Bisik-Bisik

1713 Words
"San!" panggilnya sembari menepuk bahu Hasan. Hasan terkaget. Cowok itu sedang meminum air dari botol dan semua air itu tersembur keluar. Husein geleng-geleng kepala. Heran akan kelakuan Hasan. "Kapan kau sampai?" tanyanya sambil mengelap mulut. Ia kaget saja karena merasa sendiri di apartemen ini. Husein malah terkekeh. Ia baru menyadari hal yang membuat Hasan kaget seperti itu. "Kau tidur macam singa, San. Aku nunggu depan pintu berjam-jam. Untung ada cleaning service bantuin aku." "Bisa masuk?" "Bisa lah. Tapi dia kira aku itu kau," tuturnya lantas tertawa bersama Hasan. Memang terkadang ada yang tak bisa membedakannya dengan Husein. Karena memang tak ada perbedaan di antara keduanya. Hanya saja, Husein terlihat lebih berkharisma dibandingkan dengan Hasan. Mungkin karena lebih tua? Atau karena jiwa kepemimpinan Husein lebih membuat dibandingkan dengan Hasan? "Diomel-omelin aku, dikira menghilangkan kunci. Padahal emang gak bawa kunci aku. Ketinggalan dj Bandung." Hasan geleng-geleng kepala. Sudah tak heran dengan kelakuan Husein yang sering meninggalkan sesuatu jika bepergian. "Kampus kau libur?" tanyanya. Karena Husein sampai datang ke sini berarti cowok itu memiliki waktu luang. Biasanya, hanya sibuk di Bandung dan mendekam di kamarnya dengan alasan banyak tugas. "Gak lah," sahutnya enteng sembari mengeluarkan air dingin dari kulkas. "Mamak mau ke sini besok sama Bapak. Aku disuruh jemput pakek taksi. Katanya, kalau aku gak jemput, kucing aku di rumah mau dikawinin sama kucing tetangga." Hasan tertawa. Ibu mereka memang sangat lucu. Hobi sekali mengancam anak-anaknya dengan hal semacam ini. Memang cukup terhibur dengan kelakuan ibunya. Tapi itu lah yang mereka rindukan dikala jauh. "Kenapa tak dikawinkan saja? Kan enak, kau dapat mantu sama cucu." "Aku nak cari kucing yang lebih keren. Setengah bule begitu sepertinya lebih cocok." Hasan sampai terbahak sembari memegangi perut. Sejujurnya Husein punya bakat melawak. Tapi kalau di depan orang lain, ia tampak kaku. Mungkin karena ia terbiasa hidup hanya dengan Hasan selama ini. "Gak sekalian saja kau kirim kucing kau tuh ke Turki atau ke mana biar jadi TKI dan cari calon suami di sana," tutur Hasan sembari beranjak. Husein terkekeh mendengar gurauan itu. Mereka memang sering berbicara absurd seperti ini dan hampir tak pernah membicarakan perempuan. Kenapa? Hingga saat ini, Husein belum pernah tertarik pada satu perempuan pun. Kalau Hasan? Husein tak tahu karena Hasan memang selalu menyimpan segala sesuatu dengan sendiri. Kecuali jika ia memerlukan pendapat Husein. "Aku ada acara sebetulnya lusa nanti. Mamak sampai kapan di Jakarta?" tanyanya sebelum masuk ke kamar mandi. Ia baru pulang dari kampus tadi siang dan langsung tidur. Begitu bangun Husein sudah berada di apartemen ini. "Paling sehari. Mereka nak berangkat ke Surabaya." Aaaah. Hasan mengangguk-angguk dan akhirnya benar-benar masuk ke dalam kamar mandi. @@@ "Bus aman?" tanya Hasan. Sedari tadi ia sibuk hilir mudik memeriksa semua persiapan. Meski setiap penanggung jawab akan datang padanya untuk melapor persiapan, namun ia ingin memastikan sendiri bagaimana persiapan keberangkatan mereka untuk MABIT di Puncak, Bogor pagi ini. Rencananya akan berangkat jam enam pagi. Sekarang? Hasan melirik jam tangannya yang menunjukan pukul empat pagi. Sebentar lagi waktu Subuh tiba. "Aman, Bang!" sahut Ridwan. Kebetulan ia yang bertanggungjawab. Lelaki itu mengangkat jempolnya juga. Hasan mengangguk kemudian berbalik pergi ke masjid. Berhubung mendekati waktu Subuh, ia hendak mengaji dulu sebentar karena sejak kemarin, ia belum sempat mengaji. Ketika seperti ini, ia terkadang merasa malu pada Allah. Merasa paling sibuk padahal ia punya waktu 24 jam dan bukan kah itu terasa lama? Masa mengaji lima menit saja tidak sempat? Usai solat Subuh, Hasan pamit sebentar untuk mengambil sisa barangnya yang tertinggal di dalam jok motor. Ia tiba di masjid UI Depok sejak jam tujuh malam tadi. Kemudian menginap di dalam masjid sembari rapat dan melakukan persiapan lainnya. Ia bahkan belum sempat mandi. Tadi hanya sempat mencuci muka dan sikat gigi lalu memeriksa semua persiapan. Setelah mengambil barang, ia menitipkan tasnya pada panitia lain dan sibuk lagi dengan persiapan. Menjelang jam setengah enam, para anggota baru mulai berdatangan. Hasan tak memerhatikan gadis yang juga tiba bersama teman-temannya dan selalu menjadi pusat perhatian. Gadis itu tampak ceria dan tertawa bersama teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan tapi tampak seru sekali. Hasan baru melihat kehadirannya ketika lelaki itu dipanggil untuk bergabung bersama panitia yang mengurus perkumpulan anggota baru. Ia diminta untuk melakukan pembukaan sekaligus melepas para anggota baru untuk berangkat ke Puncak hari ini. Ia mengambil mikrofon kemudian mengucapkan beberapa kalimat dengan agak gugup. Meski sudah sering berbicara di depan umum, tapi kali ini tentunya berbeda. Apalagi matanya tak bisa lepas dari gadis yang juga menatap ke arahnya dan menyimak semua kata-katanya. Ia ber-istigfar berkali-kali agar bisa mengendalikan diri. "Assalammualaikum warahmatullahi wabarahkatuh," ucapnya yang langsung dijawab oleh semua orang yang berkumpul di teras masjid itu. Kemudian ia mengucapkan selamat datang kepada semua anggota baru, mengemukakan rencana perjalanan hari ini dan persiapan pemberangkatan mereka. Harapannya adalah mereka datang bersenang-senang sekaligus berpahala dengan perkumpulan ini. Terakhir, ia menutupnya dengan doa agar perjalanan mereka selamat hingga kembali ke kampus ini. Kemudian mikrofon diambil alih oleh koordinator acara yang segera mengarahkan para peserta untuk menaiki bis yang terparkir di parkiran masjid. Para panitia memimpin perjalanan masuk ke dalam bis sementara Hasan masih sibuk dengan para panitia lain untuk memastikan perjalanan mereka akan aman. "Bang, lo nanti naik mobil si Aldi aja," tutur Ridwan. Hasan menganggukan kepala. Panitia yang lain juga mengatakan itu ketika ia menitipkan tasnya tadi. "Duduk di mana?" Bisik-bisik itu terdengar ditelinga Hasan. Ia menoleh sembari menenteng sepatunya. Ia hanya mengenakan sandalnya sedari tadi. "Di tengah-tengah," jawab yang lain. Hasan hanya menatapnya dengan kening mengerut kemudian membuka pintu mobil Aldi. Cowok itu sudah duduk di bangku kemudi. "Masih aja ngomongin si Fara," tutur Bima yang baru saja membuka pintu mobil belakang. Hasan hanya berdeham sembari duduk di bangkunya. Ia mana tahu kalau kedua panitia tadi sibuk membicarakan Fara. Dan lagi, emang tak ada urusannya dengannya. Tapi entah kenapa ia merasa terusik. "Cantik sih. Wajar kalo diomongin," celetuk Ridwan yang membuka pintu mobil di belakang Hasan. "Tapi gosipnya dia sama si Candra?" tanya Aldi. Mobil baru saja berjalan meninggalkan parkiran. Rencananya, mereka akan mengekor bus. Kening Ridwan mengerut. "Candra mana?" tanyanya. Ia baru mendengar gosip seperti itu. "Kabid, bro. Anaknya Menkeu itu." Aaaah. Ridwan mengangguk-angguk. "Gak cocok lah," sahut Bima yang mengundang tawa Ridwan dan Aldi. "Cewek kayak gitu masa si Candra?" "Biar kelihatan kayak anak gaul, gue dengar-dengar dia anak baik-baik, bro. Maksudnya, lingkungan pertemanannya baik," tutur Aldi. Tentu saja ia mengenal Candra karena satu fakultas dengannya di MIPA. "Cowok baik juga banyak, Al. Tapi untuk seukuran Fara, bisa kali sama imam masjid gitu," tutur Bima yang lagi-lagi mengundang tawa. "Atau anak kiyai gitu. Kalo yang kayak gitu lebih cocok." Aldi terkekeh kecil. Mungkin dalam sudut pandang manusia ya begitu. Tapi siapa yang tahu takdir sih? Sementara Hasan hanya diam saja. Tak mau ambil kesempatan untuk membicarakan perempuan. Karena apa? Hah entah lah. Ia juga tak mengerti. Hanya saja, ia tak nyaman karena hal ini. @@@ Hampir jam sepuluh pagi, bus yang mengangkut para mahasiswa itu tiba di Puncak, tepatnya di salah satu villa yang sudah di-booking. Villa perempuan dan laki-laki terpisah agak jauh. Mereka dipisahkan dengan keberadaan lapangan luas untuk berkumpul juga memulai acara. Biasanya, acara MABIT dilakukan dengan menginap di lapangan luas dan menggunakan tenda. Tapi, para panitia kurang peralatan jika harus mendirikan tenda. Akhirnya, tetap pada rencana awal yaitu menginap di villa. Usai menaruh barang-barang di dalam villa, para peserta diminta berkumpul. Pembukaan acara dilakukan. Tapi kali ini bukan Hasan yang berbicara melainkan koordinator acaranya. Hasan hanya menyimak sekaligus mencari-cari keberadaan Fara ditengah-tengah para mahasiswi. Namun gadis itu tak terlihat karena tertutupi gadis-gadis lain yang tubuhnya lebih besar dibandingkan Fara. Akhirnya, Hasan menoleh ke arah lain dan memilih untuk melakukan hal lain. Sementara itu, acara pembukaan dimulai dan dilanjutkan dengan pembangian kelompok oleh panitia. Satu kelompok terdiri atas delapan orang dan masing-masing memiliki panitia pembimbing yang akan mengarahkan kelompok mereka selama kegiatan ini. Fara masuk ke dalam regu yang diberi nama Nusaibah. Tahu Nusaibah siapa? "Kami memberikan nama grup kami Nusaibah karena beliau adalah perempuan pemberani yang ikut berbagai perang bersama Rasulullah. Dan semoga keberanian itu menular pada kami," tutur Fara dengan lantang ketika mereka diminta untuk memperkenalkan nama grup dan mengemukakan alasannya. Kata-katanya disambut riuh dengan tepuk tangan. Tak terkecuali si anak Menkeu yang masih setia mengintili ke mana pun ia pergi. Acara dimulai dengan ceramah singkat dari seorang ustad yang diundang oleh pihak kampus. Acara ceramah itu berlangsung selama hampir satu jam dan selesai menjelang zuhur. Hasan hanya menyimak semua kegiatan itu dari jauh. Ia dan beberapa panitia lain sudah sibuk menyiapkan lokasi untuk solat sekaligus makan siang. "Fara!" panggil seseorang begitu para peserta dibubarkan untuk bersiap-siap solat. Fara menoleh secara otomatis dan agak kaget melihat kemunculan lelaki yang akhir-akhir ini selalu terlihat di fakultasnya. "Ada salam dari ibuku," tuturnya lantas berlalu meninggalkan Fara yang bergeming. Gadis itu tentu saja bingung dengan kata-kata itu. Oke ia tahu kalau yang dimaksud dengan ibunya adalah Menteri Keuangan itu. Tapi Fara tak perduli. Kenapa ia harus mendapat salam? Oke, salam itu tidak salah dan malah termasuk ke dalam kebaikan. Hanya saja, ini terlalu berlebihan. Apalagi ia hanya sekedar kenal saja dengan lelaki itu. Itu pun karena teman-temannya. Mereka bilang tak enak hati jika mengabaikannya karena lelaki itu anak menteri. Tapi bagi Fafa, ia tak perduli apapun statusnya. Usai solat zuhur berjamaah, para peserta berjalan menuju area makan. Tidak banyak kursi dan yang menduduki hanya para panitia. Sehingga para peserta duduk di lantai dan makan bersama-sama di sana. Hasan baru muncul dari area solat dan berjalan menuju tempat makanan berada. Lelaki itu tak sengaja menoleh ke arah Fara yang makan bersama teman-temannya. Ia tersenyum tipis. Tak berani menyapa. Jangan kan itu, berkenalan pun tak berani. Ia sungguh takut. Walau, hati sungguh ingin. "Mereka dekat katanya?" Terdengar bisik-bisik para panitia perempuan ketika Hasan melintas untuk mengambil makanan. "Si Candra gak sekalipun meleng ngeliat dia. Jatuh cinta parah kayaknya," tutur yang lain. Mendengar itu, membuat Hasan reflek menoleh ke arah Candra yang baru saja menitip minuman pada salah satu perempuan dan perempuan itu mengantarnya pada Fara. Lalu suasana mendadak riuh. Hasan menatap lurus ke arah Fara yang hanya menaruh minuman kaleng itu di dekat kakinya sementara teman-teman gadis itu sudah heboh meledeknya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD