Bagian 4

959 Words
2 Desember 2020   Aku dalam Desember yang rapuh   “Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Ayu Dahlia binti Imam Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”   “Gimana, udah lancar, kan?” Gelak tawa dari kak Andra pun kembali terulang di pikiranku.   Segala kenangan tentangnya masih jelas terbayang di setiap sudut memoriku. Saat itu aku dan dia sedang bercanda untuk berlatih mengucap ijab qabul. Tak kusangka, kalimat itu ternyata tak pernah terucap secara serius di depan penghulu dan para saksi.   Kalimat itu hanya berhenti di situ, dan berlanjut pada gaung luka yang suaranya membentur-bentur dalam hatiku.   Keputusan yang kuambil sudah bulat! Semoga dengan kepergianku, Kak Andra mau bertanggung jawab atas perbuatannya pada Teh Riska. Lalu bayi yang ada dalam perut teh Riska itu mendapat pengakuan dari ayah kandungnya.   “Roti bakar selai nanas dan coklat hangat!”   Aku menoleh pada pria yang membawa sepotong roti bakar dalam piring dan secangkir coklat hangat yang dialasi oleh sebuah nampan berwarna krem.   “Makanlah! Aku tidak mau kau sakit, lalu pingsan lagi dan semakin merepotkan aku!” Dia menyimpan makanan-makanan itu ke atas meja di hadapanku.   “Apa Kakak nggak ikhlas membantuku?” Aku memandang lurus ke depan tanpa memedulikan makanan yang ia bawa.   “Kau makan? Atau tidak?” Makhluk yang ada di sampingku ini ternyata bukanlah pangeran seperti yang aku kira kemarin. Dia tidak lebih seperti polar bear yang suka mengamuk di kutub utara. Menyesal kemarin sudah kupuji dia sebagai pangeran.   Tidak ada pilihan lain, aku pun memakan dua potong roti yang bertumpuk dan berwarna kecoklatan itu. Setidaknya, meski dia adalah seorang beruang kutub yang suka mengamuk, dia tetaplah orang yang menolongku saat aku pingsan ketika lari dari pernikahanku bersama kak Andra.   “Terima kasih, Kak Adrian!” ucapku saat dia hendak pergi meninggalkanku yang masih termenung di balkon vila sambil menikmati roti bakar buatannya.   “Ya, begitu dong! Setidaknya jika kau tidak bisa membayar dengan uang, kau harus mengucapkan terima kasih padaku!” Katanya penuh percaya diri.   Aku memutar bola mataku, kesal. “Aku tarik kata-kataku,” bisikku sambil berdecak. Aku tau dia mendengarnya.   Peristiwa kemarin adalah sebuah sejarah besar bagiku. Peristiwa yang tak pernah kusangka akan mengubah masa depan yang telah kurencanakan, juga peristiwa yang membuatku kehilangan seorang calon suami dan sahabat sekaligus. Dan berkat peristiwa itu juga, aku terdampar di tempat ini, tempat yang satu kali pun aku tak pernah terbayang untuk datang kemari.   Sebuah vila sederhana, di tengah bukit. Berdiri menjulang di antara pepohonan teh yang perdu. Adrian Surya Atmadja – pria yang menolong saat aku tidak sadarkan diri kemarin lah yang membawaku ke tempat ini. Awalnya aku ragu, tapi aku tidak ada pilihan lain. Aku yakin jika kak Andra akan pergi mencari ke apartemenku, sementara aku adalah yatim piatu yang tidak punya saudara untuk menjadi tempat persinggahanku.   Kak Adrian bilang, dia memiliki urusan yang harus diselesaikan di tempat ini. Kecamatan Pangalengan, wilayah Bandung yang berbatasan dengan kabupaten Garut. Karena melihat kondisiku yang cukup lemah kemarin, dia memutuskan membawaku untuk tinggal sementara di vila miliknya yang ada di sini.   “Hai, Kak Adrian! Biar aku yang mencuci piring!” pintaku sambil merebut sarung tangan karet yang ia gunakan, namun ia menarik tangannya. Ia melepaskan sendiri sarung tangan karet berwarna kuning itu.   “Huuuft! Geser! Aku bahkan bisa mencuci piring tanpa sarung tangan!” gerutuku padanya.   Dan dia pun menepuk-nepuk sarung tangan karet itu ke pinggiran westafel. “Yah, terserah kau saja!” ucapnya sambil melempar sarung tangan itu ke arah tumpukan piring kotor dan berhasil mendaratkannya tepat di puncak piring-piring yang menggunung. “Yang penting, semua piring ini bersih!” Dia menunjuk pada tumpukkan piring kotor itu.   Dia benar-benar merasa memiliki pembantu baru sepertinya.   “Kau bahkan tidak menghabiskan setengahnya?” ujarnya saat melihat sisa roti bakar di piringku. Ya, aku hanya memakannya beberapa gigit saja. Nafsu makanku memburuk.   Wanita mana yang masih akan baik-baik saja dan masih memiliki selera makan yang sangat bagus, ketika mendengar calon suaminya menghamili wanita lain? Apalagi ketika wanita lain itu adalah sahabatnya sendiri.   “Kalau tau seperti ini aku akan membuatkanmu dari setengah potong roti saja!” gerutunya sambil pergi. Apa mungkin dia mengajakku bertengkar hanya karena roti bakarnya yang bersisa?   Aku sudah tak peduli lagi. Melihat dari perlakuannya saat menolongku kemarin, dia sangat baik. Namun entah mengapa, pagi ini aku lihat dirinya berubah, kak Adrian menjadi seperti ibu kos saat kita telat membayar tagihan, persis seperti itu.   Kuteruskan saja kegiatanku, mencuci tumpukkan piring dan peralatan memasak yang seakan tiada habisnya.   Sebenarnya dia makan apa saja semalam, kenapa piring-piring ini begitu menggunung? Padahal kan, hanya ada kita berdua di sini. Pertanyaan itu bergelut di pikiranku.   Adrian Surya Atmadja – Pria yang menolongku ini ternyata adalah sepupu kak Andra. Aku baru ingat saat itu  kak Andra pernah bercerita tentang kakak sepupunya yang tinggal di Australia dan meneruskan bisnis keluarga Surya Atmadja yang bercabang di benua kangguru itu.   Seingatku, aku hanya pernah bertemu dengannya sekali saja selama aku menjadi pacar kak Andra. Dan ini, yang kedua kalinya. Jadi jangan salahkan, jika aku tak bisa mengingat wajahnya dan menyebutnya dengan sebutan ‘pria buket bunga’ kemarin seharian.   Westafel ini terletak menempel tepat di jendela dapur vila. Sehingga, sambil mencuci piring aku bisa melihat pemandangan kebun teh yang berjajar rapi menuruni bukit.   Pemandangan seperti ini mengingatkanku saat bersama kak Andra dulu. Kami berwisata ke Ciwidey dan berkunjung ke sebuah kebun teh yang bernama kebun teh Rancabali. Aku sangat ingat ketika kami menuruni bukit, kak Andra mengeluarkan kamera digital yang disangga dengan tongkat selfie-nya. Aku berjalan di antara barisan-barisan pohon teh. Dan kami mengambil gambar kekinian ala anak muda, dimana aku berjalan terlebih dahulu sambil mengulurkan tanganku ke belakang, dan tangan itu disambut dengan uluran tangan kak Andra. Bahkan gambar itu yang masih kujadikan sebagai gambar latar belakang utama di ponselku.   Prang  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD