Bagian 11

1204 Words
Pergi tanpa meladeni Andra adalah keputusan terbaik. Aku tak perlu ikut marah atau berbalik memukulnya. Meeting sore ini pun berjalan lancar. Investor Australia itu juga sudah memutuskan untuk menanamkan dananya pada proyek perusahaan yang dipegang oleh Om Hans. Kalau kalian lupa, Om Hans adalah papanya Andra. Berbicara tentang Om Hans dan bisnisnya, sampai Andra berusia 27 tahun saat ini, belum pernah sekalipun dia menyerahkan proyek besar pada anaknya. Andra hanya menjalankan proyek-proyek kecil, itu pun baru-baru ini. Aku tak mengerti, apakah Andra yang menolak? Atau Om Hans yang memang tidak memberinya. Mengingat papaku dulu, telah memberikan cabang perusahaan yang ada di Australia, bahkan ketika aku masih belum menyelesaikan kuliah S-2 ku di sana pada usia 23 tahun. Setelah ini aku harus mengurus penjualan apartemen Aruna dan pemindahan barang-barangnya juga. Tapi, sebaiknya kulakukan malam hari saja, aku takut akan ada orang melihatnya. Penjualan apartemen Aruna tidak langsung olehku, melainkan akan ditangani oleh agen properti yang sudah menjadi tangan kananku sejak dulu. Meski bertahun-tahun tinggal di Australia, namun aku berusaha agar tak putus silaturahmi dengan mereka. Sehingga sampai kini mereka berkenan membantuku. But nobody knows what I'm feeling inside. Or a love that can't live but will never die. And nobody knows how I reminisce, mmh. About your burning kiss .... [1] Lagu patah hati milik Marcell Siahaan yang rilis bulan November lalu terputar di radio. Pembuatnya seperti yang sengaja membuat lagu itu sohor untuk bulan Desember yang hari-harinya dipenuhi rintik hujan, mungkin ini adalah teknik marketing baru. Para komposer  lagu itu sengaja agar para pendengar lagunya menikmati sensasi kesedihan di bawah mendung dan gemericik air yang membasahi jalanan. Karena sepertinya itu benar, jika 99% dari hujan adalah kenangan. Lagu itu pun berhenti terputar dari radio mobil begitu aku mematikan mesinnya. "Assalamu'alaykum," salamku begitu aku masuk rumah. "Wa'alaykumsalam, udah selesai, A?Malam ini nggak ke mana-mana, 'kan?" Mama yang sedang duduk sendiri di ruang tamu menyambut kedatanganku. "Udah, Ma, makanya Aa bisa pulang," candaku sambil mencium tangannya. "Nanti malem, Amih mau ngadain makan-makan. Datang, ya!" seru mama. "Makan-makan? Dalam rangka apa? Syukuran si Andra batal nikah?" "Huuush!" "Aw!" Dan mama pun mencubit pinggangku. "Bercanda, Ma." "Cuma makan-makan keluarga, syukuran semoga proyeknya lancar. Tadi, kan, sudah diumumin di grup keluarga abah. Gimana sih, kamu ini!" Aku hanya bisa tersenyum tipis, karena sebenarnya aku tidak pernah membuka grup keluarga yang pengaturannya aku buat ‘diam’ untuk selamanya. "Ya, gimana entar aja lah, Ma! Aa mau ke atas dulu, ya!" Aku pun naik ke atas menuju ke kamarku. "Mandi dulu, A! Jangan lupa solat maghrib juga!" teriak mama yang terdengar bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam kamar. Blam Kututup pintu kamar karena aku ingin beristirahat. Aku sudah solat sebenarnya saat di kantor tadi. Hanya saja untuk mandi ... rasanya malas. Aku berbaring menatap langit-langit kamarku yang putih. Entah mengapa, meski tak sedingin musim salju di Australia, namun musim penghujan di ujung tahun milik Indonesia benar-benar membunuh seleraku untuk bersentuhan dengan air. Meskipun itu air hangat sekalipun. Tapi ... basahnya musim hujan tropis seperti inilah yang selalu membuatku rindu dengan Indonesia. Apalagi kabut-kabut tebalnya di pegunungan teh, yang akan selalu membuat kita mengeluarkan asap setiap membuka mulut dan mengembuskan napas. Kemudian aku teringat akan Aruna yang ingin menjual ponselnya. Ponsel itu kutinggalkan dalam mobil Rubicon-ku dan belum sempat aku mengambilnya. Untungnya sudah sempat aku potret sebelum turun dari mobil tadi. Sambil mengetik pesan, aku kirimkan pada seorang temanku dan meminta tolong agar ponsel itu ia jual. Kuberikan potretnya dan dia berkata menyanggupinya. "Aa! Ayo bareng ke rumah amihnya!" Suara mama terdengar lagi. "Duluan aja, Ma! Aa nyusul bentar lagi!" timpalku malas. Aku ingin beristirahat dulu sebentar sebelum nanti memeriksa barang-barang Aruna dan memindahkannya. Terpejam … kucoba untuk lelap. Menikmati sensasi nyamannya ketika mata sedang tertutup, kepala tersandar pada bantal, dan tubuh yang terbaring di atas alas tidur yang nyaman. Tanpa mengganti baju, tanpa mencuci kaki. Aaaah … ini nikmat se--- “Aa …!” Tok tok tok “Cepat! Amih udah nelponin mama melulu, nih!” Aiish! Benar-benar memang, jika amih sudah berkata untuk datang ke rumahnya sekarang, haram sudah bagi siapapun yang dipanggilnya untuk bersantai. “Iya! Iya! Bilangin aku mau mandi dulu gitu, Ma! Mama duluan aja,” ujarku sambil membuka pintu dan terlihat mama sedang berdiri melipat tangannya menatap ke arahku. “Mama sayang, duluan aja, ya! Aa mau mandi, liat, baju Aa belum diganti malah.” “Bukannya dari tadi, A!” Senyumku menjawab gerutunya. Ini sudah biasa setiap aku pulang ke Indonesia. “Mama bakalan tunggu! Aa cepetan!” “Hmmm …!” * “A Adrian! Ini artisnya lama banget coba datangnya!” Kyana, gadis berwajah mirip Kyara namun berambut sedikit ikal di ujungnya, berkata demikian begitu aku datang bergabung. Sungguh sulit membedakan mereka dari depan, memang. Kecuali jika melihat ujung rambutnya itu. “Artis siapa sih, Na?” Mamaku yang menyahut. “Iya, A Adrian, kan, artisnya, Tante. Amih ngadain makan-makan buat ngerayain keberhasilan A Adrian tadi,” jawabnya sambil melirik ke arahku. “Emang tadi Aa habis ngapain, sih?” “Kepo!” Ternyata benar, sepertinya Amih memang menungguku. Makan malam ini dimulai ketika aku dan mama duduk di meja makan. Padahal ada Andra, Om Hans dan papaku juga belum bergabung ke sini. Papa sepertinya masih di kantor, sama seperti Om Hans. Kalau untuk Andra? Entahlah …. * “Jadi guys, tunggu apa lagi, ganti ponsel barumu dengan ponsel yang samaan dengan kita. Cashing-nya juga keren-keren. Warnanya anak muda banget! Bener, kan, Na?” “Iya, bener banget, Kak! Pokoknya setelah punya ponsel ini, aku nggak bakal ganti yang lain …!” Itu anak berdua lagi ngapain, sih? Kuhampiri suara ribut-tibut di balkon lantai dua rumah Amih. Dua orang gadis berwajah serupa sedang berbicara di depan ponselnya. Ah, iya, aku lupa, mereka berdua adalah selebgram. Sepertinya sedang mempromosikan barang endorse-nya. Pantas saja, mereka langsung berpisah dari para keluarga yang masih berkumpul seusai makan malam. “Kamu aja, lah, yang pake!” ujar Kyana begitu kamera ponsel mereka mati. “Ogah, ah! Sayang ini Iphone-ku masih baru, tau!” “Sama! Masa’ mau disimpen aja?” “Jual aja!” “Ya udah, kamu aja yang jual!” “Duitnya buat aku?” “Enak aja! Bagi dua!” Kuhampiri mereka yang sudah selesai live di sosmednya. Lalu aku melihat ponsel yang enggan mereka pakai, entah mengapa, pikiranku langsung tertuju pada Aruna yang ingin membeli ponsel baru. “Aa yang beli aja deh, ini! Gimana?” tawarku pada mereka. Mereka berdua berpandangan. “Ide bagus!” jawab mereka serempak. Tanpa banyak tawar menawar, aku langsung transfer uang melalui mobile banking ke rekening bank milik Kyara. Kemudian, satu set ponsel baru ini ada di tanganku! * Supir truk pengangkut barang baru saja menghubungiku. Ia sanggup untuk melaksanakan permintaanku malam ini, pukul 23.00 malam hari nanti. Meski orang lain yang akan mengantarnya ke tempat Aruna, tapi tetap saja aku yang harus memeriksanya. Jangan sampai ada yang hilang ataupun tertinggal. Pukul 22.00, aku ingin sejenak beristirahat terlebih dahulu. Meski dua jam lagi adalah pergantian hari, tapi aku merasa bahwa Jum’at ini masih panjang. Besok aku masih harus ke Pangalengan, mengurus pembelian tanahku. Tentunya, juga untuk memeriksa barang-barang yang sampai ke tempat Aruna. Sampai jumpa besok, Aruna! Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD