PART 7

2912 Words
Rafa menghembuskan nafasnya pelan sebelum membuka pintu ruangannya. Mata tajamnya langsung menangkap keberadaan Syela yang tengah berbaring di kursi sofa. Gadis yang tengah memainkan ponselnya itu langsung mendongak ketika menyadari kedatangan Rafa. Syela juga merubah posisinya menjadi duduk. "Eh, kak Rafa udah datang?" Rafa tidak menjawab pertanyan Syela. Ia kembali menutup pintu ruangan dan berjalan menuju kursinya. Memilih fokus dengan kertas-kertas yang berjejer rapi di atas mejanya. Rafa yakin jika sekretarisnya--Dion--yang membawa ini. "Semalam aku ke rumah. Kok kamu gak ada? Kata Bunda, kamu udah jarang nginap di rumah. Kamu ada tempat tinggal lain? Atau apartemen?" tanya Syela beruntun. Rafa melirik gadis itu sekilas. "Hm," jawabnya singkat. Ia malah mengambil ponselnya yang ia letakan di atas meja ketika baru duduk di kursi kebesarannya itu. Mengetikkan pesan dan mengirimnya untuk kekasihnya, Sasa. Brengsek? Iya Rafa memang b******k. Bertukar pesan dengan perempuan lain saat ada tunangannya di sisinya. Tapi Rafa ingin bersikap egois. Apa salah jika ia juga ingin bahagia, sedangkan kebahagiaannya hanya bisa ia temukan jika bersama Sasa. Dua tahun ia mencoba membuka hati pada Syela, setelah dengan begitu berat ia mengirimi Sasa pesan melalui email jika ia ingin memutuskan gadis itu. Tapi tetap saja hambar. Rafa tidak bisa mencintai Syela. Perasaan Rafa pada Syela tak lebih dari seorang sahabat atau kakak untuk adik perempuannya. Tapi, karena perjodohan ini, sikap Rafa pada Syela perlahan berubah semakin dingin. Rafa yang memang pada dasarnya sudah dingin jadi semakin dingin dan tidak pedulian lagi pada Syela. Ada beberapa alasan yang membuat Rafa kesulitan menolak perjodohan mereka. Dan dua tahun lalu adalah saat-saat ketika ia menyerah dan merasa gagal hingga memutuskan Sasa. Di saat-saat titik terendahnya, Zergio selalu menopangnya. Itulah yang membuat Rafa, bisa dikatakan masih hidup hingga detik ini. "Emangnya apartemen kamu di mana? Aku kan biasanya mau ketemu sama kamu," ucap Syela merajuk. Suara Syela berhasil menyentak Rafa dari lamunannya. Pria itu mengerjap pelan dan menatap kembali ponselnya. Sudah ada balasan dari Sasa setelah mengirimi pesan yang memberi tahu keberadaan Syela di kantornya. _____ Sasa | Jaga jarak!! Atau aku gak mau nginep. | _____ Senyum tipis langsung merekah di wajah Rafa ketika melihat balasan Sasa yang berupa ancaman untuknya. Untunglah Syela tidak menyadari itu. Rafa sengaja memberitahu keberadaan Syela di kantornya pada sang kekasih. Rafa hanya ingin jujur dan tidak ingin membuat Sasa cemburu jika gadis itu tau dari orang lain. Mudah bagi Sasa untuk mengetahui hal ini dari orang lain, dan bukan dari Rafa. Karena Syela dan Sasa berteman. Syela juga seringkali bercerita tentang hubungannya dengan Rafa pada Sasa. "Kak Rafa! Aku nanya, loh." Lagi-lagi suara Syela berhasil menyentak Rafa dari lamunannya. Mata Rafa mengerjap ketika menyadari ada Syela yang sudah berdiri di depan mejanya dan memandang Rafa cemberut. "Sorry, gue gak denger," balas Rafa singkat. Rafa kembali fokus pada berkas-berkas di atas mejanya yang harus ia baca dan tanda tangani. Ketika Syela ingin bertanya lagi, Rafa langsung memencet bel yang ada di atas mejanya. Bel itu berfungsi untuk memanggil Dion agar ke ruangannya. Jadi Rafa tidak perlu bersusah payah berteriak atau keluar memanggil Dion jika ia membutuhkan bantuan sekretarisnya itu. "Ya, Tuan?" Syela berbalik dan melihat Dion yang berdiri dengan kepala menunduk. Dion tidak berani berdiri di samping Syela yang posisinya di depan meja Rafa, meskipun niat sebenarnya ingin berdiri tepat di depan bosnya itu. "Ada meeting?" tanya Rafa dengan tangan terkepal, memberi kode. Dion menyadari itu. Ia melirik tangan Rafa kemudian berganti melirik Syela yang masih diam menunggu pembicaraan antara atasan dan bawahan itu berakhir. "A-ada. Lima menit lagi," ucap Dion gugup dan kembali menunduk. Syela kesal. Wajahnya semakin cemberut. "Ih. Kamu sibuk banget, sih," gerutunya menghentakkan kaki ke lantai. "Pulang aja.” Syela cemberut. "Iya deh, iya!" Rafa mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Ke kantor. Jemput Syela," titah Rafa pada orang di seberang telefonnya. "Gak usah nyuruh supir rumah. Aku kan bisa sen--" "Gue gak bisa anter lo pulang." Syela semakin cemberut. Ia memang sengaja mengatakan jika ia bisa pulang sendiri. Karena biasanya Rafa pasti peka dan langsung mengantarnya. Tapi karena Rafa ada meeting, jadi Syela memaklumi Rafa yang tidak bisa mengantarnya. "Berapa kali sih aku bilang? Biasain ngomong aku-kamu. Kan kita udah tunangan. Kata Papa juga gitu," tegur Syela pada gaya bicara Rafa padanya. "Gue gak suka ngomong gitu," jawab Rafa singkat. 'Kalau sama Sasa, pengecualian.' "Ya udah, deh. Aku pulang kalo gitu," pamit Syela pasrah. Ketika Syela telah keluar. Rafa langsung bersandar pada sandaran kursinya. "Jemput kekasihku di apartemennya," titah Rafa pada Dion yang kini sudah berdiri tegak. Meeting lima menit lagi? Dion berbohong. Tangan terkepal Rafa tadi adalah kode jika Dion harus berbohong di depan Syela. Dion adalah anak dari orang kepercayaan Papanya Rafa dulu. Ia juga sudah cukup mengenal Rafa dengan baik. Begitu pun teman-teman atasannya itu. Tapi Dion termasuk orang yang sangat kaku. Ia terbiasa berbicara formal meskipun ia akrab dengan orang tersebut. Begitupun Rafa yang sama kakunya. Jadilah pembicaraan mereka terdengar cukup formal. Padahal aslinya mereka berteman dekat. Tentang Sasa? Dion sudah tau. Karena Rafa sering meminta bantuan Dion untuk mengawasi Sasa ketika gadis itu masih di Berlin. Dion benar-benar menuruti perintah Rafa yang menyuruhnya menjemput Sasa. Meskipun gadis itu sempat menolak, tapi Dion membujuknya dengan embel-embel jika ia akan dipecat. Tentu saja Sasa tidak bisa menolak lagi. Kasian pada Dion jika benar-benar dipecat hanya karena ia tidak mau pergi ke kantor Rafa saat dijemput. Akhirnya sepanjang jalan, gadis itu mendumel kesal dalam hati, menggerutui Rafa. "Rafa gak sibuk?" tanya Sasa dingin. Sasa duduk di kursi depan. Ia menolak saat Dion membukakan pintu mobil untuk dirinya di kursi belakang. "Tidak Nona--" "Ck, lo bisa ngomong santai? Kaku banget," ketus Sasa jutek. Dion hanya tersenyum kikuk. Ia sudah terlalu sering berbicara formal. Apalagi gadis di sampingnya ini adalah kekasih atasannya. ‘Tuan Rafa yang irit bicara itu malah dapet cewek jutek. Apa tidak kena mental?’ "M-maaf." Pada akhirnya hanya kata itu yang bisa Dion ucapkan. Sasa mendengus malas. Ia memilih bungkam hingga mobil yang ia tumpangi memasuki area basement. Lagi-lagi, Dion membukakan pintu untuk Sasa sebelum gadis itu membukanya duluan. Dion begitu gesit sampai Sasa tidak menyadari jika lelaki itu bergerak cepat mendahuluinya untuk membuka pintu. Karena tidak bisa protes lagi, akhirnya Sasa mengalah. Tapi keningnya langsung mengerut bingung ketika Dion membawanya ke sebuah ruangan yang entah bagaimana bisa ada di sana. "Ngapain...." Ucapan gadis itu tidak dilanjutkan, ketika ia sudah sepenuhnya masuk ke dalam ruangan itu. Mulutnya sedikit terbuka. Di dalam ruangan itu ada sebuah lift yang Sasa yakini adalah lift khusus. "Lift ini langsung sampai ke ruangan Tuan Rafa," seru Dion memecahkan lamunan Sasa. Gadis itu melirik Dion yang berbicara dengan tegas, membuat Sasa penasaran. "Kenapa ke sini? Ini lift khusus yang rahasia?" Dion hanya diam. Ia tidak berhak menjawab, biar Rafa yang melakukannya. Dion menggiring Sasa untuk memasuki lift tanpa menyentuh. Ia masih sayang nyawa. "Jawab gue, lah!" desak Sasa dengan kesal. "Biar Tuan Rafa yang menjawab, Nona." Mendengar jawaban yang tidak ia harapkan, Sasa mendengus kesal. Tangannya bersidekap di depan d**a. Lihat saja, ia akan menyueki Rafa hari ini. Ketika pintu lift terbuka, Sasa malah mendapati sebuah kamar yang berperabotan lengkap. Sedangkan Dion langsung berjalan menuju sebuah pintu lain dan membukanya. Sasa masih mengekor di belakang Dion dengan wajah datar tapi dalam pikirannya ia begitu cerewet menebak-nebak dengan apa yang ia lihat hari ini di kantor Rafa. Begitu ia mengikuti Dion, rupanya pria itu membuka pintu yang menghubungkan kamar dengan sebuah ruangan, yang Sasa yakini adalah ruang kerja Rafa. Kan? Ia benar. Karena Sasa langsung mendapati Rafa yang duduk di kursi kebesarannya. Laki-laki itu tengah duduk dengan bersandar pada sandaran kursi serta matanya yang terpejam. Dion sempat menunduk sejenak ke arah Sasa. Berpamitan pada gadis itu sebelum keluar dari ruangan Rafa. Meninggalkan atasannya yang ingin berduaan dengan sang kekasih. Klik! Mata Sasa langsung menyorot pintu yang dilewati Dion barusan. Pintu itu mengeluarkan suara kunci. Ketika Sasa menoleh pada Rafa, rupanya pria itu telah duduk tegap dengan tangannya yang memegang sebuah remote. Sasa yakin jika benda itulah yang Rafa gunakan untuk mengunci pintu. Tapi ketika beralih menatap Rafa, rupanya laki-laki itu tengah menatap Sasa dengan begitu tajam. Hal itu membuat Sasa gugup. Ia tetaplah seorang perempuan yang gampang sekali merasa gugup dan salah tingkah jika ditatap oleh orang yang dicintainya. "Rafa--" "Sini!” Rafa menyela ketika Sasa ingin mengatakan sesuatu. Sasa membasahi bibir bawahnya yang tiba-tiba saja terasa kering. Menelan salivanya paksa, Sasa kemudian menghampiri Rafa dengan meletakkan tas selempangnya ke kursi sofa. Ketika sudah berdiri di samping Rafa, Sasa hanya diam, menunggu laki-laki itu mengatakan sesuatu. Tangan Rafa meremas pinggang Sasa dengan matanya yang menyorot mata Sasa dengan intens. Hari ini Sasa mengenakan dress casual nya yang menjuntai tepat di atas lutut. Gadis itu tampak seperti masih SMA. Tapi memang gurat wajahnya lebih dewasa dibandingkan ketika ia masih duduk di bangku sekolah dulu. "Yaudah deh aku-- RAFA!" Sasa refleks memekik ketika Rafa bergerak cepat menarik Sasa hingga gadis itu duduk di pangkuannya. Sedangkan kedua tangannya memeluk Sasa agar tidak bisa bangun. "Rafa, jangan gini." "Diem!" Rafa semakin mengeratkan pelukannya. "Aku pengen banget kita nikah! Mending kita nikah aja sekarang.” Bisikannya membuat Sasa mendengus. Rafa memang kaku. Tapi jika laki-laki itu dibuat kesal oleh Sasa, maka dia akan sangat bawel. Dan telinga Sasa sudah kebal jika Rafa sudah menggerutu. "Apaan? Ngajak nikah kok kaya gitu," cetus Sasa jutek. Rafa tersenyum miring. Tangannya bergerak mingkari pinggang Sasa dari belakang. “Mau dilamar romantis, hm?” Sasa menggigit bibir bawahnya gugup. Sedangkan Rafa sedikit memajukan tubuhnya hingga dadanya menempel dengan punggung Sasa. Merasa nyaman meskipun gugup, Sasa pun menyenderkan punggungnya di d**a pria itu. Sesekali melirik Rafa bergantian dengan laptop milik Rafa di depannya yang dalam keadaan menyala. Sasa menghela nafas pelan. Tangannya menarik satu tangan Rafa yang menganggur dan mengelus-elusnya untuk mengurangi kebosanan. Sudah sejam mereka tetap pada posisi itu. Sasa yang bosan, dan Rafa yang kesenengan. "Rafa, aku bosen," gerutu Sasa mendongak untuk menatap wajah Rafa. Hal itu membuat Rafa menunduk untuk melihat wajah Sasa. Mata keduanya bertemu, hingga tanpa sadar kedua ujung bibir mereka terangkat membentuk senyuman. "Oh, aku baru inget. Syela ngapain ke sini tadi?" tanya Sasa ketika mengingat pesan Rafa tadi. Kening Rafa mengerut. Bisakah Sasa tidak menghancurkan moment-moment romantis mereka? Mendengus malas, Rafa tetap menjawabnya. "Nanya apartemen." Mata Rafa kembali ke laptop dengan wajahnya yang kembali tanpa ekspresi. "Kamu ngasih tau?" tanya Sasa ragu. "Enggak." "Terus? Kok dia bisa gak nanya lagi?Dia pulang kenapa?" "Aku usir. Bilang ada meeting lima menit lagi." "Cih! Meeting?" Rafa menunduk. Ia menatap Sasa dengan sebelah alisnya yang terangkat naik. Tapi tidak lama, karena setelahnya ia kembali fokus pada pekerjaannya. "Hm, meeting sama kamu." Perkataan Rafa membuat Sasa mendengus. Tapi tak urung jika jantungnya selalu saja berdegup kencang jika di dekat Rafa. "Terus tentang lift? Kenapa lift nya tersembunyi?" tanya Sasa lagi yang baru ingat jika ia ingin menanyakan hal itu tadi. "Gak tau. Pengen aja," jawab Rafa datar. "Ck, Rafa!" "Diem, Sa," tegur Rafa dengan kening mengerut. Rafa jadi tidak fokus. Padahal ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan segera pulang ke Apartemen. Mereka tidak bisa lama-lama bermesraan di kantor. Untungnya pekerjaan Rafa hari ini memang tidaklah banyak. Jadi bisa dikatakan, mereka berdua bisa pulang makan siang di apartemen. Ketika Rafa telah menyelesaikan pekerjaannya. Ponselnya mendapatkan pesan masuk dari Dion. Rafa mengambilnya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya tengah melingkari pinggang Sasa. Gadis itu bersandar pada dadanya dengan mata terpejam. Sasa tidak tidur. Ia hanya nyaman dengan posisi itu, dan merasa tubuhnya langsung rileks. _____ Dion | Mereka muncul lagi, Tuan. | _____ Rafa memejamkan matanya sejenak. Ia mengetikkan balasan untuk Dion menggunakan satu tangan tanpa kesulitan. Karena satu tangannya lagi masih memeluk pinggang Sasa. _____ To : Dion | Awasin, selagi gue pulang sama Sasa. | _____ Tak cukup semenit, Dion kembali menjawab cepat. _____ Dion | Gunakan mobil lain, Tuan. | _____ Rafa hanya membaca pesan masuk terakhir dari Dion. Ia langsung menyimpan ponselnya ke saku jasnya. Kemudian menggendong Sasa yang sontak terkejut. "Akh! Rafa!" pekik Sasa kesal. Entah sudah berapa kali ia dibuat kesal oleh kekasihnya ini. Tapi Rafa mengabaikan pekikan Sasa. Ia tetap melanjutkan langkahnya memasuki ruangan pribadi miliknya. Kemudian memasuki lift yang merupakan jalan Sasa ke ruangannya tadi. "Kenapa?" tanya Sasa begitu Rafa menurunkannya setelah keduanya sampai di dalam lift. Rafa tetap diam, tapi tangannya yang merangkul pinggang Sasa semakin mengerat. Meskipun wajah Rafa terlihat tanpa ekspresi yang berarti, Sasa tau jika Rafa sebenarnya tengah memikirkan sesuatu. Pastinya beban pikirannya kali ini bukanlah sesuatu yang main-main. "Rafa," tegur Sasa lembut. Rafa menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa, sayang." Ia menuntun Sasa keluar dari lift saat mereka telah sampai di basement. Rafa langsung menarik tangan Sasa untuk masuk ke mobil. Sasa tetap diam, meskipun ia merasa penasaran karena Rafa yang terlihat seperti buru-buru tapi berusaha terlihat tenang di depannya. Begitu keduanya telah duduk di kursi masing-masing, Rafa mulai melajukan mobilnya. Satu tangannya memegang stir, tangan lainnya tidak melepas tangan Sasa dari genggamannya. Sasa membiarkannya. Karena ketika melihat Rafa yang sesekali mengecup punggung tangan Sasa. Kerutan di kening Rafa perlahan memudar. Menandakan jika laki-laki itu mulai tenang. Namun keadaan tetap hening, bahkan ketika mereka telah masuk ke apartemen Rafa. ••• Sasa melempar tas selempangnya ke atas sofa, membiarkan Rafa menutup pintu apartemen. Ia juga mendaratkan bokongnya di sofa, memejamkan mata karena merasa mengantuk tapi tidak ingin tidur. Rafa sendiri langsung melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. Membuka dua kancing teratas kemejanya, serta menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Tanpa mengatakan apa pun, Rafa langsung mengangkat tubuh Sasa yang lagi-lagi dibuat kaget. "Ck, ngagetin mulu," ketus Sasa dengan wajah kesal. "Gak usah ke kamar, di sini aja," sambung Sasa dengan mencengkram kemeja Rafa tepat di bagian d**a. "Kamu ngantuk," ucap Rafa datar. "Enggak. Di sofa aja," kekeh Sasa tak mau kalah. Mendengus pelan, Rafa akhirnya menuruti. Tapi ia tidak membiarkan Sasa lepas darinya. Jadilah mereka berdua berbaring bersebelahan di atas kursi sofa. "Raf, kenapa tadi panik banget?" tanya Sasa dengan mengelus tangan Rafa yang berada di atas perutnya. Rafa tengah memeluk Sasa dari belakang. Rafa yang tengah terpejam pun semakin mengeratkan pelukannya. Tidak menjawab pertanyaan Sasa. "Rafa!" panggil Sasa karena Rafa mengabaikan pertanyaannya. "Ck, apa, sih?" balas Rafa kesal. Namun suaranya tidak ada ketus-ketusnya. Laki-laki itu begitu menikmati posisinya hingga tidak begitu mendengar pertanyaan Sasa. "Aku nanya," seru Sasa jutek. "Nanya apa?" "Ck, Rafa lo ngapain--" "Kamu, Sa! Pengen banget ya aku cium?" desis Rafa. Tangannya dengan menekan perut Sasa. "Iya, iya maaf. Tapi jawab dulu, tadi kenapa panik banget?" Rafa menghela nafas pelan. "Gak panik tadi." "Aku tau, Raf. Gak usah bohongin aku, deh." Tanpa sepengetahuan Sasa, Rafa tersenyum tipis. Ia begitu merindukan moment-moment ini. Sasa yang pasrah jika Rafa bertingkah, atau Sasa yang sering menggerutu ketika kesal pada Rafa. Tapi, kebahagiaan Rafa seolah direnggut perlahan ketika Papanya tiba-tiba memaksa Rafa untuk menikah dengan Syela. Rafa selalu menolak keras hingga dua tahun lalu ia benar-benar tidak punya alasan menolak lagi. Ia hanya mengajukan syarat agar pertunangan mereka dilaksanakan setelah Rafa mulai bisa memegang perusahaan sendiri. Rafa berharap ia bisa melupakan Sasa. Karena sejujurnya ia jauh lebih tersiksa. Tapi melihat Sasa kembali malam itu yang menghadiri pertunangannya, niat Rafa yang mencoba menerima takdirnya langsung pupus. Rafa sangat ingin mengejar Sasa ketika beberapa temannya berteriak memanggil nama gadis itu. Tapi lagi-lagi Rafa tidak bisa. Ia tidak lagi sebebas dulu. Rafa membalikkan tubuh Sasa agar menghadapnya. Salah satu tangannya merambat naik dan mengelus pipi Sasa dengan lembut. "Maaf," gumamnya dengan tatapan yang menyorot begitu intens. Sasa mengernyit. "Kenapa?" "Kita gak bisa bebas di luar sana. Cuma di apartemen ini kita bebas, Sa," bisik Rafa menikmati sensasi di tangannya yang menyentuh pipi mulus Sasa. "Jangan bilang kamu diawasin?" selidik Sasa ketika melihat sorot mata Rafa yang sendu. "Iya, aku diawasin." Sasa terdiam dengan tatapan tak percayanya. "Sampai segitunya Papa sama Bunda jodohin kamu sama Syela?" Mata Sasa memerah. Antara ingin menangis dan marah. Orang tua Rafa memang berhak memilih calon menantu yang mereka inginkan. Tapi apakah harus seperti ini? Mereka seperti menekan Rafa. Rafa memajukan wajahnya dan mengecup hidung mancung Sasa. "Maaf. Tapi aku harap kamu gak keberatan." "Gak sama sekali. Tapi kenapa sih mereka sampai segitunya? Sampai ngawasin kamu?" "Setelah kamu balik ke Indonesia lagi, Papa ngawasin aku lebih ketat. Dia nyuruh orang suruhannya. Waktu kamu masih di Berlin, Papa ngawasin aku gak kaya gini," jelas Rafa panjang lebar. Sasa menghela nafas pelan. Ia balas memeluk Rafa dengan erat. Menenggelamkan wajahnya di d**a bidang laki-laki itu. "Rafa, aku..." Sasa bahkan tidak tau ingin mengatakan apa lagi. Rafa mendorong bahu Sasa pelan hingga gadis itu terlentang, menghentikan Sasa yang ingin berbicara. Sedangkan kedua tangan Rafa menangkup pipi gadis itu. Wajah Sasa begitu mungil, membuat Rafa merasa gemas. Tapi bukan Rafa namanya jika ia melakukan hal lebay, bahkan sampai merengek-rengek. Sasa mengerjapkan matanya dan berusaha melihat ke arah lain. Tapi tangkupan kedua tangan Rafa di pipinya, mengarahkan wajah gadis itu hanya mengarah pada wajah Rafa. "Ngapain liat ke arah lain?" tukas Rafa datar. Sasa hanya terkekeh pelan. "Gugup," jawab Sasa jujur. Dekat hingga pacaran sejak SMA, Sasa sudah terbiasa mengatakan isi pikirannya pada Rafa. Ia akan langsung mengatakan apa yang ia rasakan pada Rafa. Tapi sebenarnya, Sasa berani jika ia tidak dalam mode gugup atau salah tingkah dibuat Rafa. Rafa memang agak kaku. Tapi jika laki-laki itu bertingkah saat mereka hanya berdua, Sasa akan merasa jika Rafa mudah sekali membuatnya gugup dan salah tingkah. Rafa mendekatkan wajahnya dengan mata yang perlahan terpejam ketika hidung mereka bersentuhan. Sasa tentu saja terkejut karena terlalu fokus dengan lamunannya tadi. Hingga kepala Rafa bergerak miring dengan bibir keduanya yang akhirnya bersentuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD