Perempuan Yang Sama

1720 Words
"Buat Fara," tutur salah seorang lelaki yang tak sengaja berpapasan dengan Fara yang hendak menghampiri teman-temannya. Hasan yang berada tak jauh di belakang mereka, hanya mematung. Kaget pula melihat kejadian yang begitu cepat di mana si lelaki itu memberikan sebuah surat pada Fara yang kini hanya menatap lurus ke arah surat. Gadis itu bingung dan juga lelah menghadapi para lelaki. Niatnya kan ingin memperdalam agama, makanya ia mau mengikuti organisasi ini. Tapi kenyataannya malah seperti ini. Ia menghela nafas kemudian berjalan dengan langkah cepat. Hasan bisa melihat bagaimana surat itu sudah Diremas kuat-kuat di dalam kepalan tangan Fara. Ia tak yakin apakah Fara akan membacanya. Tapi masih ada kemungkinan dibaca kan? "Gak mau ngedeketin, Bang?" goda Ridwan untuk ke sekian kali. Lelaki itu hanya mengingatkan kalau ini adalah hari terakhir mereka di Puncak. Sebentar lagi mereka akan kembali ke Depok. Itu artinya, Hasan juga harus kembali sibuk dengan perkuliahan. Hasan hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. Sudah tahu kan kalau ia tak akan mau mendekati perempuan? Gantinya, ia baru saja membawa nama gadis itu di sepertiga malam-Nya. Berharap Allah mau menyatukannya dengan Fara suatu saat nanti. Entah kapan tapi ia tahu jika itu adalah waktu terbaiknya. Lantas aoa rencananya? "Ingat Allah," tuturnya yang disambut tawa oleh Ridwan. Lelaki itu kemudian menyusul langkah Hasan. "Emang gak salah penilaian gue." Kening Hasan mengerut mendengarnya. "Penilaian?" Ridwan berdeham. "Abang berbeda dengan lelaki kebanyakan di sini. Ya termasuk gue lah. Paham agama, paham aturannya tapi hobinya melanggar. Apalagi kalau liat cewek-cewek model Fara." Lagi. Nama Fara terseret-seret. Memang benar, pikir Hasan. Godaan perempuan itu sungguh dashyat. "Yang sering dakwah tapi pura-pura maksudnya?" Ridwan tertawa. "Kedok lah." Hasan terkekeh kecil. Teman-temannya juga banyak yang seperti itu. Dakwah ke mana-mana tapi dengan perempuan? Bah! "Munafik," lanjut Ridwan. Ia hanya mengatakan yang sejujurnya. "Anggap aja belum lurus," tutur Hasan kemudian berhenti sembari melihat sekeliling. Udara di sini sungguh sejuk. "Kalo di bilang khilaf juga gak cocok. Karena khilafnya berkepanjangan." Hasan tersenyum kecil. Makanya, ia mati-matian menjaga diri. Ia tak mau mendekati perempuan jika belum bisa menghalalknynya. Coba pikirkan posisinya saat ini. Ia hanya anak kedokteran tingkat tiga. Perjalanannya menjadi dokter masih lama. Mungkin setelah sarjana nanti, ia baru berani mendatangi orangtua Fara. Itu pun kalau jodohnya. Hihihi. Tapi kalau dihitung-hitung, ketika saat itu tiba, Fara juga masih kuliah. Ia tak masalah menunggu jika Fara juga mau padanya. Namun yang terbaik tetaplah menikah itu harusnya disegerakan jika memang sudah ada jodohnya. Jika belum? Fokus belajar, kejar cita-cita dan bahagiakan orangtua. Jika itu memang pilihan terbaik nya, Hasan juga tak keberatan. Toh, jodoh akan datang tepat pada waktunya kan? Seperti hari ini. Hari terakhir ia bisa melihat Fara sedekat ini. Esok-esok? Belum tentu ia mendapat kesempatan yang sama. @@@ Acara berakhir maka berakhir pula tatapan itu. Hasan hanya tersenyum kecil melihat gadis itu berjalan kaki bersama teman-temannya, keluar dari area masjid UI. Sementara ia masih berkumpul dengan para panitia untuk evaluasi acara. Menjelang jam sepuluh malam, ia baru pamit pulang. Cukup melelahkan memang perjalanan beberapa hari ini. Tapi ia senang karena bisa melihat Fara selama tiga hari. Setelahnya? Hasan kembali disibukan dengan dunia perkuliahan bahkan sudah hampir setahun berlalu sejak kejadian itu, ia juga tak pernah bertemu lagi dengan Fara. Ia mendengar kalau gadis itu jarang aktif di organisasi. Entah apa sebabnya, tak ada yang tahu. Hasan juga tak mencari tahu karena ia sibuk dengan dunia penelitian. Ia baru saja tiba di apartemennya saat menjumpai Husein sudah duduk di kursi makan. "Kapan kau sampai?" tanyanya. Ia baru saja melepas sepatu dan hendak menaruhnya di rak sepatu. Husein menoleh. Lelaki itu sedang menyantap mie instan. "Sejam yang lalu," jawabnya. Hasan hanya mengangguk-angguk. Kemudian berjalan menuju kamar. Ia hendak mandi. Seharian ini cukup lelah karena ia mengejar pasien untuk data penelitiannya. Begitu keluar dari kamar, ia melihat Husein memasak mie lagi. "Kau belum makan kan?" ujarnya yang membuat Hasan tersenyum tipis. Lelaki itu berjalan menuju bangku sambil mengelap rambut basahnya dengan handuk. Ia duduk di kursi sembari menunggu Husein membuat mie untuknya. Begitu siap, ia menaruhnya di depan Hasan. Kemudian ia mengambil segelas air untuk Hasan. Hasan tak begitu memerhatikan Husein yang sedang girang. Saat ia memasukan mie ke dalam mulutnya, baru lah Husein berbicara. "Ada perempuan yang nak aku lamar," ungkapnya yang membuat Hasan terbatuk-batuk. Husein menyuruhnya minum dan dengan segera Hasan meraih gelas itu. Begitu Hasan tenang, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Gimana menurut kau?" "Serius?" Malah kata itu yang keluar. Husein terkekeh malu. Rasanya memang agak aneh membicarakan hal ini. Apalagi ia dan Hasan sedari dulu sama, tak pernah membicarakan satu perempuan pun. Kini keduanya sama-sama beranjak dewasa. Jatuh cinta pada perempuan juga wajar kan? "Kalau gak serius, gak akan ngomong aku," tuturnya. Ia berdeham. Wajahnya benar-benar serius kali ini. "Aku nak selesaikan penelitianku cepat-cepat. Terus nak lamar perempuan itu." "Gak nyari kerja dulu?" Husein menggaruk tengkuknya. "Ada rejekinya nanti," tuturnya dengan percaya diri. Lagi pula, ia juga sudah mendapat beberapa tawaran yang memintanya untuk membantu mendesain bangunan. Meski bayarannya tidak seberapa, tapi lumayan lah. "Perempuannya masih kuliah." "Sanggup kau bayar biaya kuliahnya?" "Rejeki pasti ada aja." "Anak orang, Sen." "Aku tahu lah." Hasan mengangguk-angguk. Ia juga ingin menikah tapi memikirkan finansial yang belum memungkinkan, ia tak mau memaksakan diri. Lebih baik persiapkan secara matang dulu. Ia akan fokus menyelesaikan penelitiannya. Kemudian koas. Kalau ada rejeki selama koas nanti, ia akan datang melamar Fara. "Menurut kau bagaimana?" "Kalau kau merasa mampu, lanjut lah." Husein tersenyum sembari mengangguk-angguk. "Aku dah tanya Mamak dan Bapak, mereka ngirim doa." Aaaah. Husein mengangguk-angguk. "Terus?" "Tinggal kau." "Kenapa aku?" "Restu kau kan penting. Kau saudara kembarku. Mana mungkin lupa." Aaah. Hasan terkekeh. "Kalau kau dah siap lahir dan batin, lanjut aja lah." Husein terkekeh. Ia menggaruk-garuk tengkuknya. Sementara Hasan tersenyum kecil. Ia akan bahagia atas apapun keputusan yang dibuat Husein. Termasuk keinginannya untuk menikah. Menikah kan baik. Kalau memang sudah ketemu jodohnya ya lanjut saja. Kalau Hasan? Pikiran ke arah sana sudah tentu. Tapi, ia lebih senang jika ia dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik. Karena ia sadar betul sih, segala hal memang harus dipersiapkan secara matang. @@@ Mungkin ini yang dinamakan takdir? Hasan meluangkan waktunya hari ini untuk bertemu dosennya. Eh ternyata, dosennya sedang rapat di Fakultas Kesehatan Masyarakat, kampus UI Depok. Dengan senang hati, ia menyalakan mesin motornya untuk berangkat ke sana. Meski agak jauh juga. Perjalanan dari Jakarta ke Depok sekitar satu jam. Karena jalanan tidak begitu macet. Selain itu, jamnya memang bukan jam berangkat atau pulang orang-orang kantoran. Hasan tiba di sana sekitar jam setengah dua belas. Janji pertemuannya masih beberapa jam lagi, ia sengaja meluangkan waktu untuk melihat-lihat fakultas. Barangkali bisa melihat Fara kan? Rasanya sudah hampir setahun ia tak melihat gadis itu. Sebulan kemarin, ia mendapat kabar kalau gadis itu memenangkan MTQ. Tadinya Hasan hendak menonton karena ia memang mendengar kabar jika Fafa mengikuti perlombaan itu. Tapi sayangnya ia terlaku sibuk mengejar penelitian jadi tak sempat datang. Ia hanya bisa mengirim doa untuk gadis itu meski gadis itu tak pernah meminta. Ia turun dari motornya. Kemudian menggantungkan helm. Ia berjalan memasuki lobi gedung fakultas kemudian bertanya-tanya letak departemen gizi, lalu lanjut lagi berjalan ke mushola. Ia cuma hapal posisi musholanya. Di bawah mushola, banyak sekali anak-anak fakultas sana yang duduk-duduk. Ia hanya melihat sekitar dan memastikan bahwa Fara tak ada di sana. Setelah itu, ia baru naik tangga menuju mushola. Usai solat zuhur, ia berjalan menuju kantin. Berharap tak sengaja bertemu dengan gadis itu. Eh malah bertemu Bima di sana. "Tumben main ke sini, Bang." "Mau ketemu dosen," tuturnya lantas berbicara sebentar dengan Hasan terkait calon ketua organisasi baru. Kemudian ia biarkan saja Bima pergi. Katanya lelaki itu perlu menghadiri kuliah. Sementara ia menyantap sate ayam. Usai makan, ia membuka laptop dan mengerjakan draft skripsinya. Menjelang pukul setengah dua siang, ia baru beranjak dari bangku. Ia berjalan pelan, masih sembari melihat sekitar. Ia masih berharap kalau akan bertemu Fara. Namun sayangnya, sampai selesai bimbingannya pun, ia tak melihat gadis itu. Apa gak ada jadwal kuliah? Hatinya bertanya-tanya. Ia masih melirik sekitar sembari menunggu waktu ashar. Namun hingga usai ashar pun, ia masih tak menemukan perempuan itu. Fara tak terlihat sama sekali bahkan hingga ia duduk di atas motornya. Benaknya menduga kalau memang bukan takdirnya untuk bertemu hari ini. Ya sudah lah, tak apa. Meski ia sudah membuat skenario. Tadinya, ia berniat menyapa gadis itu sekaligus mau mengucapkan selamat atas kemenangannya. Ia menarik nafas dalam kemudian termenung selama hampir sepuluh menit. Setelah itu, ia menyalakan mesin motor. Matanya sempat melirik ke arah gadung fakultas sebelum meninggalkan area parkiran. Hati kecilnya masih berharap. Tapi mau bagaimana lagi? Memang bukan jodohnya untuk bertemu hari ini. Ia hanya bisa pasrah pada keadaaan sembari mengendarai motor dengan gamang menuju Jakarta. Hampir dua jam kemudian ia baru tiba di apartemennya. Begitu membuka pintu, ia kembali mendapati Husein ada di sana. Padahal lelaki itu sudah pamit ke Bandung. Tapi masih di sini? "Gak jadi balik ke Bandung?" tanyanya. "Tadi abis dari sana." Hasan geleng-geleng kepala. Ia akui kalau soal fisik, Husein memang lebih kuat darinya. "Cepat kali." Husein terkekeh. Tadi ia hendak menemui gadis idaman yang ingin ia lamar. Namun tak terlihat. Entah ke mana gadis itu. Barangkali, rejekinya besok? Husein kembali menyiapkan makanan. Kali ini bukan mie instan melainkan nasi goreng. Husein lebih pandai memasak dibandingkan dengan Hasan. Mungkin karena Hasan agak rewel soal makanan, jadi lebih suka membeli di luar atau mencoba makanan enak di kantin rumah sakit. "Udah kau lamar perempuan itu?" tanya Hasan. Lelaki itu ikut duduk. Ia belum mandi karena merasa masih gerah. Perjalanan panjang dari Depok ke Jakarta memang lumayan melelahkan. Bagaimana Husein? Ah, Hasan tak mau memikirkannya. Husein tersenyum kecil. "Tadi aku cari dia, tapi gak ketemu." Ooh. Hasan mengangguk-angguk. Tak punya firasat apapun. Ia menyambut sepiring nasi goreng yang disodorkan oleh Husein. "Yang mana sih perempuannya?" tanyanya. Akhirnya ia bertanya juga. Meski tidak begitu penasaran sih. Ia hanya berpikir kalau persoalan perempuan, ia dan Husein tidak berbeda jauh kesukaannya. Husein berdeham. Ia mengeluarkan ponselnya dengan senang hati. Kemudian mencari-cari foto di mana ada gadis itu di dalamnya. Setelah itu, ia menyodorkan pada Hasan. "Jilbab krem, yang putih," tuturnya sembari menaruh ponselnya di depan Hasan. Hasan terbatuk-batuk begitu melihat foto itu. Kaget bukan main. "Gimana menurut kau?" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD