11. Penawaran

2281 Words
"Argghhh...! Indra...! Sakit...!" Seluruh bodyguard penjaga kediaman Tuan Muda Mahardika dikagetkan oleh suara teriakan kencang dari pengantin wanita dari dalam kamar. Tidak ada yang tidak mendengar. Beberapa dari mereka terkikik geli dan ada juga yang senang karena putra dari besan majikannya berhasil. "Pasti Tuan Muda sangat perkasa." komentar salah seorang bodyguard yang berjaga di depan pintu utama. "Iya, Non Tasya sampai menjerit begitu." sambung yang lainnya. "Kita harus segera lapor ke Tuan, kalau malam pertama mereka berhasil." ujar ketua bodyguard yang tiba-tiba datang dengan senyuman tipis. Kedua bodyguard yang berjaga di depan pintu utama tadi mengangguk. Sang ketua bodyguard mengambil ponselnya dan menelepon pria yang sudah memperkerjakannya. Tidak lama, hanya beberapa detik saja untuk memberi kabar membahagiakan. Usai memberi kabar, sang ketua bodyguard memberi perintah kepada semua anak buahnya melalui pesan group di w******p. Benar sekali, ponsel semua bodyguard yang ada di area rumah berbunyi secara bersamaan. Di dalam pesan tersebut berisi tentang bahwa mereka harus berpura-pura tidak tahu agar tuan mudanya tidak merasa malu. Bukan hanya itu, beberapa bodyguard yang ada di lantai dua dan satu pun satu per satu keluar secara pelan-pelan supaya tidak mengganggu kegiatan Indra dan Tasya. *** Di dalam kamar, Hanung mendengar ponselnya berdering. Tengah malam begini, ketua bodyguard yang bekerja untuknya menelepon. Vidya juga heran, memangnya ada masalah apa. Segera Hanung menerima panggilan tersebut karena penasaran. "Ya?" Hanung sengaja menekan gambar simbol loudspeaker agar Vidya juga langsung mendengar dan dia tidak harus mengulangi berita apa yang dibawakan tengah malam begini. "Den Indra berhasil malam ini, Bos. Sekitar satu menit yang lalu, kami semua mendengar suara Non Tasya menjerit kesakitan khas seperti pengantin di malam pertama." ujar ketua bodyguard tersebut. Wajah Hanung dan Vidya dipenuhi senyuman mendengar kabar ini. Mereka senang mendengar anak gadisnya sudah resmi menjadi istri yang sesungguhnya. "Lalu sekarang?" "Kami yakin kalau Den Indra dan Non Tasya masih melanjutkannya. Tadi saya sudah cek ke lantai dua dan masih berlangsung." ucapnya lagi. "Ya sudah. Suruh bodyguard yang berjaga di lantai dua segera turun secara hati-hati dan pelan-pelan agar mereka tidak curiga. Biarkan mereka mengeluarkan ekspresi masing-masing. Kalian harus berpura-pura tidak tahu, agar Indra maupun Tasya tidak curiga. Dan lagi, kalau mereka butuh apa-apa langsung turuti saja." titah Hanung yang mendapat jawaban iya dari seberang. Sambungan telepon terputus, Hanung meletakkan ponselnya ke atas nakas lagi. Wajahnya berseri-seri mendengar putrinya sedang menikmati sisi lain dari dunia bersama suami pilihannya. "Jadi mereka sudah benar-benar melakukannya, Pa?" Vidya juga antusias akan kabar ini. "Eum... Tasya memang terbaik sebagai putri Papa. Dia berhasil memberikan surga dunia untuk suaminya." angguk Hanung. "Mama seneng, karena Tasya tidak menolak." Vidya menyandarkan kepalanya ke tubuh sang suami. "Meskipun Tasya menolak, Papa akan memberikan saran kepada Indra agak memaksa Tasya walau itu harus menggunakan cara sedikit kasar." tanpa diketahui oleh Vidya, tangan kanan Hanung mengepal kuat-kuat. "Sekarang kita hanya perlu menunggu kabar baik dari mereka. Kalau Tasya hamil dan melahirkan seorang putra, maka kita akan bisa mengalahkan mereka secara bersama-sama." ujar Hanung yang dimengerti oleh Vidya, siapa yang dimaksud oleh suaminya tentang mereka. Pandangan Hanung melihat ke arah televisi, tapi tatapan matanya kosong dan tidak memikirkan apa yang dia lihat. Namun, beberapa menit kemudian Hanung memilih mengabari Farhan tentang kabar baik ini. Karena Farhan juga sudah berpesan padanya agar segera meneleponnya kalau itu kabar baik. *** Kelopak mata Indra mengerjap, samar-samar Indra melihat wajah Tasya berada di depannya. Saat sudah sepenuhnya terbuka, ternyata Tasya masih tidur dalam pelukannya. Istrinya itu tidur berbantalkan lengan kanannya dan tangan kanan Tasya tersampir di pinggangnya. Indra tidak sadar, kapan mereka memulai posisi seperti itu. Padahal seingat Indra, semalam mereka tidur hanya bersebelahan tanpa pelukan. Nafas Tasya terdengar teratur dan tidurnya pun sangat damai. Tubuh mungil Tasya sudah terbalut baju tidur yang dipakai semalam, tidak lagi naked seperti saat mereka sepakat melakukan ritual inti di malam pengantin. "Enak ya ternyata nidurin cewek." kekeh Indra tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain. Bayangan semalam saat dia berhasil melakukannya dan membuat Tasya diam juga kesakitan, membuat Indra hampir setengah gila. Semalam, Indra memang memaksa Tasya. Namun akhirnya Tasya seperti mengalah dan hanya diam saja, istrinya itu setengah-setengah untuk menuruti maunya. Antara mau dan tidak, dan itu bisa Indra rasakan. Meski Tasya tidak mengungkapkan dengan kata-kata. Perlahan-lahan, Indra mengangkat kepala Tasya lalu memindahkannya ke bantal. Lelaki itu memilih duduk dan menyegarkan tenggorokannya menggunakan air mineral yang dia bawa semalam dari dalam lemari pendingin. Pikirannya melanglang buana, masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mulai kemarin dia sudah bukan lelaki lajang. "Siapa yang mengira kalau gue bakal nikah di usia semuda ini?" desahnya pelan. Kepalanya menoleh ke arah Tasya lagi, wanita itu tertidur pulas setelah puas menangis semalaman karena menyesali keputusannya yang memberikan kesuciannya kepada Indra. "Gue harus secepatnya bikin Tasya hamil, supaya dia enggak bisa leluasa buat deketin Virgo. Gue yakin, meskipun kita sudah menikah, Tasya enggak akan menyerah sampai di sini dan tiba-tiba menerima gue sebagai suaminya." tekad Indra. Kondisi kamar masih gelap, hanya ada dua lampu tidur di atas nakas berwarna kuning. Indra memilih turun dari ranjang dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Seperti yang sudah terjadi semalam, Indra tidak berpuasa di hari pertama membangun rumah tangga bersama Tasya. Dari kantor, lelaki itu mendapatkan libur menikah selama satu minggu. Namun, Indra menolak dan memilih tiga hari saja. Lagi pula, Indra juga bingung libur satu minggu mau berbuat apa saja. Yang ada malah, dia akan merasa jenuh. Tiga puluh menit berlalu, Indra menyudahi acara mandinya dan keluar kamar mandi. Saat baru keluar, Indra melihat Tasya sudah bangun dan sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya. "Ah... Gue lapar..." ucap Indra sengaja dengan nada lumayan kencang agar Tasya bisa mendengarnya. Tidak ada sahutan dari Tasya, wanita itu tetap saja fokus melihat layar ponselnya. Saat melihat jam dinding, ternyata sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Indra merasa lapar. Lagi pula juga dia sebenarnya jarang berpuasa kalau tidak atas kemauannya sendiri. Beres memakai baju, Indra berjalan ke arah Tasya seraya mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Lelaki itu duduk di sisi ranjang sebelah Tasya. "Masih sakit?" ini hal pertama yang ditanyakan Indra pada Tasya sambil meletakkan tangannya di pangkal paha istrinya. Mata Tasya melirik tajam ke arah Indra, memancarkan aura tidak sukanya. Secepat kilat Tasya menyingkirkan tangan Indra dari pahanya secara kasar. "Tenang dong, Sya. Cuma paha yang gue pegang, bukan yang lain." "Tutup mulut lo ya, bencong! Asal lo tahu saja, nyesel setengah mati gue semalam membiarkan lo dengan mudah melakukannya!" sentak Tasya bagai orang kesetanan di pagi hari. Wajah Indra masih menebarkan senyuman, lelaki itu menatap lekat-lekat ke arah Tasya. Seolah sedang mengabsen penghuni wajah istrinya satu persatu. Tangan kanannya terangkat, jemarinya membelai wajah Tasya yang berminyak. Belum sempat Tasya menepis tangan Indra, lelaki itu sudah lebih dulu menahan tangan Tasya agar tidak melayang ke tangannya. "Kalau gue bencong, semalam gue enggak akan bisa bikin lo menjerit kesakitan seperti itu." ujar Indra manis disertai suara seksinya di depan wajah Tasya. Jantung Tasya berdegup tak karuan saat Indra terus memajukan wajahnya hingga kini bibir lelaki itu berhenti tepat di depan bibir Tasya yang masih dibelai jemari Indra. "Lo mau apa?" tanya Tasya tak takut. "Gue cuma mau bilang, seorang bencong enggak akan bisa membuat wanita di bawah tubuhnya memekik kesakitan." Indra memundurkan wajahnya, namun tatapannya masih lurus ke wajah Tasya. Perempuan yang baru saja menyerahkan kegadisannya semalam itu meneguk salivanya kasar. Tasya ingat, semalam dia beberapa kali mengeluarkan suara tanpa sadar. Dan sekarang, Tasya malu saat mengingatnya. Apalagi di depan Indra. "Mulut lo bisa bohong dengan bilang kalau lo tidak menikmatinya. Tapi tubuh lo tidak akan pernah bisa bohong. Karena tubuh lo yang merasakannya sensasinya." sebelah mata Indra berkedip, membuat Tasya semakin kesal. Sekali hentak, Tasya bisa melepaskan cengkeraman Indra di tangannya. Emosinya begitu meluap-luap tapi Tasya tidak tahu harus melampiaskannya bagaimana. Karena sebenarnya, Indra tidak sepenuhnya bohong. Hanya saja, ada yang tidak Tasya pahami tentang arti menikmati. "Perlu gue tekankan ya, gue enggak menikmati apa yang semalam terjadi." kekeuh Tasya karena dia merasa malu jika harus mengakui atau hanya sekedar diam saja. "Oh... Atau mau kita praktekin ulang? Biar lo ingat bagaimana suara pekikan lo semalam yang terlihat menikmati juga." Indra bersiap membuka kancing baju tidur Tasya. "Enggak!" pekik Tasya sambil menarik selimut dan menutupi tubuhnya agar Indra tidak kembali macam-macam. Bagi Tasya, momen pagi ini sangat awkward baginya. Dia muak pada Indra, dan lelaki itu sudah mengganggunya bagai parasit. "Oh... Jangan sekarang deh, gue sudah mandi dan gue males gerah- gerahkan lagi. Nanti malam saja kita reka ulang apa yang terjadi semalam." Kecupan singkat di bibir yang diberikan Indra barusan, membuat Tasya kesal dan ingin menangis. Secepat kilat Tasya berlari ke arah kamar mandi. Wanita itu ingin menyusul jejak suaminya yang mandi di bawah guyuran shower. *** Di meja makan sudah ada dua porsi makanan dan air minum mineral di teko kaca. Setelah mengeringkan rambut, Indra turun ke lantai dasar dan meminta bodyguard yang dipekerjakan mertuanya untuk membeli makanan. Indra juga membelikan makanan untuk mereka semua yang sudah berjaga semalaman. Tentunya, di meja makan hanya ada Tasya dan Indra saja. Keduanya saling diam dan lebih memilih menikmati nasi padang. Di bulan puasa begini, jarang tempat makan yang buka di pagi hari kecuali yang memang buka selama 24 jam. Kebetulan, di sekitar kompleks rumah baru Indra dan Tasya ada restoran padang buka 24 jam. "Gue mau tanya satu hal sama lo." Indra membuka suara karena dia memang penasaran. Tidak ada jawaban dari Tasya, tapi Indra merasa istrinya itu tidak keberatan kalau dia bertanya. "Lo asli masih perawan atau lo operasi keperawanan supaya lo enggak mengecewakan gue?" ini yang mengganggu pikiran Indra dari semalam. Tasya menghentikan gerak tangannya setelah mendengar pertanyaan Indra, padahal wanita itu tadi sedang memotong rendang. "Gue enggak ada waktu buat operasi keperawanan cuma buat nyenengin lo doang di malam pertama kita." jawab Tasya seadanya dan lanjut makan. Hati Indra sedikit bersorak senang mengetahui Tasya memang masih virgin untuknya. Ada perasaan bangga di dalam benaknya. Tanpa terasa, wajahnya mengembangkan senyuman. "Thanks ya, lo sudah menjaga dan memberikannya ke gue." ujar Indra tulus dari hati. Nasi padang di depan Tasya sudah habis. Wanita itu memakannya secara cepat karena memang lapar. "Sebenarnya gue menjaganya buk..." "Gue tahu, lo menjaganya karena lo masih berharap bisa jadi pasangannya Virgo kan?" sela Indra cepat sebelum Tasya menyelesaikan kata-katanya. Terdengar helaan nafas dari Tasya. Dia meneguk minumannya agar nasi yang dia makan bisa turun. “Gue menjaganya bukan buat lo atau buat Virgo, tapi buat diri gue sendiri.” sahutnya lebih memperjelas. Indra hanya mengangguk-angguk berulang kali sambil terus memakan nasi padangnya. "Gue mau memberikan penawaran sama lo." nada bicara Tasya berubah jadi serius sekarang. Indra pun sudah menyelesaikan makannya. Dia juga menenggak minuman dari gelasnya sampai habis. "Apaan?" "Gue akan menjadi istri yang baik buat lo, melayani semua kebutuhan lo setiap harinya." "Termasuk kebutuhan ranjang?" tanya Indra cepat. "Boleh, akan gue layani lo di atas ranjang semau lo dan semuanya. Asalkan..." "Asalkan?" Indra tersenyum, dia sedang menebak apa yang ada di dalam pikiran Tasya sekarang. Mendengar respons Indra yang seperti barusan, hati Tasya seperti dilepaskan ke langit dan beterbangan ke sana kemari. Dia sudah mendambakan Indra menyetujui penawarannya. "Asalkan lo bantu gue buat mendapatkan Virgo lagi, dan kita melakukan hubungan ranjang yang aman. Sampai gue bisa mendapatkan Virgo, selama itu gue akan menjadi istri yang berbakti dan baik buat lo." kedua mata Tasya berkedip cepat, menunggu jawaban yang akan Indra berikan. Membayangkan rencananya akan lancar atas bantuan Indra, hal itu membuat Tasya terbang ke langit ke tujuh seakan-akan ingin menyusul bidadari kahyangan berada. Walaupun itu belum tahu benar atau tidak, tapi menurut cerita legenda katanya di langit ke tujuhlah tempat para bidadari berada. "Kenapa lo enggak jadi istri yang berbakti dan baik ke gue tanpa syarat? Mengandung darah daging gue, melahirkannya dan merawatnya bersama-sama sampai dewasa?" tolak Indra halus. Senyuman di wajah Tasya sirna saat itu juga. Dia tidak menyangka, kalau Indra akan menolak tawarannya. "Kalau lo memilih begitu, selama itu juga gue akan menolak buat melayani lo. Jangan harap gue mau lo sentuh lagi!" kemarahan Tasya kembali. Tasya berdiri dari kursi, dia berniat kembali ke kamar dan melakukan apa saja yang bisa dia lakukan untuk menghalau kejenuhan. "Tidak apa-apa, gue lebih suka lo yang berontak. Karena dengan seperti itu, istri gue terkesan liar di mata gue. Malu-malu tapi mau." sahut Indra santai tanpa terbawa emosi. Kata-kata Indra sedikit terdengar menjijikkan untuk Tasya. Dia membalikkan badan dan berdiri di depan Indra. "Lo tuh bego banget sih jadi orang! Gue kasih penawaran yang menguntungkan, tapi lo tolak begitu saja. Lo pikir dong, lo itu cowok baik-baik. Lo juga bisa mendapatkan wanita baik di luaran sana!" teriak Tasya tak karu-karuan. Urat-urat di leher Tasya sampai terlihat, seolah wanita itu sedang bekerja berat saja. Padahal hanya berteriak, tapi sampai sebegitunya. "Gue enggak butuh cewek baik di luaran sana. Karena mulai kemarin, gue sudah punya istri yang baik." Indra ikut berdiri dan tersenyum menatap Tasya. "Hahaha..." tawa Tasya sumbang seolah sedang mengejek. "Maksud lo apa? Lo berusaha menggoda gue? Merayu gue? Enggak akan mempan!" mata Tasya begitu tajam menatap Indra. "Gue enggak lagi menggoda atau merayu lo. Gue cuma ngomong yang sebenarnya. Perempuan yang bisa menjaga kesuciannya untuk suami, itu sudah cukup baik buat gue." Jantung Tasya seolah tertampar, dia diam seketika mendengar kata-kata Indra. Di luaran sana banyak orang yang mengecapnya wanita jahat karena ingin merebut suami orang, tapi Indra malah mengatakan bahwa dirinya baik. Dalam beberapa detik, Tasya sempat terpesona dengan kata-kata Indra tadi. "Terserah." Tasya langsung pergi begitu saja. Indra mengikuti ke mana arah Tasya pergi. Wajahnya mencetak sebuah senyuman kemenangan. "Untuk saat ini, enggak penting gue bisa cinta ke lo atau enggak. Karena kuncinya ada di lo. Kalau lo cinta sama gue, di sanalah gue menang untuk membuat lo tidak akan mengejar-ngejar Virgo lagi." tekad Indra mulai semalam adalah membuat Tasya jatuh cinta dan bergantung kepadanya. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD