4. Mie Ayam Good

1429 Words
Restia memandang datar pantulan dirinya di kaca. Rambut bervolume alami. Curly di ujung rambut menjuntai sampai punggung. Wajah yang jelas mulus tidak berminyak macam wajahnya di dunia nyata. "Huh, muka kayak gini aja disia-sia-in. Coba kamu ke dunia ku Mbak. Live t****k aja udah dapet cuan kali," gumam Restia sambil memegangi pipinya sendiri. Tok tok tok "Nona. Saya masuk," saut Rowena. Pasti ia akan mengantarkan sarapan seperti biasa. Sebuah nampan menyita kedua tangan Rowena supaya sarapan bisa sampai pada pemilik sesungguhnya. Dengan telaten Rowena menaruh satu persatu sajian ke meja. Restia mendekat ketika indra penciumannya mencium aroma manis. Sepotong roti panggang dengan selai blueberry dan segelas yogurt mengisi penglihatannya. Ah, kali ini roti. Seperti dijadwal, sarapan Restia kalau tidak roti panggang ya sereal dengan s**u. Hah! Restia rindu sarapan nasi uduk depan warumg Pak Omang. Bukan hanya itu. Selama menginjakan kaki di tanah asing ini Restia belum sekalipun memakan nasi. Hal itu berbanding terbalik dengan julukan orang Indonesia yang katanya belum makan kalau tidak ada nasi. Tidak boleh! Hal ini harus diakhiri! "Rowena?" "Iya Nona?" "Apa di sini ada beras?" "Beras?" tanya balik Rowena. Gagal paham dengan ucapan Restia. Sudah diduga sih! Di jaman ini padi belum ditemukan. Toh, temanya juga kerajaan. Pastilah kemajuan teknologi belum berkembang. "Itu... emh.... semacam biji-bijian yang bisa diolah. Bisa menggantikan gandum atau kentang untuk memenuhi kebutuhan pangan." "Kalau itu... emh.... sepertinya saya pernah mendengar seorang pedagang menjual bibit aneh yang katanya berasal dari negeri seberang. Kalau tidak salah namanya padie?" "Ah... itu! Iya... itu yang aku cari. Kamu tau dimana aku bisa menemui pedangang itu?" tanya Restia sumringah. "S-saya tidak tau Nona. M-mungkin Nona bisa tanya dengan Ayah Nona. Beliau kepala serikat dagang Eraslan." Kenapa tidak kepikiran? Wah, bertransmigrasi ke tubuh ini membuat otak Restia tumpul. Pantas saja Restia Adler selalu menggunakan tangannya dari pada otak. Payah sekali! "Terimakasih Rowena. Aku akan ke tempat Ayah." "Ah... anu Nona. Sepertinya Nona tidak bisa." "Kenapa?" "Tuan Chalid sedang menghadiri pertemuan dengan Kaisar. Beliau berangkat tadi pagi dan sengaja tidak membangunkan Nona karena takut mengganggu istirahat Nona." "Oh gitu...." Restia mendudukan kembali dirinya. "Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau butuh sesuatu bunyikan lonceng. Saya akan langsung datang," jelasnya kemudian beranjak pergi dengan etika sopan terpancar kuat. Terlihat sekali aura bangsawan yang sudah diajarkan dari kecil. Restia menyaut garpu perak di meja. Memandang pantulan dirinya yang tercipta berkat jernihnya perak alami berkualitas tinggi. "Kaisar.... kalau di novel Aurora sering panggil Livi. Tapi nama kepanjangannya siapa ya? Livi... Livi Eraslan?" Ia menusuk roti panggang di depannya. Kemudian seolah otaknya dibanjiri informasi. Nama sang Kaisar langsung muncul. "Oh.... Cadis Livius Eraslan!" "Ahh.... nggak sabar pingin ketemu! Seganteng apa ya dia? Aurora juga... pasti cantik banget kayak berbie." Senyumnya merekah sempurna. Membayangkan dirinya sedang bercakap ria dengan dua tokoh pujaannya. Namun detik berikutnya bibirnya menukik ke bawah berkat sarapan di meja. Nafsu makannya benar-benar nol! Dunia ini akan berakhir kalau tidak ada nasi. Ya, sebenarnya hanya dunia Restia saja sih. Karena hanya dia yang tau lezatnya nasi putih pulen. "Keluar deh..." cetusnya kemudian beranjak. Pintu besar yang diyakini terbuat dari kayu berkualitas tinggi dengan aroma wewangian khas menguar berhasil Restia lalui. Biasanya Rowena akan berjaga sepanjang hari di depan pintu. Berdiri tanpa tempat duduk. Semua itu ia lakukan berkat titah Restia Adler yang memintanya tidak beranjak satu centi dari depan pintu. Karena pernah Restia memanggil lalu Rowena tidak kunjung datang. Lihat kan? Betapa kejamnya Restia Adler. Hah! Tapi namanya kebiasaan. Walau Restia sudah menyuruh Rowena untuk tidak melakukan hal konyol itu, tetap saja ia menolak. Dan terus terjaga di depan pintu. ---###--- Baru pertama kali Restia melangkah keluar dari kamar semenjak ia sadar. Semakin langkahnya menjauhi kamar matanya dibuat terbelalak berkat arsitektur bangunan. Dan lihatlah lukisan-lukisan epic itu! Mungkin harganya senilai lukisan karya DaVichi. “Kalau dijual berapa ya?” gumam Restia dengan mulut senantiasa menganga. Tibalah langkah Restia di depan pintu besar lainnya. Ayolah! Pintu kamarnya saja sudah sebesar pintu masjid Istiqlal dan yang ini lebih besar lagi. Ah, Restia jadi penasaran sebesar apa pintu utama rumah ini. Saat pintu itu dibuka, banyak sorot mata memandang. Rata-rata mereka memakai pakaian yang sama dengan Rowena. Baju hitam berpadu putih dengan renda di tepi lengan dan roknya. “Hall—“ Belum sempat Restia menyelesaikan kalimat, beberapa pelayan itu berjejer membuka jalan sambil membungkuk patuh. “Selamat pagi Nona,” sapa mereka kompak. Wah, lagi-lagi Restia lupa. Dirinya kan punya jati diri menyeramkan di mata pelayan. Sudahlah, untuk kali ini Restia malas menyangkal. Ia melewati beberapa pelayan itu dengan perasaan kikuk. Restia menyisiri berbagai tempat yang seketika muncul dalam ingatan. Yah, dirinya tidak takut nyasar sebab di otak sudah terpatri ingatan dari Restia asli. Ia pun langsung melenggang menuju dapur. Menuntaskan tujuan utamanya mencari sarapan dengan rasa yang berbeda. Seperti respon biasa. Saat Restia menjejakan kaki di dapur. Pelayan yang ada langsung membungkuk dan memberi salam. Macam preman Yakuza yang pernah Restia tonton di film. “Coba kita lihat, di dapur ini punya apa saja!” gumam Restia sembari menggosok kedua lengannya antusias. “Ayo keluarkan semua bahan makanan yang ada!” titahnya kemudian. Bahan makanan tersaji di meja besar. Dari hijau-hijauan, daging, buah, rempah-rempah dan ikan dan lain-lain. Tapi satu yang tidak ada. Beras! “Aku ingin makan sesuatu yang berbeda,” beonya. Tangannya menyisir bahan makanan yang ada. Kemudian ia menyaut terigu, telur, ayam dan beberapa bahan lain. Mau tau apa yang ingin dibuat Restia? Tentu saja makanan era modern. Mie ayam! Beruntungnya Restia punya ibu seorang penjual mie ayam. Jadi ia sudah khatam cara membuat mie sendiri. Dengan telaten Restia menguleni adonan. Sayangnya tidak ada alat mencetak mie jadi Restia putuskan untuk memotongnya dalam bentuk pipih sehingga jadilah mie ayam pipih. “Wah, makanan apa itu? bentuknya aneh.” “Aku baru pertama kali melihatnya.” “Seperti rumbai alun-alun?” “Hush! Itu makanan yang dibuat Nona! Kamu ingin digantung hidup-hidup?!” Nasib-nasib! Cuma mau masak aja digunjingin! “Mau coba?” ulur Restia pada salah satu pelayan. “eh… a-anu…” jawab pelayan itu ragu-ragu. “kenapa? Kamu takut ada racunnya?” “B-bukan… s-saya cuma kaget. T-tumben sekali Nona mau masuk ke dapur dan memasak. Apalagi menawarkan masakan Nona ke pelayan seperti saya." Lagi-lagi sistem hirarki. “Tsk! Mau tidak?” “M-mau!” pelayan itu menyaut sesuap mie. Sejurus kemudian ekspresinya sangat kentara jika ia menyukai makanan ini. “baiklah, semuanya! kalau kalian penasaran. Cepat bantu aku membuat lebih banyak lagi!” “B-baik Nona!” jawab mereka kompak. Akhirnya Restia mengarahkan dengan telaten pelayan dapur. Tidak ada yang tidak bekerja. Restia membagi tugas sama rata. “Astaga! Nonaa….” pekik sesorang. Dari suaranya Restia tau kalau itu Rowena. Wajahnya seketika datar. Pasti Rowena akan menceramahinya lagi dengan raut ketakutan. “Nona saya sangat khawatir saat saat menjumpai kamar Nona kosong. Tolong jangan menghilang tiba-tiba. Saya bisa mati berdiri kalau Nona melakukannya lagi,” rengeknya seperti biasa. “Ya, ya, ya. dari pada itu lebih baik kamu coba ini!” Restia mengarahkan semangkuk mie ayam. “I-ini Nona yang buat?” “Iya. Cobalah.” Di luar dugaan. Rowena justru berkaca-kaca sambil menyaut mangkuk mie itu seakan si kaya memberi makan gelandangan. “I-ini pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir Nona memberi ku makan, hiks…” Ayolah! Kalau begini Restia justru terkesan tidak perhatian pada Rowena selama sepuluh tahun! “Su-sudahlah! Duduk di sana dan makan!” Kegiatan masak memasak masih berlanjut. Setelah kloter pertama selesai dengan semua hidangan dinikmati para pelayan dapur kini mereka kembali memasak untuk pelayan yang lain. Karena yang Restia dengar. Tidak jarang mereka membuang bahan makanan karena sudah membusuk. Alhasil ia gunakan untuk memberi makan semua pelayan rumah ini. “Coba aja ada kulkas. Makanannya nggak mubazir,” gumam Restia sambil menyantap apel potong yang disediakan Rowena. “Nona, saya akan membantu untuk memberikan makanan pipih ini ke pelayan lain,” ucap Rowena antusias. Berbeda dengan Rowena yang dikelilingi binar bahagia. Restia justru hampir tersedak berkat ucapan Rowena yang mengatakan mie sebagai makanan pipih. Yah, walaupun bentuknya bukan mie tapi tetap saja itu mie! “Tunggu semuanya!” seketika semua pelayan berhenti dan menatap Restia. “Makanan itu punya nama. Dengar! Namanya ‘Mie Ayam’. Coba ulangi! Apa namanya?” “Mie Ayam,” jawab kompak semuanya. “Good! Sekarang berikanlah pada pelayan lain,” titah Restia kemudian duduk kembali menikmati potongan apel ke lima. “Tadi, Nona Restia bilang Good. Apa itu kata lanjutan untuk makanan ini?” “Emh… mungkin saja.” “Baiklah, berarti namanya, Mie Ayam Good.” Tanpa sadar ucapan asing yang dilontarkan Restia menciptakan julukan baru pada primadona makanan khas Indonesia itu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD