"Halo, Mi?"
"Eh, Aruna? Kupikir Sumi."
"Aku nggak tau, Na. Tapi kayaknya, Andra nggak ke apartemen kamu lagi. Ada apa memangnya?"
"Hah? Jual? Kamu serius?"
"Ok! Ini bukan masalah kecil yang bisa dibicarakan hanya melalui telepon. Besok atau lusa aku akan ke sana untuk membicarakan ini."
*
4 Desember 2020
Semalam Aruna menggunakan ponsel Sumi. Aku sempat berpikir itu Sumi yang menelepon. Dia berkata ingin menjual apartemennya yang ada di Bandung. Kebetulan juga aku sedang ada urusan ke daerah selatan Bandung ini, jadi sekalian aku akan jumpai Aruna untuk membicarakan perihal penjualan apartemennya.
Oh ya, Sumi adalah anak gadis dari Mang Yadi - orang yang kuamanahi untuk menjaga beberapa vilaku di Pangalengan, termasuk vila yang ditempati oleh Aruna. Mungkin mereka berdua sekarang sudah semakin akrab, mungkin. Biasanya, kan, perempuan seperti itu.
"Adrian, bagaimana persiapan kita untuk bertemu investor dari Australia sore ini?" Pertanyaan dari papa langsung menyambar begitu aku menginjak anak tangga terbawah.
"Persiapan lancar, Pa! Tapi, Adrian ada perlu untuk ke Pangalengan dulu."
"Sepagi ini?"
"Iya, biar habis solat Jum'at nanti Adrian langsung pulang."
"Sepenting itukah? Sampai kamu sekarang harus ke sana? Kita brieffing dulu lah, sama amih, apih dan om-om kamu, sama para direksi yang lain juga. Kamu yang jadi jembatan kita dengan mereka, rasanya kurang profesional kalau kamu hanya datang di saat meeting bersama investor saja."
"Semua materi sudah Adrian serahkan sama om Hans kok, Pa. Nggak usah khawatir!" ujarku seraya terus berjalan dan menyambar sebuah roti panggang di atas meja.
"Dah, Ma!" Kukecup kening wanita yang baru saja meletakkan roti itu di atas meja. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kepergianku.
*
Mengingat kejadian tadi malam, Kyara mengatakan jika dia tahu perihal Aruna yang lari dari pernikahannya bersamaku. Mengobrol bersama Kyara kemarin, membuatku seakan sedang bercerita tentang seorang pengantin perempuan yang kubawa kabur di hari pernikahannya.
"Aku bersyukur, A Adrian membawa kabur teh Runa kemarin! Aku nggak bisa bayangin kalau teh Runa jadi kakak iparku, semenderita apa dia nanti menjadi menantunya mama?" gerutu Kyara kemarin malam yang terekam di kepalaku.
"Jadi, mama kamu sebenarnya nggak setuju pernikahan Andra dengan Aruna?" balasku.
"Mama udah punya calon buat aa, biasa, anak sosialita, teman mama," jawab Kyara dengan ekspresi malas.
"Kukira dengan Riska?"
"Mama lebih tidak suka lagi terhadap teh Riska daripada dengan teh Runa. Karena---"
"Karena ...?"
Kyara diam saja sambil melihat ke jalanan saat itu. Meletakkan siku kirinya pada jendela mobil, seraya mengapit dagunya menggunakan ibu jari dan telunjuknya.
Aku biarkan saja Kyara dengan diamnya, sementara aku fokus dengan jalanan. Mungkin dia belum berkenan menceritakan hal ini padaku.
"Ini cuma aku dan Kyana yang tau." Kyara akhirnya berbicara lagi setelah sekian detik, dan ia pun diam kembali.
"Aa nggak ada niat buat bawa pergi Aruna sebenarnya. Ya ... seandainya tu cewek nggak pingsan, mungkin Aa nggak bakal bawa dia terus ke sana," ujarku.
"Memangnya, A Adrian bawa teh Runa kemana?"
"Emm, suatu tempat. Kamu nggak bakal tau!"
"Teh Runa pingsan?"
"Iya, mungkin dia kelelahan, shock juga."
"Terlebih, teh Runa juga belum makan. Dia hanya menyentuh sedikit makanan yang kubawa saat itu," jelas Kyara.
Saat itu aku bersama Kyara berniat mencari Andra. Hanya berbekal nomor ponsel milik Ronald -teman Andra, dan cerita dari Kyara, tidak susah aku menemukan sepupuku itu.
Apa yang dikatakan Kyara saat itu benar. Kakaknya tidak pernah mencari Aruna. Dia hanya mabuk-mabukkan, berjoged di club malam, menghabiskan waktu untuk meratapi kesedihan dengan merusak dirinya. Persis dengan keadaan Andra saat aku menemukannya semalam.
Jalanan ke arah Pangalengan pagi ini tidak terlalu padat, tapi banyak mobil dan motor yang lewat beriringan. Perbukitan yang membuat lintasan ini berkelok-kelok, memang cukup riskan bila melewatinya dengan kecepatan tinggi. Tikungan-tikungan tajam menuntut kita untuk selalu teliti dan hati-hati.
Tapi karena suasana perbukitan ini pulalah yang membuat nyaman saat melewati jalanan di sini. Pemandangannya indah, udaranya sejuk, sangat menyegarkan mata.
Hal ini juga yang aku harapkan dari suasana Pangalengan, semoga bisa menjadi healing therapy untuk Aruna. Karena, perempuan lebih rentan untuk menjadi rapuh. Aku sudah merasakannya, bagaimana patahnya ketika mengalami kegagalan dalam pernikahan.
Sedikit lagi sampai. Aku sengaja membawa Rubicon, agar lebih garang saat melintasi jalanan tanah liat di antara pepohonan teh. Karena, vila yang ditempati Aruna berada di atas bukit, di antara kebun teh.
"A Adrian!" Gadis dengan semburat merah di pipinya keluar dari vila. Wajahnya lebih cerah dari terakhir aku melihatnya.
Namun, apa-apaan dia masih memakai bajuku? Apa dia benar-benar tidak membeli baju? Atau, tidak punya uang?
"Assalamu'alaykum," ucapku.
"Wa'alaykumsalam. Gimana? Pesenanku dibawa?"
"Pesenan apa?" Aku heran, perasaan dia tidak menitip atau memesan apapun padaku lewat telepon.
"Iiish, abis nelpon aku kirim pesan suara ke what'sapp Aa!"
"Nggak ada, ah!"
"Masa?"
"Bodo!"
"Isssh!" Dan bibirnya pun mengerucut sambil meninggalkanku masuk ke dalam vila. Sangat lucu memang.
Aku mengikutinya masuk ke dalam vila, kulihat Aruna sudah duduk di sofa. Dia menggunakan jaket bomber milikku dipadu dengan sebuah rok.
Sepertinya rok kuning itu yang dia beli. Ah ... dengan kerudung yang dipakainya juga tentunya. Tapi kenapa dia tidak membeli baju sendiri dan malah memakai jaketku? Yaaah ... suka-suka dia lah!
"Memangnya apa yang kau pesan padaku?" tanyaku sambil meletakkan ransel dan duduk di sofa di hadapannya.
"Itu, aku pesan to---"
BRAK!
Pintu ruang tamu terbuka dengan keras.
"ASSALAMU'ALAYKUM! Teh Runa!"
Astaghfirullah hal 'adzim. Kebiasaan memang! Si Sumi! Anak mang Yadi ini memang nggak ada anggun-anggunnya.
Aku hanya mengusap-usap dadaku sebagai rasa syukur karena jantungku tidak terlepas.
"Sumi! Lalaunan bisa mereun! (Sumi! Pelan-pelan bisa kali!)" bentakku padanya. Aku terkadang suka memakai bahasa Sunda saat berbicara pada mang Yadi dan warga lain di Pangalengan.
"Wa'alaykumsalam." Lain dengan Aruna yang masih bisa menjawab salam dengan santai.
"Eh, A Adriannya malah udah di sini. Sumi telat mereun, Teh? (Sumi telat dong, Teh?)" cengirnya menunjukkan senyum kuda.
"Apa yang telat, Mi?" tanyaku tak paham maksudnya.
"Semalem, voice note teteh nggak kekirim. Hp Sumi mendadak Error, trus dibenerin, sama aa konter tadi pagi di restart," jelasnya yang membuat aku paham, mengapa pesanan Aruna tidak sampai padaku.
Aa konter yang dimaksud oleh Sumi adalah abang-abang yang suka berjualan pulsa sekaligus membetulkan ponsel di daerah sini.
"Ya sudah, balik dei kadinya! (Ya sudah, pulang lagi sana!)" usirku pada gadis bar-bar berambut pendek yang bahkan belum duduk sama sekali sejak ia datang.