebih lemah pun juga masih menjadi sasaran hukumannya. Aku bisa melihat mereka duduk dan beristirahat cukup lemas di bawah naungan pepohonan. Sementara aku yang duduk sambil menghela nafas panjang di ujung lapangan benar-benar merasa kelelahan. Aku sangat ingin melepaskan bajuku karena sangat gerah dan penuh dengan keringat. Tapi aku tidak mungkin melakukannya, ini bukanlah pelajaran olahraga dimana orang-orang biasa melakukan ganti baju olahraga selama pelajaran berlangsung. Mungkin saat berada di dalam kelas nanti orang-orang akan bingung kenapa para siswa yang baru datang tampil dengan penuh keringat membasahi badan mereka. Jika itu benar terjadi, aku tidak bisa berkata apa-apa dan lebih menyuruh mereka untuk melakukan sendiri apa yang sudah kulakukan. Aku duduk cukup lama di sana, dan aku sadar kalau aku sudah bisa kembali berjalan dengan normal. Aku pun pergi menuju kelas yang aku akan masuki di dalam perkuliahan pertama ini. Padahal kuliah belum selesai, namun aku sudah merasa kecapekan dahulu. Bersamaku, ternyata banyak sekali para mahasiswa baru yang ikut hukuman itu. Mereka berjalan di kelas yang sama denganku hampir tiga perempat dari keseluruhan kelas. Sementara seperempat nya sudah duduk di sana menunggu kelas untuk dimulai. Pakaian mereka benar-benar rapi dan terlihat kalau mereka adalah mahasiswa teladan. Buku juga sudah mereka siapkan di atas mereka hanya menunggu dosen untuk datang ke kelas memberikan mereka pelajaran. Aku tak tahu kenapa mereka bisa lolos dari hukuman itu, kemungkinan besar mereka memang jeli dengan peraturan yang sudah diberikan kepada kami. Sehingga mereka memang punya kesempatan untuk datang lebih awal melakukan upacara. Namun kemungkinan lain juga mengatakan kalau mereka sudah tahu dari orang dalam, karena informasi tentang upacara itu tidak di sebarkan oleh semua mahasiswa, ibarat seperti lotre dimana seorang mahasiswa mendapat pesan akan dihubungi perihal acara tersebut. Bahkan aku melihat salah satu mahasiswa yang terlihat pintar saat protes tadi, dia tidak mungkin tidak mengabaikan peraturan, dia hanya ingin alasan mengapa dia tidak tahu akan adanya peraturan tadi. Sebuah pernyataan yang masuk akal bagiku. Tapi entahlah, aku berusaha untuk melupakan itu. Aku hanya menganggap apa yang sudah kulakukan tadi di lapangan hanyalah semacam olahraga pagi yang membantu membugarkan pikiran dan tubuhku atas apa yang terjadi semalam. Walaupun tidak berhasil dengan efektif, setidaknya itu berhasil membuatku memikirkan hal lain selain pekerjaan busuk itu. Dengan begitu aku masih bisa berpikir dengan sehat tanpa adanya pikiran kotor mengganggu. Saat aku duduk di dalam kelas, aku memilih bagian paling depan sebelah ujung kanan. Aku memilih bagian itu karena aku tidak memiliki penglihatan yang begitu bagus. Tapi aku juga tidak sampai memerlukan kacamata untuk bisa melihat dengan jelas. Hanya saja aku merasa kalau aku duduk di sebelah sana aku masih bisa mencoba untuk fokus dengan apa yang akan dosen ucapkan selama pelajaran perkuliahan berlangsung. Aku menaruh tasku ke depan dan meletakkan buku-buku catatan di samping. Tiba-tiba aku merasakan sebuah bau tidak sedap tersebar di penjuru ruangan ini. Bau itu benar-benar menyengat sampai aku harus menutup hidungku. Bukan hanya aku, saat aku menoleh ke seluruh ruang kelas ternyata mereka juga mengeluhkan hal yang sama. Saat aku mencoba untuk mencari tahu apa sumber dari masalah dari bau tidak sedap ini, aku memiliki satu kemungkinan. Itu adalah bau dari keringat orang-orang yang sudah terkena hukuman tadi. Dari belakang, aku mendengar seseorang menyemprotkan parfum ke seluruh penjuru ruangan. Parfum itu membuat bagian di sekitarku berubah menjadi cukup wangi. “Haduh... ini kampus ada-ada saja deh. Pakai ada acara lari-larian segala. Apa mereka gak tahu kalo sekarang ini adalah hari pertama kuliah?” gumamnya sambil menyemprotkan parfum terus menerus. Aku mengenal suara itu, nampak tidak asing. Dan saat aku menoleh kebelakang, benar saja. Itu adalah Andin. “Loh... Andin? Ternyata kita sekelas!” Sapaku menoleh ke belakang. Andin yang juga terlihat kaget membalas sapaanku sambil berkata. “Loh Kill, kamu ada di sini juga” Kami kemudian mencoba untuk berpelukan karena sudah dipertemukan lagi dalam kelas yang sama. Namun usaha itu terhenti saat aku mencoba dan merasakan aroma keringat kami masing-masing yang benar-benar bau dan tidak enak untuk dihirup. “Kayaknya entar saja deh ya pelukannya Killa” jawab Andin. “Iya din. Pada bau kecut soalnya wkwk” balasku. Entah merupakan sebuah anugerah atau musibah, aku ternyata masuk kelas yang sama dengan Andin. Ini membuatku merasa senang karena aku bisa bersama dengan orang yang aku kenal, namun di sisi lain aku takut bila akan merepotkan Andin nantinya. Aku tahu sifat seperti itu memang tidak boleh untuk dilakukan, namun aku sepertinya selalu bergantung kepada seseorang saat aku melakukan sesuatu. “Din. Kamu tadi kena hukuman juga?” tanyaku pada Andin. “Yang bener saja dong Kill. kamu gak lihat apa badan dan bajuku basah kena keringat semua kayak gini hah?” Andin memakai baju blouse berwarna putih dimana terlihat banyak sekali keringat yang menempel di tubuhnya mengubah warna dari baju itu menjadi agak ke abuan. Namun dia memakai sebuah rompi rajut yang menutupi bagian baju dasarnya itu. Saat aku melihatnya aku sadar kalau Andin benar-benar nampak cantik memakai baju itu. Aku yakin kalau baju yang ia kenakan saat ini benar-benar mahal sampai aku tidak ingin mendengar nama brand ataupun harga yang dia pakai untuk itu. “Memang ga ada otak ini kampus. Kita nggak pernah dapat pengumuman apa-apa soal upacara itu tiba-tiba saja dapat hukuman. Mungkin aku salah memilih kampus ya. Seharusnya kampus yang lebih terkenal begitu di tengah-tengah kota” keluh Andin kepadaku. Aku juga tak tahu mengapa dia memilih kampus ini yang notabene tidak terlalu susah untuk tes pendaftaran maksudnya. “Emangnya dari awal, apa alasan kamu masuk ke kampus ini Din? Bukannya kamu pinter? Kamu bisa saja kan masuk ke universitas terkenal se Indonesia. Kalaupun kamu nggak lolos ikut tesnya, kamu bisa saja ikut jalur mandiri biar bisa tetap masuk. Secara kamu kan memang orang kaya?” tanyaku kepada Andin. Aku merasa berada di tahap aman untuk membicarakan apapun kepada Andin dan tidak akan membuatnya tersinggung oleh kata-kataku. Aku juga telah memilih kata-kata yang tidak berusaha untuk menyakiti hatinya. “Haduh kill, pinter apaan. Orang nilai matematika di unasku saja jeblok banget. Dapet 45, kurang nasionalis apa coba? Dan juga ini ya. Memang aku berasal dari keluarga kaya. Namun papaku memaksaku untuk kuliah di kampus ini, entah karena alasan apa aku juga bingung. Dia ingin agar aku kuliah di tempat ini sampai mengancam jika tidak maka aku tidak akan kuliah dimanapun. Dia orangnya memang sekeras itu padaku” sebuah alasan yang aneh. Memang tidak bisa dipungkiri berada dalam keluarga orang kaya juga memiliki kelemahannya juga, setiap anak akan dituntut menjadi lebih baik dari orang tua mereka yang sudah benar-benar lebih baik dari siapapun. Dari depan kelas, suara pintu terbuka dengan lebar. Aku yang sibuk mengobrol dengan Andin langsung saja membalik badanku penasaran siapa yang datang di kelas kami. Dan tentu saja, seorang dosen datang membawa laptop dan juga buku-buku di dalam tasnya. Dia terlihat sangat judes tergambar dengan gincu merah tuanya dan juga alis buatan yang sangat runcing seruncing bambu runcing milik para pejuang kemerdekaan. Dia pun duduk di depan kelas tepat di samping papan tulis elektronik sambil membuka sebuah kelas. “Baiklah anak-anak, hari ini adalah kelas pengantar bisnis. Perkenalkan nama saya adalah ibu Siti Komariah, saya akan mendampingi kalian selama satu semester ini. Namun sebelum pelajaran dimulai, saya ingin kalian untuk memperkenalkan diri kalian masing-masing ke depan kelas. Dimulai dari barisan paling depan” ucap dosen itu kepada kami. Benar-benar seperti kuliah ataupun sekolah pada umumnya, hari pertama akan selalu diawali dengna perkenalan. Aku tahu fungsi dari perkenalan ini adalah untuk kita baik dosen ataupun mahasiswa tahu akan suara masing-masing. Namun bukankah semua itu sudah ada di dalam data absen? Apakah foto rapi dengan almamater yang sudah kami buat tidak berguna apapun bila harus memperkenalkan diri lagi? Aku merasa kalau acara yang dilakukan setiap hari pertama pelajaran ini hanyalah strategi dosen untuk memperlama durasi pelajaran. Di ujung barisan paling pertama, ada seorang anak berbadan jangkung dan berkacamata. Dia mulai memperkenalkan namanya. Semuanya berjalan dengan normal. Sampai aku mendapatkan giliranku untuk berkenalan. Aku berjalan menuju depan kelas, aku bisa melihat tatapan para laki-laki yang menatapku dengan tajam. Aku tak tahu apalagi salahku kali ini, padahal aku sudah memakai pakaian yang rapi dan juga tertutup. Mungkin mereka saja yang m***m tidak bisa melihat barang aset punyaku yang lebih menonjol sedikit daripada perempuan pada umumnya. Saat aku berada di meja, aku tak sadar kalau ada tulisan yang sangat kecil berada di papan tulis bertuliskan “Jangan berisik” saat melihatnya, aku mulai sadar kalau aku sepertinya harus mulai memeriksa kesehatan mataku kepada dokter nanti. “Perkenalkan nama saya adalah Dewi Aquiilla Sartika. Biasa dipanggil dengan nama Killa, salam kenal” ucapku sambil mengedipkan mata dan menaruh tanganku di dagu, mirip seperti idol korea saat menyapa para penggemarnya. Aku melakukannya hanya karena itu perumpamaan yang bisa aku lakukan untuk menganggap para lelaki di kelas ini yang menatapku dengan tatapan m***m. “Kalo dipanggil sayang boleh gak?” sahut seseorang dari belakang. Aku tidak tahu siapa itu karena terhalang oleh seseorang. Aku pun hanya diam tak membalasnya dan hanya senyum manis ke depan. Jika aku menemui orangnya, aku benar-benar ingin menampol mukanya. Dan sekarang ini adalah giliran untuk menyebutkan hobi. Sejujurnya aku sangat bingung hobi apa yang harus kusebutkan, karena aku tidak memiliki hobi yang benar-benar kutekuni sampai membuatku antusias ataupun terobsesi akan hal itu. Dengan sekenanya, aku pun menjawab, “Hobi saya adalah menonton film. Terima kasih” Dan tiba-tiba, suara itu kembali menyahut dari belakang. “Pulang kuliah, nonton bareng bisa kali” semua orang tertawa mendengar sahutan itu. Aku hanya diam sambil duduk kembali di meja pelajaranku. Aku kesal dengan dosen itu karena tidak berusaha untuk menghentikan apa yang sahutan tadi ucapkan kepadaku. Karena aku merasa benar-benar malu saat berada di depan orang banyak seperti tadi. Dia hanya sibuk memeriksa handphonenya tanpa berusaha untuk membalas perkenalan kami. Sementara itu, aku merasa cukup konyol dengan hobi yang kusebutkan tadi. Aku hanya menggemari menonton film dalam website ilegal, bahkan menonton secara legal dengan ke bioskop saja pun tidak pernah. Bisa-bisanya aku malah menyebutkan hobi dengan menonton film. Dan sekarang adalah giliran Andin, dia yang sama cantiknya denganku juga mengalami sahutan secara tiba-tiba dari belakang. Tapi bedanya, dia terlihat murung saat mendapatkan itu berbeda denganku yang tetap berusaha ceria dan tegar. Ingin sekali aku menampar orang yang suka bersahut tadi dengan keras, namun jika aku melakukannya sekarang aku hanya akan mendapat masalah lagi nantinya. Andin menyebutkan kalau hobinya adalah makan. Hobi yang sudah tidak bisa ia lupakana atau tinggalkan lagi. Dia pun kembali ke meja dengan muka murung. Aku yang menyadari itu berusaha untuk menghiburnya agar tidak sedih. “Sudah din, jangan dipikirin. Niat mereka itu Cuma bercanda kok. Jangan dimasukin ke hati ya” saranku kepada Andin, dan juga dengan diriku sendiri agar tetap tegar. Aku merasa sabar saat itu karena aku yakin, seseorang yang menyahutiku dari tadi akan mendapat giliran untuk maju dan mengenalkan dirinya kepada kami. Dan saat ia melakukan itu, aku bisa menandainya dan menuntut balas kapan-kapan. Sampai-sampai para mahasiswa sudah habis untuk berkenalan di depan kelas. Tinggal para mahasiswa yang sejak tadi ramai dan asyik sendiri di bagian belakang. Aku benar-benar penasaran bagaimana tampang mereka saat berada di depan. Berbeda dari yang lain, ada 5 orang berjalan menuju depan kelas secara berbarengan. Tampilan mereka juga berseragam seperti bagian dari satu kelompok. Namun mereka masih berpakaian dengan rapi dan mengikuti tata aturan universitas dengan memakai kerah. Saat berjalan, aku benar-benar merasa kalau mereka berjalan dengan pola yang aneh. Serasa aku pernah melihat gaya berjalan seperti itu. Dan tiba-tiba, Andin berseru dengan kegirangan dari belakangku. “Ya ampun... ya ampun... ini serius kita satu kelas sama Ketua hima dan komplotannya. Ya ampun, kenapa aku benar-benar beruntung kali ini” ucap Andin. Saat aku mencoba melihat mereka, tiada pikiran lain yang muncul dari dalam otakku selain pikiran untuk muntah dan keluar dari kelas. “Perkenalkan, saya adalah Reza Pardede. Saya juga mendapat sebagai ketua hima di universitas ini, terima kasih” ucap Sang Ketua Hima. kemudian orang-orang di sebelahnya juga memperkenalkan diri mereka masing-masing sambil mengucap kalau mereka adalah anggota hima. Tanpa sadar, aku tidak sengaja meremukkan bulpenku menjadi dua sekarang karena terlalu kuat menggenggam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD