“Beno benar-benar mengkhawatirkan saat ini. Dia tidak mau mengobrol kepada kami ataupun melakukan aktivitas yang biasa dia lakukan. Aku benar-benar khawatir kepadanya. Mungkin jika kau datang, Beno akan merasa sedikit ceria atas kedatanganmu.” Ucap Anton. Dia tampaknya sangat khawatir dengan Beno, dan dia munkgin bukanlah orang biasa.
Sekarang, kami bertiga berada di mobil Andin. Anton duduk di tengah berusaha untuk mengarahkan kami ke tempat tinggal Beno. Sejak tadi, dia tak berhenti mengoceh tentang Beno, dia mengkhawatirkan Beno dengan sungguh-sungguh sampai kami terdiam tak memiliki kesempatan untuk memotong balik ucapannya. Aku tak mengerti apa hubungan Anton dengan Beno, namun aku menduga kalau dia adalah salah satu anggota dari komplotan Geng Beno yang terkenal dahulu.
“Biasanya, dia akan bermain gitar dan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Kami semua benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Yah, sebenarnya aku sudah mengerti kenapa dia bertingkah seperti itu, namun dari semua masalah yang ia lakukan, dia tak pernah bertingkah se ekstrim ini.” lanjut ucap Anton lagi. Aku yang berada di samping Andin saling bertatap-tatapan, seperti menyadari ada sesuatu yang aneh dengan Beno. Apa benar dia adalah Beno yang menyelamatkanku saat waktu SMA dulu.
Namun saat kami mencoba bertanya kepada Anton. Dia terus saja berbicara, kami seperti tak memiliki daya untuk mencari celah menanyainya sesuatu yang penting, “Bukan masalah apa-apa jika dia mengurung diri. Dia boleh melakukan itu sesuka hatinya. Namun yang jadi perkara adalah kami akan melakukan konser penting di suatu tempat, dan kami tidak boleh gagal dalam melakukan konser ini. Reputasi kami benar-benar bergantung dari konser ini”.
“Tunggu, kau punya band?” ucapku berbarengan dengan Andin langsung membuatnya terdiam kaget. Kami sedikit tersenyum puas karena cicak kecil ini akhirnya berhenti berbicara. Namun saat kami bertanya, dia terlihat kebingungan harus menjawab apa.
“Secara teknis iya, band kami akan tampil miuggu ini. Kami sudah memiliki jadwal dan dikontrak dari bulan-bulan lalu, namun kami selalu menolak karena Beno mendapatkan masalah. Dan jika band kami tidak tampil minggu ini, Band kami akan hancur dan tidak akan dapat manggung di tempat manapun lagi.” Sudah menjadi stereotype kalau band akan bubar karena salah satu personilnya memiliki ideologi sendiri atau sesuatu yang lebih penting untuk dia lakukan. Namun untuk kasus Beno, aku tidak mengerti dia bisa dengan sangat mudah meninggalkan Bandnya jika memang itu sangat berarti bagi teman-temannya.
Aku kemudian teringat, sebuah konser yang dilakukan minggu ini, aku pun langsung bertanya kepada Anton konser apa yang akan mereka bintangi, “Tunggu. Kau berkata akan melakukan konser minggu ini. Apakah kau adalah salah satu personel The Gist?”
Anton tersenyum, berubah berkelakar menjadi tertawa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melambai-lambaikan tangannya, menyangkal tuduhanku, “Aku berharap kalau aku adalah salah satu personel The Gist, namun sayangnya tidak. Band kami adalah band indie yang terdiri dari anak-anak dengan masa depan suram. Kami tidak akan pernah mampu menyaingi kepopuleran The Gist. Maka dari itu berada satu panggung bersama mereka malam itu akan menjadi penghargaan khusus bagi kami. Tidak banyak orang bisa melakukan aksi bermusik satu panggung dengan mereka”
Aku mengerti sekarang. Alasan Anton kenapa begitu mengkhawatirkan Beno. Mana mungkin ada orang waras yang akan melewatkan kesempatan seberuntung itu tampil bersama salah satu band populer di Indonesia. Jika aku teman personil band Beno, aku akan rela melakukan apa saja bahkan menyiksanya kalau bisa agar dia mau tampil di konser itu.
“Tapi sebelumnya Anton. Aku akan minta maaf jika aku tidak bisa berpengaruh banyak kepada Band kalian akan kedatanganku. Aku takut jika nanti Beno malah bertambah buruk dan semakin tidak ingin datang ke acara kalian saat aku datang menemuinya.” Ucapku cemas kepada Anton. Kalau dipikir-pikir, aku bukanlah siapa-siapa Beno. Teman dekat pun tidak, mana mungkin aku bisa memengaruhi Beno lebih dari yang sahabatnya sendiri bisa lakukan.
Namun Anton malah tersenyum, dia sepertinya sadar kalau aku terlalu mencemaskannya. Padahal, yang perlu ia cemaskan saat ini adalah dirinya dan bandnya yang entah kapan bisa tampil sepanggung dengan The Gist lagi. Anton berkata, “Tidak apa-apa, aku juga tidak menuntutmu untuk bisa berhasil memengaruhi Beno agar mau tampil di acara itu. Sebenarnya malahan itu adalah tugas kami agar dia bisa tampil dengan semaksimal mungkin. Tugasmu saat ini adalah hanya untuk menemuinya dan meminta maaf atas apa yang kau perbuat. Itu saja sudah cukup kok”
“Oh ya, maafkan aku juga jika telah mengoceh terlalu lama di mobil ini sampai-sampai aku lupa memperkenalkan diriku kepada kalian. Namaku adalah Antoine Debach, Bassist band Cocoon army. Tidak usah dieja dan disebutkan, karena kalian pasti kesulitan untuk mengucapkan pelafalannya dengan baik dan benar. Maka dari itu orang-orang lebih suka menyebutku dengan Anton.” Ujarnya sambil tersenyum puas.
Nama Anton terasa seperti ada unsur-unsur kebarat-baratannya. Dan ternyata aku sadar, kenapa muka dari Anton nampak sangat asing dan aneh saat aku lihat. Dilihat dari namanya, dia kemungkinan adalah salah satu orang blasteran prancis yang menetap di Indonesia. Mirip seperti Miguel yang keturunan orang spanyol.
“Apa, The Gist? Kapan mereka akan menjalankan konser? Kenapa aku tidak tahu mengenai hal tersebut?” sahut Andin yang sedang sibuk menyetir sedari tadi tidak punya waktu atau perhatian untuk ikut menimbrung dalam percakapan kami. Aku bingung kenapa Andin yang bisa dihitung sebagai fans berat dari The Gist tidak mengetahui konsernya yang akan digelar di kota Sourbay.
Aku langsung saja merogoh kantongku, mencoba mencari tiket pemberian miguel yang masih aku simpan. Disana tertulis siapa saja yang akan tayang selain The Gist dan juga jadwal tayangnya. Dan aku melihat nama Cocoon Army di sana. Anton tampaknya tidak berbohong saat menyebutkan nama bandnya, itu tertera di tiket ini. Andin yang melihatku meraba-raba tiket itu langsung saja menyautnya dengan tangan kirinya melepaskan setir. Dia kemudian berteriak panik sekaligus kaget melihat nama The Gist tertulis paling besar di tiket ini.
“OH TIDAK, THE GIST, BAGAIMANA AKU BISA MELEWATKAN INI” teriakan histeris Andin terdengar sampai luar mobil. Sampai-sampai dia me rem mendadak mobilnya dan membuat kami terbanting ke depan. Beberapa klakson mobil mulai terdengar dari belakang menyuruh Andin untuk segera lanjut menyalakan gasnya dan lanjut menjalankan mobilnya.
“Ya ampun Killa. Mengapa kamu tidak memberitahuku tentang konser The Gist ini? apakah tiketnya masih ada?” dengan sangat cepat, Andin meraih handphonenya di tangan kirinya dan memindai qr code di tiket itu. Betapa ia tidak panik dan lanjut berteriak secara histeris saat ia tahu kalau tiket konser itu sudah habis tak dijual lagi. Tidak ada opsi apapun untuk Andin bisa membeli tiket itu. Namun bukan itu yang membuatku khawatir, dia memeriksa handphone sambil menyetir membuatku sedikit ketakutan saat dia melakukannya.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan tiket ini Killa? Apakah kau memesannya terlebih dahulu? Ataukah kau memesan di pasar gelap?” ucapan Andin menjadi berlebihan seperti biasanya. Aku tidak akan memiliki uang ataupun niat untuk membeli sesuatu seremeh tiket The Gist di pasar gelap. Namun, aku tidak menjelaskan bagaimana aku mendapatkannya, karena Miguel sendirilah yang memberikanku tiket ini padaku. Akan terasa canggung bagiku jika harus mengucapkan Miguel di depan teman Beno.
“Ehh... mbak, sebenarnya aku mempunyai tiket sisa untuk pergi ke konser itu. Namun kau hanya bisa menukarkannya jika kami berhasil tampil di konser ini minggu depan. Jika kau mau, aku bisa memberikannya secara Cuma-Cuma kepadamu.” Anton langsung saja menyodorkan sebuah tiket kepada Andin. Aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana girangnya Andin saat ini, dia berteriak secara histeris lagi seperti orang kesurupan. Membuatku berpikir, apa teriakan histerisnya ini bisa berarti sesuatu yang buruk atau bagus secara bersamaan?
“Ahhh... terima kasih Anton. Kau benar-benar penyelamat hidupku. Tanpamu aku tidak akan mungkin bisa menonton konser The Gist secara eksklusif lagi,” Andin menoleh ke belakang berbicara kepada Anton. Sedangkan Anton sepertinya merasa sedikit canggung karena ekspresi yang dibuat oleh Andin benar-benar menyeramkan saat senang kegirangan. Andin kemudian menoleh kepadaku, dia berkata, “Killa. Kau harus bisa meyakinkan Beno untuk bisa ikut ke dalam konser ini. Anggap misi ini sebagai misi yang mempertaruhkan nyawamu mengerti”
Aku tak tahu apa maksud Andin berkata seperti itu. Tapi memang jika aku bisa membalas kebaikan Andin yang selama ini senantiasa membantuku dengan menyuruh Beno untuk ikut konser. Aku akan melakukannya dengan sepenuh hati.
***
“Ini tempatnya, kalian bisa berhenti dan parkir di depan situ.” Ucap Anton menyuruh kami berhenti di sebuah toko buku kecil. Tidak ada pengunjung ataupun kendaraan yang terparkir di sana. Membuatku sedikit takut dan curiga apa benar memang ini tempat yang Anton maksud? Namun di sana tidak ada orang ataupun penjaga yang biasanya menjaga toko buku itu. Anton kemudian turun mendahului kami.
“Kill, kamu yakin kalau ini tempatnya? Anton ini bukan seorang psikopat yang hendak menipu kita bukan?” tanya Andin yang berubah pikiran dengan cepat setelah dia berterima kasih dan memuja-muji Anton karena telah memberinya tiket. Aku hanya menaikkan bahuku karena tidak tahu apa yang Anton akan rencanakan. Kami tidak memiliki pilihan lain selain masuk ke dalam toko itu bersama dengan Anton.
Sebuah lonceng berdenting seraya kami membuka pintu, mirip seperti toko-toko di film luar negeri. Penampakan rak buku ini benar-benar aneh dan normal di saat yang bersamaan. Aku seperti mengerti akan referensi dari rak buku ini, namun aku tidak tahu seperti itu. Mirip seperti sebuah film fantasi terkenal. Nandia kalau tidak salah mengingat.
Anton kemudian mengajak kami berjalan menuju sofa yang sudah di duduki oleh personil-personil band Cocoon Army miliknya. Mereka terdiri dari 3 orang dan semuanya laki-laki berpenampilan rapi. Mereka terlihat lesu dan juga kebingungan, namun saat Anton datang, mereka langsung sumringah seperti mendapatkan harapan yang baru.
“Guys, kenalin ini Killa. Cewek yang menjadi bahan overthinking Beno” Anton mengenalkanku kepada anak-anak itu. Mereka tampak lebih sopan daripada anak-anak band yang biasa aku pikirkan. Mereka juga tidak memandangiku dengan tatapan m***m yang biasa anak laki-laki berikan kepadaku. Saking seringnya aku mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Aku menjadi sangat kaget saat mereka tidak bereaksi seperti itu kepadaku.
“Beno ada di lantai atas. Kau seharusnya langsung saja menemuinya di sana. Kami belum berbicara dengannya sama sekali hari ini.” ujar salah satu personilnya kepadaku. Tanpa basa-basi aku pun langsung saja pergi masuk menuju tangga di atas.
Aku mengetuk pintu di lantai atas itu, dan betapa kagetnya aku saat sadar kalau pintu itu tidak dikunci. Karena tidak kunjung mendapat balasan, aku langsung saja berniat untuk membukanya sendiri tanpa seizin siapapun.
Aku disambut oleh sebuah suara rendah yang aku kenal selama ini. “Kenapa kau ada di sini? Siapa yang mengajakmu kemari?” itu adalah suara Beno. Dia duduk diam sambil termenung melihatku. Dia tampak benar-benar sangat kacau.
“Ah... pasti Anton sialan itu yang mengjakmu kemari kan? Dasar bocah b******k!” gumam Beno kepada dirinya sendiri.
“Beno, aku mendengar kalau kau tidak sedang enak badan. Apa yang terjadi denganmu, mengapa kau mengurung dirimu sendiri di kamar ini?” tanyaku mencoba untuk mengelabuhi Beno.
“Biar kukatakan kepadamu, apapun yang Anton katakan tentangku dan Band ini adalah omong kosong. Band kami tidak memiliki kesempatan sejak awal. Aku tidak ingin mendapat tiket itu hanya karena aku beruntung. Aku ingin melakukannya karena kami memang berhak mendapatkannya” gumam Beno lagi.
Aku menghampiri Beno, dan menggenggam tangannya dengan erat. Entah kenapa setelah aku menggenggam tangan Beno, dia memandangku dengan tulus. Aku tak tahu kenapa dia memandangku seperti itu, tapi aku merasa kalau cara ini berhasil. Aku berusaha sekuat tenaga untuk memandang balik mata Beno yang benar-benar indah saat aku perhatikan.
“Dengar Beno, aku benar-benar meminta maaf atas kejadian tempo hari bersama Pak Harry. Aku juga berterima kasih karena kau datang dan membantuku hari itu. Aku tak tahu apa yang membuatmu menjadi semuram ini, namun kawan-kawanmu membutuhkanmu. Mereka sangat membutuhkanmu lebih dari yang kau pikirkan. Aku harap dengan kedatanganku yang tak membawa apa-apa ini bisa membuatku berpikir ulang tentang keputusanmu ini.” Beno memandangiku seraya aku mencoba untuk menasehatinya. Dia kemudian berdiri dari kasurnya, namun tetap memegang tanganku dengan sangat erat.
Kami saling bertatap-tatapan saat ini, tanpa mengatakan satu kata pun terucap dari mulut kami. Benar-benar hening sampai aku bisa mendengarkan suara dengungan di kuping kananku. Kemudian, dengan lembut, Beno langsung saja memelukku dengan tangan kanannya. Dia menciumku, dengan mulut halusnya.
Aku bisa merasakan mulut Beno bersentuhan lembut dengan mulutku, kami merasa seperti menyatu. Aku memejamkan mata, mencoba untuk menikmati momen-momen aneh ini bersama Beno. Aku tidak mengerti kenapa dia mencoba untuk tiba-tiba menciumku. Tapi aku tak bisa menolak menerima ciuman dari orang setampan Beno.
Tapi tiba-tiba Beno melepaskan pelukan dan ciumannya dari mulutku. Kami saling bertatap-tatapan. Dia menaruh tanganku tepat di dadanya, aku bisa merasakan detak jantung Beno yang berdebar-debar. Dia kemudian berkata. “Kau tidak perlu merasa bersalah. Ciuman itu saja sudah cukup untuk membayar permintaan maafmu”