Chapter 22

2074 Words
Baru kali ini aku berjalan menuju kampus se pagi ini. Aku kira dengan memilih kampus terdekat akan membuatku bisa belajar lebih giat dan tidak mudah terlambat, namun dengan “pekerjaan” yang aku jalani rasanya itu tetap mustahil untuk dilakukan. Kejadian dengan kakakku kemarin entah kenapa tidak bisa membuatku tidur dengan tenang. Walaupun itu bukanlah kejadian pertama yang aku alami, namun aku masih tidak terbiasa dengan itu. Bahkan aku seharusnya tidak boleh terbiasa. Aku berhak memiliki kehidupan yang lebih layak daripada ini. Aku sebenarnya sangat ingin melaporkannya kepada polisi, namun sejujurnya aku masih belum sanggup kehilangan satu-satunya keluarga yang aku punya. memang sungguh konyol, untuk apa aku melindungi seseorang yang telah berlaku kasar padaku sendiri. Tapi entah kenapa alam bawah sadarku mengatakan kalau melakukan itu merupakan hal yang buruk, mungkin di masa depan aku akan mendapat keberanian untuk melaporkan kakakku sendiri nantinya. “Ini berapaan pak bubur ayamnya” karena aku merasa berangkat terlalu pagi, aku berpikir untuk singgah sejenak di sebuah gerobak bubur ayam dekat kampus. Aku sadar kalau gerobak ini masih baru dan pembelinya masih sepi. Sementara abang-abang yang berjualan juga masih muda, memakai topi kupluk dan baju partai banteng. “10.000 aja neng” balas abang-abang itu. Aku melihat perlengkapan di gerobaknya cukup lengkap dan niat untuk seorang yang baru saja memulai usaha. Aku melihat logonya yang terlihat elegan dan niat. Tidak cocok dengan sebuah bubur ayam yang berjualan di pinggir jalan. Lebih terlihat seperti lapak yang sudah membuka rantai makanannya dimana-mana. “Beli satu aja ya pak. Makan sini” ada sebuah kursi panjang di samping gerobak bubur ayam itu. Pedagang ini tidak menyiapkan tempat untuk orang-orang yang ingin makan di tempat dengan baik. Aku terpaksa memakannya sambil memegang mangkok dari bawah. Aku tidak terbiasa dengan gaya makan semacam itu, karena biasanya makanan yang aku pegang masih terlalu panas sehingga tanganku bisa-bisa terbakar dengan cepat. Namun tidak ada cara lain lagi, aku tidak mungkin memakan bubur ayam ini di dalam kampus “Maaf ya neng belom ada mejanya. Ini saya saja baru mulai buka hari ini. Saya sudah pesan meja sih, tapi belum dateng-dateng” Ucap abang-abang itu sambil menyodorkan mangkok itu kepadaku. Aku merasa dia dapat membaca pikiranku. Mungkin dia juga merasa kasihan karena melihat diriku makan di sini sendirian. “Iya pak gapapa, saya sudah terbiasa makan kayak gini kok. Jangan khawatir” Balasku berbohong kepada mamang-mamang itu. Walaupun mungkin aku nakal. Aku masih punya sopan santun kepada orang asing. Tidak seperti Ketua Hima Sialan itu. Omong-omong soal kebiasaan. Aku selalu membenci orang-orang yang berdebat di internet soal makan bubur diaduk atau nggak. Karena menurutku memperdebatkan hal semacam itu benar-benar tidak berguna! Aku mengerti mungkin ada sebagian orang yang mempunyai banyak waktu luang sehingga memperdebatkan itu. Namun kenapa harus cara makan bubur yang diperdebatkan? Aku yakin abang-abang ini tidak peduli bagaimana cara buburnya dimakan. Bahkan mungkin saat ada seseorang mencoba menistakan buburnya dengan mencampur berbagai macam bahan makanan, dia tidak akan peduli. Selama buburnya laku dan terjual habis. Aku yakin dia tidak akan berpikiran hal lain lagi. Oh ya dan juga ngomong-ngomong. Orang yang memakan bubur dengan cara diaduk. Benar-benar tidak memiliki empati. “Sendirian aja neng?” tanya abang-abang itu saat aku mencoba memasukkan sendok ke mulutku hingga tak jadi. “Eh... iya pak. Masih pagi juga jadi belum rame. Biasanya sih kalo siang daerah sini ntar rame pak. Jadi bapak tenang saja, pasti laku kok ntar” balasku “Ohh... kalo perkara itu mah saya sudah tahu. Saya pilih tempat ini karena sebelumnya saudara saya sudah pernah jualan dan cukup sukses. Itu tokonya” Tunjuk abang-abang itu di sebuah Warung Soto yang cukup besar. Aku sering sekali makan di tempat itu waktu siang-siang. Karena memang rasanya cukup enak. “Saya nanya. Memang cewek secantik neng gapunya pacar begitu kok berangkat pagi-pagi sendirian” Aku mencoba menyuap diriku sendiri. Namun harus gagal karena abang-abang itu mencoba menanyaiku. “Eh enggak bang. Saya gak punya pacar. Lagipula rumah saya deket sama kampus jadi gak masalah meskipun jalan kaki” Jawabku. “Ahh... yang bener neng. Biasanya cewek cantik kalo sudah kuliah itu banyak banget yang ngejar-ngejar. Apalagi cewek secantik neng, mana mungkin gak ada yang ngedeketin” Aku diam sejenak. Lama-lama bubur ayam ini menjadi dingin dengan sendirinya “Enggak kok pak. Beneran. Mungkin bapak kebanyakan nonton ftv atau sinetron makanya mikir kek begitu. Aslinya mah gak begitu” balasku. Namun abang-abang tadi terus saja menjawab “Ah yang bener, ponakan saya kemaren juga ngomong begitu. Bilangnya kuliah bener-bener nimba ilmu. Eh besoknya sudah hamil saja nikah sama temennya” “PAK. INI SAYA MAU MAKAN GAJADI-JADI INI. BAPAK MAU SAYA SUAPIN BIAR DIEM APA GIMANA?” aku sudah terlanjur emosi. Lapar benar-benar kurasa menyentuh dinding-dinding lambung, sementara abang-abang ini tidak kunjung diam dan membiarkanku menikmati makanannya “Ah, eneng, gitu aja marah. nanya-nanya doang padahal. Pantesan gak punya pacar” Entah kenapa omongannya bisa membuatku benar-benar kesal. Namun aku tidak menyahutinya, mencoba untuk benar-benar tidak peduli dan menikmati sesuap bubur ayam terpisah dan masih terlihat indah ini. Untuk ukuran pemula. Aku masih bisa merasakan kalau bubur ayam ini cocok dengan seleraku. Buburnya yang cenderung agak lembek mampu menempel di langit-langit mulut sehingga dengan nyaman kujilat dan menaruhnya di lidah kembali. Sementara suwiran ayam ini terasa sangat pas dan tidak menjadi pemecah harmoni. Memang seharusnya bubur dan ayam harus bersatu dalam kerukunan. Namun masih ada satu-dua hal yang perlu diperbaiki seperti suwiran bawang terkesan murahan seperti membeli di barang di rak paling bawah minimarket yang memiliki merk antah berantah, dan juga buburnya terasa begitu asin saat terkena sapuan lidah. Untung saja aku cocok dengan rasa asin ini namun bubur seharusnya tidak seasin itu. Aku membayangkan orang yang mencoba membeli bubur ini tidak akan membelinya lagi di kemudian hari Aku menikmati bubur ini sambil menatap jalan raya sangat sepi. Ada sebuah motor berbunyi sangat nyaring di sepanjang jalan dan mengeluarkan asap. Terdengar sangat berisik dan mengganggu sekitar. Walaupun jaraknya masih jauh dariku, namun suara dan asapnya sudah terdengar hingga kesini. Aku sebenarnya benci sekali dengan pengendara motor seperti itu, mereka seakan-akan tidak punya empati terhadap pengguna jalan yang lain! Dan tiba-tiba motor itu makin lama makin mendekat ke arahku. Terlihat pengendaranya memakai helm full-face dengan kaca yang membuatnya tidak dapat aku kenali. Berjalan semakin dekat hingga akhirnya berhenti tepat di hadapanku. “Ayo cepat ikut aku!” teriak pengendara itu dengan suara yang sepertinya aku kenal. Namun karena suara knalpotnya yang berisik aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. “HAH, NGOMONG APA? GK DENGER!” Teriakku mencoba mengalahkan bunyi knalpot itu. Namun tiba-tiba dia turun dari motornya dengan kondisi yang masih menyala dan memegang mangkokku ke bangku panjang yang aku duduki. Dan dengan paksa menarikku ke motornya “Heh, ini ada apa? Siapa kau?” tanyaku, laki-laki itu membuka kacanya sambil berkata, “Ini aku Beno. Udah ayo cepet naik. Waktu kita gak banyak!” dengan motor bututnya yang terdengar masih sangat nyaring. Dia terus saja memaksaku untuk naik. Cengkeramannya sangat kuat seakan-akan kejadian marabahaya merenggut nyawa datang di hadapannya. Sementara tatapannya penuh dengan keringat dan tajam membuatku sedikit khawatir “Ya bentar, ini ada apa dulu? Kenapa tiba-tiba ngajak gue sih? Aneh bener” tanyaku, Kemudian Beno menunjuk ke belakang. “Kita bener-bener dalam bahaya. Maaf saja, mungkin kita gak akan bisa masuk ke kelas dengan normal kayak gini” Aku melihat segerombolan pengendara motor yang sangat banyak memenuhi jalan berjalan menuju Beno. Mereka semua memakai baju dan motor yang sama, seakan-akan terikat dalam satuan organisasi khusus. Tidak hanya motor dan baju, mereka semua memakai helm yang sama. Helm motor full-face menyala berwarna kuning stabilo yang tampak sangat mencolok terlihat dari jauh. Jarak antara kami dan mereka cukup jauh saat ini, namun dengan kecepatan yang seperti itu, mereka bisa saja mengejar kami dalam waktu yang singkat. Dengan asumsi kalau geng motor itu berhubungan denganku, aku pun memutuskan untuk naik ke motor bersama Beno. Dia pun mulai mengengkol gigi motornya dan langsung jalan. Dengan sangata cepat sampai-sampai posisi depan motor hampir naik membuat kami terjatuh. Untung saja Beno masih bisa menjaga keseimbangan, aku pun memeluk bahu Beno dengan erat “EH NENG, INI BUBURNYA BAGAIMANA?” teriak mamang-mamang tadi. Aku lupa kalau aku belum membayar bubur itu. “Entar saja ya pak. Ini kami sedan dalam misi penting menyelamatkan dunia. Kami pasti akan bayar pak tenang saja” Teriakku mencoba mengalahkan suara knalpot motor Beno. Aku tidak yakin mamang itu bisa mendengarku karena jarak kami dengannya sudah cukup jauh Walaupun terhalang oleh badan Beno, aku bisa merasakan angin yang menabrak mukaku dengan kencang. Rambutku beterbangan ke belakang menjadi sangat berantakan. Untung saja aku tidak merapikannya dengan niat tadi pagi, sehingga tidak ada perasaan menyesal terlalu dalam. Dari belakang aku mencoba mengintipi speedometer motor Beno, dan aku melihat angkanya menyentuh 100 an!. Untung saja jalanan masih sepi sehingga tidak banyak lalu lintas yang berjalan. Kalau tidak mungkin Beno akan kesulitan untuk menyetir motornya karena harus menghindari berbagai macam pengguna jalan yang lain “Hei, kenapa kau tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini? Apakah tidak cukup bagimu untuk mengajakmu di berbagai masalah yang kau perbuat?” tanyaku pada Beno sambik menempelkan daguku di bahunya. “Percayalah padaku Kill, ini lebih besar daripada aku dan dirimu, dan aku tidak memintamu untuk berterima kasih padaku, namun aku yakin kau benar-benar akan bersyukur nantinya” aku tidak tahu apa maksudnya. Namun aku merasa itu berhubungan dengan kejadian kemarin, saat ia mencoba mengatakan sesuatu kepadaku. Namun aku tidak mengira hal itu akan seurgen dan seberbahaya ini. Beno menyadarkan sebuah helm kepadaku, “Pakailah ini, untuk melindungi kepalamu. Kau akan benar-benar membutuhkannya nanti” ucap Beno. Helm bermotif warna pink dan bergambar We bare bears ini tampak sangat cocok sekali aku pakai saat aku berkaca di helm. Namun aku penasaran, bagaimana Beno bisa memiliki helm imut ini? “Coba tengok kebelakang, seberapa dekat kita dengan gerombolan mereka?” tanya Beno menyuruhku untuk memeriksa. “Mereka sudah cukup dekat, aku rasa dalam beberapa saat lagi mereka akan berada di dekat kita. Aku rasa kita sudah tidak memiliki waktu lagi untuk menjauh” Aku tidak menyalahkan Beno, namun motor butut ini sudah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan aku mendengar mesinnya beberapa kali berderu dengan sangat keras seperti mencoba mengeluarkan kemampuannya sekuat tenaga. Mungkin bila bisa berbicara motor ini akan berteriak untuk memohon ampun agar berhenti bekerja. Namun tidak ada cara lain lagi, motor ini satu-satunya sarana kami untuk kabur “Pegangan erat-erat” sahut Beno. Sementara di depan ada sebuah jalur kereta api. Aku mendengar bunyi sirine yang menandakan sebuah kereta akan melewati portal itu. Aku juga melihat di sisi kanan ada sebuah kereta yang akan lewat. Klaksonnya berbunyi dengan sangat keras. Orang-orang sudah menunggu dari luar portal agar kereta itu melaju, namun tidak ada tanda-tanda motor yang melaju dengan pelan dari Beno. Malahan dia melaju makin kencang, dia menurunkan gigi motornya agar bisa berakselerasi dengan semakin kencang. Aku menengok orang-orang di sekitarku, mereka semua panik dan kaget melihat kami melakukan hal yang nekat semacam itu. Sirine portal berbunyi makin kencang, entah kenapa jantungku berdeguk begitu kencang seraya pelukanku yang makin erat tertempel di bahu Beno. Mungkin bila maut akan datang menjemputku, aku bisa merasa kalau aku mati dalam posisi yang keren. Meskipun harus berada di pelukan Beno, laki-laki yang aku tidak tahu perasaan apa yang aku miliki kepadanya. “Hei anak, cepat pergi dari situ, kereta akan berjalan makin dekat” Ucap seorang penjaga portal yang keluar dari posnya menyahuti kami. Kami berdua benar-benar tidak menghiraukannya. Dan semuanya sudah terlambat. Motor Beno melaju dengan kencang di jalan menuju rel yang dengan tekstur sedikit ke atas. Bak seperti di film-film hollywood, motor kami melayang di udara. Dan entah kenapa aku merasakan kalau waktu serasa benar-benar berhenti di antara kami. Tidak ada yang benar-benar aku pikirkan saat itu kecuali bahu Beno yang terasa sangat harum saat aku menempelkan mukaku ke sana. Dadaku bergerak dengan sangat berdebar-debar. Namun bukan perasaan takut seperti sebelumnya, tetapi perasaan senang dan b*******h. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini, namun ada yang baru. Aku melakukannya dengan “seseorang” yang ada di depanku ini. Perasaanku saat ini benar-benar terasa campur aduk. Lebih tepatnya aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan. Motor mendarat dengan mulus di aspal yang licin. Aku tidak tahu itu ulah Beno atau motor ini yang sangat handal. Beno menyahut, “Bagaimana, apa kau baik-baik saja?” aku pun membalas, sambil memeluk bahu Beno lebih erat daripada sebelumnya dan tersenyum tanpa bisa dilihat oleh dirinya. “Baik, lebih baik daripada sebelumnya”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD