Nasib Husein

1719 Words
Hasan menyandarkan tubuhnya di belakang pintu kamar. Hatinya agak sakit saat mekihat foto perempuan yang hendak dilamar Husein. Ia hanya tak pernah menyangka kalau perempuan itu adalah Faradina. Dari semua perempuan, kenapa harus perempuan itu yang disukai Husein? Yang ingin dilamar Husein? Bukan kah ada perempuan cantik di ITB? Ada banyak kan? Tapi kenapa? "Aku kenal sama dia, baru dua bulan terakhir. Dia ke Bandung, ngerjain satu proyek penelitian dengan kampusku. Dia anak UI. Anak kesehatan masyarakat. Sempat aku berpikir untuk bertanya sama kau. Tapi kayaknya gak mungkin kau kenal kan? Karena kau dan dia beda fakultas. Dan lagi, kau kan di Salemba, pasti gak pernah ketemu juga." Ia hanya diam mendengarkan celotehan Husein yang tampak girang menceritakan perempuan yang disukainya. Hasan tak tahu harus bereaksi apa. Ia terlaku terkejut mendengar semua kabar berita ini. Rasanya sungguh terlalu cepat ketika mendengar keputusan Husein yang ingin melamar gadis itu. Walau ia tahu jika Husein bukan lah orang yang suka terburu-buru. Tapi untuk kasus ini, sepertinya berbeda. "Ada banyak lelaki yang juga suka sama dia. Aku cuma gak mau ditikung. Biar kata jodoh itu gak ke mana. Tapi jodoh juga harus diperjuangkan, San?" Kata-kata itu menyadarkannya. Jodoh memang harus diperjuangkan. Tapi ia memperjuangkan Fara dengan cara berbeda. Selama beberapa bulan ini, ia sibuk berpikir untuk fokus penelitian lalu wisuda dan sibuk dengan koasnya. Ia sudah mencari tempat koas yang juga akan menggajinya. Meski gajinya mungkin tidak besar, tapi ia sudah menghitung-hitung, akan cukup untuk hidup berdua dengan Fara nanti. Jika perempuan itu bersedia menerimanya. Tapi malah ini yang terjadi? Ia harus mengurungkan niatnya juga mimpinya untuk meminang gadis itu. Mana mungkin ia menikung Husein? Ia akan mengikhlaskan jika memang itu takdirnya. "Aku suka sama caranya berhadapan dengan lelaki. Enggak seperti perempuan kebanyakan, dia cenderung menyembunyikan diri dan enggan bersitatap juga berurusan dengan lelaki. Aku merasa dihargai ketika melihatnya dan dia juga membuatku menghargai caranya menjaga diri, San. Hampir tak pernah aku melihat perempuan seperti itu." Husein masih terpesona dengan bayang-bayang Fara ketik menceritakan segalanya pada Hasan. Hasan paham sekali kenapa banyak laki-laki yang jatuh hati pada Fara. Alasan utamanya pun sama dengan Husein. Aura perempuan solehah menguat kuat pada perempuan itu. Meski Hasan yakin jika Fara juga pasti punya banyak kekurangan. Namun mungkin tertutupi karena Allah yang sangat baik mau menutupi aibnya. Tapi Hasan tak pernah mempermasalahkan segala macam keburukan itu. Karena apa? Setiap orang pasti punya kekurangan atau keburukan. Hasan pun sama. Ini hanya persoalan cara masing-masing manusia dalam menyikapi kekurangan yang ada pada orang-orang terdekatnya. Apakah menerima kekurangan itu atau kah malah menjauhinya? Itu adalah pilihan. Tapi percaya lah, tak ada manusia yang sempurna maka penerimaan adalah satu-satunya jalan untuk tetap bisa hidup berdampingan. "Betapa beruntungnya aku kalau dapat dia sebagai istriku, San. Aku tak perlu khawatir karena ia bisa menjaga narwah juga amanah sebagai seorang istri yang sangat menjaga diri. Yang perlu ku khawatirkan justru lelaki-lelaki di luar sana yang mungkin jatuh cinta padanya. Tapi anggap saja itu sebagai angin lalu. Karena ketika aku sudah bersanding dengannya nanti, aku berjanji akan sangat menjaganya." Husein berjanji sepenuh hati dan Hasan masih tak berkomentar apapun. Hasan hanya diam sembari menahan sakit yabg masih terasa hingga sekarang. Ia tak tahu apakah ia masih bisa berdoa dengan tulus untuk kebahagiaan Husein jika itu terjadi. Ia tak yakin. Tapi, ia juga tak punya pilihan bukan? "Kau sudah benar-benar mantap?" Husein berdeham dengan anggukan kepala kala itu. Ia terlihat tampak percaya diri. Hasan hanya menatap lurus. Barangkali memang hanya keikhlasan yang harus ia pelajari dan terapkan dalam hidupnya kali ini bukan? @@@ Dan dikala tak dicari juga enggan mencari, gadis itu malah muncul di hadapannya. Dari kejauhan sana, Hasan melihat gadis itu sedang mengobrol ria di bawah salah satu pohon di kampusnya. Ia tak pernah melihat kemunculan Fara di kampus UI Salemba, baru kali ini ia melihatnya. Dan melihat itu, malah membuatnya sakit. Ia tak tahu apakah Husein sudah datang melamar atau belum. Yang jelas, sudah tiga hari ini Husein kembali ke Bandung. Lelaki itu pun tak berkabar. Barangkali sibuk dengan bimbingan. Sama sepertinya. Ia menarik nafas dalam lantas melanjutkan langkahnya. Usai solat zuhur, Hasan termenung. Matanya menatap ke arah teras masjid. Tapi teras masjid tampak kosong. Sementara ia masih duduk di atas sajadah untuk menenangkan hatinya yang patah selama tiga hari ini. Ia hanya bisa berdoa untuk mendapatkan sesuatu yang baik. Jika memang bukan Fara, apa yang akan ia lakukan? "Myaaa! Sudah keluar!" seru salah satu teman Fara. Fara yang merasa terpanggil itu pun langsung berlari dengan tali sepatu yang belum terpasang sempurna. Hasan hanya menyimak kepergiannya dari teras masjid. Mungkin gadis itu punya urusan di sini, pikirnya. Ia tak tahu. Tapi mendengar cerita Husein, tampaknya gadis itu sangat aktif dan juga dekat dengan dosennya. Kalau tidak, mana mungkin bisa bertemu dengan Husein dalam sebuah proyek penelitian? Hasan berdeham. Ia kembali ke gedung fakultas untuk menyelesaikan skripsinya. Ia berkutat di depan laptop juga buku-buku tebal selama hampir lima jam. Ia hampir melewatkan ashar karena terlalu asyik dan tenggelam di dalam sana. Kemudian ia segera memberesi buku-buku dan juga laptopnya. Setelah itu, ia berjalan menuju masjid. Ia masih melihat kehadiran Fara dan beberapa teman dari gadis itu. Ja hanya bisa menunduk ketika lewat di depan mereka. Tak ada satu pun teman Fara yang menyadari kehadirannya. Begitu pula dengan Fara. Ia hanya menghela nafas. Gadis itu masih ingat atau tidak dengannya pun ia tak tahu. Masih ingat kah? Haaah. Usai solat ashar, Hasan dengan emcepat keluar. Ia melirik ke kiri dan ke kanan guna mencari gadis-gadis tadi. Tapi tak terlihat. Apakah sudah pulang? Menilik ini memang sudah sore. Sudah seharusnya mereka pulang. Conmuterline akan sangat padat dijam-jam seperti ini. Sementara ia menarik nafas panjang kemudian berjalan menuju parkiran motor. Ia menyalakan mesin motor kemudian mengendarainya keluar dari kampus. Saat ia melintas di depan halte, saat itu lah ia melihat Fara yang baru hendak masuk ke dalam busway sendirian. Maksudnya, tanpa teman-temannya tadi. Ia tak tahu ke mana tujuan Fara dan itu bukan urusannya. Benar-benar bukan urusannya. Tiba di apartemen, ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Ia tak menemukan Husein di mana pun. Barangkali memang tinggal di Bandung. Saudara kembarnya itu memang begitu. Ketika sudah sibuk di sana, akan sulit dihubungi. Hasan pun sedang tak dalam mood yang bagus untuk menghubungi Husein. Apalagi dengan hati yang patah saat ini. Ia hanya sedang mencoba untuk menguatkan diri dan belajar untuk mengikhlaskan. Tak masalah jika memang Fara ditakdirkan untuk menjadi kakak iparnya dan bukan sebagai istrinya. "Lama kali kau angkat telepon Mamak ini, Hasan," omel Emaknya. Hasan terkekeh. Ia baru selesai solat magrib dan mengaji sedikit. Kini hendak memasak apa yang ada di kulkas untuk makan malam. "Hasan agak sibuk belakangan ini, Mak." "Husein akan sidang minggu depan. Kau kapan nak?" Aaah. Hasan mengangguk-angguk. Pantas saja saudara kembarnya itu tak kembali lagi ke sini. Memang sibuk di sana rupanya. "Nanti Hasan usahakan secepatnya, Mak." "Sudah sampai mana skripsi kau?" "Dikit lagi lah, Mak. Hasan mencari data-data pendukung untuk pembahasan terus konsultasi terakhir dengan dospem Hasan." "Mamak doain yang terbaik lah untuk anak-anak, Mamak." Hasan tersenyum kecil sambil membuka kulkas. Isi kulkasnya hanya tersisa sebutir telur. Pas sekali. Ia bisa menggoreng itu saja. "Amin! Makasih, Mak!" Mamak nya tersenyum kecil di seberang sana. Lantas beliau teringat sesuatu. "Oh iya, nak. Kira-kira kalau minggu ini kau ke Bandung bisa gak?" Kening Hasan mengerut. Ia sedang menjepit ponselnya diantara bahu dan telinga. Kemudian mengambil wajan penggorengan untuk menggoreng telurnya. "Kenapa ke Bandung?" "Coba kau jenguk si Husein." "Kenapa Husein?" "Oh? Dia belum cerita?" Hasan semakin bingung. "Cerita apa, Mak?" "Dia ditolak gadis," tutur Mamaknya yang membuat Hasan spontan tertawa. "Jangan lah kau ketawa. Kasihan abangmu itu." Hasan malah semakin terkikik-kikik. Kuci saja mendengarnya. Abangnya itu pasti curhat pada Mamaknya ini kan? Iya kan? "Ditolak sama gadis yang nak dia lamar, Mak?" Hasan memastikan. Entah kenapa sneyumnya tiba-tiba mengembang. Kok ia bahagia ya mendengar kabar ini? Hahaha! "Iya. Kasihan dia. Patah hati. Baru pertama kali jatuh cinta dan langsung patah hati." Hasan tertawa. "Jangan lah kau ketawai!" Alih-alih berhenti, Hasan malah semakin terpingkal. Ia merasa lucu juga bahagia. @@@ Pantas saja Abangnya tak berkabar sejak beberapa hari yang lalu. Ternyata kesibukan bukan lah alasan utama. Begitu diperintahkan untuk ke Bandung oleh Mamaknya demi melihat keadaan Husein, Hasan berangkat dua hari kemudian. Ia menyisihkan waktu di mana ia tak punya janji apapun dengan dosen pembimbingnya. Selama perjalanan menuju Bandung, ia tak berhenti tertawa. Masih merasa lucu dengan nasib Husein yang ditolak. Tapi ia malah bahagia mendengar kabar itu. Hihihi. Bukannya ingin menjadi adik durhaka, namun ia memang tak kuasa menahan rasa bahagia yang membuncah. Mendengar Husein ditolak, ia tentu merasa punya kesempatan. Iya kan? Lagi pula, penolakan ini juga membuatnya was-was. Karena apa? Ya, seideal Husein saja ditolak kan? Gimana ia tak khawatir? Hal ini justru membuat Hasan berpikir berkali-kali. Persiapan seperti apa yang harus ia lakukan agar dapat meluluhkan hati perempuan itu? Tiba di Bandung, Hasan menumpangi ojek untuk sampai di kos-kosannya Husein. Husein memang tinggal di kos-kosan. Kos-kosan yang lumayan megah dan besar, bentuknya pun rumah empat lantai. Tiba di sana, ia langsung berjalan menuju kamar Husein. Seperti Husein yang memiliki kunci cadangan apartemennya. Setelah berkali-kali duduk di luar menungguinya dikala datang mendadak ke Jakarta, akhirnya Husein membuat duplikat kunci. Saudara kembarnya itu juga memberikan duplikat kunci kosan padanya. Agar Hasan tak payah menunggu ketika datang ke Bandung. Tiba di kamar Husein, ia merebahkan tubuhnya hingga terlelap selama hampir satu jam. Begitu bangun, Husein belum juga datang dan akhirnya ia memutuskan untuk mandi dna mengganti kaosnya dengan kaos Husein. Ia tak punya baju cadangan di sini. "Kapan kau sampai?" tanya Husein yang setengah kaget begitu membuka pintu kamarnya dan mendapati Hasan sedang mengenakan kaosnya. Hasan pun sama kaget nya karena tak mendengar suara langkah kaki. "Ku kira ada maling tadi," tuturnya. Rupanya Hasan lupa mengunci pintu kamar kosnya. Hasan malah terkekeh kecil alih-alih menjawab pertanyaannya. Tahu apa yang Hasan tertawakan? Tentu saja ingatannya pada obrolannya dengan Mamak nya mengenai Husein yang ditolak cewek? "Sehat kau?" tanyanya yang membuat kening Husein mengerut bingung. "Hati kau, bagaimana kabarnya?" ledek Hasannyang membuat Husein terkekeh kecil. "Senang kau?" tukasnya sembari masuk ke dalam kamar mandi. Hasan terpingkal di sana. Puas sekali menertawai hatinya yang patah. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD