Chapter 29

2036 Words
“Kenapa kau melakukan itu?” tanyaku bingung. Beno terus saja tersenyum manis sampai-sampai aku tak bisa memalingkan muka darinya karena benar-benar terbuai oleh ketampanannya. “Melakukan apa?” tidak ada ekspresi bingung atau hal apapun yang menggambarkan kalau Beno melakukan itu kepadaku. Faktanya, ini adalah ciuman kedua yang kulakukan oleh seseorang yang aku sukai kecuali Miguel, dan jujur saja aku benar-benar menikmatinya saat ini” “Kau tiba-tiba menciumku, bukan berarti aku tidak mau. Hanya saja, sungguh aneh kau melakukannya secara tiba-tiba. Aku belum siap.” Balasku kepada Beno. Namun dia tiba-tiba menggandeng tanganku dengan erat lagi. Seperti mengisyaratkan kalau dia melakukannya dengan sungguh-sungguh tanpa main-main. Aku tidak tahu harus berkata apa setelah dia melakukan itu kepadaku. “Dengar Killa. Aku sejak awal memang tidak berniat untuk marah ataupun benci kepadamu. Aku bahkan tidak akan pernah bisa mencoba untuk membencimu. Aku akan selalu menjagamu dan melindungimu dimana pun saat kau berada dalam bahaya. Karena kau adalah wanita yang benar-benar aku pedulikan dalam hidupku.” Ujar Beno manis kepadaku. Mataku berkaca-kaca, aku tak pernah mendapat omongan seperti itu dalam hidupku. Bahkan oleh orang-orang terdekatku sekalipun. Aku merasa benar-benar spesial saat Beno berkata seperti itu. “Oh ya? Lalu kenapa kau mengira kalau aku adalah wanita yang spesial? Padahal kau tak mengenalku, begitu pula sebaliknya. Apa yang sebenarnya kau incar?” tanda tanya besar masih menancap di kepalaku dan tak kunjung usai. Beno seakan-akan mencoba untuk menjahit hatiku dengan mulut manisnya, namun otakku yang dipenuhi dengan logika tak bisa sinkron dengan kondisi hati dan perasaanku saat ini. “Hahahaha...” Beno tertawa lepas sambil menghadap ke jendela menyinari mukanya dengan amat sangat terang. Dia benar-benar tampan saat ini, namun aku masih tak mengerti apa yang membuatnya bertingkah seperti ada sesuatu yang sangat lucu sampai terbahak-bahak seperti itu. Sejak tadi, mukaku dipenuhi dengan ekspresi kebingungan tidak paham dengan apa maksud Beno. “Kau tidak mengenaliku mungkin memang benar Killa. Namun, aku mengenalmu, bahkan mungkin lebih dari yang kira” “Itu tidak menjelaskan apapun Beno. Kau hanya membuat kata-kata agar aku terkesan bukan?” tuduhku padanya. Dia semenjak tadi hanya berbicara melantur sambil memegang tanganku dengan erat serasa tidak ingin kehilanganku. Aku juga merasa nyaman di dekat Beno tidak berusaha untuk melepaskannya, aku berusaha mengingat dan menikmati detik-detik ini sekarang. Beno mengambil stik drumnya di sofa, stik drum itu terlihat usang dan kayu-kayunya sudah mulai keluar dan membuat bentuk seperti tusuk gigi. Untung saja di ujung stik itu ada sebuah pegangan terbuat dari karet sehingga Beno akan aman saat menggunakannya. Aku tidak tahu kalau sejak awal, stik itu memang memiliki desain yang unik atau memang itu akibat ulah Beno. Beno kemudian menutup selambu jendelanya dan menarik tanganku menuju ke tangga bawah. Mukanya yang saat baru pertama kutemui merenung dengan muram sekarang tampak cerah. Aku tak tahu apa yang kulakukan sehingga bisa membuatnya berubah dengan cepat seperti itu, namun aku bersyukur dia bisa berubah menjadi dirinya yang dulu lagi. Saat di lantai bawah, aku melihat Andin yang sudah akrab dengan semua personil Cocoon Army, aku melihatnya asyik bercanda dan mengobrol bersama. Aku yang datang dari atas seperti tidak ia hiraukan dan pedulikan. Namun salah satu orang personil Cocoon Army yang duduk di sofa menyadari kedatangan kami dan langsung saja memanggil Beno. “Beno, jadi bagaimana? Kamu mau datang tidak ke konser minggu ini?” tanya salah satu personil dengan rambut pirang dan memakai bandana, gayanya mirip sekali dengan salah satu vokalis band terkenal. Beno tidak menjawab apapun, suasana orang-orang yang tengah duduk di sofa bercanda-canda tiba-tiba berubah menjadi hening. Mereka cemas jika Beno masih tidak mau untuk tampil minggu ini. Namun Beno tiba-tiba tersenyum, dia berkata, “Tentu saja aku akan tampil. Kalian orang-orang bodoh tidak akan memiliki drummer se berbakat aku bukan?” Semua orang berdiri memeluk Beno kegirangan tertawa-tawa. Aku yang berada di tengah-tengah mereka mencoba untuk kabur dari lingkaran orang-orang itu. Aku ikut senang dengan mereka yang juga senang karena telah berhasil melakukan konser yang penting bagi mereka. “Din, kamu kayaknya akrab banget sama mereka. Kamu tadi ngomong apa saja sama mereka sampai bisa ketawa-tawa bareng begitu?” tanyaku penasaran kepada Andin. Andin masih tersenyum seperti baru saja mengingat kejadian yang lucu. Aku juga ikut bahagia jika Andin bisa dengan mudah berbaur dengan mereka. Ya walaupun sebenarnya tidak sulit bagi Andin untuk berinteraksi dengan mereka karena dia memiliki hobi yang sama. Sama-sama menyukai dan terobsesi dengan The Gist. Diantara pelukan yang heboh itu, Anton kemudian berbalik. Dia menghampiri Andin dan memegang tangannya. Mereka saling bertatap-tatapan seperti ada sesuatu terjadi di antara mereka. Anton berkata, “Din, simpan tiket itu baik-baik ya. Aku nggak sabar melihat kamu berdiri di gerombolan penonton melihatku tampil di atas panggung minggu ini” “Sama aku juga Ton, aku tidak ingin melepaskan kesempatan ini untuk menonton The Gist.” Balas Andin membuatku bingungn setengah mati. Cara mereka berbicara membuatku merasa kalau mereka seperti dua orang kekasih yang saling jatuh cinta, padahal mereka saja masih belum lama saling bertemu. Aku juga baru meninggalkan mereka hanya untuk beberapa menit. Apa yang terjadi dengan Andin dan Anton sebenarnya saat aku tak bersama mereka? “Baiklah, kalau begitu, alangkah baiknya kita latihan terlebih dahulu.” Ujar Beno kepada semua personilnya. Mereka semua setuju dan mengangguk. Namun, aku tidak melihat ada peralatan band di sini. Hanya ada rak-rak penuh dengan buku dan juga kasir yang tak di isi oleh penunggu. Saat aku dilantai atas, aku juga sadar kalau ruangan di atas benar-benar sempit. Hanya cukup untuk digunakan sebagai kamar satu orang saja. “Dimana kalian akan latihan, karena kalau kalian berkenan, aku ingin ikut melihat kalian latihan.” Ucapku kepada mereka. Namun semuanya terlihat bingung ingin berkata apa sambil menggaruk-garuk kepala. Aku sadar ada sesuatu yang aneh dengan mereka dan tempat ini. “Ehh... maaf Killa. Bukannya kami melarangmu untuk melihat kami latihan. Namun tempat yang kami gunakan untuk berlatih benar-benar tidak layak untuk dilihat dan dimasuki. Kami akan melakukannya di tempat rahasia yang hanya personil band kami boleh memasukinya. Jika kami melanggarnya, itu akan melanggar fondasi dari band ini.” Sahut personil berambut pirang itu. Aku sadar kalau dia memiliki sebuah tato gitar di tangan kirinya yang mungkin menandakan kalau dia adalah seorang gitaris. “Yahh... padahal aku ingin melihat kalian bermain musik.” Ungkap Andin kecewa. Namun aku langsung saja merangkulnya dari samping sambil mengelus-ngelus rambutnya. Aku sebenarnya juga ingin untuk melihat mereka tampil, namun apabila mereka terganggu dengan kehadiranku dan juga Andin. Kami tidak bisa memaksa dan berlaku egois dengan keputusan mereka tersebut. “Baiklah kalau memang begitu. Kami akan segera pulang dan menunggu kalian tampil di konser itu, Oke?” aku mengacungkan jempolku kepada mereka sambil menyeret Andin agar pulang dari tempat ini. Langkah kaki Andin benar-benar berat sampai aku harus bersusah payah agar dia bisa menggerakkannya dengan tepat. Sambil meraung-raung, aku merasa kalau dia benar-benar nyaman saat berada di tempat ini. Tiba-tiba saat aku hendak keluar dari toko, Beno kemudian memanggilku. Dia memegang tanganku mengucapkan sebuah salam selamat tinggal kepadaku, “Killa, jaga dirimu sampai konser itu datang ya. Aku mempunyai sesuatu yang sangat ingin aku berikan kepadamu di konser itu nanti”. “Tentu saja Beno, aku akan mencoba untuk tidak membuat masalah hingga mengacaukan rencanamu kali ini.” Balasku sambil tersenyum tulus ke arahnya. Tiba-tiba semua personil Cocoon Army menyindir kami dan mencemooh, termasuk Andin yang berada di dekapanku sekaarang. Aku benar-benar malu saat itu, kami berdua pun akhirnya keluar dari toko itu dan Andin mengantarkanku pulang. *** Malam Konser Aku berada di kamar tidurku sekarang. Seharusnya, ini adalah jadwalku untuk bekerja seperti biasa. Aku bimbang karena harus pergi bekerja atau ke konser bersama Miguel saat ini. Aku harus memilih salah satu dari kedua hal itu. Aku bangun, segera membuat make-up di wajahku. Aku berkaca kepada diriku sendiri, akhir-akhir ini aku sering merasa bimbang dan ketakutan. Miguel tampak benar-benar tulus mencoba untuk memperbaiki hubungannya denganku sedangkan Beno juga orang yang sangat penting dalam hidupku. Aku tak tahu mana dari kedua orang ini yang harus kupilih. Aku berpikir, apakah aku memang secantik itu sampai harus kebingungan memilih dua orang sebagai orang yang kupilih selama hidupku nanti. Di depanku, ada sebuah box dimana itu adalah tempat aku biasa menempatkan uang hasil pekerjaanku di dalamnya. Aku meletakkannya di sana agar kakakku bisa menemukannya dengan mudah. Saat malam-malam atau sedang terjepit butuh uang, dia biasanya akan datang dan meminta uang padaku. Namun tentu saja dengan tampang yang meminta belas kasihan kepadaku. Berbeda saat dia selesai mengambil uangku, dia akan berlaku kasar lagi kepadaku. Box ini sekarang kosong setelah ku isi di dalam pekerjaan tak terdugaku tempo hari. Kakakku pasti sudah mengambil uangnya, tidak ada satu lembar pun dia sisakan padaku. Semua dia ambil hanya demi kebutuhannya membeli barang haram. Aku duduk sambil merenung berharap-harap cemas saat ini. Jika Miguel datang, aku akan bisa kabur dari tempat ini dan pergi konser tanpa harus bekerja. Karena aku sudah bekerja di tempat seperti itu. Itu adalah tempat terakhir dimana aku harus memilih suatu pekerjaan. Untung saja, kakakku tidak tiba di kamarku dan menagih uang, karena jika itu terjadi, aku pasti akan menjadi bulan-bulanannya lagi. Aku membeli banyak sekali peralatan mak-up untuk menutupi memar-memar yang aku sering terima di rumah. Jika diingat-ingat, aku baru pintar berdandan saat masuk SMA dan tobat dari dunia berandalan. Saat masih berandalan, aku benar-benar tidak peduli dengan penampilanku. Bahkan jika muncul jerawat sebesar kelereng saja di pipiku aku akan berusaha mencari tusuk gigi untuk meletuskannya. Namun saat SMA semua berubah, aku berusaha keras untuk memperbaiki citraku lagi sebagai anak yang baik-baik. Untungnya banyak dari mereka yang tidak mengenalku percaya dengan apa yang sudah usaha keras aku lakukan, sementara mereka orang-orang di masala lalu juga berdatangan mencoba untuk membalaskan dendam mereka kepadaku. Aku benar-benar bersyukur bisa tobat di waktu yang tepat. Tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar dari luar, namun sebelum aku menjawabnya, dia langsung saja membuka pintu itu. Dan benar saja, dia adalah kakakku, namun dengan keadaan yang sungguh teler. Dia hanya berpakain kaos oblong dan juga memakai celana pendek, dia benar-benar terlihat parah sekarang. “Killa, apa kamu nggak kerja malam ini?” tanyanya padaku. Namun aku tidak menjawabnya, dia malah langsung saja menghampiri di kamarku. Dia berbaring tidur di kasurku, aku merasa ada yang aneh. Di saat kakak teler, dia tidak pernah bertingkah se “normal” ini. Karena dia biasanya akan membentak dan memukulku di tempat. Aku menghampirinya di kasur, dan mencoba memeriksa badannya. Suhunya benar-benar sangat dingin sekarang, dengan mata yang berkunang-kunang dan juga mulut membiru. Dia sudah sering sekali mencapai kondisi seperti ini, aku tidak kaget dan tidak panik saat dia menjadi seperti itu. Itu sudah menjadi risiko atas perbuatan yang dia lakukan selama ini. Melihat kondisi kakakku yang cukup stabil, aku langsung saja mencoba untuk menjawab pertanyannya tadi. Matanya terlelap seperti habis terpukul akan sesuatu. “Aku tidak bekerja kak, maaf. Bukankah uang yang kuberikan kemarin masih cukup untuk kakak gunakan selama seminggu ini? Aku tak bisa bekerja terlalu sering seperti yang kakak pikirkan” ujarku sambil deg-degan tak tahu reaksi apa yang akan ia berikan kepadaku. “Baiklah, tidak apa-apa. Tidak masalah kau tidak bekerja. Bahkan, sebaiknya kau berhenti bekerja di tempat itu. Aku tidak ingin adikku satu-satunya menjadi terpuruk sama sepertiku” benar-benar aneh. Selama aku hidup, aku tidak pernah mendengar kakak berucap sehalus dan semanis itu. Selama aku berada di rumah ini, yang ku dengar hanyalah cacian, bentakan, dan makian. Apa mungkin kakak mengonsumsi obat jenis lain sehingga berkata seperti sekarang ini? “Kenapa kakak berkata seperti ini? apa yang kakak inginkan sebenarnya?” tanyaku kebingungan karena tak mengerti kenapa kakak bertindak dengan sangat berbeda. Dia hampir tak pernah melakukan satu kebaikan kepadaku, sehingga melihatnya bermulut manis pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan atau inginkan dariku. “Tidak ada, tidak ada yang kuinginkan. Aku hanya ingin agar kau hidup sehat dan pergi dari dunia malam. Jangan seperti kakakmu ini yang menjadi sampah masyarakat.” Ujarnya lagi, namun tiba-tiba handphoneku berbunyi. Itu adalah telepon dari Miguel Aku menengok ke jendela. Mobil milik miguel sudah berada di depan pagar. Aku melihat jam, ternyata Miguel benar-benar membuktikan omongannya dengan datang tepat waktu di rumahku. Aku langsung saja bergegas memakai pakaian dan tasku pergi meninggalkan kakak sendirian di rumahku. “Maaf kak, tapi aku harus meninggalkanmu sekarang”. “Tidak masalah, bersenang-senanglah Aquilla”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD