5. Tea Party

1027 Words
Kebiasaan itu mengerikan ya jika sejak awal diterapkan kebiasaan buruk. Susah menghilangkan kebiasaan yang sudah mendarah daging. Salah satunya kebiasaan Restia yang satu ini. Begadang! Percayalah, di umur menginjak dua belas tahun, tepatnya kelas enam SD. Restia sudah memiliki kebiasaan tidur malam. Saat itu alasannya karena ia takut tidak lulus ujian. Alhasil Restia belajar sampai malam. Kalau mau main salah-salahan. Salahkan Aldi, Kakak Restia yang menakut-nakuti. Katanya orang yang tidak lulus akan digantung semalaman dengan posisi kepala di bawah. Lihatkan betapa bangsatnya kelakuan Aldi yang menakut-nakuti anak kecil sampai kena mental. “Hah! Kira-kira cara mati yang nggak sakit gimana ya?” ucapnya diiringi hembusan nafas entah sudah berapa kali di mala mini. Ia menggerakan pena era dulu dengan isian tinta hitam ke atas kertas putih kecoklatan. Tidak seperti zaman modern. Kertas di jaman ini memiliki warna sedikit keruh. Mungkin berhubungan dengan car pembuatannya yang belum semaju masa modern. “Loncat dari balkon?” “No!” silangnya pada tulisan yang sudah ia tulis. “Terlalu beresiko. Kalau aku nggak mati dan malah cacat gimana?” “Minum racun?” “Hah! Di negeri ini kan racun nggak boleh dijual sembarangan. Beli racun serangga buat rawat gandum aja harus lewat prosedur sulit.” “Kalau di pasar gelap pasti ada. Di novel Restia kan mau bunuh Aurora pakai racun yang dia beli di pasar gelap. Tapi…” Restia beralih dari posisi tengkurap. Tangannya telentang mengabaikan buku dan pena teronggok di kasur. “Pasar gelap cuma diadakan sekali selama dua bulan. Sedangkan menurut jadwal baru dua minggu ini pasar gelap diadakan.” “Apa ya? Aku nggak boleh lama-lama di sini. Nggak ada yang bisa jamin waktu di sini sama dunia nyata sama. Gimana kalau waktu di sini lebih lambat? Gila! bangun-bangun udah jompo dong gue?!” Restia mengacak rambutnya kasar. Walaupun begitu wajah bak dewi Aprodite itu masih tampak cantik. “Apa aku sayat aja urat nadi ku?” ia langsung duduk. Menatap serius pergelangan tangannya. “Oke… simulasi dulu,” ujung lancip pena yang terbuat dari besi itu menempel di nadi Restia. Bersiap menggores nadi mulus dengan urat biru terlihat jelas. SRET! “Argh!! Tangan ku!” pekiknya ketika goresan kecil tercipta hingga darah merembas tipis. Restia langsung membuang pena itu. menempelan pergelangannya yang terluka ke mulutnya. “Ish! Mati yang enak apa sih?!” adunya kesal. Matanya perlahan berat. Dengan segala keruwetan pikiran ia tertidur dengan posisi telentang seperti biasa. Tidak mengindahkan segala aturan bangsawan pada seharusnya. ---###--- Di tengah terik yang menarik keluar dahaga. Restia duduk di gazebo yang terletak di tengah taman bunga Anyelir. Setiap bunga dikelompokan menurut warnanya. Taman ini terlihat sangat terawat. Bagaimana tidak? Bunga Anyelir adalah salah satu peninggalan Marchioness atau Ibu kandung Restia Adler. Ingatan masa kecil Restia yang melihat Ibunya merawat bunga-bunga Anyelir sering terlintas ketika Resia melewati taman ini. Di belakang sifat tidak berakhlaknya sebenarnya Restia Adles hanya seorang anak yang merindukan Sang Ibu. “Nona, bagaimana dengan tubuh Nona?” tanya Rowena setelah selesai menyajikan earl grey atau afternoon tea yang sudah menjadi tradisi bangsawan turun temurun. “Hemm… aku sudah merasa baik,” jawab Restia malas. Pasalnya sudah puluhan kali Rowena mencemaskan keadaannya. “Syukurlah, kalau begitu… ini ada ada surat undangan dari Lady Tarra dari keluarga Viscount Asral. Saya dengar, giliran kediaman itu yang akan mengadakan tea party mingguan,” ujar Rowena. Tea Party ya? kegiatan membosankan yang isinya hanya menggunjing kejelekan seseorang. Kegiatan social yang bisa mempengaruhi pandangan para bangsawan. Restia Adler sering menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan reputasi Aurora di kerajaan Eraslan. “Tidak minat!” saut Restia sembari menyesap teh beraroma mawar. “T-tapi… biasanya Nona sangat antusias datang ke Tea Party. Terlebih Nona sudah dua kali tidak hadir dalam perjamuan. Reputasi Nona sebagai sosialita akan turun. I-itu akan berpengaruh pada—“ “Aku bilang tidak mau ya tidak mau!” bentak Restia tanpa sadar. Dirinya saja sedang kebingungan mencari cara mati. Justru Rowena menyuruhnya datang ke acara tidak penting itu! “M-Maaf Nona… Saya hanya…” kilauan cairan bening terkumpul di kelopak mata Rowena. Ayolah, padahal sudah beberapa hari ini Rowena menurunkan rasa takutnya terhadap Restia. “Akhir-akhir ini aku sedang bermusuhan dengan mereka. jadi jangan membahas tentang Tea Party karena itu akan membuat suasana hati ku buruk.” ucap Restia lembut. “Baik Nona… Oh iya, saya dapat info kalau Nona Aurora akan hadir dalam perjamuan kali ini. Mungkin saja—“ “Kamu bilang apa?” tanya Restia menggebu. Tanpa sadar raut antusiasnya itu justru menakuti Rowena yang lemah lembut. “N-nona Restia akan datang.” “Kalau begitu tunggu apalagi? Siapkan baju ku!” Ini adalah kesempatan emas! Bertemu dengan Aurora dan berbincang bersama. Rasanya seperti mimpi! Restia berlari menyusuri rumah untuk sampai ke kamarnya. Ia harus bersiap. Sedangkan Rowena sibuk menyiapkan baju beserta pernak-pernik yang akan Restia pakai. “Kira-kira bawain apa ya? kue kering? Atau…. Ah! Aku tau! Aku harus bawa kertas untuk minta tanda tangannya!” gumam Restia kepalang senang. Setelah mandi dengan sabun beraroma lavender dan membersihkan sela-sela kuku. Restia menuju ruang pakaian untuk ganti. Sebenarnya Restia sedikit penasaran dengan ruang pakaian yang belum sempat ia jelajahi. Solanya Restia itu kan tidak peduli penampilan. Jadi ia pun tidak memperdulikan ruang pakaian itu. Ketika pintu dibuka, Rowena sudah menyambut sopan. Di sampingnya tersedia baju yang benar-benar mewah dan meriah. Restia pun sampai geleng-geleng kepala saat baju merah dengan pernak-pernik menghiasi seluruh sudut baju. Dari pada tampil bak putri bangsawan Restia yakin penampilannya akan seperti anggota arak-arakan sirkus. “Saya akan membantu Nona. Tolong lepaskan handuk Nona terlebih dahulu,” saut Rowena sembari berjalan mendekat. “Tunggu! Apa tidak ada baju lain?” “Tentu saja ada Nona,” lalu Rowena membuka satu persatu lemari yang isinya baju full pernah-pernik dengan warna ‘ngejreng’. Restia menepuk jidatnya sendiri. Selera Restia Adler benar-benar ampas. Bajunya memang terkesan mewah, Tapi tidak cocok dengan wajahnya yang telihat mungil. Karakter Restia Adler justru akan terlihat tua dengan baju-baju itu. “Minggir! Aku akan cari baju ku sendiri,” titah Restia, ia kemudian mencari baju yang super simple, super elegan dan tidak neko-neko. Apalagi Restia belum terbiasa menggunakan baju berumbai-rumbai. Bisa gawat kalau di jalan tiba-tiba ke serimpet. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD