Maju-Mundur Melamar

1720 Words
"Masjid Salman ITB," tuturnya pelan. Husein terkekeh mendengarnya. Cowok itu mengajak saudara kembarnya datang ke kampusnya. Tadi sempat berkeliling di fakultasnya lalu ia mengajaknya untuk solat di sini. Setelah itu, keduanya berencana untuk jalan-jalan keliling Bandung. Mumpung Hasan datang ke sini. Hasan jarang datang ke sini karena kesibukannya di Jakarta. Sementara Husein memang suka jalan-jalan naik motor. "Aku sudah pernah datang ke kampus kau dan solat di masjid yang di dekat danau. Sekarang kau yang gantian datang ke sini," tutur Husein. Lelaki itu baru membuka helmnya. Hasan mengangguk-angguk. Tentu senang dengan acara jalan-jalan dadakan ini karena keduanya sama-sama sangat sibuk beberapa bulan ini. "Bang!" panggil salah satu lelaki lalu lelaki itu berlari ke arah Husein. "Diminta jadi imam tuh," tuturnya usai menyalami Husein dan Hasan kemudian pamit. Husein berdeham sementara Hasan mengulum senyum. "Dari dulu aku gak pernah bisa melakukan itu." Kening Husein mengerut mendengarnya. Keduanya berjalan menuju masjid. "Melakukan apa?" "Mengimami solat." "Kau bukan gak bisa tapi gak mau." "Beban akhiratnya berat, Bang." Husein terkekeh lantas menoleh ke arahnya. "Semua selalu asa pertanggungjawabannya. Lari dari kesempatan adalah jalan yang salah. Nanti kau akan jadi imam rumah tangga. Bagaimana pula calon imam tapi tak berani menjadi imam?" tutur Husein lantas menepuk-nepuk bahu Hasan kemudian berjalan lebih dulu untuk menyapa beberapa mahasiswa lain yang sedang berkumpul di teras masjid. Hasan menghela nafas. Kata-kata Husein memang benar. Ia hanya merasa kalau ia memang agak pengecut. Sejak dulu, ia selalu berada di belakang Husein dan selalu mengandalkan saudara kembarnya apapun yang terjadi. Semenjak berpisah kampus, ia harus bertahan sendirian. Awalnya agak susah tapi karena Husein sering datang ke Jakarta, ia tak terlalu takut. Barangkali ia memang harus berpisah jauh dari saudara kembarnya ini agar tak terlalu bergantung. Solat ashar diimami kembali oleh Husein. Cowok itu selalu suka mengambil tanggung jawab. Tak heran kalau ia banyak menjabat sebagai pemimpin. Sementara Hasan masih tertatih-tatih di belakangnya. Sejak dulu, ia memang selalu dijaga Husein. Kedua orangtuanya pun selalu berpesan hal itu pada Husein. Hal yang baru ia sadari sekarang bahwa itu membuatnya terlihat semakin pengecut. Meski kenyataannya memang begitu. "Kau tahu? Aku dapat penawaran pekerjaan," ungkapnya begitu keduanya berhenti di salah satu warung di pinggir jalan. Usai solat ashar di masjid ITB, keduanya bergerak menuju alun-alun Kota Bandung dan berakhir di sini. Warung sederhana ala anak kosan. "Pekerjaan apa?" Hasan baru mendengar. Husein tak pernah bercerita sedikit pun. "Aku dapat kerja di Jakarta," tuturnya. Hasan menoleh. "Kau bukannya ingin kerja di luar negeri?" Husein tersenyum kecil lantas menepuk-nepuk bahunya. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan kau?" Hasan tertawa. "Aku bukan anak kecil lagi, Bang," tuturnya. Ia sangat arang memanggil Husein dengan sebutan itu. Alasannya? Tak ada alasan. "Tapi penawaran yang datang juga bagus. Kau tahu kan? Manggala Corp? Sulit tembus ke sana dan aku mendapat penawaran itu secara cuma-cuma, masa aku lewatkan?" Hasan terkekeh. Ia tentu senang mendengarnya. "Kau akan tinggal di apartemen?" Husein terkekeh. Tentu saja ia akan tinggal di sana. Membayangkan tinggal bersama saudara kembarnya ini tentu saja terasa menyenangkan. "Aku gak kebayang kalau kita akan menikah nanti." Husein terbahak. "Bagaimana perasaan kau kalau lamaranku diterima kemarin?" Hasan tersenyum kecil dengan tatapan lurus ke depan namun penuh kegamangan. Ia mungkin tak bisa tersenyum lagi jika itu terjadi. @@@ Tadi ruangan itu penuh tawa keduanya. Namun mendadak senyap usai Hasan terjatuh. Lelaki itu tak hanya menjatuhkan tubuhnya tetapi juga dompetnya. Ada sesuatu yang terjatuh dari sana yang membuat keduanya tiba-tiba terdiam. Hasan hendak bangkit untuk mengambil dompetnya yang terlempar ke bawah meja. Tapi Husein sudah bergerak lebih dulu. Hal yang membuat Hasan hanya bisa terduduk di lantai di mana ia terjatuh tadi. "Kenapa kau tak bilang?" tanya Husein seraya menoleh ke arahnya. Tangannya emegang selembar foto yang ikut terlempar bersama dompet Hasan tadi. Hasan hanya bisa terdiam. Ia juga tak menyangka kalau akan ada kejadian seperti ini. Sementara Husein sudah menatapnya dengan marah. Jujur saja, ia dan Husein hampir tak pernah bertengkar sedari kecil. Husein selalu mengayominya dengan baik. Selalu mengalah jika ia menginginkan sesuatu. Husein juga rela melakukan apa saja untuknya. Ketika melihat Husein marah seperti ini, tentu saja sangat menakutkan. Apalagi mata Husein tampak memerah. Husein hampir tak pernah marah padanya. Tapi kini? "Harusnya kau bilang!" tuturnya kesal lantas melempar lembaran foto itu di hadapan Hasan. Hasan hanya bisa menghela nafas melihat foto Fara dilempar begitu saja. Dari mana ia mendapatkan fotonya? Tentunya dari acara di Bogor beberapa bulan lalu. Sementara Husein menarik kursi dan duduk di sana. Hasan berjalan mendekat. "Bagaimana mungkin aku bilang, Bang?" Husein menutup matanya sesaat sembari mendongak ke langit-langit apartemen. Mereka bahkan baru saja tiba di Jakarta usai perjalanan yang melelahkan. Hasan sudah bilang untuk tak mengantarnya tapi Husein bersikukuh. Di sepanjang perjalanan, keduanya asyik bercanda tapi begitu tiba suasana menjadi tegang seperti ini. Ini adalah kali pertama mereka menyukai perempuan yang sama. Sebelumnya tak pernah terjadi. Karena? Husein tak punya kriteria khusus. Ia jatuh cinta begitu saja. Sementara Hasan? Lelaki itu memang punya kriteria. Selalu mencari wanita-wanita yang menurutnya solehah dan ia menilai Fara seperti itu. Meski mungkin ada banyak kekurangannya pada gadis itu tapi Hasan juga sadar diri, ia juga punya banyak kekurangan. Namun sekarang bukan ini yang patut dibahas. Urusan dengan Husein lebih penting. "Kalau kau biang, aku gak akan maju, San!" "Dan aku gak mau itu terjadi!" tuturnya. Ia tahu karakter Husein seperti apa. Lelaki itu selalu mengalah untuknya. Maka itu, ia hanya memendam. Kalau jodoh juga tak akan ke mana. "Kalau kau suka perempuan itu, aku gak akan pernah maju. Memang karena kau. Karena aku sudah lama kenal kau! Kau saudaraku Hasan! Bagaimana mungkin aku menukarnya dengan urusan hati dan asmara?" Hasan menghela nafas. Ini lah yang ia tidak sukai pada dirinya sendiri. Ketika Husein malah rela meninggalkan apapun deminya, ia belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Egois bukan? Meski rasanya sungguh manusiawi. Usai menurunkan emosinya, Husein turun dari kursi lantas menepuk bahu Hasan. "Kejar lah. Aku tak akan marah. Penolakan sekali saja sudah cukup bagiku. Dan lagi," ia menghela nafas. "Kau belum tentu mendapatkannya," ledeknya yang membuat Hasan tersenyum kecil mendengarnya. Secepat ini keduanya bisa akur kembali. Itu karena Husein emang bukan tipe pendendam. @@@ "Lamar lah. Akan aku dukung bagaimana pun caranya, San." Husein begitu bawel. Tapi Hasan tetap tak bergerak. Ia bukan Husein yang selalu berani mengambil keputusan dalam waktu singkat dan bisa mempertanggungjawabkannya. Ia adalah Hasan yang kadang terlalu penuh perhitungan. Perencanaan memang penting tapi Hasan selalu penuh dengan kedilemaan. Alhasil? Hingga ia wisuda pun, ia masih tak bergerak untuk melamar Fara. Ia malah tenggelam dalam kesibukan koasnya. Ia sibuk berpindah-pindah kota dan mulai pandai beradaptasi. Setelah setahun koas, Husein yang sibuk di Solo pun kembali mengingatkannya. "Kapan kau akan melamarnya, San? Nanti kalau diambil orang bagaimana?" Hasan hanya bisa tersenyum kecil mendengarnya dan ia masih enggan menanggapi. Hampir setahun setelah itu, ia baru mulai berpikir. Apalagi dikala mendapat kabar kalau gadis itu..... "Mereka sedang sibuk penelitian semester akhir, Bang," tutur Ridwan. Cowok itu bekerja sebagai asisten dosen setelah lulus. Masih menjadi asisten di kampus dan di fakultas yang sama dengan Fara. Sehingga tahu banyak kabar gadis yang selalu menjadi pusat idola para ikhwan itu. "Kenapa tanya-tanya, Bang?" Hasan tak mampu menjawab pertanyaan itu kala itu dan malah mengalihkannya dengan pembicaraan lain. "Kalo lo cuma mandang-mandang gitu doang, gak akan ada perubahan sampe tahun depan!" tutur Eza. Cowok itu menepuk-nepuk bahu Hasan. Hasan hanya tersenyum kecil. Ia tahu. Tapi ia masih belum berani. "Setidaknya lo harus memperkenalkan diri sama dia. Lo bilang, lo bahkan gak pernah ngajak dia ngobrol kan? Cuma kakak tingkat yang bahkan jarang ketemu? Belum tentu dia ingat sama lo." Hasan menggaruk-garuk tengkuknya. Ucapan Eza memang benar. Ia bahkan tak berpikir ke arah sana. Di dalam khayalannya, ia yakin kalau Fara pasti mengingatnya. Ia kan pernah menjabat sebagai ketua organisasi di mana Fara menjadi anggotanya juga. Mana mungkin tidak ingat kan? "Kamu tahu, Hasan? Cinta itu perlu diperjuangkan bagaimana pun caranya. Itu lah kegunaannya ta'aruf sebelum menikah. Itu menjadi salah satu bentuk perjuangan untuk saling mengenal sebelum hidup bersama," tutur Kakek Jamal yang ikut menasehatinya. Hasan tersenyum kecil. Ia senang koas di rumah sakit ini karena hampir semua orang di sini perduli dengannya. "Kalau kau gak maju-maju, lepas saja lah titel dokter muda itu," tutur Husein. Cowok itu bahkan baru tiba di apartemen tapi begitu melihat Hasan keluar dari kamar mandi, ia malah kembali mengomel. "Menangani pasien kau berani, menangani perempuan kau gak berani," tuturnya yang membuat Hasan terkekeh. Perumpamaan itu tentu berbanding jauh dengan apa yang sedang ia hadapi. Pasien dan urusan hati itu sangat berbeda. Walau keduanya memang memerlukan sikap profesional. Husein menghadang langkahnya yang hendak berjalan menuju kulkas. Cowok itu menepuk-nepuk bahu kanan Hasan. "Cewek itu akan lulus, San. Aku yakin sekali kalau sudah banyak yang mengantri untuk melamarnya. Kalau kau kayak gini, yang ada kesempatan itu keburu diambil orang, San," tuturnya sungguh-sungguh. Ia bukannya mendoakan yang buruk-buruk pada Hasan tapi Hasan memang perlu didorong sedemikian kuat untuk.berani melangkah ke depan. Lelaki ini memang penuh keragu-raguan. @@@ Seminggu kemudian, akhirnya Hasan bergerak untuk datang melamar gadis itu. Setelah menimbang-nimbang dalam solatnya selama beberapa hari ini, ia memberanikan diri untuk datang ke kampus Fara eh kampusnya juga. Maksudnya, fakultas di mana gadis itu berkuliah. Ia baru saja turun dari motor saat Ridwan memanggilnya dari jauh. Cowok itu melambaikan tangan. "Jadi, Bang?" tanya Ridwan. Ia hanya ingin menyakinkan. Hasan mengangguk-angguk dengan gugup. Hasan terkekeh melihat reaksinya yang terlalu gugup ini. "Tapi jangan gue, Bang. Bukannya gue gak mau bantu, gue udah gak pernah lagi lihat Fara di kampus." Kening Hasan mengerut. Langkahnya terhenti begitu pun dengan Ridwan. "Gue gak tahu perkembangan Fara," tuturnya dengan jujur. "Terus?" "Gue ngajak lo ketemu temennya aja gimana?" Hasan menimbang-nimbang. Ridwan terkekeh melihat keragu-raguan itu. Ia paham betul bagaimana watak Hasan. Terkadang memang agak lama dalam beberapa hal. Satu-satunya yang membuat Hasan tampak keren hanya lah ketika menangani pasien. "Dia pasti nyampein ke Fara," tuturnya dan merangkul Hasan. Keduanya berjalan menuju bangku-bangku batu di bawah pohon mangga yang ada di fakultas. Tak jauh, ada seorang perempuan yang duduk sendirian di sana. Ia tampak serius di depan laptopnya. Ketika Ridwan memanggilnya, ia menoleh dengan senyuman kecil. "Kenal kan?" tanya Ridwan. Ia menunjuk Hasan dan gadis itu tersenyum. Tentu saja ia sangat kenal. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD