Bab 11

1503 Words
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua. “Apa?!!!!!!!!!!!!” Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan. Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri. Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya. Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa pengurus harian untuk mengambil bingkisan yang di beli dari iuran warga. Berbagai jenis bingkisan, ada mainan, ada alat tulis ada juga pakaian, sepatu, kaos kaki. Mereka langsung masuk ke mobil bus yang sudah terparkir di halaman masjid. Pak Dermawan menghampiriku dan Mas Indra. Untuk pertama kalinya aku bertatap muka langsung. Bahkan hingga saat ini, aku yakin dia tidak akan menyangka jika R. Serena Hartawan itu adalah aku. Semua karyawan ayah sudah terbiasa memanggilku Rere, kependekan dari kata Restika. “Mba Resti, Mas Indra, saya duluan, ya! Mau nganter mereka dulu sampai panti.” Ramah tamah dan penuh etika tata bahasanya. Aku dan Mas Indra mengangguk. “Iya, Pak, hati-hati !” Mas Indra menjawab singkat. Kami beranjak hendak meninggalkan tempat acara. Aku sudah menggendong Dinda yang baru saja selesai makan. Ada beberapa box sudah aku titipkan untuk Bu Nani yang tidak bisa ikut karena tidak enak badan. Aku mengerti jika Bu Nani jarang ikut acara dan tidak terlalu senang keramaian. Dia pernah bilang padaku, jika dia merasa malu takut menjadi bahan gunjingan karena hanya punya dua gamis. Aku mengerti, karena sudah hafal mulut pedas warga sini. “Assalamu’alaikum, Mba Resti ... Mas Indra ....” Pak RT tiba-tiba sudah muncul dari belakangku. Dia muncul bersama seorang lelaki yang sudah berumur. “Boleh kami bicara, sebentar Mba, Mas!” Dengan sopan pak RT membuka percakapan. Aku dan Mas Indra saling bersitatap kemudian mengangguk bersamaan. Pak RT mengajak kami untuk duduk terlebih dulu pada kursi kosong yang belum selesai di bereskan oleh tim lapangan. “Perkenalkan, ini Pak Ibrahim pendiri sekolah madrasah untuk anak-anak kurang mampu di desa sebelah. Namun dia berhubungan baik dengan DKM kita sehingga setiap ada acara selalu terlibat. Beliau sudah hampir dua puluh tahun mengurus madrasah tersebut.” Pak RT seperti sengaja menunggu respon kami. “Wah, subhanallah ... semoga madrasah yang di bangun oleh Bapak banyak memberikan manfaat dan kebaikan.” Aku mencoba mencairkan suasana. “Amin ....” Semua serempak. “Beliau mendengar, tadi pembawa acara mengumumkan jika Mba Resti pemberi donatur terbesar. Nah, biar lebih enak ... silahkan Pak Ibrahim sampaikan maksud dan tujuannya.” Pak RT melemparkan penjelasan pada lelaki paruh baya itu. Aku dan Mas Indra masih setia mendengarkan. “Begini Mba Resti, Mas Indra ... sebelumnya saya mohon maaf jika malah jadi merepotkan. Saat ini bangunan madrasah di wilayah kami sedang mengalami renovasi karena memang sudah tidak layak. Namun kami terkendala biaya, sudah mau menginjak tahun ketiga progress hanya sekitar tiga puluh persen.” Pak Ibrahim menghentikan kalimat panjang lebarnya. Aku menoleh pada Mas Indra. Dia mengangguk. “Baik, Pak Ibrahim ... kami mengerti situasinya. Saya nanti coba hubungi donatur yang saya kenal, semoga beliau berkenan membantu, kami mohon doanya saja ... kami nanti bantu juga menginformasikan kepada team penggalangan dana pecinta yatim yang masih aktif, untuk membantu kendala ini. Semoga ada solusinya segera, Pak ....” Pertemuan di akhiri dengan obrolan ringan. Setelah Pak Ibrahim pamit pulang, aku dan Mas Indra segera mohon diri. Dinda sudah terlihat mengantuk. Tak berapa lama, akhirnya kami tiba di rumah. Mas Indra bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Sementara aku mendudukan Dinda di atas sofa. Tak berapa lama, suamiku sudah keluar dengan memakai kolor dan kaos oblong saja. “Res, aku mau tidur dulu mumpung liburan ... tar bangunin, ya kalau bablas sampai ashar.” Mas Indra langsung merebahkan tubuhnya pada karpet bulu yang tergelar di ruang tengah, menempel pada sofa. “Iya, Mas ....” Aku pun segera mengganti pakaian. Dalam acara resmi memang sudah terbiasa memakai kerudung. Namun jika di luar dari itu, aku masih sering melepasnya. Jadi terasa gerah. Aku berganti dengan kaos lengan pendek dan celana selutut. Meski sudah ibu-ibu, paling malas untuk memakai daster seperti yang lainnya. Aku duduk bersandar pada kursi goyang yang ada di kamarku. Kursi tempat biasanya menyelesaikan semua tugas negara. Pertama yang kucheck yaitu aplikasi hijau, beberapa grup chat dan personal chat. Sudah banyak notifikasi pada grup IIKCA atau Ibu-Ibu Kece Cluster A. Aku mengabaikannya, paling juga bahas nasi kotak yang enak, atau kyai yang tadi ngisi ceramah. Sudah bisa di tebak isinya. Aku beralih pada laman f******k. Masuk pada akun R.Serena Hartawan, pastinya untuk mengecheck pesan dari Nyonya Manager yang ternyata sangat pandai memutar balikan fakta. [Acara santunan anak yatim ... pelopor acara Papa @Dermawan.] Di sertakan olehnya caputre photo ketika pertama kali datang. Masih terlihat rapi riasan wajahnya. [Selalu menjadi nomor satu di antara semuanya.] Captionnya di sertai gambar ketika dirinya tengah menerima tamu. Aku hendak menutup laman media sosial berwarna biru. Namun sudut mataku menangkap sebuah status baru miliknya. [Ingin tenar, keren, nyaingin saya? Modal cuma hasil korupsi, ih ... amit-amit deh ....] Ah, meski aku yakin memang yang dia maksud itu adalah aku. Namun tetap ingin memancing reaksinya sekalian menyindirnya. [Ada apa sih, Bu? Awas jangan kebanyakan pikiran aneh-aneh, nanti cepat tua dan mati, yang ibu pikir belum tentu benar, jangan suka menuduh sembarangan.] balasku dalam statusnya. Rupanya Dia sedang online, langsung muncul tulisan sedang mengetik. Tidak berapa lama balasan untuk pertanyaanku sudah muncul. [Eh, jadi ga enak sama Bu Serena ... itu ada tetangga tidak tahu diri mau nyaingin saya, padahal levelnya masih kelas teri ... ya gitu deh, Bu namanya juga orang miskin mau nyari sensasi dan ngalahin kaum sosialita kelas tinggi seperti saya.] Panjang lebar dan menggemaskan. Dia tidak tahu saja orang yang dia umpat adalah orang yang sama dengan yang sedang membalas chatnya sekarang. “Silahkan Bu, sepuasnya ... buat tabungan shock yang banyak untuk kejutan manis yang akan kupersiapkan jika kamu tidak bisa berubah,” batinku. Ah, malas juga untuk berbalas lagi chat dengannya. Beberapa kali di sindir tapi seperti tidak punya urat malu. Bahkan aku bilang nanti cepat tua dan mati, dia ga ada respon apa-apa. Selama yang keluar dari tulisan akun orang kaya, dia penurut dan tunduk ternyata. Sejauh itu saja harga diri dan idelaisme Sang Nyonya Manager, hanya sebatas uang dan uang. Lain kali kalo aku kesel, akan kumaki sesukanya. Aku beralih pada grup chat IIKCA yang sejak tadi tak berhenti berbunyi. Hanya sekedar ingin mengintip tajuk berita utama hari ini. Aku mau tidur siang juga setelah ini, menemani Mas Indra, mumpung lagi libur. Aih, chat sudah ada ratusan. Ga ada waktu baca satu-satu. Aku japri saja Hana. [Rame bener, Na dalam grup, ada tajuk berita apa?] tulisku pada Hana. Sepertinya dia lagi online sehingga langsung muncul tulisan sedang mengetik. [Udah Res, kamu jangan baca, isinya nyinyiran doang karena merasa kesaing sama kamu waktu acara tadi. Mana ada bilang buat apa nyumbang banyak kalau cuma hasil korupsi.] Hana menyarankan tidak membaca, tapi dia tetap mengirimkan informasi yang membuat aku berdecak sendiri. [Ok, Han ... aku lagi males berdebat juga, mo tidur siang, dah!] Hana hanya mengirimkan pesan balasan singkat. [Ok.] Belum aku menyimpan gawai, tiba-tiba teringat akan permintaan bantuan dana dari Pak Ibrohim. Aku yang sudah hendak berdiri, duduk kembali. Kulangsung menelepon ayah. Rupanya nasib baik sedang berpihak, sambungan langsung di angkat. “Hallo, assalamu’alaikum, Yah.” ‘Wa’alaikumsalam, ada apa, Sayang?” “Yah, ada permintaan sumbangan untuk pembangunan madrasah bagi anak-anak kurang mampu, kasian udah dua tahun mau ketiga masih terbengkalai karena terkendala dana, alokasi dana CSR masih ada kan, Yah?” “Iya, ada. Nanti ayah ke rumah kamu, mau langsung lihat lokasinya, sekalian nengok cucu ayah ... kangen banget udah lama.” “Oh ya udah, tapi ayah jangan bawa mobil bisa ga?” “Hmm ... mau sampai kapan bersembunyi dari statusmu, Sayang? Indra juga udah terbukti mencintai kamu kan?” “Hmmm ... nanti Yah, aku masih ada satu test lagi buat dia.” “Ayah tetep pake mobil, nanti tinggal kamu bilang aja mobil kantornya ayah kalo ada yang nanya. Males ikut drama kamu yang kelamaan, udah pengen bikin resepsi besar-besaran tuh Bunda kamu.” “Tapi jangan pake mobil yang bagus, Yah ...” “Udah jangan bawel kalo mau di bantuin, emang mobil ayah ada yang jelek? Udah, ya ini lagi nganter Bunda kamu beli perhiasan.” “Berlian lagi, Yah?” “Ya, apalagi kalo bukan gituan.” “Aku mau photonya, ya! Bilangin bunda suruh WA.” “Iya, Sayang. Udah ya, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Ah punya koleksi photo berlian baru. Coba besok aku pancing lagi tuh Nyonya Manager. Memangnya beneran berani bayarin berlian seharga segitu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD