Semalam aku berdo'a, berharap mendapat kebaikan atas segalanya.
Aku berusaha merelakan pernikahanku yang gagal. Aku berusaha mengikhlaskan pengkhianatan yang dilakukan teh Riska.
Jika Kak Adrian bilang bahwa apa yang dikatakan teh Riska di ruang wardrobe itu bohong, dan semua demi menghasutku semata. Aku ikhlas.
Aku tetap mendo'akan kebaikan untuk mereka. Berusaha untuk menghapus dendam dan memaafkan semuanya.
Aku berjanji, untuk diriku sendiri, agar kembali menata hati, memperbaiki diri dan menjadi lebih baik lagi.
Tapi kak Andra, Aku, bukanlah Aruna yang dulu lagi.
*
5 Desember 2020
"Shodaqallaah hul 'adzim." Aku menutup mushaf bersampul biru dengan gambar ka'bah yang kupinjam dari keluarga Sumi.
Mereka semua orang baik, aku bersyukur Kak Adrian memperkenalkanku pada mereka sebelum ia kembali ke Bandung.
Awalnya, aku sempat khawatir jika sendirian di tempat ini. Aku belum terbiasa dengan suasananya.
Bahkan sempat aku berpikir untuk ikut kak Adrian kembali ke Bandung dan tinggal lagi di sana. Tapi, pernyataan kak Adrian yang mengatakan seluruh keluarganya masih marah padaku membuat enggan aku kembali.
Oh iya, barang-barangku sudah sampai di depan rumah kemarin malam. Aku bahagia karena kak Adrian menepati janjinya untuk mengantarkan barang-barangku ke Pangalengan. Padahal, aku sama sekali tidak menuntut untuk segera dikirim hari itu juga.
"Let's go, Aruna! Waktunya beres-beres!" Aku berteriak menyemangati diriku sendiri pagi ini.
Baru saja aku menuju ke luar rumah. Udara dingin langsung menusuk tulangku, bau-bau basah kabut langsung merasuk ke dalam hidungku, hingga seakan-akan udara yang tinggi kadar air ini langsung bisa membasahi paru-paru dan memenuhi alveoli.
Bekerja sambil memeluk tubuh dengan erat rasanya tidak akan leluasa.
Waaah, memang, dinginnya Pangalengan sangat juara!
"Kayaknya, beres-beres di luar rumahnya, nanti aja deh! Yang di dalem dulu, untuk pemanasan."
Alasan! Hahaha.
Menyapu dan mengepel lantai. Melipat dan menyetrika baju. Semuanya dalam sekejap selesai kulakukan. Ini bukan pekerjaan yang sulit, mengingat diriku dulu juga selalu tinggal sendiri.
Membuka jendela, aku mengizinkan udara segar mengaliri rumah ini. Ventilasi yang cukup sehat, membuat aku betah duduk di samping jendela yang menghadap langsung ke kebun teh.
Kabut dan mendung membuat sang baskara yang seharusnya sudah sepenggalah naik masih belum terasa sinar kehangatannya. Walau begitu, perlahan-lahan kabut embun ini mulai terkikis.
Titik-titik basah di jendela sangat menyenangkan untuk jemari yang menari-nari sambil menulis hal-hal yang kita suka.
Satu goresan, dua goresan, aku berhenti pada huruf N.
Kebiasaan.
ANDRA
Adalah satu nama yang selalu aku tulis setiap aku bosan menggoreskan pena. Tapi sekarang nama itu sudah tak ada artinya lagi, meski mungkin bawah sadarku tak semudah itu melupakannya.
Aku jauhkan jemariku dari jendela. Membuka telapak tanganku, dan kuusapkan pada jendela yang basah oleh titik-titik embun semalam. Menghapus jejak jemariku yang terlanjur membuat huruf A dan N di atasnya.
Pemandangan luar vila menjadi lebih jelas setelah aku menghapus jejak-jejak kabut. Hamparan pohon perdu yang berbaris rapi nan kehijauan.
Brum ...!
Brum ...!
Suara mobil terdengar menuju ke mari. Jam dinding yang terpasang di atas ruang tamu, aku meliriknya. Masih pukul 08.00, masih selalu sepagi ini, kak Adrian datang seperti kemarin.
Aku bisa memastikan itu kak Adrian, karena vila ini cukup jauh dari pinggir jalan. Sehingga, siapa lagi yang akan membawa mobilnya menuju ke tempat ini kalau bukan pemiliknya?
Dan benar, Rubicon hitam itu pun mendekat dengan sorot lampu-lampu yang cahayanya mengurai kabut.
Aku tidak mengerti memang, kenapa benda koloid berupa aerosol cair ini masih padat meski hari sudah menuju siang?
Blak
Kak Adrian terlihat menutup pintu mobil dan berjalan menuju ke mari. Seiring aku bertemu dengannya berkali-kali, aku sudah tak melihat kemiripan dari kak Adrian dengan kak Andra lagi seperti dulu saat pertama kali aku melihatnya.
Kak Andra tubuhnya tinggi, dia tampan, hidungnya mancung dengan mata yang bulat. Bibirnya tidak tipis tapi tidak terlalu tebal juga, rahangnya terbentuk dengan tegas, putih dan mulus tanpa ada jambang atau pun bulu-bulu pada janggutnya.
Sementara kak Adrian, dia lebih tinggi dengan tubuh yang ternyata lebih berisi daripada kak Andra. Dia juga tampan, meski rahangnya tak semulus kak Andra, namun dia terlihat macho dengan rambatan jambang tipis di rahangnya.
"Jam berapa barang-barang ini sampe semalem?" Kak Adrian langsung memberiku pertanyaan begitu melihat aku keluar melalui pintu.
"Wa'alaykumsalam," sindirku dengan sengaja.
Seutas senyum disimpul dari ujung bibir kak Adrian. "Assalamu'alaykum," ujarnya.
"Wa'alaykumsalam. Telat, ah! Kelamaan di negeri orang, kamu jadi lupa ngucap salam ya, kak?"
"Nggak juga!" Dia mengelak.
"Lantas?"
"Ya ... aku, kan, belum lewat pintu, belum masuk rumah. Aku pikir ngucapin salam itu kalau masuk rumah, gitu!" Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
"Alasan."
Dia pun masuk ke dalam vila, melewatiku yang sedang bersandar di samping pintu.
"Kamu nggak bikin berantakan rumah ini, kan, Runa?"
"Nggak lah! Lihat!" perintahku sambil menunjuk ke sekeliling ruangan menggunakan telapak tangan yang terbuka.
Pandangan kak Adrian lantas mengedar, dia mengamati perubahan yang terjadi pada vilanya. "Yah, lumayan! Daripada bayar orang untuk bersih-bersih!"
Hiiish! Sifat arogan yang paling tidak aku sukai darinya muncul kembali.
"Oh, ya! Itu ... punya kamu, ketinggalan dalem mobil."
Aku nggak salah dengar? Punyaku? Apa?
"Apa yang ketinggalan dalam mobil, Kak?" tanyaku untuk memastikan.
"Itu, ambil aja dalem mobil!"
Pluk
Reflek aku menangkap kontak mobil yang terlempar ke arahku.
"Ambil sendiri sana!"
Apa sih?
"Ya, apa yang harus kuambil, Kak?"
"Ponsel! Kamu nitip ke aku untuk beli handphone baru, kan?"
Apa? Handphone?
Yuhuuu .... Aku pun langsung berlari ke luar vila menuju mobil kak Adrian.
Wah? OPPO seri yang ini, kan, harganya lima juta. Padahal Hp-ku kalau dijual cuma sekitar dua jutaan. Kayaknya aku tadi salah ambil deh dari dalem mobil.
"Sama-sama!" Kali ini kak Adrian menyindirku.
Aku yang hendak berputar arah untuk memeriksa apakah ada handphone yang lain di dalam mobilnya.
"Sama-sama gimana? Aku, kan, belum bilang makasih."
"Ya kalau gitu, cepetan dong bilang makasih! Handphone-nya udah dipegang-pegang gitu!"
"Handphone ini?"
"Iya!"
"Jadi ini Kak Adrian nggak salah kasih handphone? Bener ini buat Runa?"
"Eheeem," jawabnya tanpa membuka mulut.
Dan saat itu juga, aku langsung berteriak kegirangan sambil mendekat ke arahnya. Menyerbunya dengan pelukan, dan teriakan nyaring penuh bunga-bunga.
"Aaaak, makasih Kak Andra, Kak Andra baik banget. Ini, kan handphone-nya lebih mahal dari punyaku kemaren."
"Iish!"
Dilepaskannya aku dan didorongnya menjauh.
"Aku bukan Andra!"