Chapter 21

2034 Words
Kunci di depan kamar Andin benar-benar heboh, berbeda dari kamar-kamar lain yang cenderung tidak memiliki hiasan di luarnya. Banyak sekali aksesoris ke cewe-cewean di sana menggantung di luar. Tak lupa, ada sebuah ukiran kayu bertuliskan nama Andin dengan dililit sebuah lampu warna-warni. Andin langsung saja membuka pintu itu, dan aku ikut membuntutinya dari belakang. “Selamat datang di kamarku Andin” benar-benar berbeda dari ekspektasiku. Jika dari luar ruangan kamar Andin benar-benar terlihat seperti pintu anak gadis pada umumnya. Sementara di dalam kamarnya semua ornamen baik dinding maupun rak-rak tembok sangat gelap. Dilengkapi dengan banyak sekali simbol-simbol tengkorak dan senjata tajam. Ekspektasi ku benar-benar dipatahkan dengan sangat mudah oleh Andin. “Din, ini beneran kamar kamu?” tanyaku tak percaya. Namun Andin tak menggubris pertanyaanku. Dia malah menyetel sebuah sound system dengan lagu band metal sangat keras sehingga dia kemungkinan besar tak bisa mendengarkan apa yang aku ucapkan. Penampilan Andin yang benar-benar ceria dan terkesan cerah benar-benar tak bisa kupikirkan. Aku pernah mendengar Band ini. Band asal Indonesia yang terkenal akan pamornya untuk melakukan aksi-aksi ekstrim saat berada di panggung. Bahkan beberapa saat yang lalu ada aksi viral yang terekam oleh salah satu penonton dimana drummer personil band itu memukul drumnya sendiri menggunakan kepala sampai berdarah. Sejak saat itu Band ini menjadi viral dan kerap kali diundang oleh acara tv maupuun konser-konser anak muda. Dan aku mendengar, band itu akan melakukan konser di kota ini sebentar lagi. Andin sangat asyik menangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama drum yang menyertai lagu itu. Aku yang merasa diabaikan langsung saja menghampiri sound system itu dan mengecilkan volume suaranya. Andin benar-benar terlihat seperti orang yang kerasukan setan. Tangannya dia acungkan ke atas sambil diayun-ayunkan. Mungkin dia berimajinasi berada di dalam konser sekarang. “Kill, apa yang kamu lakukan? Ini belum sampai di bagian reffnya loh!” Andin sadar kalau aku mengecilkan volumenya. Dia langsung saja menghampiriku dan memutar volume itu kembali ke awal. “Aku nggak ngira kalau kamu ngikutin band ini din. Emangnya kamu dari awal sudah suka dengan mereka? Atau kau memang salah satu penggemar musik metal?” tanyaku penasaran kepada Andin. “Enggak, sebenarnya aku adalah penggemar musik korea seperti girlband, boyband, blue band dan semacamnya. Namun saat aku mendengar band yang viral itu aku menjadi sangat terobsesi akan musik di genre ini. Aku tidak tahu kalau musik seperti ini adalah musik yang aku butuhkan di dalam hidupku. Tidakkah kau berpikir seperti itu juga Kill? kamu suka musik seperti ini juga kan?” jawab Andin. Sudah kuduga, Andin memang salah satu fans dadakan dari band itu. Namun bukan berarti itu adalah sesuatu yang buruk, hanya saja aku merasa kalau aku lebih senior tentang dunia permusikan ini daripada dirinya. Saat aku menjadi berandalan dulu, musik seperti inilah yang selalu menemani kami di setiap saat. Bahkan saat aku masih berandalan, aku nekat untuk mencuri sebuah alat pemutar musik hanya demi bisa mendengarkan musik-musik metal saat aku bertarung. Aku tak tahu bahwa ada unsur psikologis di dalamnya atau tidak, namun musik metal benar-benar membuatku merasa lebih kuat daripada sebelumnya. Dan untuk Andin, aku memiliki apresiasi yang tinggi terhadap Band ini karena berhasil membuat fans dari genre lain untuk hijrah dan menyukai genre mereka. Bukan perkara mudah untuk melakukan hal itu, apalagi fans dari korea memang terkenal akan kebengisan dan kefanatisan mereka. Kami berdua pun kemudian berjingkrak-jingkrak. Menikmati musik di dalam kamar Andin ini bersama dan juga bernyanyi bersama. Aku sudah hafal betul dengan musik ini, karena setiap hari kakakku memutarnya di dalam rumah. Bahkan saat malam-malam dimana sudah jam orang untuk tidur. Dia sering sekali mendapat teguran dari tetangga sekitar karena bersikap tidak sopan dan mengganggu. Tapi kakakku adalah kakakku, dia tidak akan mungkin bisa diatur. Tak lama kemudian, dari pintu aku mendengar seseorang mengetuk pintu. Namun Andin nampak tak mendengarkannya. Dia masih asyik bernyanyi sambil berteriak-teriak meskipunn suaranya sudah tidak bisa di maafkan lagi. Karena tidak ingin mengganggunya dalam keasyikan itu, aku pun membuka pintu kamar Andin. “Lohh... kamu siapa?” ucap seorang ibu-ibu cantik dengan pakaian keren dan berambut lurus dengan beberapa aksen warna. Aku tidak mengenal siapa orang ini, namun aku bisa menduga kalau dia adalah ibu dari Andin. “Eh... saya Killa tante, teman Andin” jawabku sambil meringis malu. Penampilanku benar-benar terlihat tidak sopan sekarang, sampai membuatku mundur beberapa langkah dan menyembunyikan sebagian badanku di lemari depannya “Ohh.., Temannya Andin. Tumben banget dia ngajak teman ke kamarnya. Ngomong-ngomong. Andin Kemana?” tanya ibu Andin kepadaku, aku langsung saja menunjuk Andin yang sedang sibuk bernyanyi tidak jelas sampai kehabisan nafas. Ibu Andin tampak sangat kesal sampai-sampai melipat tangannya ke depan. “ANDIN! Mama kan sudah bilang kalau jangan puter lagu keras-keras! Berisik ini!” Bentak ibu Andin dengan sangat keras sampai-sampai mengalahkan suara sound system di kamarnya. Andin tiba-tiba terdiam dan mematikan langsung sound systemnya. Aku yang berada di tengah-tengah mereka benar-benar merasa canggung karena berada dalam konflik antara ibu dan anak ini. “Ehhmmm iya maaf ma. Lagipula, Cuma sekali ini kok. Andin mana pernah nyetel sound system sekeras ini sebelumnya. Aku cuman ngecek apa mungkin sound systemku sudah rusak apa belum kok. Eh ternyata nggak rusak, dan pas ku setel lagu kesukaanku, eh ternyata enak juga. Yasudah deh aku setel sampai keras-keras hehe” Andin ikut meringis karena malu atas ulahnya sendiri. Kemungkinan besar, Ibu Andin sudah tahu dengan kelakuan Andin yang suka menyetel musik keras-keras. Namun bila itu memang terjadi, kenapa dia membiarkan untuk memiliki Sound System ini? Jika dia tidak mengizinkan Andin untuk menyetel musik, seharusnya dia tidak usah membelikan Andin Sound System bukan? “Ini beneran teman kamu? Bukan teman sewaan kan?” tanya Ibu Andin saking tak percayanya kalau anaknya membawa seorang teman. Jika aku ibu Andin, aku mungkin bertanya lebih ekstrim dengan bertanya kalau mungkin saja Andin membawa pacarnya ke sini. Namun dengan dalih membawa aku. Untung saja Ibu Andin tidak berpikir sampai ke situ. “Teman sewaan? Ibu keknya kebanyakan nonton film gajelas deh. Makanya ngomong begitu. Ya sudah ah pergi sana!” Sahut Andin kepada Ibunya dengan mengusirnya. Ibunya pun langsung pergi dan tidak mengucapkan apapun. Sampai akhirnya dia membalik badannya dan membawakan Andin sesautu. “Oh iya, ini ibu sudah bikin nastar. Kamu cobain dan bagiin ke teman kamu gih. Tapi maaf ya kalo nggak enak, percobaan pertama ini soalnya” ucap Ibu Andin memberikan sebuah toples penuh dengan nastar. Toples itu masih terasa hangat dan juga nanas yang ada di dalamnya juga nampak lezat. Meskipun bentuknya masih acak-acakan seperti masa depanku. Ibu andin pun langsung pergi. Sedangkan Andin yang membawa toples nastar itu di tangannya langsung saja membuka toplesnya dengan keras. Ternyata Andin tak mampu membukanya dengan mudah karena sangat ketat. Aku pun ikut membantu membuka toples itu. Setelah selesai terbuka, aku langsung saja mencoba untuk mencicipi salah satu buah nastarnya. “Hmm... enak juga. Ibumu pinter masak juga ya ternyata Din” ucapku sambil mengunyah nastar itu. Adonan nastar dan juga nanas yang berada di dalam setiap gigitanku benar-benar tercampur dengan rapi sehingga membuat kombinasi yang seimbang. Tapi tidak seenak nastar saat aku beli dari orang atau toko sih. Untuk ukuran pemula, nastar ini tidaklah buruk. “Pinter masak apaan. Dia mah suka belajar masak akhir-akhir ini saja. Kalo dulu mah masak selalu jadi makanan bebek. Mungkin itu alasanku kenapa sering jajan di luar daripada di rumah. Masakan mama nggak pernah enak!” Andin menyebut Ibunya seperti halnya seorang sahabatnya sendiri. Aku langsung tertawa sungkan saat Andin berkata seperti itu. Dia seperti benar-benar tahu akan kemampuan dari ibunya. Memang istri dari orang kaya tidak perlu wajib untuk pinta masak, mereka kan bisa saja membeli makanan di toko ataupun restoran dengan mudah tanpa harus memikirkan biaya toh? Mungkin yang mereka khawatirkan saat membeli makanan adalah bagaimana cara mengatur kadar kalori, kolesterol, gula agar penyakit tidak datang. Aku masih penasaran dengan kamar Andin. Aku berkeliling-keliling sampai menemukan sebuah foto di mejanya. Foto keluarga lengkap antara Ibu, Ayah dan juga Andin berjejer memakai baju batik seragam. Mereka benar-benar terlihat sangat harmonis dengan tatapan tulus mereka ke kamera. Tangan mereka saling menggenggam satu sama lain, terasa seperti memiliki ikatan batin yang luar biasa. Umur Andin di foto ini terlihat masih sangat kecil, dan aku bisa menduga kalau itu masih seumuran waktu smp. Aku bisa melihat tubuh Andin benar-benar gempal dengan pipi yang tebal dan mata yang sipit tertutup oleh lemak. Namun dia benar-benar terlihat bahagia di sana, aku tidak bisa membayangkan gadis seiumut ini menjadi korban bullyan. Sementara ibu dan ayah Andin masih terlihat sangat muda, mungkin berusia 30 an. Tapi meskipun begitu, Ibu Andin benar-benar terlihat sangat cantik dan mirip seperti Andin yang sekarang. Tubuhnya benar-benar proporsional. Tiba-tiba air menetes dari mataku. Padahal hatiku tidak merasa terharu atau sedih, aku menduga kalau ada angin atau debu yang masuk ke dalam mataku, tapi aku berdiri jauh dari jendela. Aku pun mengusap air mataku itu, dan ternyata, air mata yang lain keluar dengan sendirinya tak bisa ku kontrol. Andin sepertinya sadar kalau aku sedang menangis sekarang. Dia pun menghampiriku sambil memegang lenganku khawatir. “Kill. kamu kenapa” aku tak tahu harus menajawab apa dengan pertanyaan itu. Namun di pikiranku saat ini hanya terpikir satu kalimat. “Maaf Din merepotkanmu. Tapi apakah kau bisa mengantarku pulang saat ini. Aku merasa tidak enak badan” mungkin saat Andin melihatku memegang album foto keluarganya, dia sadar kalau keluargaku sendiri tidak sedang baik-baik saja. Aku sudah bercerita kepada Andin kalau aku adalah seorang anak yatim piatu. Meskipun sudah terjadi lama sekali, namun hal seperti ini masih membuat alam bawah sadarku terpicu akan kejadian itu. “Maaf ya Kill. bukannya senang-senang bersama, kamu malah sedih saat berada di kamarku. Yaudah deh. Aku akan antar kamu pulang” *** Andin mengantarku dengan mobilnya tepat sampai depan rumah. Aku tidak mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah, karena aku pasti tahu keadaan di sana sekarang pastilah sangat kacau. Aku tidak ingin Andin melihat versi diriku saat berada di dalam rumah. Saat aku membuka pintu, aku melihat Kak Andra, kakak kandungku sendiri, sedang teler bersama teman-temannya. Aku bisa melihat jarum suntik menempel di lengannya, dia masih setengah sadar sambil mengangguk-ngangguk mendengarkan sebuah lagu di samping handphone miliknya. Aku berusaha untuk tidak menatapnya, bahkan aku tidak ingin jika harus menghadapinya sekarang. Tapi tiba-tiba salah satu teman Kak Andra sadar kalau aku tiba di rumah. Dia menyahut, “Eh Ndra. Adek lu sudah pulang noh. Cakep juga adek lu, gw pakai boleh gak ini?” benar-benar menggelikan dan menjijikkan. Aku pun mempercepat langkahku agar bisa sampai cepat ke dalam kamar. “Heh Kill. lu mau kemana! Buru-buru amat! Hahaha” ucap temannya yang lain menggodaku. Aku tidak mengenal siapa mereka, karena orang yang ia bawa ke dalam rumah selalu berbeda. Aku juga tidak ingin mengenal mereka. Tapi tiba-tiba dengan keadaan masih setengah sadar, Kak Andra berdiri dan berjalan menghampiriku. Langkahnya sangat cepat sampai-sampai aku tidak bisa mendahuluinya untuk masuk ke dalam kamar. “Tumben banget lu jam segini sudah pulang?” ucap Kak Andra berada di depanku. Aku bisa merasakan nafas baunya yang mungkin sudah satu abad lebih tidak pernah ia gosok. Aku hanya diam tak menjawabnya. “Lu gak kerja ya? Uang kiriman kerjaan lu mana! Barang gw sudah hampir habis ini!” ya benar. Alasan meskipun aku menerima uang yang banyak dari pekerjaanku, uang tersebut selalu habis karena kakakku selalu menggunakannya untuk membeli barang haram. Dia memanfaatkanku untuk bekerja sesuatu yang ilegal demi kepausannya saja. Kak andra menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Bukan seperti antara kakak dan adik, namun seperti sebuah atasan dan bawahan. “Kill, denger. Kalo lu sampai berhenti bekerja. Lihat saja. Lu bakal gue kirim ke taiwan buat jadi b***k di sana. Denger gak lo!” teriak kak Andra dengan sangat keras. Kak Andra membuka pintu kamarku, aku pun langsung saja mencoba untuk masuk ke dalam kamar tanpa membahas salah satupun ucapannya. Tapi kemudian Kak Andra memegang bajuku sampai membuatku membalik badan, “Lu itu ya... kalo orang lagi ngomong di jawab jangan Cuma diam saja!” kak andra menamparku dengan sangat keras di bagian pipi. Dia kemudian menendang perutku sampai terjatuh di dalam kamar. Dengan sangat keras, dia pun membanting pintu kamarku dan mengunciku dari dalam. Aku hanya bisa bangun saat itu, mencoba untuk duduk di dalam meja tata rias. Dan menangis tersedu-sedu meratapi nasib malang yang aku rasakan saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD