Prang
“Aaaw!” jeritku yang tanpa kusadari aku memecahkan salah satu piring milik kak Adrian.
“Hey! Apa yang terjadi?” Kak Adrian menghampiriku dan melihat kekacauan yang aku buat. Aku memecahkan piring terakhir yang aku cuci.
Aku memandanginya, tersenyum sambil menggigit bawahku. Ya, aku merasa bersalah.
Sluuuurp
Ya Tuhan, apa yang dia lakukan? Aku merasa terkejut saat dia langsung mengambil jari telunjukku dan menghisapnya. Ujung jariku rasanya lembut, basah dan lembab, juga sedikit rasa perih. Tapi … mengapa denyut jantungku yang rasanya mengalirkan darah lebih cepat?
“Lukanya cukup dalam! Diamlah!” Dia pun pergi meninggalkanku yang masih mematung. Sekilas dia memang mirip kak Andra. Hanya saja dia sedikit lebih tinggi dan ada sedikit jambang yang tipis tumbuh di sepanjang tulang dagu yang merambat ke rahangnya.
Dia kembali membawa sebuah kotak berlogo palang merah. “Untung aku menyimpan ini di mobil!” Dia pun dengan segera mengeluarkan antiseptik yang mengandung Iodine, alkohol, kasa perban dan perekatnya.
“Apa kau selalu ceroboh seperti ini?” ucapnya dengan tatapan tajam padaku dan tangannya masih membersihkan lukaku dengan alkohol.
“A-aaw!” Ini perih.
“Tahanlah! Jangan cengeng!” titahnya dengan serius. “Menurutku, kamu sangat impulsif! Jika ada masalah dengan Andra, kenapa kau harus kabur dari pernikahan seperti ini? Kau tahu? Keluargaku sudah rugi milyaran rupiah untuk pernikahan kalian, tapi … kerugian yang paling tidak terobati adalah … harga diri,” ceramahnya sambil memasang kasa perban untuk jariku.
Aku hanya terdiam, lagi-lagi menggigit bibir bawahku ketika aku merasa bersalah. Air mataku menggenang, tapi keputusanku sudah bulat, aku tidak ingin bahagia di atas penderitaan orang lain. Ini memang sulit tapi … harus aku lakukan.
Kutatap wajah kak Adrian yang sedang membereskan plester, entah mengapa berdua saja dengannya seperti ini membuatku sangat canggung. Sejak semalam, aku lebih banyak menghindar dan berada di ruangan yang berbeda dengannya.
Dipikir-pikir, aku sebenarnya sedang memikirkan kak Andra saat kami berada di kebun teh. Dan aku melamun, hingga memecahkan piring.
“Terima kasih,” ucapku yang sebenarnya aku enggan mengucapkannya. Lagi-lagi aku harus berterima kasih pada makhluk sombong di hadapanku ini.
“Ya, tak perlu berterima kasih. Aku yang terlalu baik padamu memang!”
Apa mulutnya itu terbuat dari cabe setan? Atau sebenarnya itu bukan mulut, tapi golok!
“Aku tau dalam hatimu pasti sedang menyumpahiku! Tapi kau harus ingat, jika tidak ada aku, kau pasti sudah disangka korban covid-19 yang meninggal dadakan di pinggir gerobak sampah!” Kan, kata-kata yang keluar dari mulutnya memang selalu menyebalkan.
“Kau harus secepatnya memikirkan rencana! Apa kau mau selamanya tinggal di sini, aku sih tidak keberatan. Toh aku juga akan kembali ke Australia. Kau bisa bebas tinggal di sini.” Dia mengucapkan kalimat yang tak perlu lagi kudengar. “Tapi tentunya dengan biaya kontrak!”
Laki-laki menyebalkan itu pun mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca. “Minggir!” perintahnya yang membuat aku menepi saat dia mulai mengayunkan sapu untuk membersihkan pecahan-pecahan kaca.
“Setelah ini aku akan pergi ke minimarket, kau mau menitip sesuatu?” katanya sambil menyimpan kembali sapu dan membuang pecahan kaca.
Aku menggeleng. Aku sangat tidak berminat untuk melakukan apa-apa.
“Baiklah. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan di sini. Kau bisa menonton, teawalk untuk melihat-lihat kebun, atau memasak.” Dia menunjukkan padaku setumpuk sayuran segar yang sepertinya baru saja dipetik dan belum dicuci, masih ada sedikit tanah yang menempel di pinggir-pinggir sayuran itu. Entah dari mana dia mendapatkan semuanya.
Aku hanya mengangguk, aku tak berminat melakukan apapun. Mungkin aku akan kembali duduk di balkon, dan meratapi kesedihanku.
“Jangan menyiksa dirimu. Kau harus bangkit!” ucapnya sambil menepuk ujung kerudungku hingga jatuh menyentuh dahiku dan aku harus meniupnya lagi agar kerudungku mau berdiri.
Dia pun pergi sambil menggunakan jaketnya. Udara Pangalengan memang sangat dingin, sepertinya beberapa derajat lebih rendah dari suhu udara kota Bandung.
Seandainya aku kemarin menggunakan masker dan kak Adrian tidak mengejarku, maka bisa dipastikan saat ini aku sudah bunuh diri menjadi jasad yang terapung di sungai Cikapundung.
Teawalk
Benar juga! Sepertinya menghirup udara segar akan sedikit menjernihkan pikiranku.
Warna hijau di sekitar vila yang terhampar bak permadani hidup, menyegarkan mataku. Betapa tidak? Semalam aku terus-terusan menangis yang membuat pandanganku pagi ini agak berkabut. Ternyata udara Pangalengan dan pemandangannya cukup untukku mengembalikan kewarasan.
Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba untuk membuka kamera. Dan ternyata ponselku mati. Aku lupa jika kemarin telah me-non-aktifkan ponsel demi menghindari panggilan dari orang-orang, terutama kak Andra.
Ya Tuhan, aku juga baru sadar jika perbuatanku kemarin telah melukai banyak orang. Mama dan Papa kak Andra, Kakek dan Nenek kak Andra, dan Bu Yasmin – Ibu asuhku di panti saat aku masih kecil.
Aku semakin tak berani membuka ponsel, karena aku takut jika mereka semua menghubungiku. Aku belum siap untuk berbicara pada mereka. Maafkan aku, semuanya …! Maafkan aku.
Aku duduk di atas pangkal pohon bekas ditebang yang masih tertanam. Mengurungkan niat untuk ber-selfie ria, aku kembali menjatuhkan air mata.
“Di sini kau rupanya?” Suara kak Adrian, sepertinya dia sudah kembali. Aku segera menghapus air mata, meski jejaknya masih bisa dilihat sebenarnya.
“Tak perlu kau tutupi! Aku tau kau habis menangis, ya bagiku wajar karena kau adalah calon pengantin wanita yang kabur di hari pernikahannya.” Dia kini berdiri di depanku sambil melipat tangan di depan dadanya. Aku memalingkan wajahku ke samping.
Kini kak Adrian yang berjongkok di depanku dan ia memindahkan lipatan tangannya di atas lutut. “Kau tau? Aku ini pendengar yang baik. Jika kau ingin bercerita padaku, ceritalah!” Dia menatap ke arahku.
Aku kini menatapnya, dan mata kami bersirobok. Dia mengalihkan pandangan terlebih dahulu dan berdiri. “Bagaimana, jika kau bercerita sambil jalan pulang! Kabut ini semakin lebat saja!” Dia mengeluh akan kabut yang memang semakin pekat.
“Apa yang membuatmu pergi?” Dia memulai pertanyaannya tepat saat aku telah berdiri di sampingnya.
Aku sebenarnya ingin menjawab, tapi lidahku kelu, aku merasa ingin menyangkal kejadian kemarin. Aku tidak ingin menganggap bahwa apa yang aku dengar kemarin itu adalah kenyataan.
“Baiklah, jika kau tak mau bercerita! Mungkin lebih baik aku yang akan bercerita. Aku akan menceritakan akibat dari kepergianmu kemarin.”