Chapter 20

2055 Words
Ucapan Andin yang menganggap aku dan Beno berpacaran benar-benar membuat kesal. Moodku yang kacau harus berada di dalam ambang batas hanya untuk mengimbangi ucapan Andin kepadaku. Tapi aku harus tetap berusaha tenang dan tak memasukkan omongan Andin ke dalam hati. Aku tahu maksudnya berkata seperti itu mungkin hanya bercanda. Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Beno. “Din, kita mau kemana?” tanyaku kepada Andin yang sedari tadi menyetir tanpa tahu juntrungan kemana akan pergi. Kami sudah berada di jalanan yang aku tak paham lagi dimana tempatnya, semuanya begitu asing dan tak pernah aku lewati. “Entahlah. Bagaimana kalau kita ke rumahku saja? Kamu belum pernah ke rumahku kan?” ajak Andin padaku. Jujur saja, aku masih malu bila harus bertamu ke rumah Andin. Diriku yang seperti ini tidak pantas untuk berkunjung di rumahnya. Apalagi aku tahu kalau rumahnya pasti tipikal rumah-rumah orang kaya yang sangat luas. Tapi aku juga tidak ingin pulang dan sendirian lagi di rumah, aku juga tidak mungkin mengajak Andin untuk pergi ke rumahku. Untuk sekarang, mungkin aku harus menerima ajakan Andin. “Boleh juga. Tapi maaf ya jika aku nanti merepotkan dan malah berbuat rusuh. Aku sudah mewanti-wanti untuk meminta maaf sejak awal saja sih ini. takutnya nanti kamu kaget” ucapku meminta maaf. Aku juga tak akan berbuat aneh-aneh di rumah orang. Bisa dikatakan kalau Andin adalah salah satu aset berhargaku selama kuliah di kampus. Dan aku tidak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja. “Kamu serius ngomong begitu. Justru akulah orang yang harus kamu wanti-wanti. Aku bisa berbuat sesuatu yang gila selama di rumah. Kamu hanya melihatku di sini sekarang kan. Lihat saja nanti saat kamu masuk ke dalam kamarku. Kamu mungkin akan benar-benar kaget” balas Andin yang membuatku penasaran. Memangnya hal apa yang dia sembunyikan di dalam kamarnya? Saat ini, aku berusaha menebak-nebak apa hal yang mungkin berada di dalam kamarnya. Andin adalah tipikal tipe cewek normal pada umumnya, dia mungkin memiliki hobi yang sama dengan cewek-cewek lain. Seperti misalnya menonton drama korea, konser idol. Ataupun melihat film-film barat. Hanya itu hal yang benar-benar bisa aku pikirkan tentang Andin. Tak ada hal lain yang membuatku curiga tentang dia. Kami sudah berada di dalam perumahan elit. Dijaga oleh satpam yang duduk di dalam pos. Dia tampaknya mengenal Andin terlihat dengan tersenyum saat Andin datang dan menyapanya balik. Satpam itu kemudian membuka portal agar Andin bisa masuk ke dalam perumahan tersebut Di kiri kanan, aku melihat banyak sekali rumah-rumah mewah dengan hiasan pohon palem di kiri dan kanan jalan. Entah kenapa sudah menjadi ciri khas bagi perumahan mewah untuk menghias jalanan mereka dengan tanaman tersebut, seperti ada peraturan tak tertulis untuk membuat semua jalanan itu memiliki ornamen yang sama. Namun sejujurnya aku tidak memiliki masalah dengan pemilihan desain itu. Tidak berpengaruh sama sekali. Malahan, indikasi tentang pohon palem dan kemewahan sangat melekat kuat. Seakan-akan orang yang memiliki pohon palem di dekat rumahnya mengatakan kalau mereka adalah termasuk orang-orang yang kaya. Padahal sebenarnya pohon palem tidak semahal dan sebagus itu untuk dijadikan pajangan. Hanya saja branding yang melekat tentang pohon itu sudah sangat kuat melekat di masyarakat sampai-sampai semua orang menganggap kalau pohon palem memang benar-benar bagus. Hingga kemudian Andin menyetir mobilnya di depan rumah mewah. Tidak ada satpam ataupun penjaga terlihat di rumah itu, malahan tidak ada pos atau satpam yang berjaga di sana. Aku mengira kalau Andin memiliki satpam yang bekerja secara jarak jauh. Dan tiba-tiba pagar rumah itu bergerak sendiri ke samping membuka jalannya agar Andin bisa masuk dengan mudah menggunakan mobilnya. Benar-benar terlihat seperti rumah mewah, jalanan rumah Andin terdapat sebuah jalur bawah tanah yang digunakan sebagai garasi untuk mobil-mobil di parkir di sana. Banyak sekali mobil dari segala jenis dan merek terparkir di sana, hampir terlihat seperti sebuah showroom ataupun pameran festival mobil. Aku benar-benar takjub dengan ini semua. “Waww... aku tidak pernah melihat mobil berserakan seperti ini Din. Misal jika aku mengambil salah satu, apakah mungkin kalian akan sadar dengan hal itu?” tanyaku jahil. Aku tidak akan mungkin pernah berani untuk mencuri mobil-mobil ini. Mengendarai sepeda saja aku tak bisa, apalagi mengendarai mobil. Bisa-bisa aku malah akan mencelakai diriku sendiri nantinya. Bukannya untung malah buntung. “Kayaknya sih enggak. Lagipula, kebanyakan dari mobil-mobil ini bukan milik keluargaku. Melainkan mobil titipan dari keluarga besarku. Kebanyakan dari mereka pergi ke luar kota untuk bekerja, namun mereka enggan untuk menitipkannya ke jasa penitipan mobil. Alhasil, ayahku membuat ruangan bawah tanah ini untuk menyimpan mobil itu semua. Kamu jangan sekali-sekali nyolong mobil ini loh ya” Andin memperingatiku sambil menunjuk mukaku. Aku hanya tersenyum tertawa karena berhasil mengerjainya. Dia pun langsung mengajakku untuk pergi menaiki salah satu lift di garasi bawah tanah itu. Aku hanya pernah melihat seperti ini saat di mall mewah. Bawah tanah dari atas memang sangat melelahkan bila harus naik secara manual menggunakan tangga. Aku juga mengira pasti Andin tak hanya memiliki satu pembantu. Aku pun mencoba tanya iseng kepada Andin. “Din, emangnya rumahmu ada berapa lantai sampai harus naik lift segala” Andin menoleh kepadaku. “Loh, emangnya di rumah kamu gak ada lift?” Andin menganggap kalau Lift adalah sesuatu yang pasti ada di setiap rumah. Dia benar-benar definisi orang kaya yang sesungguhnya. Tidak tahu akan kondisi orang-orang kere bin miskin sepertiku. “Cuman 5 lantai sih. Gak sebanyak rumah lain” jawab Andin dengan enteng. Aku tak tahu apa maksudnya dengan sebanyak rumah lain. Aku tahu mungkin Andin memang orang kaya, tapi jika dia sampai berkata seperti itu bukankah berarti ada orang kaya lain yang memiliki lebih mewah daripada punyanya? Benar-benar luar biasa. “Ngitungnya dari basement ini ya. Di atas juga gak ada apa-apa kok. Cuman kolam renang sama tempat buat duduk-duduk. Aku gak pernah berada di lantai paling atas karena hawa kota ini sungguh sangat panas. Apa kamu gak merasakannya juga Kill?” “Ya aku merasakannya. Benar-benar sangat panas. Bahkan jujur aku masih heran kenapa kamu masih betah untuk tinggal di kota ini. Bukankah ada kota lain yang lebih pantas untuk kamu tinggali? Maksudku kamu mungkin pasti memiliki uang untuk kabur dari kota ini bukan?” tanya kebingungan kepada Andin. Jika aku bisa memilih, mungkin aku akan pergi dari kota ini meninggalkan semua yang ku punya. meskipun aku tidak mempunyai apa-apa untuk ditinggalkan. “Ya, aku memang memiliki harta untuk melakukan itu, tapi ayah dan keluargaku bekerja di sini semua. Aku tidak bisa meninggalkan mereka semua hanya demi kenyamanan pribadiku. Lagipula walaupun panas, aku sadar kalau kota ini memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit lebih tinggi daripada kota lain. Jadi daripada pergi, bukankah lebih baik tinggal untuk sementara dan memperbaiki yang sudah ada. Benar begitu kan?” meskipun simpel dan terkesan naif. Aku cukup termotivasi dengan jalan pikiran yang diucapkan oleh Andin. Aku jadi teringat oleh salah satu motivator yang pernah aku lihat di tv. Masa lalu bukanlah sebuah album dimana engkau bisa melihat berulang kali dan mengingat-ingat apa yang tersisa di memorimu. Tidak. Masa lalu adalah senjata yang kau tempuh setelah berakali-kali berkelana di banyak sekali tempat sampai-sampai kau menemukan besi yang kau inginkan. Dan dirimu yang sekarang adalah penempa itu, kau bisa membuat apa saja yang kau inginkan dengan besi yang kau punya sekarang menjadi berbagai bentuk. Namun jika kau menemukan besi yang jelek di sepanjang perjalananmu, bukan berarti kau harus membuangnya. Kau bisa menyimpan besi itu dan mencari besi baru yang lain untuk kemudian kau tempa bersamaan agar bisa menjadi besi yang benar-benar kuat. Dan ucapan Andin benar-benar menggambarkan tentang motivasi itu. Kami berhasil naik ke lantai atas. Di depan kami, sudah tersaji banyak sekali hidangan makanan. Ternyata kamu berada di tempat makan terlihat dari ornamen-ornamen chef dan juga kayu yang tersebar di sepanjang ruangan. Andin langsung saja menghampiri meja itu dan membuka tutup makanan di atas meja. “Ya ampun. Papa memang gak pernah habisin sarapannya. Masih sisa banyak lagi. Bagaimana mau sehat?” gumam Andin yang terlihat kesal. Meskipun berkata dengan sangat lirih dan pelan-pelan, aku masih bisa mendengarnya dari belakang. “Emangnya papa kamu kenapa Din?” tanyaku penasaran. “Ah... nggak papa kok. Biasa orang tua. Sudah mulai penyakitan, padahal dokter nyuruh dia buat makan banyak. Tapi sekarang liat, masih sisa banyak di piringnya. Lagian mama juga begitu sih, sudah tahu papa susah buat makan malah nggak dipaksa. Terpaksa aku deh yang jadi sasaran omel dokter nanti” gumam Andin lagi dengan kesal. Dari ucapannya dia terlihat benar-benar sayang dengan papanya. Aku melihat piring yang dibuka oleh Andin tadi, dan benar saja, di sana masih tersisa banyak makanan yang siap untuk dimakan. Bahkan salah satu piring di sana masih tak tersentuh seperti baru. Makanan yang tersaji juga beraneka rupa dan aneh-aneh. Tidak ada nasi sedikitpun menjadi bagian dari makanan besar ini. Rupanya memang Keluarga Andin doyan untuk memasak makanan eropa dan sejenisnya. Dan untuk dokter yang dimaksud oleh Andin tadi, aku yakin dokter yang dia maksud adalah dokter pribadi. Aku seringsekali melihat orang-orang kaya menyewa dokter pribadi untuk kesehatan mereka jadi tidak perlu repot-repot untuk pergi ke rumah sakit. Bahkan aku yakin Andin tidak tahu apa itu yang dimaksud bpjs. Di pelajaran ekonomi nanti, pasti dia kebingungan saat harus menjelaskan tentang bpjs. Di masa seperti itu, aku benar-benar senang karena bisa lebih unggul daripada dirinya. Andin langsung saja mengajakku untuk naik ke atas. Ada tangga berputar di sana. Mirip sekali dengan tangga yang ada di film-film princess. Aku bisa membayangkan kalau ada pangeran tampan yang turun dari tangga itu kemari menjemputku. Namun sayangnya itu hanya khayalan saat aku masih menjadi bocil semata. Aku tak tahu apa alasan Andin untuk naik ke lantai atas dengan menggunakan tangga ini. Aku mengira kalau Andin ingin memperlihatkanku akan sesuatu disini. Tapi sejauh mata memandang, aku hanya bisa melihat banyak sekali ornamen-ornamen unik dan lukisan-lukisan indah terpanjang di dinding. Bau pengharum ruangan bearoma bunga eksotik juga aku hirup selama berjalan di rumah ini. dibarengi dengan bau aroma makanan khas kerajaan eropa. Sedangkan suara di sini benar-benar sunyi. Sangat di sayangkan sekali jika rumah sebesar ini hanya memiliki sedikit penghuni Akhirnya, di depanku ada sebuah sofa dengan tv yang sangat besar di depannya. TV itu hampir mirip sebesar tv bioskop. Namun sayangnya tidak menyala dan hanya memperlihatkan saluran hitam. Aku sungguh penasaran bagaimana kualitas gambar dari tv itu saat dinyalakan. Karena aku mengira pasti akan menghasilkan gambar yang begitu jernih. Dan tiba-tiba, ada seorang ibu-ibu dengan memakai daster datang menghampiri Andin sambil membawa piring. “Loh Mbak. Ini siapa? Teman mbak? Tumben banget mbak ngajak teman di rumah” ujarnya kepada Andin. Dari logat dan nada yang ia ucapkan, aku mengira kalau dia adalah salah satu asisten rumah tangga di rumah ini. “Hehe iya mbok. Kenalin ini teman aku. Namanya Aquilla. Biasa dipanggil Killa” Aku langsung menyalami ibu-ibu itu. Saat aku memegang tangannya, ternyata tangannya masih basah. Aku bisa mencium kalau aroma dari air itu adalah bekas cucian sabun. Aku tidak masalah dengan itu sebenarnya, hanya saja kaget saat merasakan hawa-hawa basah di telapak tanganku. “Kenalin bu, nama saya Killa. Teman Andin” sapaku dengan santun “Iya, Nama saya Mbok Lumrah. Saya sudah jadi asisten rumah tangga di sini semenjak Mbak Andin kecil. Dari dulu, dia gapernah bawa teman ke rumah. Kadang Mbok prihatin karena kayaknya mbak Andin sedikit beda dari anak yang lain. Tapi kayaknya sekarang Mbak Andin benar-benar berubah ya” Andin melirik dengan tajam ke arah Mbok lumrah. Dia mengarahkan tangannya ke pinggang mbok Lumrah dan langsung saja mencubitnya. “Sudah mbok, Diem. Cepet ke dapur sana” Mbok Lumrah sepertinya adalah tipikal ibu-ibu yang suka merumpi dan bergosip. Terlihat dari usahanya yang sudah mengetahui perilaku dan urusan dari Andin. Tapi aku sebenarnya merindukan sosok seperti itu berada di dalam rumah. Aku pernah mempunyai asisten rumah tangga juga dulu, benar-benar mirip seperti Mbok Lumrah. “Din, kamu beneran gak pernah ngajak teman kamu di rumah? Apa ini berarti aku menjadi orang pertama kalinya” tanyaku penasaran. “Iya Kill. aku bukannya tidak ingin mengajak teman ke rumah. Lebih tepatnya dulu aku tidak mempunyai teman. Anak-anak di sekolahku selalu membullyku karena keadaan fisikku. Hal itu membuatku memiliki trauma yang cukup berat di masa sekolah. Namun sekarang aku berusaha untuk ikhlas dan melupakannya” jawab Andin. Dia benar-benar gadis yang malang. “Hmmm.. Din. Kalo aku jadi orang yang pertama. Aku benar-benar takut nih. Saat aku masuk ke dalam kamar, kamu gak akan membiusku dan membunuhku diam-diam kan?” “Tentu saja tidak! Memangnya aku psikopat?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD