Bab 13

1117 Words
Selamat Membaca! Yuk ajak temannya untuk tap love pada cerita ini. Love ngebut, update daily deh ??? Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana. “Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan. “Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku. Tidak lama panggilan terhubung. “Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?” “Waálaikumsalam Sayang, iya mana?” Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Namun baru saja ayah menerima telepon dari Mas Indra terdengar suara ribut-ribut dari luar. Gedoran yang keras pada pintu gerbang, bersama teriakan-teriakan yang mengagetkan. “Ada apa Re?” Ayah menatapku heran. “Tenang, Yah … biar Rere lihat, ayah di sini aja.” Aku bergegas membuka pintu. DI luar sudah berkerumun sekitar dua puluh warga. Ada juga Pak RT di sana yang masih berusaha menenangkan semuanya. Aku berdiri tenang sambil melipat tangan di d**a. “Maaf Bapak-bapak dan Ibu-Ibu, ada apa ya? Sepagi ini sudah membuat rusuh di rumah saya?!” Aku menatap wajah mereka satu per satu dengan tajam. “Hey, Mba Resti! Kamu ga usah sok suci, kami tahu sekarang darimana kamu bisa dapetin uang sebesar itu untuk di sumbangkan, cih!” Suara Bu Minah berteriak dengan lantang. “Terus darimana?” tanyaku sambil masih melipat tangan di d**a. “Cih! Sudah ketangkap basah masih pura-pura lugu, dari mana lagi kalau bukan dari selingkuhan kamu, Bapak-bapak tua yang ada di dalam!” Lela turut menimpali. Aku memicing pada istri sepupu suamiku itu. “Lela, kamu sadar bicara dengan siapa? Mas Ardi masih saudara suami saya, harusnya kamu turut menelusuri berita dengan benar, bukan berteriak menuduh yang bukan-bukan!” Lela terlihat berani sekali karena merasa memiliki banyak dukungan. “Sudah-sudah … Bu Minah, tadi kan sudah pada janji mau bertanya pada Mba Resti baik-baik.” Pak RT mencoba melerai. Namun Bu Minah semakin menyalak seperti herder kelaparan. “Pak RT, kalau satu orang melakukan zina di komplek kita, empat puluh rumah kebagian dosanya Pak,” ucap Bu Minah sambil maju ke depan berkacak pinggang. “Ada apa ini?” Kudengar suara berat ayah dari ambang pintu. Kumenoleh ke arahnya. Ayah berjalan masih sambil memegang ponsel karena sedang berbicara dengan Mas Indra. “Tuh kan bener, akhirnya yang di sembunyikannya keluar juga!” ucap Bu Minah sambil menunjuk dengan telunjuk lentiknya. Kulirik kening Pak RT berkerut seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Sementara itu, Bu Minah menyalak lagi. “Hey Pak Tua, inget umur, sudah bau tanah, uban sudah banyak, masih suka daun muda, ih amit-amit!” Bu Minah berteriak sambil menunjuk wajah ayah. “Ada apa ini, Re?” Ayah melirik kearahku bingung. “Mereka mengira jika ayah adalah selingkuhanku,” ucapku masih tetap tenang. Mendengar aku menyebut ayah, semua mata warga yang sedang berkerumun saling melempar pandang. Wajah Pak RT terlihat cerah, sepertinya dia sudah mendapatkan ingatannya kembali. “Sudah ketangkep basah masih berkilah, jangan bohong Mba Resti, kita tahu harga mobil ini miliaran, pasti kamu kan cuma ngaku-ngaku, wanita sok suci! Tua Bangka tak tahu diri!” Bu Minah masih saja nyerocos tanpa titik dan koma. “Nih, ya Bu Ibu, suami saya yang manager di perusahaan Hartawan grup saja belum kebeli mobil semahal itu, apalagi dia, rumah aja di sini masih nyicil mana mungkin punya ayah yang bisa membeli mobil seharga miliaran,” tambahnya mendominasi semua warga yang kini sudah mulai berbisik-bisik. “Ehmmm! Dia siapa Res? Suaminya manager? ” Deheman ayah mengandung kharisma. “Dia istrinya Pak Dermawan, Yah,” ucapku. Dengan tenang, ayah mengambil dompetnya. Kemudian mengambil sesuatu. Semua mata warga menatap penasaran akan apa yang di keluarkan lelaki itu. Begitupun mata Bu Minah. Mungkin mereka berharap ayah akan mengeluarkan uang agar mereka tutup mulut. Satu kertas kecil berukuran segi empat dia keluarkan kemudian di berikan pada Bu MInah. “Ibu bisa baca? Tolong baca dengan teliti dan jangan sampai salah?” “Dan siap-siaplah untuk saya laporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik, putri saya!” Tangan Bu Minah menerimanya dengan tidak sopan. Seolah benda itu sangat menjijikan. Kemudian matanya melihat jejeran tulisan pada kartu nama yang ayah serahkan. Dia terdiam sejenak. Tiba-tiba wajahnya memucat. Jemarinya tampak gemetar. Bu Minah mundur beberapa langkah ke belakang. Dan … Brukkk! Tubuhnya ambruk dan hilang kesadaran. Semua warga yang berkerumun terlihat panik dan menjadi berisik. Mereka sebetulnya penasaran akan kertas yang Bu Minah baca, sebenarnya kertas apa yang di baca oleh Bu Minah sampai dia kehilangan kesadaran. “Tolong bawa dia ke rumahnya!” Pak RT memerintahkan para warga untuk membawa Bu Minah pulang. Semua warga membubarkan diri, sebagian terlihat ikut ke rumah Bu Minah. Sementara sebagiannya menyelamatkan diri. Sepertinya mereka takut ketika mendengar ucapan ayah barusan. Kasus ini akan di lanjutkan dengan laporan pencemaran nama baik. Sementara itu Pak RT mengambil kartu nama yang terjatuh dari tangan Bu Minah karena dia pun penasaran. Wajahnya tiba-tiba memucat dan bibirnya gemetar. Namun tidak sampai pingsan. Bagaimanapun nama Hartawan Group sudah terkenal. Selama ini tangan dingin ayah mampu mengelelola bisnis property ini hampir sempurna. Perusahaan Hartawan Group termasuk menjadi tiga perusahaan property terbesar di negara ini. Pak RT membungkuk dan menyerahkan kembali selembar kartu nama itu pada ayah yang hanya menggeleng-geleng kepala melihat semua kejadian hari ini. “Jadi, Bapak itu pemilik perusahaan property Hartawan Group, yang terkenal itu?” Suara Pak RT terdengar gemetar. Kini hanya tinggal dia sendiri yang masih tertinggal di sini. Ayah mengangguk sambil tersenyum. Kemudian dia menepuk pundak Pak RT dengan ramah. “Maafkan putri saya, Pak. Semua orang pasti salah faham jika tidak tahu kebenarannya,” ucapnya. Dari tafsiran kalimatnya seolah semua ini aku yang salah. “Mari, Pak masuk!” Ayah mengajak Pak RT ke dalam. Pak RT dengan segan berjalan membuntuti ayah. Sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku menyuguhkan kopi dan makanan kecil untuk Pak RT. Dia duduk dengan segan, masih terlihat jemari tangannya gemetar. Ayah memulai obrolan ringan dengan Pak RT. Sementara aku melihat Dinda ke kamarnya. Selama keributan tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Ternyata putri kecilku sedang meringkuk sambil mendengarkan kotak music yang masih mengalunkan lagu. Beruntung dia tidak sempat menyaksikan kerusuhan yang terjadi hari ini. Aku membetulkan posisi tidurnya dan menaikannya ke atas dipan. Kemudian kembali ke ruang tengah. Baru saja hendak duduk , terdengar suara seseorang mengucap salam. Aku bergegas menuju pintu. Terlihat Mas Indra sudah berada di teras dan sedang berjongkok melepas sepatunya. “Mas, kho udah pulang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD