PART 9

2680 Words
Tentang pertemuannya dengan Syela dan Bunda Dela kemarin, Sasa tidak pernah memberitahu hal itu pada Rafa. Bahkan semalam pun ia mengabaikan panggilan telepon Rafa. Sasa hanya butuh waktu sendiri sebelum pergi berlibur bersama Rafa di Bali. Lihat saja, pagi ini Sasa sudah berada di apartemen Rafa. Dan dapat Sasa pastikan jika kekasihnya itu masih tidur. Sasa saat ini tengah memasak untuk sarapan pagi. Sedangkan jam 9 nanti mereka akan berangkat ke Bali, tanpa sepengetahuan siapa-siapa, termasuk Nanda. Sasa hanya bilang pada Nanda jika ia ingin menyendiri di suatu tempat. Nanda pun hanya mengiyakan. Begitu Sasa selesai menghidangkan hasil masakannya ke atas meja, Rafa tiba-tiba datang memeluk gadis itu dari belakang. Seingat Rafa ia hanya sendirian, karena Sasa tak kunjung datang semalam. Karena itulah, saat mencium aroma makanan di indera penciumannya, laki-laki itu segera ke dapur ketika otaknya mengingat Sasa. "Kenapa gak dateng semalem?" bisik Rafa di sela-sela kecupannya pada daun telinga Sasa. "Enggak apa-apa," jawab Sasa tenang. "Sa," tegur Rafa semakin mengeratkan pelukan mereka. "Gapapa Rafa. Kan seminggu aku bakal sama kamu terus, jadi semalem ngomong berdua sama Nanda," kilah Sasa berbohong. Kali ini Rafa mengiyakan. Ia tidak mau memperpanjang perdebatan dan berakhir mereka yang saling mendiami. Mereka ke Bali untuk berlibur bersama, bukan untuk menyelesaikan masalah yang baru diciptakan. "Ayo makan," ajak Sasa sembari melepaskan pelukan Rafa. Gadis cantik itu akhirnya berbalik setelah sedari tadi membiarkan Rafa memeluknya dari belakang. Namun atensi Sasa langsung teralih pada wajah Rafa yang tampak lesu. Kantung mata Rafa terlihat sedikit bengkak. Matanya pun cukup merah. "Rafa mata kamu kenapa gini?" Sasa mengelus lembut kantung mata pria itu yang hanya tersenyum tipis. "Jangan bilang semalam kamu gak tidur?" lirih Sasa seketika merasa bersalah. "Gak apa-apa, Sayang. Cuma kurang tidur aja." Sasa menarik tangan Rafa dan masuk ke kamar. Ia melihat laptop milik pria itu yang masih dalam posisi terbuka. "Terus ini apa?" tunjuk Sasa pada laptop Rafa yang masih menyala. "Aku cuma ngecek beberapa pekerjaan yang bisa aku kerjain aja, Sa," elak Rafa. Tapi melihat Sasa yang menatapnya intens dan tak percaya, membuatnya jujur. "Iya, aku gak tidur semalam. Tapi bukan salah kamu, Sayang," ucapnya lembut. Sasa menunduk. 'Harusnya semalam aku nurunin ego aja terus ke sini. Kamu udah bilang sama Bunda gak akan ninggalin Rafa apapun yang terjadi. Tapi baru dapet info pernikahan Rafa sama Syela yang dipercepat aja udah kaya gini? Terlalu awal.' "Sasa?" Rafa bertanya lembut. Kekasihnya itu menunduk dengan raut wajah yang tidak bisa ia tebak. Sasa menghela nafas pelan sebelum memeluk tubuh Rafa erat. "Jangan minta maaf, oke?" Sebelum Sasa mengucapkan maaf, Rafa lebih dulu mengingatkan. Ia mengelus lembut punggung gadis itu. "Sekarang ayo makan. Nanti masakan kamu dingin. Kita juga harus siap-siap sebelum berangkat," bisik Rafa. Sasa akhirnya mengangguk. Ia melepaskan pelukannya, dan bergerak tiba-tiba mengecup bibir Rafa singkat. "Makasih, Sayang." Sasa tersenyum lembut sebelum beranjak ke dapur, meninggalkan Rafa yang tersenyum-senyum salah tingkah. Mereka akhirnya makan dalam keheningan, sampai Sasa tiba-tiba bertanya. "Pakaian kamu udah siap?" Dengan tanpa dosa, Rafa menggelengkan kepalanya setelah memasukkan suapan terakhir ke mulut. "Kan kamu yang nyiapin," tuturnya ketika melihat raut wajah Sasa berubah masam. Penuturan Rafa membuat Sasa menghela nafas jengah. Tapi lagi-lagi gadis itu mengalah. Karena itu lah, setelah membereskan cucian piring, ia segera ke kamar Rafa dan menyiapkan keperluan laki-laki itu. "Aku nyiapin baju aja?" tanya Sasa dengan mata yang memindai sekeliling kamar. Rafa mendaratkan bokongnya pada kursi sofa yang ada di kamarnya itu. Kemudian mengangguk menanggapi pertanyaan Sasa. "Yang lain disiapin Dion," ucapnya menjawab kebingungan Sasa. Begitu Sasa selesai memasukkan barang-barang Rafa ke dalam koper, pria itu langsung menarik tangannya hingga tubuh keduanya menempel. Rafa memeluk erat pinggang Sasa dan membiarkan kekasihnya itu duduk di atas pangkuannya. Sedangkan bibirnya mulai aktif mengecup leher dan pundak Sasa. "Rafa, ih!" "Jangan masam gitu makanya" Rafa menggesekkan hidungnya pada kulit leher Sasa. "Enggh.... iya enggak." Sasa sedikit melenguh.Ia memaksa untuk terlepas dari dekapan Rafa, dan untunglah pria itu menyanggupi. Kini Sasa berdiri di hadapan Rafa dengan tangan laki-laki itu yang tak terlepas dari pinggang Sasa. "Gak ada yang tau kan kita ke Bali?" tanya Sasa mencoba terlihat tetap tenang. Tapi karena memiliki watak yang hampir sama, Rafa maupun Sasa kesulitan menyembunyikan gelagat masing-masing. "Dion udah urus semuanya. Kamu gak perlu khawatir," ucap Rafa mengelus pinggang Sasa. Helaan nafas pelan terdengar dari mulut Sasa. Tapi, mau tak mau Sasa tetap menganggukkan kepalanya, mengalah. Gadis itu memeluk kepala Rafa yang kini tenggelam di dadanya. "Aku takut," lirih Sasa dengan mata yang tak diam melirik ke sekitar. "Gapapa, Sa. Kita pasti bisa lewatin ini." Rafa menenangkan. Sasa menggigit bibir bawahnya pelan. Pembicaraannya dengan Dela kemarin belum selesai. Karena Syela sudah keburu datang. Tapi Dela sempat mengatakan ingin berbicara berdua dengannya. "Sasa!" panggil Rafa ketika Sasa tak kunjung bersuara. Hal itu membuat Sasa segera melepaskan pelukan mereka. Membiarkan ketika Rafa berdiri dan memeluk pinggangnya lagi. "Kamu gak perlu mikirin hal-hal yang gak perlu. Nanti kamu sakit," ucap Rafa datar. Berbanding terbalik dengan matanya yang menyorot khawatir. Bagaimana bisa Sasa tidak tersenyum dengan tingkah kekasihnya ini? Memang hanya jika bersama Rafa lah Sasa bisa seleluasa ini. Mereka berdua saling mendekap dengan erat. "Kita bisa kan, Raf?" tanya Sasa mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Hm. Nikah, punya anak. Kita pasti bisa," bisik Rafa tepat di atas telinga Sasa yang sontak tertawa kecil. Gadis itu menyeka sudut matanya yang basah. Kemudian melepaskan pelukan mereka hanya untuk menatap wajah Rafa. Dengan kaki yang tengah berjinjit, Sasa mendekatkan bibirnya ke bibir Rafa. Cup! "Ayo siap-siap. Satu jam lagi kita berangkat.” Belum juga Rafa menahan tengkuknya, Sasa sudah berlari menjauh lebih dulu. Gadis itu segera kembali ke unit apartemennya untuk bersiap-siap. Mengabaikan Rafa yang menggerutu karena tidak bisa mencium Sasa lebih lama. "Nan, Lo gapapa kan sendirian?" tanya Sasa ketika berpapasan dengan Nanda yang baru mau keluar. “Gapapa, deh. Lagian lo liburan gak ngajak -ngajak.” Nanda selalu lupa untuk bertanya mengenai hubungan Rafa dan Sasa. Padahal ia tau jika akhir-akhir ini Rafa dan Sasa kembali lengket. “Mau me time,” elak Sasa. Ia segera bersiap-siap. Sejujurnya Sasa juga tidak sabar berlibur ke Bali. Setidaknya, ia mempunyai waktu berdua dengan Rafa tanpa gangguan pengawasan Neal, ayah Rafa. Hanya perlu menghitung jam, kini Rafa dan Sasa telah berada di dalam pesawat pribadi milik Rafa. Bukan pesawat pribadi milik perusahaan atau keluarga, tapi miliknya sendiri. Agar Neal tidak bisa mengganggu kebersamaannya dengan Sasa. "Kenapa harus naik pesawat pribadi?" gumam Sasa begitu Rafa menggiringnya masuk ke dalam pesawat. "Lebih aman," balas Rafa singkat. Sasa hanya mengangguk mengerti. Matanya memindai setiap isi pesawat pria itu, dan memang sangat nyaman. Tidak perlu melihat satu penumpang dengan penumpang yang lain. Selain itu, pesawat pribadi milik Rafa terdapat sebuah kamar khusus. Jadi Sasa bisa langsung merebahkan tubuhnya di sana. "Tidur, yuk!" ajak Sasa dengan wajah letih. Rafa mengernyit sebelum menyusul kekasihnya itu. "Semalam, kamu gak tidur?" tuding Rafa dengan tatapan menyelidik. "Tidur, tapi gak nyenyak. Gak ada kamu soalnya, hehe," goda Sasa cengengesan. "Kamu juga harus tidur sini. Dari semalam kamu belum tidur, loh, sayang." Senyum gemas langsung terpatri di wajah Rafa. Sasa jarang bertingkah seperti ini, tapi sekalinya gadis itu manja dan jahil seperti sekarang, pasti selalu berhasil membuat Rafa semakin jatuh hati. Ck, semakin hari Rafa merasa jika perasaannya pada Sasa kian membesar. Ini membuatnya takut. Rafa takut jika kedepannya hubungan mereka tertimpa masalah besar. Karena itulah, saat ini yang ingin dilakukan Rafa adalah memeluk tubuh Sasa. Selalu, sampai ia tertidur dengan nyenyak. *** Tubuh mungil seorang perempuan tampak menggeliat kecil di atas ranjang kamar hotel. Ia adalah Sasa Zamora. Gadis cantik berkepribadian cuek dan jutek itu tampak sangat menggemaskan dengan wajah bantalnya. Begitu manik matanya terbuka sepenuhnya, netra gelapnya langsung menangkap punggung seorang laki-laki di balkon kamar. Pria itu tengah menempelkan ponselnya ke telinga. Menandakan jika ia tengah menerima telepon. Dengan tersenyum tipis, Sasa berusaha bangkit dan menghampiri laki-laki itu dengan langkah pelan, agar tidak ketahuan. "Urus semuanya. Aku gak mau mau waktuku sama Sasa diganggu." Sasa semakin tersenyum ketika mendengar titahan tak terbantah dari pria itu. Dengan menggigit bibir bawahnya, Sasa memeluk pria si pemilik pundak lebar itu dari belakang. Dapat Sasa rasakan adanya keterkejutan dari tubuh yang ia peluk ini. Tapi hanya sejenak, karena setelahnya ia kembali rileks. "Dion?" tanya Sasa menebak ketika pria yang ia peluk ini berbalik menghadapnya, setelah memutuskan sambungan telepon. Rafandra Ganendra. Pria si pemilik pundak lebar itu kini memeluk tubuh Sasa yang sedari tadi tidak melepaskannya. Mereka saling memeluk dengan posisi tubuh yang sudah berdiri berhadapan. Rafa yang menunduk dan Sasa yang mendongak karena perbedaan tinggi badan. "Iya," jawab Rafa dengan mata yang fokus memerhatikan setiap inci wajah milik kekasihnya. Salah satu tangan Rafa terangkat dan mengelus pipi lembut Sasa. "Aku gak mau ada yang ganggu kita." Ia berbisik sensual. Kedua sudut bibir Sasa terangkat. Matanya mengerling dengan menggigit bibir bawahnya menggoda. "Jangan ngegoda, Sa. Belum sehari kita di sini, kamu udah aku jebolin," peringat Rafa tajam. Sasa tertawa terbahak-bahak. "Becanda doang, ih! Serius banget," kilah Sasa sembari melepaskan pelukannya. Rafa bergeser ke samping ketika Sasa melangkah maju pada pagar balkon kamar. Gadis itu menatap terpesona pada indahnya pemandangan laut di depannya. "Kita udah di Bali?" gumam Sasa bertanya. Rafa tersenyum tipis. Ia memeluk Sasa dari belakang. Meletakkan dagunya di atas puncak kepala Sasa, sedangkan tangannya mengelus sensual perut rata kekasihnya itu. "Kamu yang bawa aku ke kamar? Perasaan tadi aku masih tidur di pesawat, deh," celoteh Sasa dengan kepala mendongak. "Iya. Suka, gak?" tanya Rafa ikut menunduk. Sasa menganggukkan kepalanya cepat. "Iya. Aku tuh pengen nikah konsepnya outdoorkaya gini. Di pantai," ucap Sasa dengan tatapan berbinar. Senyum kecut terpatri di wajah Rafa. Seandainya saja perjodohan itu tidak pernah ada. Mungkin Rafa bisa mewujudkan impian kecil Sasa. Sasa yang merasakan pelukan Rafa semakin mengerat pun sontak merasa bersalah. Ia baru saja menyinggung hal-hal yang sensitif di antara mereka. "M-maksud aku--" "Kamu gak salah. Wajar kan, kamu punya bayang-bayang pernikahan impian?" sela Rafa ketika Sasa ingin berkilah. "Rafa--" "Jangan buat aku semakin merasa bersalah, Sa. Gak usah ngelak." Lagi-lagi Rafa menyela.Ia tersenyum tulus. 'Impian kamu harus terwujud, sayang.' Sasa segera berbalik untuk memeluk tubuh Rafa dari depan. "Raf! Iya, aku tuh memang pengen nikahan kaya gitu. Tapi kalo nikahnya bukan sama kamu juga percuma. Aku cuma mau sama kamu," ucap Sasa dengan menatap mata Rafa serius. "Meskipun harus nunggu lama?" desis Rafa mendelik. "Emang kamu mau aku nikah sama orang lain?" "Ya enggak, lah!!" sembur Rafa ngegas. Melihat wajah Rafa yang sudah memerah karena emosi, tawa Sasa langsung pecah. Gadis itu memeluk erat tubuh Rafa di sisa-sisa tawanya. "Gak ada cowok yang bisa buat aku kaya gini tau," gerutu Sasa kesal. "Dan gak ada cewek selain kamu, yang bisa buat aku gila," balas Rafa datar. Sasa terkekeh. "Mmm, mending kita jalan-jalan ke pantai sana. Hari ini belum kerja, kan?" tanya Sasa melepaskan pelukan mereka. Rafa mengangguk dengan wajah yang tetap tanpa ekspresi. Tapi tangannya bergerak menggenggam tangan Sasa, dan menggiring gadis itu keluar kamar hotel. Membawa kekasihnya ke pinggir pantai yang saat itu masih sangat sepi. Sasa tertidur di pesawat tadinya. Bahkan sampai Rafa memindahkan tubuhnya dari pesawat ke mobil, kemudian ke kamar hotel pun Sasa masih nyenyak. Rafa yang merasa letih pun ikut tertidur di samping gadis itu. Sampai sore menjelang barulah Rafa bangun, kemudian disusul Sasa setengah jam berikutnya. Sasa berjalan dan membiarkan kakinya basah dengan deburan ombak kecil karena ia berjalan di pinggir pantai. Di sampingnya ada Rafa yang selalu menemani setiap langkahnya. Sedangkan tangan Sasa tak lepas dari menggandeng lengan Rafa. Keduanya terlihat seperti pasangan yang tengah bulan madu. "Suka?" tanya Rafa setelah betah diam memerhatikan setiap gelagat kekasihnya itu. Sasa mendongak untuk menatap wajah Rafa. Senyum lebar lagi-lagi menguar dari wajah gadis itu. Ia mengangguk antusias, membuat Rafa ikut tersenyum. "Kita seminggu di sini. Apa pun yang kamu minta, aku kabulin," ucap Rafa lembut. Senyum lebar Sasa semakin merekah. "Oke!! Tapi makan dulu, yuk? Aku laper," rengek Sasa menggoyangkan tangan Rafa seolah merayu. Tawa kecil terdengar dari mulut Rafa. Pria itu mengacak pelan surai Sasa, tak lupa juga mendaratkan kecupan singkat di sana. "Ayo," ajaknya. Kali ini gantian Rafa yang menggandeng tangan mungil Sasa. Mereka berjalan beriringan kembali ke hotel untuk mengisi perut. Rupanya Rafa sudah menyiapkan semuanya. Karena saat sampai di hotel mereka, sebuah meja dengan dipenuhi berbagai macam makanan di atasnya sudah tersedia di hotel room mereka. 'Sekali ini aja. Biarin gue sama Rafa nikmatin waktu berdua. Tanpa gangguan pertunangan itu atau keluarga Rafa,' mohon Sasa dalam hati. "Suka?" Lamunan Sasa langsung buyar saat Rafa berbisik di dekat telinganya. Gadis itu tersenyum riang. "Kamu yang nyiapin semuanya?" tanyanya antusias. Rafa tersenyum tipis. "Hm." "Woaah kamu---" "Dion yang nyiapin," sela Rafa sebelum kekasihnya itu salah paham. Dan benar saja, Sasa langsung mendelik menatapnya. "Ck, kirain dia sendiri yang nyiapin," gumam Sasa menggerutu. Rafa yang mendengar itu, tidak marah. Ia malah tersenyum tipis mendengar gerutuan kekasihnya. Karena Rafa selalu menyukainya. "Dion tau banyak, ya? Dia hidangin makanan kesukaan kamu sama makanan kesukaan aku. Bahkan matcha," ucap Sasa mengangkat gelas berisikan minuman rasa matcha kesukaannya. "Kalau dia gak tau apa-apa tentang kamu. Dion bukan orang kepercayaan aku," balas Rafa tenang. "Kasian dong Dion nya. Masa---" "Gak usah mikirin cowo lain. Dia juga digaji," cetus Rafa dengan alis menukik tajam. Telinganya panas karena Sasa terus saja menyebut nama Dion. "Iya, iya. Gitu aja marah." Setelah mengisi perut di hotel, Sasa langsung merengek ingin diajak jalan-jalan oleh Rafa. Berhubung mulai besok Rafa akan sibuk memindai pembangunan hotel barunya yang jaraknya agak jauh dari hotel tempat mereka menginap, jadilah sekarang Rafa menuruti permintaan Sasa yang ingin jalan-jalan keluar. Lagi pula, mereka sudah istirahat berjam-jam tadi. Sekarang saatnya beraktifitas yang dapat dipastikan akan sangat melelahkan. Sejujurnya, Rafa dan Sasa adalah tipe orang yang lebih nyaman berdua di tempat yang tidak ramai. Tapi karena mereka hanya punya waktu bebas di luaran sana pada saat ini saja, jadi mereka memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Rafa mengajak Sasa ke pusat perbelanjaan hanya untuk sekedar menikmati jalan berdua tanpa takut diawasi. Sekarang mereka baru keluar dari bioskop setelah di-request Sasa tadi. "Nonton mau?" tawar Sasa kala itu mereka melewati stand bioskop. Rafa melirik. "Mau film apa?" tanya Rafa menyanggupi. Sasa berpikir sejenak. "Mmm, gak tau. Pengennya action, tapi bagusan romance deh. Kan lagi berdua, jadi cari moment tuh yang romantis biar kebawa ke dunia nyata." Celotehan Sasa membuat Rafa tersenyum gemas. Rafa yang tidak begitu menyukai film romansa, tetap menuruti permintaan kecil Sasa. Mereka memilih film yang rasanya cocok untuk ditonton. Tak lupa juga membeli pop corn untuk melengkapi kegiatan nonton mereka. Bahkan sepanjang filmnya jalan, Rafa tidak begitu memerhatikan layar lebar tersebut. Ia malah duduk menyamping dengan mata yang tidak terlepas dari wajah Sasa yang terus mengeluarkan ekspresi-ekspresi menggemaskan di matanya. "Mau ke mana lagi?" tanya Rafa mengecup punggung tangan Sasa. "Belanja? Beli yang couple, yuk!" ajak Sasa lagi. Rafa? Tentu saja ia menuruti. Kan Rafa sudah bilang, apapun yang Sasa minta akan ia turuti. Kecuali jika gadis itu meminta berdekatan dengan laki-laki lain, barulah Rafa kurung dia di kamar. Mereka memasuki toko pakaian. Entah itu pakaian laki-laki, perempuan dan anak-anak sekalipun. Semuanya ada di sana. Sasa menghampiri salah satu piyama yang berpasangan. Bukan hanya berpasangan untuk sepasang laki-laki dan perempuan dewasa. Tapi ada dua lagi untuk anak kecil. Hal itu mengundang senyuman penuh kekaguman di wajah Sasa. "Mbak!" panggil Sasa pada salah satu pramuniaga wanita yang kebetulan ada di dekatnya. "Iya, Mbak?" tanya pramuniaga itu setelah menghampiri Rafa dan Sasa. "Ini bajunya bisa gak dipesan terpisah? Maksudnya cuma mau ambil yang pakaian dewasanya aja," tanya Sasa sembari menyentuh kain baju piyama yang sedari tadi menarik perhatiannya. Pramuniaga itu tersenyum sungkan. "Maaf Mbak, bajunya sepasang untuk satu keluarga.Untuk orang tua, dan juga anak-anaknya," ucap pramuniaga itu tersenyum tipis. Senyum di wajah Sasa langsung surut. Hal itu langsung disadari Rafa, karena sejujurnya ia tidak begitu mendengar percakapan kekasihnya dengan sang pramuniaga. Karena sedari tadi, mata dan pikirannya hanya terpusat pada wajah Sasa. "Tolong dibungkus saja," titah Rafa pada pramuniaga tadi. Ia kembali menarik tangan Sasa untuk melihat-lihat yang lain tanpa menunggu kekasihnya itu protes. "Tapi baju itu cuma bisa kita pakai yang ukuran dewasa, Raf. Yang kecilnya bakalan gak terpakai." "Gak apa-apa. Nanti buat anak-anak kita."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD