Bugh! Bugh!
Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!
Bruk!
"Argh...!”
"Hah..."
Bugh! Bugh! Bugh!
Bunyi suara samsak yang ditinju berulang kali oleh lelaki bertubuh atletis masih terdengar di arena pertarungan. Hanya saja, itu hanya tempat untuk latihan. Bukan untuk bertarung atau bahkan adu tinju.
Ada dua lelaki di sana, mereka sama-sama sedang berlatih satu sama lain. Mereka adalah Mark dan Alison. Keduanya menguasai seni bela diri dari Thailand yang cukup terkenal. Apalagi lagi kalau bukan Muay Thai.
Hidup di U.K. bukanlah sebuah halangan untuk mereka mempelajari seni bela diri dari negara lain. Terlebih, Mark dan Alison menyukainya.
"Pi..."
"Stop! Don't call me!" teriak Alison tanpa mengalihkan pandangannya dari samsak yang bergelantungan karena tinjunya belum juga berhenti.
Mark diam, dia tidak jadi melanjutkan kata-katanya karena Alison tidak menyukai panggilannya barusan. Tak berselang lama, Mark mendengar ponselnya berdering. Segera lelaki itu keluar dari tempat pertarungan dan mencari di mana letak ponselnya berada. Sebuah nama tertera di layar ponselnya.
"Hallo..." sapa Mark seraya menoleh ke belakang, meyakinkan diri sendiri bahwa Alison masih sibuk bermain dengan samsak merahnya.
Kakinya kembali melangkah, sedikit menjauh dari Alison. Namun tanpa diketahui oleh Mark, sebenarnya Alison tahu siapa yang meneleponnya. Lelaki itu akhirnya menyerah juga memukuli samsak yang sudah menjadi teman berlatihnya sejak lima tahun terakhir.
Keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya, dia seka menggunakan handuk yang dia bawa dari rumah. Lelaki berusia 23 tahun itu duduk di sisi area pertarungan seraya menenggak air putihnya hingga habis setengah lalu menyiramkan sisanya ke atas kepala.
Dari arah lain, Mark kembali dan ikut duduk di samping Alison. Lelaki berkumis tipis itu melihat Alison yang sedikit kacau dua hari terakhir ini.
"We must prepare for war." ujar Mark lirih.
Alison mengangguk, dia tahu kalau cepat atau lambat kata-kata itu akan dia dengar. Dan sekarang adalah waktunya untuk bersiap-siap agar tidak kalah. Dari kecil Alison sudah tinggal di U.K. bersama Mark, bahkan Alison sampai rela mempelajari tiga seni bela diri sekaligus. Lelaki tampan dengan garis rahang keras itu tidak hanya menguasai Muay Thai saja. Melainkan dengan dua seni bela diri yang berasal dari Negeri Sakura, yaitu Jujitsu dan Judo.
Mau tak mau, Alison harus menguasai ketiga seni bela diri tersebut. Dengan bantuan tiga sensei yang berbeda, akhirnya Alison mampu menaklukkannya. Begitu pula dengan Mark, meski lelaki itu tidak menguasai tiga seni bela diri seperti Alison. Mark juga pandai bertarung, dan salah satunya Mark menguasai seni bela diri Silat.
"I know. Sooner or later, I'll hear those words." angguk Alison seraya turun dari arena tarung.
Melihat lelaki yang dia asuh sejak berusia dua bulan itu turun dari arena pertarungan, membuat Mark jadi ikut turun dan menyusulnya seraya membawa semua kebutuhan Alison.
"Wait, wait..." Mark mencoba mencegah Alison yang sedang berjalan menuju tempat parkir.
Setelah dipanggil beberapa kali, Alison akhirnya berhenti. Dia memandang Mark yang tampak bingung ingin mengatakan apa.
"What?"
"Are you angry?" tanya Mark pelan-pelan, takut-takut kalau Alison tersinggung.
"No, I just want to go back home." jawab Alison seadanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Mark mendesah, dia melepaskan tangannya dari bahu Alison dan membiarkan lelaki muda itu masuk ke mobil terlebih dahulu. Tak berselang lama, Mark pun masuk dan duduk di jok sebelah kiri bagian kemudi lalu memasang seatbelt-nya.
"We have to prepare everything. I promise, I will help to fight the bastard." janji Alison pada diri sendiri, karena dia sudah kepalang marah kepada semua orang yang membuatnya harus berada di dalam keadaan dan kondisi seperti ini dari lahir.
Mobil melaju, Mark meninggalkan area latihan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana hati Alison sekarang. Pasti menjadi Alison tidak mudah, Mark paham betul bagaimana perasaan lelaki yang sedari tadi terus mengepalkan sebelah tangannya.
***
Ada dua orang lelaki lainnya yang sedang menyibukkan diri bermain golf di hari libur. Enam hari berada di kantor berkutat dengan beberapa file, membuat mereka pening. Tidak ada puasa bagi kedua lelaki itu.
Lelaki tua berusia 60 tahun, dia memilih duduk di kursi yang disediakan usai memukul bola putih dengan tepat sasaran. Di atas meja sudah ada beberapa makanan yang mereka pesan.
"Jadi mereka mau bergabung dan membantu rencana kita?" tanya lelaki tua tadi.
"Ya, tadi aku sudah menghubungi asistennya sendiri. Dan mereka bilang, mereka akan bersiap." sahutnya seraya memasukkan potongan melon ke dalam mulutnya.
Lelaki tua berkacamata tersebut mengangguk seraya tersenyum misterius. Dia memainkan jemarinya, sudut bibirnya terangkat ke atas hingga kumisnya pun ikut bergerak.
"Apa kita perlu menambah orang untuk membantu melancarkan rencana ini?" tanya lelaki muda yang baru berusia 30 tahun.
"Tidak perlu, ini sudah cukup berpengaruh."
Tidak ada siapa-siapa di sana selain kedua lelaki tersebut. Keduanya sengaja menyewa tempat golf selama dua jam ke depan. Jadi pantas saja kalau tidak ada pengunjung lainnya.
"Semoga usaha kita tidak sia-sia, kita sudah melangkah sejauh ini." desah lelaki muda yang sedari tadi memang menikmati potongan berbagai macam buah yang dihidangkan.
"Kamu ragu?"
"Ah... Bukan begitu maksudku."
"Kalau kamu ragu, turun saja dari kapalku." ujar lelaki tua tadi dengan tatapan kesal ke arah lelaki muda di depannya.
Sang lelaki muda hanya merasa bahwa kata-katanya sudah salah barusan.
"Mana mungkin aku meninggalkan Papa sendirian di perahu yang besar bersama orang-orang lain."
Mendengar lelaki muda atau yang lebih tepatnya adalah putranya itu menjawab demikian, hal itu membuat lelaki tua tadi puas.
***
"Kamu beneran enggak mau bawa salah satu maid dari rumah Mama?" Luna khawatir kalau Tasya kelelahan mengurus rumah barunya yang bisa dibilang tidak kecil.
Saat mendengar Tasya berada di rumah Vidya, Luna segera bergegas mendatangi menantunya ke rumah sang besan. Mereka mengobrol ini dan itu sedari tadi. Dari obrolan khusus perempuan, tentang perusahaan, dapur, dan banyak lagi lainnya.
"Enggak Ma, aku bisa kok mengurus rumah sendiri." tolak Tasya sopan agar Luna tidak tersinggung.
"Kalau ada maid di rumah, nanti malah takutnya maid itu mata-matanya mereka lagi. Terus bilang ke Mama kalau sebenarnya gue sama Indra itu pura-pura akur doang." Batin Tasya memikirkan tentang tawaran Luna mengenai maid.
"Ya sudah, kalau kalian terus keras kepala buat menolak asisten rumah tangga. Mama tidak akan memaksa lagi." desah Luna.
"Kayak enggak tahu saja, Mbak. Mereka itu enggak mau diganggu, kan lagi pengantin baru. Kalau ada pembantu, enggak bisa mesra-mesraan sambil masak." sahut Vidya membuat Luna kegirangan.
"Mama, kalau ngomong frontal banget." Decak Tasya kesal.
"Siapa juga yang mau mesra-mesraan sama Indra di dapur." Gerutunya lagi.
"Iya yah, maaf ya Mama enggak peka hehehe..."
Lagi-lagi Tasya tersenyum menanggapi ucapan Luna. Biar saja mereka menganggap apa yang mereka katakan tadi benar adanya.
"Enggak apa-apa kok, Ma."
Di hari libur begini, para lelaki sibuk memancing. Entah di mana Farhan, Hanung dan Indra memancing. Tadinya Indra menyetujui ajakan papa mertuanya, makanya Tasya ada di kediaman Kusuma. Tapi yang Luna dengar, katanya Farhan juga ikut mancing bersama mereka.
"Tasya beneran puasa hari ini? Enggak lagi libur? Indra enggak nakal semalam?"
Glek!
Tasya susah payah menelan salivanya sendiri usai mendengar pertanyaan dari Luna. Mertuanya itu kenapa blak-blakan sekali.
"Puasa kok, Ma." angguk Tasya.
"Mbak Luna mau sekalian buka puasa di sini?" tawar Vidya pada besannya.
"Ah... Tidak perlu, buka puasa di rumah saja nanti sama Mas Farhan."
Vidya mengangguk, menghargai penolakan Luna barusan. Lagi pula, Vidya juga tidak mau memaksa.
"Eh... Ngomong-ngomong sudah sore, Mama pulang ya. Kamu baik-baik sama Indra, cepat kasih kabar baik ya. Mama pengen cepat-cepat gendong cucu." Luna memeluk Tasya sayang, mengecup wajah menantunya bagai mencium bayi.
Perempuan berwajah manis itu mengangguk dan tersenyum menanggapi permintaan Luna. Akhirnya, mereka mengantar Luna sampai ke bagasi, di mana Luna memarkirkan mobilnya.
"Aku masuk dulu, Ma." pamit Tasya pada Vidya.
"Iya sayang... Istirahat ya." Vidya mengusap kepala putrinya sekilas dan membiarkan Tasya ke kamarnya.
Tanpa sepengetahuan Vidya, Tasya mengambil dua donat yang dibungkus plastik dari dalam kulkas. Dia juga membawa satu botol air minum dingin secara diam-diam. Ketika membalikkan badan, betapa kagetnya dia saat melihat ada Inem yang ikut melihat ke dalam isi kulkas.
"Astaga Inem! Ngagetin aja sih." sentak Tasya pelan supaya tidak ketahuan oleh Vidya.
"Non Tasya enggak puasa?" tanya Inem sambil berbisik.
"Syut... Nanti kalau Mama dengar, bisa malu gue."
Inem mengangguk-angguk saja seperti orang paham.
"Lo jangan bilang-bilang ke Mama kalau gue ngambil donat sama minuman. Awas lo kalau bilang, gue cincang sampai sisa tulang doang." ancam Tasya membuat Inem takut.
Setelah berhasil mengancam pembantu di rumah Kusuma, perempuan itu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Perutnya sebenarnya lapar sedari tadi, tapi Luna tak kunjung pulang dan membuat Tasya harus menahan.
Satu bungkus donat sudah dibuka oleh Tasya, dia menggigitnya sampai sepenuhnya mulut. Rasa manis dari coklat bercampur seres, memenuhi rongga mulut Tasya.
"Eum... Enak asli." gumamnya sambil menikmati donat hasil curiannya dari lemari pendingin.
"Ini gara-gara semalam Indra maksa gue lagi, jadi enggak puasa kan gue. Terus enggak bisa bebas makan, mana tadi pagi dia enggak ngasih gue makan dulu lagi." gerutu Tasya sebelum akhirnya dia menyuapkan potongan terakhir di donat pertama.
Cklek!
Sontak Tasya menyembunyikan satu donat lagi ke belakang tubuhnya. Hal itu membuat Indra menatap curiga.
"Lo nyembunyiin apa?" lelaki itu penasaran melihat tingkah Tasya tadi.
"Cis... Gue kira tadi Mama yang masuk." dengus Tasya lalu mengambil donatnya lagi.
“Lo udahan mancingnya?” Tasya mencoba mengalihkan obrolan, agar Indra tidak tahu bahwa dia menyembunyikan donat.
“Oh, gue enggak jadi mancing tadi.” sahutnya, tapi sayangnya Indra sudah terlanjur melihat apa yang disembunyikan Tasya tadi.
Lelaki itu juga merasa lapar, melihat donat di tangan Tasya membuat dia menelan ludahnya. Indra mendekat, dan berniat mengambil donat tadi.
"Lo mau apa?" Tasya kaget saat Indra mengayunkan tangannya ke arah donat, namun berhasil dijauhkan oleh Tasya.
Tangan kanan Indra mengusap perutnya yang juga terasa lapar. Hanya dengan body language, Indra harap Tasya bisa paham maksudnya.
"Sya, bagi donatnya. Gue juga laper." pinta Indra.
"Enggak ah, apaan bagi donat. Sukurin ya, suruh siapa semalam lo maksa gue lagi." Tasya menghindar, agar Indra tidak mengambil donatnya.
"Ya kan gue pengen, Sya. Bagi dikit doang kenapa sih. Bagi-bagi sama suami."
"Enggak. Gue engg..."
"Syut... Nanti Mama denger, terus curiga." cegah Indra saat dia menangkap sinyal kalau Tasya sudah akan berteriak.
Alih-alih menelan donat, Tasya malah menelan kekesalannya karena kali ini dia tidak bisa meneriaki Indra sesuka hatinya.
"Pokoknya gue enggak mau." Tasya kembali duduk setelah tadi sempat berdiri.
Indra tidak ingin menyerah untuk mendapatkan donat yang Tasya pegang. Dia kembali berusaha merebut dengan segala cara sebisanya. Tentu saja Tasya menolak dan berusaha menjauhkan donat tadi dari Indra.
Perempuan itu sampai terjatuh ke ranjang dan terlentang lalu menjauhkan tangannya ke atas. Bukan hanya Tasya sendirian yang jatuh di atas ranjang, melainkan Indra juga jatuh. Lelaki itu akhirnya berada di atas tubuh Tasya dengan usaha ingin mengambil donat.
"Ambil kalau bisa." Tasya masih belum sadar bagaimana posisinya sekarang ini.
"Awas kalau gue bisa ambil." Indra masih merangkak di atas tubuh Tasya, namun perempuan itu malah menjulurkan lidahnya mengejek Indra.
Cklek!
"Sya..." panggil Vidya tiba-tiba seraya membuka pintu.
Wanita paruh baya itu kaget saat melihat anak wanitanya ditindih oleh Indra di atas ranjang dan mereka terlihat sedang sibuk dengan dunianya. Tidak hanya Vidya yang kaget, Tasya dan Indra juga kaget. Refleks donat yang ada di tangan Tasya pun jatuh ke lantai. Sepasang pengantin baru itu menatap Vidya yang sedang tersenyum bahagia.
"Maaf ya Mama ganggu, lanjutkan saja deh mainnya." Vidya langsung keluar dan menutup pintu lagi.
Seperginya Vidya, barulah keduanya sadar akan posisi mereka saat ini. Tanpa perasaan, Tasya mendorong d**a Indra begitu saja. Kedua kaki Tasya bergerak tak karuan.
"Mau ditaruh di mana muka gue?" malu Tasya karena dilihat oleh Vidya sedang dalam posisi seperti tadi.
"Mama juga ngerti kok." Indra pun akhirnya memilih duduk di sebelah Tasya.
Tubuh perempuan itu bangun, dia duduk sambil menatap nyalang ke arah Indra.
"Lo sih bego, pakai acara nindih gue segala."
"Ya kan gue enggak tahu kalau Mama bakal buka pintu." Indra tak mau kalah.
Memikirkan apa yang terjadi barusan, sudah membuat Tasya hampir gila. Dia malu. Tasya takut kalau Vidya mengira bahwa dirinya tadi sedang bermain cinta-cintaan dengan Indra. Dia bergidik ngeri sendiri jadinya.
***
Next...