Bagian 8

1275 Words
"Sepertinya, memang benar apa yang dikatakan teh Sari. Saya sebagai papanya Andra, melihat ekspresi bersalah pada mata Andra," ujar om Hans. Teh Sari yang dia sebut itu adalah mamaku. Tante Sukma terlihat tidak suka mendengar suaminya menyalahkan anaknya. Dia menyenggol lutut om Hans dengan wajah cemberut. "Lho, memang benar, Ma! Coba mama pikir, Andra tidak akan mencari Aruna sampai sedemikian rupa jika Aruna yang bersalah!" lanjut om Hans yang seakan berbicara pada istrinya saja. "Itu betul Sukma! Aku ingat dulu, Adrian sama sekali tidak mengejar apalagi meminta Lydia kembali saat wanita itu membatalkan pernikahan. Betul begitu, Sari?" tanya amih pada mamaku yang dijawab anggukan olehnya. Di keluarga besar ini, cucu laki-laki amih dan apih hanya ada dua. Ya, aku dan Andra. Wajar jika nenek dan keluarga besar marah. Karena mereka harus dua kali menanggung malu, akibat gagalnya pernikahan kami. Terutama amih, karena dia yang paling antusias pada pernikahan kami. Malam ini rencananya aku akan menginap di rumah orang tuaku. Yang artinya, Aruna akan ada tidur di vila seorang diri. Pagi tadi, sebelum berangkat ke sini aku menyuruh Aruna untuk melaporkan keberadaannya pada ketua RT setempat. Dan aku juga menitipkan Aruna pada salah satu keluarga yang kuamanahi untuk menjaga vila itu. * "Aa? Kamu dari mana saja kemarin? Mama bingung pas papa kamu nanyain kamu dimana, mama jawab aja kamu lagi pengen ngadem ke Lembang." Saat ini aku sudah berada di rumah kedua orang tuaku. Dan kini sedang bersama mama karena papa masih ada di rumah utama, rumah amih dan apih. "Iya, Ma. Emang aa habis ngadem dua hari ini. Mama tau aja." Aku katakan saja seadanya, toh memang benar aku sedang mendinginkan kepala. Tapi aku tidak bilang jika aku di Pangalengan. Oh ya, sebenarnya aku juga memiliki vila di Lembang. Maka dari itu sepertinya mama menyangkaku pergi ke sana. "Kamu pasti shock kan? Pernikahan Andra pasti mengingatkanmu pada Lydia?" Dengan insting keibuannya, mama selalu bisa menerka. Hanya saja, sebenarnya bukan karena pernikahan Andra yang mengingatkanku pada Lydia. Melainkan, kondisi Aruna yang mengingatkanku pada diriku sendiri. "Ya begitulah, Ma!" jawabku santai agar mama tidak banyak bertanya. "Mama kok bisa sih, seyakin itu kalau Aruna tak bersalah? Dan penyebab gagalnya pernikahan ini sebenarnya ada di Andra?" tanyaku. "Karena ...," ujar mama menggantung kalimatnya. Aku mengerutkan dahi, karena mama malah seperti orang melamun. "Karena mama tahu yang dilakukan Andra dengan teman penata riasnya," lanjut mama. Dan bagian ini sangat membuatku terkejut. "Maksud Mama?" "Mama melihat Andra bermesraan dengan teman wanitanya yang sering kemari itu, berulang kali, di rumah Andra. Lalu saat Aruna kabur, mama melihat Andra marah pada teman wanitanya. Dan menyalahkan kejadian ini seakan disebabkan oleh temannya itu. Tidak Mama sangka, akibatnya sangat fatal, sampai terjadi kegagalan pernikahan Andra." Mama merunduk, menyangga dahi dengan kedua tangan yang bertumpu lututnya. "Apa papa tau yang Mama lihat?" "Yang pertama memergoki itu justru papamu, tapi dia diam saja. Baru setelah kedua atau ketiga kalinya, dia memberitahu pada Mama," jawab mama. "Terakhir, saat pesta bujang di rumah Andra, Mama mendengar Andra yang amuk-amukkan karena ternyata wanita itu mengaku hamil." Aku mengangguk-angguk paham. "Tapi, apa tante Sukma tidak pernah tau yang dilakukan Andra selama di rumah?" "Tantemu itu, kan, jarang ada di rumah. Dia sering ikut om Hans jika sedang ada perjalanan bisnis. Lalu, Kyara dan Kyana ... sepertinya ...," ucap mama terhenti. "Sepertinya mereka juga tahu, sama seperti mama," lanjut mamaku. "Itulah mengapa, Mama meminta Aa untuk memberitahu Aruna agar ia pergi ke ruang pengantin laki-laki dengan alasan mengambil buket bunga. Apa usaha mama salah untuk menggagalkan rencana pernikahan mereka? Gara-gara Mama, pernikahan cucu laki-laki amih gagal lagi." Mama menyalahkan dirinya sendiri. "Nggak, Ma!" Aku mencoba menghibur mama. "Apa yang Mama lakukan itu sudah benar. Karena jika Mama tidak gagalkan pernikahan mereka, akan sangat kasihan pada Aruna. Itu sama saja dengan Mama membiarkan Aa hidup bersama Lydia, apa Mama rela?" Mamaku menggeleng. Aku memegang bahu mama, dan membiarkannya menatapku. "Jika aku adalah Aruna, maka aku akan berterima kasih pada Mama." Dan mama pun memelukku. * Gerimis membasahi jalanan kota Bandung malam itu. Bau khas tanah yang baru saja terguyur air hujan menyeruak begitu aku keluar rumah. "Aa? Mau kemana?" Mama keluar mengikutiku. "Gerimis, A!" Dia mencekal lenganku yang hendak keluar rumah. "Aa mau nyari Andra, Ma." "Nyari kemana, A? Memangnya Aa tau kemana perginya Andra?" "Aa tau teman-temannya, mungkin mereka bisa ditanyai." "Tapi Aa jangan pulang malam, ya!" Mama memperingatiku akan sesuatu yang jelas pasti akan kulanggar. "Aa nggak janji ya, Ma!" Kukecup dahi wanita paling berharga di hidupku itu agar sedikit tenang perasaannya. Mama hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Mama kan bisa ke rumah amih lagi," ujarku. Oh ya, FYI, rumah amih yang disebut-sebut sebagai rumah utama itu masih ada satu lingkungan dengan rumahku, rumah Andra, dan rumah om-tanteku yang lain. Dengan rumah amih yang paling besar tentunya. Saling berdekatan, memang! Kalau orang zaman dulu bilang, "Dahar teu dahar, nu penting ngumpul!" Sepertinya begitu filosofi dari pembangunan rumah keluarga yang berjajaran ini. "Mau makan atau tidak, yang penting berkumpul!" Aku mulai menyalakan mobil, sementara itu, mama sudah tak terlihat lagi di teras rumah. Aku masih duduk di jok mobil dengan pintu yang terbuka. Kyana? Aku melihat adik sepupuku itu sedang berjalan seorang diri sambil mengetuk-ngetuk layar ponselnya. "A Adrian?" sapanya. "Oh, Kyara ternyata!" Aku salah mengenali. "Iya! Dikira Kyana, ya?" tanyanya sambil menunjuk ke arahku menggunakan ponsel di tangannya. "Mau kemana, A?" "Emm, ada perlu," jawabku sambil tetap berada dalam mobil. "Oh, aku pulang ya!" ucapnya lagi. "Ok!" Akupun langsung menutup pintu mobil dan bersiap untuk menjalankannya. "A!" panggil Kyara yang tiba-tiba muncul di jendela mobilku. "Astaghfirullah!" "Eh, maaf!" Dia mengetuk-ngetuk kaca mobil sambil menunjuk ke bawah untuk memintaku menurunkan kaca. "Gerimis, Ra! Bukannya cepat masuk rumah!" "A, ada yang mau aku obrolin ke Aa. Sambil jalan-jalan, ya?" Sepertinya dia ingin ikut bersamaku. "Ok! Come on!" Aku mengajaknya untuk masuk ke mobil. "Jadi, kamu mau ngobrolin apa?" Aku membuka percakapan saat kami baru saja melewati gerbang perumahan. "A, tapi aa janji untuk nggak cerita ke siapa-siapa. Termasuk mama dan papa Aa." "Tentang apa dulu, Aa nggak bisa nyembunyiin sesuatu jika menurut Aa para orang tua perlu tau. Begitupun sebaliknya." "Ini tentang A Andra ...," lirihnya seakan merasa khawatir ada orang lain yang akan mendengar ucapannya. "A, sebenarnya a Andra nggak pernah mencari teh Runa seperti yang mamaku tadi bilang," lanjutnya. "Lalu?" "Mama cuma malu kalau sampai ada orang lain yang tau." "Jadi sebenarnya, kemana perginya aa kamu kalau dia nggak nyariin Aruna?" "A! Please Aa janji nggak bakal bocorin ini, dan Aa juga harus janji kalau A Adrian bakal bantu Kyara!" tuntut sepupu kecil di sampingku ini. "Okelah," jawabku santai sambil mengerem mobil perlahan karena di depan ada lampu merah. Aku menyandarkan kepala bersiap mendengar ceritanya. "A Andra mabuk-mabukan, dia pulang setiap larut malam. Dan mama sepertinya tahu sesuatu tentang A Andra." "Oke! Jadi apa masalahnya?" "Masalahnya ... Kyara nggak mau lihat aa mabuk-mabukan terus. Dan Mama sepertinya berencana melimpahkan masalah ini menjadi kesalahan teh Runa. A Adrian harus bantu Kyara untuk mencari tahu kebenarannya." "Kenapa harus Aa, Ra? Aku kan baru datang ke Indonesia? Mana tau masalah aa kamu." "Kyara tau kok, A?" "Tau? Tau apa maksudmu?" "Teh Runa pergi sama Aa, kan?" Deg Aku belum siap jika sampai ada salah satu keluarga tau mengenai hal ini. "A, sebenarnya Aa nggak bakal berhasil nolong teh Runa kalau nggak ada aku dan Kyana." "Maksud kamu?" "Aku yang memanggil para satpam itu kembali saat mereka hampir memergoki kalian yang bersembunyi di balik gerobak." Bruuum bruum Kendaraan di belakangku telah bersiap menyalakan kembali mesinnya untuk segera melaju. Tinggal beberapa detik lagi lampu hijau menyala, aku juga melakukan hal yang sama. Bruuuuuum Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD