“Baiklah, jika kau tak mau bercerita! Mungkin lebih baik aku yang akan bercerita. Aku akan menceritakan akibat dari kepergianmu kemarin.”
Aku diam dan siap mendengarkan. Sambil kueratkan tanganku memeluk diri sendiri, tidak seperti kak Adrian, aku tidak memakai baju hangat apapun. Aku bahkan masih memakai tunik dan rok plisketku yang kemarin.
“Andra mengamuk! Dan yang jadi sasaran amukannya adalah ….” Dia menjeda kalimatnya. “Wanita yang aku kurang kenal! Tapi sepertinya wanita itu adalah temannya sendiri yang menata jas-nya … tapi dia tidak menggunakan seragam brides maid. Yang jelas, Om dan Tante sangat terkejut saat kamu tiba-tiba menghilang dari kamar rias dan menyisakan kebaya pengantin yang sobek. Mereka mengira jika sesuatu yang buruk terjadi padamu! Tapi sepertinya, Andra tak sependapat dengan kedua orang tuanya. Sepertinya dia tahu hal yang membuatmu pergi!” Kak Adrian mengakhiri cerita pendeknya tepat setelah kami tiba di vila miliknya. Dia melepas sandal, dan masuk terlebih dahulu.
“Dia menghamilinya!” teriakku pada kak Adrian yang membuatnya menoleh seketika.
Kak Adrian kembali memakai sandalnya dan menatapku dengan kerutan di dahinya. “Apa maksudmu? Kau … punya bukti?” Dia berkata dengan tempo yang pelan, sepertinya ia tak yakin dengan pernyataan yang keluar dari mulutku tadi.
“Dia … dia ….!” Aku menarik napas dan mencoba mengatur temponya, serasa ada yang meremas-remas paru-paruku saat kembali menceritakan hal ini. “Wanita yang menjadi sasaran amukan kak Andra itu tengah hamil, Kak! Dan … dan … kak Andra adalah ayah dari bayi itu!” Aku memberi tekanan pada setiap kata yang kuucap. Butuh bukti apalagi jika aku mendengar sendiri pengakuan teh Riska.
Kak Adrian mendekatkan dirinya padaku, dia mengamati wajahku. Sepertinya dia mencari titik kebohongan dari ekspresi yang aku buat.
“Bukannya Kak Adrian juga ada di ruang wardrobe itu kemarin? Apa kak Andra tidak mendengar pembicaraan teh Riska dan teh Santi?” Aku baru mengingat, jika kak Adrian juga sedang ada di ruangan itu saat aku berdiri di ambang pintu dan mendengar pembicaraan mereka.
Kak Adrian terdiam mendengar pertanyaanku, apakah dia tahu sesuatu?
“Lebih baik kita masuk!” sarannya ketika aku mulai merasakan gerimis membasahi kerudungku.
Aku melepas sandalku dan membawanya masuk agar tidak kebasahan terkena air hujan.
“Di sini, jika bukan musim hujan saja, udaranya tetap sejuk! Apalagi jika akhir tahun seperti ini, kabutnya selalu pekat, siang hari pun akan sering hujan.”
Aku pun masuk dan duduk di sofa ruang tamu yang diikuti oleh kak Adrian setelah menutup pintu.
“Ah, Aruna … maafkan aku!”
Apa aku tidak salah dengar? Untuk apa dia meminta maaf. Aku memalingkan pandangan tanpa melihat ke arahnya.
Dan tiba-tiba … sebuah jaket levis menutupi punggungku.
“Pakailah! Kau bahkan belum mengganti bajumu!” ucapnya.
Ah, ternyata dia bisa bersikap baik juga. “Terima kasih.” Dan … tak hanya tubuhku, perasaan hangat apa yang menjalar sampai ke dalam hati ini?
“Sebenarnya … aku juga mendengar semua pembicaraan mereka,” akunya padaku. “Dan … aku juga sadar saat kau datang waktu itu,” imbuhnya.
“Itu sebabnya kak Adrian mengejarku?” tanyaku.
Dia mengangguk untuk mengiyakan. “Aruna … maaf, kau terlalu impulsif. Menurutku,” ujarnya sambil menyandarkan punggungnya pada sofa yang ada di ruang tamu.
“Impulsif?”
“Ya …!” tegasnya dengan yakin. “Seandainya kau dengar penjelasanku, mungkin kau sekarang sedang berbulan madu dengan Andra,” tambahnya sambil memberi senyum miring seakan mengejek padaku.
“Maksudnya?”
“Dua wanita itu sengaja menjebakmu!”
Aku terbelalak. “Menjebak?”
“Mereka tidak tau jika aku adalah sepupu Andra, mereka mengatakan semuanya bahkan tanpa filter di dekatku.” Kak Adrian lagi-lagi mengeluarkan senyum mengejeknya.
Aku masih terdiam, menunggu kelanjutan dari perkataannya.
“Apa aku perlu melanjutkan penjelasanku ini? Aku takut kau menyesal?” Senyum mengejek yang keluar dari bibirnya kali ini membuat kak Adrian begitu tampan. Aiish, apa-apaan aku memujinya?
“Katakan, kak! Jika menurutmu aku perlu tau kebenarannya,” jawabku.
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Jika memang aku harus kecewa setelah mendengar cerita dari kak Adrian, maka aku siap kecewa.
“Andra memang pernah tidur dengan salah satu dari wanita itu, tapi itu kesengajaan yang mereka buat. Dan … wanita itu tidak hamil!” Kak Adrian selalu tegas dalam pembicaraan seriusnya.
“Apa kakak yakin?”
Dia mengangguk.
Bagai bom atom, sekali lagi pikiranku hancur terporak-poranda. Seakan ada yang sengaja membuat hatiku jungkir balik tak karuan. Bagaimana ini? Seandainya aku mendengar pembicaraan kak Andra dulu? Seandainya aku menemuinya dan meminta penjelasannya dulu? Apa yang harus aku lakukan?
“Maksud kak Adrian adalah kak Andra dijebak oleh teh Riska?” tanyaku lagi untuk memastikan.
Dia menggeleng. “Tidak juga, seperti yang kukatakan, itulah adalah kesengajaan yang mereka buat. Dalam artian, Andra dan wanita itu suka sama suka melakukan one night stand,” terang kak Adrian lagi.
Tunggu, aku sangat pening. Tanpa membalas perkataan kak Adrian, aku mengusap kepalaku sambil sedikit memijitnya. Jadi sebenarnya, bagaimana dan apa yang harus aku rasakan? Apa aku harus menyesal sudah meninggalkan pernikahanku? Atau bagaimana?
“I mean, kau tidak perlu sampai membatalkan pernikahanmu, ‘kan? Hanya karena pasanganmu sudah tidur satu kali dengan wanita lain? Lagipula, wanita itu tidak hamil,” ucap kak Adrian dengan begitu ringan. “Apalagi, jika kau dan Andra sudah melakukannya berulang kali?” imbuhnya yang membuatku terkesiap.
“Aku dan kak Andra? Berulang kali?” Apa kak Adrian ini sedang melecehkanku atau bagaimana, sih. “Aku belum pernah melakukannya sampai sejauh itu dengan kak Andra!” tegasku.
“Oh, iya? Ouw, I’m sorry!” jawabnya. “Jadi … kau tidak terima jika pasanganmu sudah melakukannya dengan wanita lain?”
Keheningan menyapa kita berdua, aku tidak berharap kak Andra adalah laki-laki yang baik, suci dan lurus. Tapi … jika seperti ini, rasanya aku sudah dikhianati.
“Besok aku akan kembali ke Bandung, kau mau ikut? Atau kamu masih betah di sini?” tanyanya.
Aku tidak tau apa yang harus kupilih. Aku merasa jika diriku ini sudah kehilangan segalanya. Dunia ini sudah serasa berhenti berputar, tak tau lagi aku harus bagaimana. Tapi … apakah dengan lari akan menyelesaikan semuanya? Sepertinya, masalah ini memang harus dibicarakan.
“Aku ikut ke Bandung saja besok! Aku harus mengaku pada keluarga kak Andra. Bagaimanapun juga, aku sudah membuat mereka kecewa pastinya,” jawabku setelah termenung agak lama.
“No! Itu bukan ide yang bagus, Aruna!” tolaknya mentah-mentah.
“Kenapa?”
“Seluruh keluargaku sedang marah besar padamu! Kau mau diminta ganti rugi atas biaya pernikahan yang tidak kecil itu? Hah?” Kak Adrian agak meninggikan suaranya.
Kutatap wajah kak Adrian yang sedang menautkan alisnya, khas orang yang sedang serius berbicara. Dan aku pun menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala yang lemah.
“Itu dia! Tombak dari permasalahan ini adalah dirimu di mata mereka. Jangan bertindak atau mengambil keputusan apapun saat dalam keadaan emosi yang tak stabil! Jangan jadi orang yang impulsif, Aruna!” Sorot mata kak Adrian begitu tajam ke arahku, membuat aku tidak kuat dan ingin menundukkan pandanganku saja.
“Hmmm, baiklah! Bukannya tadi kak Adrian yang menawariku untuk pergi ke Bandung?” belaku.
“Bukan begitu … maksudku menawarimu ke Bandung bukan untuk seperti itu. Barangkali kau mau pulang ke apartemenmu, atau menemui keluargamu, bagaimana?”
“Aku sudah tidak punya keluarga.”
“Oh, kalau begitu, maaf!” ujar kak Adrian yang setelah itu, kami saling terdiam kembali.
Wuuuuus ….
Blukk … krieeet … blukkk …!
Angin bertiup cukup kencang, mempermainkan pintu yang akhirnya berayun-ayun karenanya, menimbulkan bunyi yang sedikit memekakkan telinga.
Kak Adrian berdiri ke arah daun pintu, ia pun menutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam.
“Biar kita urai dulu masalah ini satu per satu. Biarkan mereka menyadari dulu siapa antagonis itu sebenarnya, baru setelah itu kau boleh bertindak dan menampakkan diri di depan mereka. Tapi … semua pilihan ada pada dirimu,” imbuhnya saat kembali duduk.
“Bagaimana caranya agar mereka tahu siapa yang salah dari semua ini, kak?” Kujawab dengan lesu.
“Itu … urusan nanti. Aku akan melihat dulu bagaimana keadaan di rumah utama, baru kita susun lagi rencana. Sekarang, yang penting, kau mau tinggal dimana? Karena aku tidak selamanya di sini,” tambahnya lagi.