Sampai di rumah besar milik Bagas, Fina masih saja terdiam. Dia mengamati rumah mewahnya yang tidak jauh beda dengan rumahnya. Tetapi, bayangan matanya teringat tentang rumahnya sendiri. Dimana saat dia pernah merasa bahagia saat ke dua orang tuanya berkumpul bersama. Tetapi sekarang semuanya berbeda. Kebahagiaan itu hilang dalam keluarga kecil yang di miliki olehnya. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Mamanya yang sibuk dengan arisan, dan rekan sosialitanya. Tanpa mengingat keluarganya lagi. Dan, ayahnya sibuk dengan pekerjaanya.
Fina menyadarkan dirinya dari lamunannya. Dia melirik sekilas ke arah Bagas, wajahnya masih terlihat sangat dingin, dan angkuh. Tanpa rasa takut terbesit di pikiran Fina, ke dua matanya tidak berhenti menatap ke Bagas.
“Apa memang dia sangat membenciku.” Gumam Fina lirih, dia masih melihat Bagas mulai turun dari mobilnya.
Sepertinya memang dia sangat membenciku. Dari cara dia berbicara menunjukan kemarahan dan kesedihan yang sangat dalam, dari lubuk hatinya. Mungkin kehilangan orang yang di saying untuk selamanya, sangat menyakitkan.
“Cepat keluar!” bentak Bagas. Dia berdiri di balik pintu mobil, menunggu Fina segera keluar.
Fina mencoba untuk tetap sabar, dia mencoba pasrah dengan apa yang akan di lakukan laki-laki itu. Meski terus di perlakukan kasar saat pertama kali bertemu sampai sekarang, dan mungkin bisa selamanya dia akan kasar padanya. Tetapi, dia masih saja mencoba untuk tetap sabar.
Fina menguatkan hatinya, dia menarik napasnya dalam-dalam, menahannya, lalu mengeluarkan perlahan dari sela-sela bibirya. Fina segera membuka pintu mobil, dia terlihat ragu saat melangkahkan kakinya keluar. Belum sempat menutup pintu mobilnya. Bagas meraih pergelangan tangan kanan Fina, mencengkramnya sangat erat. Membuat Fina meringis menahan sakit. Dia tahu, tangannya pasti akan terlihat memar nantinya. Tapi tangan laki-laki di depannya itu sangat kuat mencengkeramnya, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Fina menarik napasnya dalam-dalam untuk kesekian kalinya. Dan, mencoba terus menahan rasa sakitnya. Bagas tidak banyak bicara, dia menariknya paksa tangan Fina kasar, hingga tubuh mungil itu berjalan terpental ke depan. Hampir saja terjatuh tersungkur ke bawah.
Bagas menariknya masuk ke dalam rumah besar yang sudah terbuka lebar pintunya. Seolah semua orang yang ada di rumah itu sudah menyambut kedatangannya.
Bagas menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang menatap Fina lekat-lekat.
“Sekarang, kamu bisa menghubungi orang tua kamu.” Ucap Bagas, menatap tajam ke arah Fina.
“Percuma, aku tidak bisa menghubungi mereka sama sekali dari kemarin. Lagian, mereka juga tidak perduli denganku. Biarkan semua ini menjadi keputusan dariku.” Ucap Fina, wajahnya terlihat muram. Dalam hati dia merasa sangat terluka dengan keadaanya. Orang tua kandungnya sama sekali tidak perduli dengannya. Dan, kini Kino juga belum memberikan kabar padanya. Dia tahu, pasti orang tuanya juga tidak mengijinkan dirinya terus berhubungan dengan Fina. Fina merasa sekarang dirinya sangat kesepian. Dia rela melepaskan kebahagiaan dirinya untuk menebus semua kesalahan.
“Baiklah, terserah kamu. Sekarang kamu bisa masuk ke dalam kamar yang sudah di siapkan untukmu.” Ucap dingin Bagas. Dia menarik tangan Fina kasar. Menyeretnya untuk berjalan menaiki anak tangga. Meski hampir saja terjatuh. Bagas tidak perduli dia terus menarik tangan Fina.
“Biarkan aku jalan sendiri.” Ucap Fina, menghentikan langkahnya. Dia memutar tangannya mencoba untuk melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Bagas.
“Diam dan menurutlah. Besok kita akan menikah. Semua baju sudah aku persiapkan. Karena aku tidak mau kamu kabur dari sini. Jadi, diamlah. Dan menurut apa yang aku katakan. Jangan banyak Tanya, atau menentangku.” Pekik bagas, semakin mencengkeram erat tangan Fina. Fina berdesis pelan, rasa sakit itu semakin menjalar sekujur tangan kanannya.
Bagas, menatap tajam wajah Fina, terlihat wajah yang merasa telah berdosa dengan keadaan. Mata yang terlihat sayu, wajah pucat pasi. Dari kemarin Fina sama sekali belum makan. Dia tidak nafsu makan sama sekali. Rasa lapar dalam perutnya seakan hilang.
“Apa kamu sakit?” Tanya Bagas, neski terlihat sedikit tidak tega dengannya. Tetapi wajahnya masih terlihat sangat jutek. Fina menatap lekat wajah tampan yang kini terlihat sangat dekat dengannya.
Apa dia perduli denganku, kenapa dia Tanya seperti itu? Tapi, aku lihat dia juga masih punya sisi baik juga.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tanya Bagas, memalingkan wajahnya acuh.
“Sekarang lebih baik kamu istirahat. Aku tidak mau jika kamu membatalkan acara besok pagi.” Bagas kembali menarik tangan Fina. Kali ini lebih kasar menyeret tubuhnya. Berjalan menuju ke sebuah kamar yang sudah di persiapkan olehnya. Bagas membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu, dengan ukiran klasik, berwarna coklat tua. Terilihat unik dan menjulang tinggi di depannya. Dia mendorong pintunya, hingga terbuka lebar. Dan, menyeret Fina masuk ke dalam. Mendorong tubuhnya hingga tubuh mungil yang sudah tidak berdaya itu, terjatuh di lantai putih dalam kamar khusus untuk Fina tinggal saat ini.
“Diam disini, jangan coba-coba kamu kabur dari kamar ini.” Ancam Bagas, dia mengambil remot ac yang berada di diding, menyalakan acnya, hingga terasa sangat dingin. Seolah dia sengaja membuat wanita itu terbujur kaku di dalamnya. Ranjang yang terbental luas itu telihat tidak ada selimut di atasnya. Setelah selesai, Bagas segera menutup kembali pintunya. Menguncinya rapat dari luar.
“Tolong, jangan kunci aku dari luar…” ucap Fina mencoba memohon saat dia mendengar suara pintu yang terkunci dari luar. Dia berusaha untuk bangun meski tubuhnya terasa sangat lemas. Memukul pintu kamarnya berkali-kali. Tetap saja Bagas tidak menghiraukan ucapannya. Dia berjalan, menjauh dari kamar Fina.
----
“Bagas… Siapa tadi?” Tanya mamanya. Seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan pakaian yang seperti ibu-ibu sosialita pada umumnya. Dandanan yang sedikit lebih muda dari wanita seusianya.
Sarah Wijayanti, nama ibu Bagas, dia ibu yang sangat dia cintai. Sementara ayahnya sama sekali tidak pernah menghiraukannya. Baginya kini perusahaannya lebih penting dari pada anak dan keluarganya.
“Mama?” Bagas menoleh, ke dua matanya menyipit. Dua bola mata hitam itu terlihat lebih mengkilat saat menatap wajah cemas mamanya.
“Kamu tidak membawa wanita lain ke rumah, kan?” Tanya Nyonya Sarah menyakinkan. “Karena mama tidak mau jika kamu berhubungan dengan wanita lain. Lagian Indah baru saja meninggal. Mama tidak mau jika kamu suka dengan wanita lain begitu cepatnya.” lanjutnya.
Bagas menghela napasnya, terlihat jelas dari sorot mata mamanya memandang ke arahnya. Dia masih belum bisa iklhas kehilangan Indah untuk selamanya. Bagas mencoba berjalan pelan mendekati mamanya. Dia memegang ke dua bahu mamanya, mengusapnya lembut. “Ma… Indah sudah tidak ada, dan undangan pernikahan kita juga sudah di sebar. Semua sudah di pesiapkan. Aku tidak mau membuat ayah malu. Dan, perusahaan kita tercemar. Bukanya aku tidak sayang dengan Indah. Aku melakukan ini juga untuknya. Aku akan membalas dendam atas kematyiannya yang tidak wajar.”
“Apa itu sesuai dengan rencana kamu kemarin?” Tanya mamanya. Kini mencoba untuk tenang dan memastikan.
Bagas tersenyum simpul. “Iya… Aku sudah bilang pada mama. Aku akan menikahi dia bukan karena aku melupakan Indah. Tapi aku ingin membuat hidup wanita itu hancur.. Sehancur hancurnya.”
“Dan, paling mengejutkan lagi, orang tuanya adalah orang terkaya di kota. Dia juga dalam keadaan kesepian. Orang tua tidak perduli dengannya. Dengan berada di sini. Orang tuanya yang sekaligus saingan bisnis ayah. Kita bisa memanfaatkan anaknya. Perlahan menghancurkan bisnisnya.”
Mendengar rencana Bagas. Sarah tersenyum sinis. Dia merasa kali ini sepemikiran dengan anaknya. Dan, mendukung penuh apa yang di rencanakan anaknya. Sarah menepuk ke dua pundak Bagas. “Baiklah, aku akan mencoba menerimanya. Tapi, aku harap kamu jangan sampai suka dengannya. Tidak boleh ada cinta di antara kalian.” Tegas nyonya sarah .
“Iya.. Mama tenang saja.” Ucap bagas, tersnyum tipis. Mengusap bahu mamanya. Mencoba untuk membuatnya yakin.
“Sekarang, mama pergilah. Dan, jangan buka kunci kamar itu. Biarkan dia terkunci di dalam.”
-----
Keesokan harinya. Jarum jam menunjukan pukul delapan pagi. Matahari sudah menampakan sinarnya. Sementara Fina masih berbaring di atas ranjang tanpa terbalut selimut. Tubuh mungil itu terlihat masih kedinginan, sinar matahari sudah menembus kelambu berwarna abu-abu yang menutupi jendela kaca yang membentang luas di kamar itu. Semua dinding kamarnya bahkan terbuat dari kaca. Ac yang masih menyala dan terasa semakin dingin. Fina memeluk tubuhnya sendiri. Dinginnya ac menusuk sampai ke tulangnya.
Brak! Brak! Brak! Brak!
Suara gebrakan pintu dari luar terdengar sampai ke telinga Fina. Dia mengerjapkan matanya. Mencoba membuka matanya perlahan. Suara bising itu mengganggu tidurnya yang memang sebelumnya tidak bisa tertidur nyenyak.
“Bukanya pintunya dikunci dari luar?” gumam Fina heran. Dia mencoba untuk beranjak duduk. Tubuhnya yang semakin lemas. Mencoba tetap bangkit dari ranjang. Berjalan dengan langkah berat. Ke dua kakinya terasa seperti di ikat ribuan tali yang melilit. Dia menarik kakinya yang semakin berat untuk melangkah ke depan. Dengan pandangan mata semakin lama semakin buram. Kepala yang terasa sangat berat. Baru menyentuh knop pintu berwarna perak. Kepalanya semakin pusing, pandangan matanya juga gelap. Hingga dia terjatuh tak sadarkan dirinya di lantai di balik pintu kamarnya.
“Ma, pintunya di kunci dari luar. Lagian percuma mama gedor pintu berkali-kali dia tidak akan bisa buka pintunya.” Ucap Bagas, berjalan pelan menghampiri mamanya.
“Iya, mama tahu. Tapi aku mencoba membangunkan dia. Siapa tahu dia masih tidur.” Ucap Nyonya Sarah, memutar matanya sinis.
Bagas menghela napasnya. Dia segera membuka pintu kamar Fina, ke dua matanya melebar saat melihat Fina tidak ada di ranjangnya. Wajahnya seketika memerah. Kepalanya mulai mendidih jika benar wanita itu mencoba untuk kabur dari kamarnya. Baru dua langkah, langkah kaki Bagas terhenti saat dia merasa ada sesuatu di bawah kakinya. Pandangan matanya tertuju ke bawah tepat di depan ujung kakinya. Seorang wanita tergeletak di lantai.
“Kenapa dia tidur di lantai?” gumam Bagas kesal. Dia menarik ke dua tangan wanita itu untuk berdiri. Tetapi Fina masih belum juga sadar. Tanpa bersikap lembut dengan Fina. Dia mencoba menarik kasar tubuh Fina, membaringkan di king size miliknya. Sementara Nyonya Sarah terlihat heran, dia bingung dengan apa yang terjadi dengan wanita itu.
“Kenapa dia?” Tanya Nyonya sarah. Tatapnnya terlihat tidak suka dengan Fina, meski wanita itu sangta cantik, tetapi melihat wajahnya saja dia sangat benci. Dan, meskipun baru pertama kali juga dia melihatnya.
“Aku juga tidak tahu dia kenapa?” jawab Bagas, dia mengangkat ke dua kaki Fina, di atas king size miliknya. Lalu, memeriksa dahi Fina, tubuhnya terasa sangat panas.
“Sepertinya dia demam, segera penghilkan dokter. Aku tidak mau dia mengacaukan rencanaku.” Ucap Bagas.