"Na, kamu serius mau jual apartemen?"
"Serius, Kak. Aku mau beli rumah aja di sini," jawab Aruna dengan santainya, dia kembali memanggilku dengan sebutan kakak setelah beberapa menit lalu dia memanggil dengan sebutan Aa.
Aneh? Iya, memang. Suka-suka dia sajalah.
"Jual property itu nggak secepat yang kamu bayangin, Na!" peringatku padanya. Karena memang, penjualan properti itu cocok-cocokan, kalau kata orang tua jaman dulu, jodoh-jodohan.
Kadang, ada pembeli yang tiba-tiba nggak jadi beli karena alasan yang kurang cocok.
Atau, ketika pembeli udah cocok, penjualnya yang nggak mau property-nya dibeli sama orang itu.
Ya ... balik lagi, bukan jodoh!
"Pekerjaan kamu gimana, Na?" Aku hanya ingin memastikan keputusannya.
"Aku, kan, freelance, Kak. Selama ada internet, aku bisa kerja dimana aja."
"Hmmm .... Jadi, kamu berniat untuk pindah domisili kemari gitu?"
"Emm!" Anggukkannya terlihat mantap.
"Kalau kamu sekedar butuh uang, kamu bilang, Na!"
"Enggak, Kak, aku serius. Uang tabunganku masih ada. Tadinya aku menabung untuk biaya pernikahan, tapi ternyata amih bilang, keluarga kak Andra akan meng-cover semua biaya. Jadi ... uangku utuh!" Wajahnya kembali berubah menjadi sedih.
"Ngomong-ngomong, kabar amih gimana, Kak?" tanyanya dengan nada yang lebih pelan.
"Semua keluargaku masih marah sama kamu, termasuk amih." Aku menjawab seadanya.
Mendengar jawabanku, Aruna terdiam. Mungkin dalam pikirannya masih diliputi rasa bersalah.
"Semuanya bukan salahmu, Na! Kalau rencana kabur dari pernikahan kamu lancar begini, itu artinya Tuhan yang melancarkan. Kalau Tuhan melancarkan, kau tahu apa artinya?"
"Artinya Tuhan mengizinkan dan ini yang terbaik buatku," jawabnya dengan sedikit senyum yang terbit di bibirnya.
"Pinter!"
"Idiiiih, emang aku pinter!"
"Na, kalau kamu serius, aku butuh sertifikat dari apartemen kamu. Ada?"
"Di apartemenku, Kak. Ambil saja, Kak Adrian tahu, kan, di mana apartemenku?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Apartemen Gateway daerah Cicadas. Tempat yang dikatakan oleh Kyara saat dia memergoki Riska dan kakaknya bercinta.
*
Mungkin aku terlalu ikut campur. Memang terlampau jauh sudah aku mengetahui masalah tentang Andra dan Aruna.
Dari yang awalnya hanya berniat untuk menolong Aruna pingsan, hingga aku membantunya dengan memberi tempat tinggal, sampai sekarang aku membantunya menjual apartemennya.
Sebenarnya mudah bagiku untuk cuci tangan, lalu angkat kaki dan menjauh. Namun entah mengapa, aku merasa tak rela jika Andra dan tante Sukma yang memenangkan permainan ini. Mereka terlalu jahat pada Aruna.
Dan gadis bodoh yang sedang memakai jaket kuning kebesaran milikku itu malah sedang meniup-niup ujung kerudungnya, sementara jari-jarinya sibuk memainkan ponsel Sumi. Siapa lagi yang dia coba hubungi?
"Sumi, aku berangkat lagi, ya! Tolong bilangin ke si Runa juga."
Aruna sedang sibuk dengan ponsel milik Sumi di tangannya, percuma aku bilang ke dia.
"Aa mau ke mana? Bukannya baru dateng tadi pagi?"
"Iya, cuma ngomongin beberapa hal penting aja. Yuk, masih ada kerjaan, mana bentar lagi Jum'atan lagi. Salam buat bapakmu!"
"Iya nanti disampein, tiati, A," jawab Sumi ketika aku masuk ke dalam mobil.
Sepertinya aku harus cepat karena harus menemui salah satu warga yang akan menjual lahannya. Lahan itu pas sekali, karena letaknya sangat dekat dengan Situ Cileunca. Salah satu tempat wisata yang hits dan tak lekang oleh waktu di Pangalengan.
"Kak Adrian? Udah mau pulang!" Suara Aruna, mengurungkan tanganku yang hendak menutup pintu mobil.
"Ada perlu dulu, sebelum Jum'atan! Kenapa?"
"Aku mau minta tolong lagi, boleh?"
"Hmm!"
"Semua barang-barangku yang ada di apartemen, jangan dijual ya. Pindahin aja ke mari." Aruna terlihat sungkan saat mengatakan ini padaku.
"Nanti ongkos buat angkut-angkutnya, aku gantiin," ujarnya seraya tersenyum canggung.
"Ok!"
Kututup lah pintu mobil dan siap kunyalakan.
"Kak!"
"Ada apa lagi?" Aku menoleh pada Aruna yang berlari mendekat.
"Tolong jual ponsel aku juga dong!"
Anak ini makin lama mikir aku itu calo apa? Sudah memintaku menjual apartemennya, sekarang ponselnya. Jangan sampai dia memintaku menjual ginjalnya juga.
"Ya udah, mana sini!"
"Nih!" Dia menyodorkan sebuah ponsel dengan logo OPPO lewat jendela.
"Kak, kalau bisa, uangnya nanti beliin lah yang setara dengan itu. Sedapetnya, bekas juga gak apa-apa."
Tuh, kan? Sekarang dia nganggep aku sales OPPO.
"Hmmm," jawabku sambil menyimpan ponsel Aruna.
"Batangan laku nggak, Kak? Aku nggak bawa charger-nya pas kemari. Atau sebelum Kak Adrian jual, Kakak bisa---"
Aku angkat tanganku menutupi mulutnya.
"Udah! Aku kesiangan!"
Terserah, dia mau menggerutu atau menyebutku menyebalkan pun, aku tak peduli.
Pak Ruhyat si penjual lahan adalah tujuan. Hahahaha!
*
Negosiasi berjalan lancar. Besok aku harus kemari lagi untuk memeriksa semua surat menyurat pembelian tanah.
Lahan milik pak Ruhyat tadinya dibangun sebuah warung. Namun, karena kekurangan modal, warungnya pun ditutup.
Dua bulan lalu dia membutuhkan uang dan menawarkan warung tersebut untuk dijual. Dan ... lagi-lagi, sepertinya tanah pak Ruhyat berjodoh denganku.
Setelah melakukan salat Jum'at di masjid dekat tempat Pak Ruhyat tadi, aku memutuskan untuk segera pulang. Aku tidak lupa dengan janjiku untuk menghadiri meeting sore ini.
"Amih sudah di kantor sejak tadi siang. Semoga kamu nggak kena omelannya dia karena baru datang, A!" Seperti biasa, mama selalu khawatir padaku.
"Nggak usah khawatir. Amih itu ...," jawabku sambil mengerlingkan mata pada mama. Entah apa artinya, aku sendiri juga tak tau. Tapi, memang tak ada obat lain untuk rasa khawatir mama selain dengan godaan dan candaan.
"Sudah makan, A?"
"Nanti lah, Ma."
"Aa belum makan apa-apa sejak datang tadi."
"Aku nggak lapar, Ma. Udah ya, aku berangkat dulu. Katanya takut aku dimarahi amih?" ujarku mengalihkan.
"Ya sudah, hati-hati, ya! Papa juga sudah ada di sana. Dia tidak menghubungi dari tadi, kan?"
"Tidak, papa tidak ada menghubungiku."
"Ya, itu artinya semua baik-baik saja! Berangkat sana!" titah mama mengakhiri wejangannya.
Kucium singkat kening wanita paruh baya itu sebelum pergi. Aku pun keluar rumah dan menghampiri mobilku yang terparkir di halaman dengan ....
Seseorang berdiri di balik mobilku? Aku hanya bisa melihat kepalanya dari sini.
"Andra?" ucapku menyapanya begitu aku melihat siapa orang yang ada di balik mobilku.
Senyum miringnya nampak sinis terhadapku. Sepertinya dia marah karena kejadian semalam.
"Ada apa?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Jangan pura-pura b3go!"
Bugh
Singkat! Aku sudah mengiranya, tapi sengaja tak kuhindari.
"Sakit?" tanya Andra saat aku mengusap sudut bibirku.
"Aku ada meeting, Ndra! Kita bicarain nanti aja!" ucapku mengabaikan ajakan duelnya.
Kulewati dia dan kuraih gagang Alphard putihku.
"Jangan pernah lagi datang ke club cuma buat ganggu aku! Apalagi bawa-bawa Kyara!"