Hari-hari berlalu seperti biasa, kesibukan yang sama dan temuan yang lebih banyak. Hari ini pun waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa matahari sudah terbenam, Leyna pergi keluar dan mendapati Seattle diguyur hujan. Edward menghubunginya jika ia akan menjemput Leyna ketika hujan tak selebat saat ini karena mobil Edward sedang dipinjam teman nya yang ia miliki saat ini hanyalah motor. Leyna mengatakan jika ia akan naik taksi saja, mencoba meyakinkan Edward jika ia akan baik-baik saja. BUtuh beberapa kata dengan huruf kapital agar Edward mengerti, Edward bersikap terlalu berlebihan yang kadang-kadang membuat Leyna kesal.
Banner dan Selly sudah pulang, mereka bersama karena berada di satu arah. Sialnya Leyna tak membawa payung saat ini, seharusnya ia mendengarkan Viona ketika wanita itu mengingatkannya tadi pagi. Hujan cukup deras malam ini, Leyna masih belum terbiasa dengan Seattle yang kerap kali lebih sering mengalami hujan di bandingkan dibagian daerah Amerika yang lain.
Leyna mendongak lalu pandangannya turun menatap rintikan hujan yang mengenai jalan. Kata menyesal itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Apa dia bisa menembus hujan menuju halte tanpa basah kuyup. Mungkin sekitar 30 langkah dari sini. Leyna rasa ia akan basah kuyup dalam langkah ke 4. Leyna tak menemukan si penguntit hari ini, atau mungkin karena hujan.
"Menunggu hujan reda Leyna?."
"Ya. Kenapa hujannya deras sekali malam ini."Gumam Leyna, pandangannya tertuju pada derasnya air hujan, pikirannya tenggelam hingga tak menyadari jika seseorang tengah berdiri di sebelah kirinya mengamati wajahnya. Leyna mengehela nafas berat, sebelum menoleh pada seseorang yang berada di sebelahnya.
"Tuan Dixon. Ah maksudku.. Jensen sejak kapan kau di sini?."Jensen tersenyum samar, lalu wajahnya beralih memandang lurus dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Belum lama."Lalu keheningan menyelimuti mereka, beberapa kali Leyna melirik Jensen lalu mencari-cari keberadaan mobil yang biasa bersamanya. Leyna mulai bertanya-tanya kenapa Jensen belum juga pergi. "Menunggu sesuatu?."
Leyna mengedarkan pandangannya sebelum menatap Jensen yang sedang melihat ke arahnya.
"Ya. Supirku sedang mengisi bahan bakar."
Leyna memutar kedua bola matanya, bibirnya berkedut menahan tawa.
"Mungkin dia mengambil jarak yang cukup jauh karena setahuku ada di dekat sini kurang dari 1km."
"Aku akan menanyakannya nanti."
Leyna kembali memperhatikkan ponselnya lalu sebuah pesan muncul, sebuah nomor yang tidak dikenal. Leyna mengedarkan pandangannya untuk mengetahui apakah pria penguntit itu kembali menguntitnya. Jensen mengamatinya, matanya ikut mencari-cari apa yang coba Leyna ingin temukan namun yang ia lihat hanyalah mobilnya baru saja tiba menuju Lobby utama untuk menjemputnya. Mobil itu berhenti tepat di hadapan Jensen.
"oh ya Leyna."
"Ya.."
"Apa kau lapar? Mau makan sesuatu, aku akan memberikanmu tumpangan ke tempat kemarin. Sepertinya hujan akan berhenti untuk waktu yang cukup lama."
Leyna tak menemukan penguntit itu, ajakan Jensen tentu saja susah untuk ditolak. Siapapun akan setuju untuk ikut makan malam bersamanya. Leyna menganggukkan kepalanya sebagai jawaban setuju. Jensen tersenyum mendengar persetujuan Leyna. Ia membukakan pintu mobil untuk Leyna lalu mengikutinya masuk ke dalam. Malam ini terasa lebih nyaman ketika duduk di samping Jensen di bandingkan kemarin. Walaupun ia tetap tak bisa mengenyahkan rasa gugupnya ketika duduk di samping pria sukses, kaya raya, tampan dan sangat sexy.
"Gally. Dimana kau mengisi bahan bakar?."
Leyna menoleh pada Jensen yang sedang tersenyum geli, ketika tatapan mereka bertemu Leyna menatapnya seolah berkata kau benar-benar menanyakannya lalu terkekeh.
"Tidak jauh tuan. Hanya saja sedikit macet."Leyna tertawa, tahu jika jawaban itu adalah sebuah lelucon, ia dapat melihat Gally yang tersenyum dari pantulan di kaca spion.
Jensen mengajak Leyna ke sebuah Restoran bintang 5, Leyna tahu betul karena Selly selalu merekomendasikan tempat ini untuk makan malam tim mereka yang selalu Leyna tolak karena harganya cukup fantastis. Restoran Italia ini sangat terkenal dengan tampilan makanannya yang tersaji dengan unik. Itu bukan menjadi alasan utama, rasanya yang menakjubkan adalah topik utama kenapa Restoran ini sangat terkenal.
Leyna menatap buku menu dan belum memutuskan makanan apa yang akan ia nikmati untuk malam ini. Jensen sudah mengatakan ia akan mentraktirnya sebagai tanda pertemanan dan hal itu mengejutkan Leyna. Ia membolak-balikkan lembar buku dan belum memutuskan makanan apa yang akan ia nikmati malam ini.
"kesulitan untuk memilih?."
"Ya. Semuanya terlihat lezat."
"kalau begitu aku yang akan memilihkannya untukmu jika kesulitan."
"terima kasih."
Malam ini semua mengalir begitu saja, cerita, tawa hingga membuat Leyna merasa nyaman ketika bersama dengan Jensen. Banyak penggambaran pria kaya raya di luar sana memiliki sifat yang begitu dingin, bossy, namun sepertinya tak seperti itu dengan Jesen. Dia pria yang cukup hangat ketika saat ini berbicara denganya. Jensen tersenyum dan mengatakan sebuah hal yang membuat Leyna tertawa, semuanya cukup menyenangkan. Jensen menepati janjinya untuk mengantar Leyna pulang, Leyna terkejut ketika Jensen mengantarnya sampai ke depan Apartemennya.
"Bagaimana kau tahu dimana Apartemenku?."
"Kau menyebutnya ketika kita berbicara Leyna."
"Benarkah?."Leyna menatap Jensen ragu, kedua matanya sedikit turun seraya berpikir tentang itu. Jensen menatapnya dan bekata dengan penuh keyakinan, bibirnya tersenyum.
"owh.. mungkin aku lupa."
"Apa aku tidak boleh mengantarmu sampai ke rumah?."pertanyaan Jensen membuat Leyna terkejut sendiri. Bukan maksudnya seperti itu ia hanya menjaga privasinya, masih terlalu dini memberikan alamatnya pada seseorang yang baru dikenal.
"Bukan begitu hanya saja... aku hanya berpikir ini terlalu cepat."
"Aku ingin menjadi temanmu Leyna. Aku mau dekat denganmu."
Leyna terhenyak, kedua matanya mengerjap namun kemudian dia menganggukan kepalanya dan tersenyum.
"tentu saja. Punya banyak teman itu bagus. Terima kasih untuk makanannya lain kali aku akan mentraktirmu."
"aku akan menunggunya."Leyna menarik tali tasnya lalu keluar dari mobil Jensen. Ia berdiri di lobby Apartemen melihat mobil Jensen yang melaju pergi, senyumannya berhenti. Leyna tak bisa membaca situasi apalah ini baik atau tidak. Seingatnya ia tak menyebutkan alamatnya pada Jensen, ia memiliki ingatan yang bagus dan selalu berpikir ketika mengatakan sesuatu. Tidak mungkin terucap begitu saja. Leyna berbalik untuk masuk ke dalam gedung Apartemen.
"Leyna."
Langkah Leyna terhenti, tubuhnya berbalik unthk melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Viona berlari-lari kecil ke arahnya dan Leyna menunggunya hingga mereka berdua masuk bersama.
"Siapa dia? kekasih barumu?."
Spontan Leyna menoleh pada Viona wanita itu tengah tersenyum menggodanya, Leyna tak pernah mengatakan apapun tentang pekerjaannya. Bahlan pada sahabatnya Leyna dan Edward. Tidak ada topik terbaru mengenai dirinya bahkan pria seperti Jensen yang kini berada dalam lingkaran hidupnya.
"kau melihatnya?."
"Ya. Aku melihatmu keluar dari mobil mewah itu. Apa dia pria yang tampan?."
Leyna bersandar pada dinding lift menunggu pintu itu terbuka, helaan nafas lolos dari bibirnya merasa lelah.
"aku tak tahu definisi tampanmu seperti apa?."Leyna tertawa, Viona menyenggol lengan Leyna. Viona tak memiliki definisi tampan yang menurutnya itu akan dipertahankan begitu lama. Ketentuannya selalu berubah-ubah, Leyna menyukainya ketika menggoda wanita itu dan memamerkan kelabilannya dalam memilih pria.
"oh ayolah... Kapan kau akan memperkenalkan kekasih barumu pada kami?."ucap Viona berharap. Kedua alisnya bergerak naik turun menggoda.
"kekasih? Siapa? Pria itu mengantarmu pulang lagi?."Entah sejak kapan Edward sudah berada di belakang mereka hingga membuat Viona terkejut.
"Lagi. uwow... Edward sudah tahu dan aku belum. Tidak adil."sungut Viona meminta penjelasan lebih.
"Tunggu. Dia bukan kekasihku. Kami hanya rekanan."Seru Leyna tak membuat Viona dan Edward percaya begitu saja. Pintu Lift terbuka yang membuat Leyna masuk lebih dulu di susul Viona dan Edward setelahnya.
"Sebenarnya menjadi kekasih juga tidak apa."Ucapan Viona hanya di balas dengan kedua bola mata yang berputar malas.
"Aku rasa dia bukan pria yang baik."gumam Edward lirih.
"Hei ayolah. Apa yang lau tahu soal baik dan tidak. Apa kau benar-benar sudah mengenalnya."ucap Viona. Leyna hanya diam tak mau menanggapi apa yang mereka berdua katakan. Hanya rekanan Leyna tak mau berpikir tentang seperti apa yang Viona dan Edward.
Teman.
Itu lebih baik karena Leyna senang berteman dengannya.