Bab 12

1364 Words
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan. Sengaja kukirim di beranda f******k dengan menandainya. Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku. Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku. “Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya. Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu. “Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau main nanti gimana, Kakek datang Dinda ga ada?” Dia berfikir sejenak. “Nanti kalau Kakek datang, Mamah jemput Dinda,” rengeknya. Aku mengerti mungkin dia sudah merasa bosan juga bemain sendiri sejak tadi. “Baiklah, tapi jangan nakal ya … harus sopan sama mama papanya Reni di sana.” Aku mengusap pucuk kepalanya sambil mengangguk. “Dinda bawa pasir warna yang kemarin, ya, Mah!”Aku mengangguk kembali sambil tersenyum. Bocah itu sudah berlari melompat-lompat karena senang. Aku berdiri di tepi jendela, memperhatikan Dinda yang berlari-lari. Tangan kecilnya terlihat mendorong gerbang yang memang tidak kukunci. Dia langsung berlari kecil menyebrang jalan yang memisahkan rumahku dengan rumah Bu Minah. Dinda sudah tidak terlihat, terhalang pagar. Aku berjalan ke teras untuk memastikan anakku sampai di sana. Berdiri di depan pintu sambil mengawasi gerbang pagar rumah Bu Minah. Gerbang itu kulihat terbuka perlahan. Reni menyambutnya senang. Aku tersenyum lega karena yang kukhawatirkan tidak terjadi. Namun ternyata adegan belum selesai. Tiba-tiba kudengar suara pintu pagar di tutup dengan keras di iringi tangisan Reni berselang-seling dengan omelan Bu Minah meski tidak jelas. Putri kesayanganku berdiri mematung. Sepertinya dia kaget menyaksikan keributan yang mendadak terjadi. Jujur, hatiku sakit. Kenapa Bu Minah bersikap tidak dewasa sama sekali. Anak-anak biarkanlah tetap dengan dunia mereka, kenapa harus di libatkan dengan permasalahan orang tua. Aku tergesa memburu Dinda. Hatiku bergetar melihat putriku di abaikan. Nuraniku pun tidak tega mendengar tangisan Reni yang masih terdengar dari dalam. “Mah, mau maen sama Dinda!” Reni berteriak-teriak bersahutan dengan omelan Sang Ibu. “Sayang ….” Aku mengusap pucuk kepala Dinda yang masih tertegun di sana. Putri kecilku menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Ayo, pulang … sebentar lagi Kakek datang!” bujukku sambil menggendongnya. Dinda masih terdiam. “Mah, kenapa Reni ga boleh maen sama Dinda?” Putriku bertanya sambil memelukku dalam gendongan. “Hmmm ….” Aku bingung harus memberi jawaban apa. Tidak mungkin menceritakan pada anak kecil kejadian yang sebenarnya. Tin Tin Tin Sebuah cadilac escalade ESV berwarna putih mengagetkanku. Ah, pasti itu ayah. Aku bergegas menyebrang dengan menggendong Dinda. Kubuka lebar gerbang yang baru terbuka setengah. Aku menunggu di depan gerbang sampai mobil ayah masuk. Segera kututup pagar sebelum menjadi perhatian. Bagaimana bisa sebuah mobil berharga miliaran parkir di rumah sederhana seperti ini. Aku menjadi seperti maling. Menengok gerbang dua tetangga yang berseberangan. Rumah Bu Minah dan Lela. Entah kenapa, aku belum siap jika identitasku harus terkuak sekarang. Ayah ternyata memperhatikanku yang sedang mengunci gerbang. Dia mengacak pucuk kepalaku. “Ayah datang malah keliatan ketakutan, bukannya senang?” ucapnya sambil tak henti mengacak pucuk kepalaku. Aku hanya nyengir kuda kemudian menggandeng lengannya manja. Sementara Dinda sudah berlari ke ruang tengah setelah mendapat sekantong oleh-oleh dari Kakeknya. Bagaimanapun, aku selalu merindukan mereka. Kedua orang tua yang selalu memanjakanku. “Mah, barbie, wooow ada dua, Mah! Ini kotak music, Mah kayak punya Reni yang ga boleh di pegang, Mah! Wah ada banyak lagi ... waaaw! Kakek ini apa?” Aku hanya menggeleng-geleng kepala. Ayahku entah habis berapa rupiah membelikan beragam mainan itu. Aku tahu itu harganya bisa sampe ratusan ribu. Kutinggalkan putriku yang sedang bercengkrama dan menanyakan nama mainan satu-satu pada Kakeknya. Aku membuatkan kopi hitam dengan setengah sendok teh gula, takaran kopi kesukaannya. Sudah lama sekali aku tidak pernah membuatnya lagi. Kuhidangkan kue bolu yang kupesan online dari teman arisan kemarin. Ayah suka kue-kue yang empuk dan manis. Aku kembali ke ruang tengah. Ayah dan Dinda sudah tidak ada di sana. Tidak lama, ayah muncul dari kamar Dinda. “Mana Dinda, Yah?” tanyaku setelah meletakkan kopi dan kue di atas meja. “Langsung maen di kamar, kamu memang ga pernah beliin mainan buat Dinda, Re?” “Ya beli, Yah tapi seperlunya saja, emang uang gampang di dapetin? Di hamburin buat mainan doang?” Aku mencebik, tidak terima mendapat protes dari ayah. Dia malah terkekeh sambil duduk di sofa dan mengambil sepotong kue. “Ini buatanmu, Re?” tanyanya sambil menyuap. “Mana ada waktu, Yah … iya sih di rumah tapi kan tetep aja ngerjain kerjaan, emang rebahan doang?”Aku duduk di sudut sofa yang lainnya dan mengambil remot menyalakan televisi. Dia tertawa. Sejak kecil, aku paling tidak suka membuat kue, ribet. Makanya ayah sengaja menggodaku atau mungkin mengira jika kini aku sudah berubah. Obrolan kami berlanjut santai. Ayah banyak menanyakan perihal pekerjaan Mas Indra, kondisi lingkungan, rencana sekolah Dinda dan banyak lagi. Pastinya yang kuceritakan semua yang baik-baik saja agar dia merasa tenang. “Re, ayah sudah semakin tua, Bunda juga … segeralah akhiri drama tidak penting ini, punya anak satu-satunya kho aneh, duh! Jika sudah kamu jelaskan pada suamimu, segeralah ajak dia untuk bersama mengurus bisnis property kita, ayah sudah capek wara-wiri, sudah tua!” keluhnya. Aku mencebik setiap kali ayah berkata jika ini adalah drama yang tidak penting. Namun benar juga, lelaki yang duduk di hadapanku sudah semakin tua. Jumlah uban di rambutnya sudah semakin banyak. Mungkin ada benarnya, aku harus segera menjelaskan yang sebenarnya kepada Mas Indra. Lagipula sejauh ini, aku sudah cukup tau siapa dia. Meskipun Mamah Reta, mertuaku selalu membanding-bandingkanku dengan Lela yang ternyata dulu menawarkan diri untuk menjadi menantunya. Akan tetapi Mas Indra tetap dengan hati dan pilihannya. “Drama ini bukan sesuatu yang tidak penting, Yah … asal ayah tahu, aku jadi bisa melihat siapa kawan sejati, dan siapa yang hanya mengambil keuntungan, begitupun dengan saudara yang lainnya,” ucapku pada ayah. Aku jadi tahu jika ibu Mas Indra adalah orang yang materialistis, meski tidak tergolong mertua yang kejam. Begitupun dengan sepupu-sepupu dan saudara lainnya hanya ada beberapa yang tulus tanpa melihat status. Aku menjadi lebih mudah untuk mengetahui, mana orang yang akan kupeluk dan kulindungi dan mana yang tidak perlu kuhiraukan nanti. “Sudahlah, toh ayah dan bundamu sudah menyetujui semua keinginanmu, kini giliran kami yang meminta, cepatlah pulang … urus semua bisnis keluarga ini bersama suamimu … ayah sudah lelah! Ayah sudah mau menghabiskan waktu untuk bersantai dan menikmati masa tua bersama bundamu,” ucapnya lebih serius. Aku tertunduk, membenarkan. “Untuk pembangunan madrasah, tolong mintakan saja proposalnya, dan minta share lokasinya … ayah hanya akan melihatnya sekilas, tidak mau banyak berurusan dengan orang lain, nanti tinggal kirim request pencairan dana CSR ke bagian keuangan saja,” ucap ayah. Aku mengangguk. "Hari ini yang handle di Condominium siapa? Kamu kirim Dermawan ke luar kota?" tanyanya tiba-tiba. "Ada staff nya, Yah! Tenang aja," ucapku. Ayah meneruskan kembali memakan kue yang tertunda. Aku baru teringat jika belum memberi kabar Mas Indra kalau ayah sudah sampai. Dia bilang meski tidak pulang tapi akan menelpon untuk berbicara dengan lelaki itu. Aku segera menuju kamar, sekilas mengintip Dinda di kamarnya yang terlihat asik memainkan mainan baru. Syukurlah kesedihan karena kelakuan Bu Minah sudah tidak berbekas sepertinya. Kuambil gawai yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Terlihat notifikasi pesan di WA grup bertumpuk, ada beberapa panggilan tak terjawab juga dari Hana. Aku tak sempat mengecheck grup ibu-ibu komplek, tapi membuka sekilas chat Hana. [Res, apa benar kamu bermesraan dengan lelaki tua? Kamu selingkuh?] tanyanya. Aku mengerutkan dahi, belum mengerti. Hana mengirimkan beberapa photoku yang terhalang pagar tapi masih terlihat, jelas di sana aku sedang bergandengan dengan ayah. Lelaki yang kini sedang duduk di ruang tengah. [Siapa yang mengirim photo itu?] Aku mengetik cepat pada Hana. [Bu Minah, dan di benarkan juga oleh Lela, mereka saksi mata, katanya mereka sedang menghubungi Pak RT dan beberapa warga mau grebek rumah kamu sekarang!] Hana terlihat panik. “Hah? Mau di grebek?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD