bab 4

1007 Words
"Aku tidak butuh semua janjimu Mas, aku hanya membutuhkan sebuah bukti bukan janji!" dengan linangan air mata dan berkata sangat lirih Almira menjawab perkataan suaminya. Akhirnya malam itu Almira ikut pulang bersama dengan Iqbal ke rumahnya, Almira bertekad akan mengumpulkan bukti-bukti jika memang suaminya tidak mau berubah, di hati Almira dia meragukan janji suaminya yang mengatakan bahwa dia tidak akan mengulangi kesalahan Yang Sama. Almira menyadari satu perkataan dari suaminya yang mengatakan bahwa dia tidak akan mengulangi kesalahan yang dituduhkannya, itu berarti bahwa Iqbal tidak mengakui kesalahan itu. Kali ini Almira akan mengikuti permainan dari Iqbal, dia ingin menguji sejauh mana Iqbal mau berubah, meski dalam keadaan belum sembuh Almira mau diboyong pulang oleh Iqbal. Aida yang masih khawatir dengan keadaan Almira, setiap hari dia berkunjung ke rumah Almira, hanya sekedar untuk mengetahui perkembangan dari Almira. dua Minggu telah berlalu, keadaan Almira pun sudah mulai membaik dan Aida sudah tidak lagi mengunjungi Almira.. Dalam hati Aida dia selalu berdoa untuk kebaikan adiknya, Semoga rumah tangga yang di bina adiknya selalu dalam keadaan baik-baik saja, dan suami Almira yang bernama Iqbal itu bisa berubah dan tidak lagi mempermainkan sebuah pernikahan. Hingga pada suatu hari, kejadian serupa kembali terulang, Iqbal kembali berselingkuh di belakang Almira, sama dengan kejadian yang telah lalu Iqbal pun melakukannya waktu malam hari, dia menjalin kasih dengan seorang perempuan yang ternyata adalah istri dari lelaki lain, bisa dikatakan perempuan itu adalah perempuan kesepian karena wanita itu jarang di tunggui oleh suaminya. Suaminya sering mengerjakan proyek di luar kota bahkan ke luar pulau, tidak di ragukan memang uangnya unlimited dan bisa untuk memanjakan si Iqbal yang notabene memang matre. Mungkin hal yang membuat Iqbal tertarik dengan perempuan tersebut adalah uangnya. Malam itu Almira menelpon Aida dan kebetulan Aida Tengah berada di rumah Ibu Aminah, Almira meminta Aida untuk menjemputnya di rumah, saat Almira mengatakan hal itu, hati Aida sudah mencurigai sesuatu” ini pasti Iqbal berulah lagi!"batin Aida dalam hatinya. Aida yang tak pernah bisa menolak keinginan adiknya langsung meluncur ke rumah Almira, meski hatinya berkecamuk dia tetap menuju ke rumah Almira untuk menjemputnya. "Kali ini kita lihat apa yang akan terjadi!" Aida berkata dalam hatinya. Sesampai di rumah Almira, Almira pun bercerita tentang apa yang dilakukan oleh suaminya, saat bercerita Almira masih terlihat tegar. "Ayo kita pulang ke rumah ibu mbak, aku sudah tidak sanggup kalau seperti ini lagi, Mas Iqbal tidak pernah menghargai kesempatan yang aku berikan!"aida menurut saja apa yang menjadi keinginan adiknya. Sepanjang perjalanan Almira menumpahkan tangisnya di belakang kemudi. "Kenapa nasibku begini amat ya mbak? Dulu di pernikahanku yang pertama aku tak pernah dianggap, di pernikahanku kali ini, aku pun seolah tak berarti untuk mas Iqbal!" keluh Almira di sela tangisnya. "Yang sabar Dek, mbak yakin bahwa kamu sangat kuat, sehingga Allah selalu mengujimu dengan masalah dalam rumah tangga seperti itu!"dengan sedikit berteriak Aida berucap kepada adiknya. Karena dalam perjalanan itu mereka menggunakan motor jadi jika Aida tidak mengeraskan suaranya, maka Almira tidak akan bisa mendengarnya, karena bersaing dengan suara angin dan juga deru motor. "Menangislah jika itu bisa membuatmu lega, tapi setelah itu berjanjilah untuk kuat, ada arka yang membutuhkanmu. Jangan hanya berfokus kepada suami mu yang b******k itu! air matamu terlalu berharga jika hanya untuk menangisi lelaki seperti itu!" Aida tidak bisa bicara sepanjang lebar seperti itu karena posisi masih ada di jalan, semua kata-kata itu hanya ada dalam hatinya. Aida teriris melihat adiknya terluka sekali lagi, dulu saat Almira memutuskan untuk memaafkan suaminya begitu saja, ada rasa tidak rela di hati Aida, hatinya sangat membenci keputusan sang adik yang terkesan sangat mudah memaafkan. Jika itu terjadi pada Aida, bisa dipastikan rumah tangga itu akan hancur seketika itu juga, bagi Aida sebuah pengkhianatan itu pasti akan berulang jika tidak diberikan efek jera. Tiba di rumah Bu Aminah, lagi-lagi kini Almira menumpahkan tangisnya, Bu Aminah sebagai seorang ibu tentu sangat sakit melihat air mata yang jatuh dari pipi anak sapihannya itu. “Ada apa lagi nduk? Apakah Iqbal berulah lagi? Apakah sekali lagi dia berselingkuh? dengan orang yang sama atau dengan wanita lain lagi? Apakah kamu menangis untuk lelaki seperti itu? Apakah air mata ini untuk menangisi suami yang tak tahu diri itu? Jangan terlalu bodoh anakku! air matamu terlalu berharga kalau hanya untuk menangisi semua itu!" Bu Aminah bicara panjang lebar mencecar anaknya yang terkesan bucin dengan suami yang tak bertanggung jawab seperti Iqbal. Aida yang mendengar perkataan dari ibunya untuk sang adik kini terwakili sudah, jika yang ada dalam hatinya sudah diucapkan oleh Bu Aminah kini tinggal Aida menunggu jawaban dari adik tersayangnya itu. "Bu, kenapa aku memiliki suami seperti Mas Iqbal? Kenapa seolah aku ini tidak ada harganya sama sekali di matanya, kenapa seolah aku ini hanya pelengkap dan hanya menjadi istri formalitas saja!"bukannya menjawab pertanyaan sang Ibu justru Almira malah melontarkan pertanyaan kepada ibunya, lebih tepatnya seperti sebuah penyesalan. "Apakah dulu saat kamu memilih Iqbal kamu mendengarkan kata-kata ibu? Apakah dulu saat ibu menentang hubungan kalian kamu mau mendengarkan kata-kata ibu? Dan apakah dulu saat ibu memintamu untuk menjauh dari Iqbal kamu pun menurut dengan perkataan ibu? Jawabannya tentu kamu lebih tahu sendiri!" Bu Aminah menatap sendu netra sang anak. "Jika kamu menanyakan apa yang kamu utarakan tadi, maka jawabannya adalah, kamu salah alamat menanyakan itu ke ibu! tanyakanlah ke hatimu sendiri kenapa kamu bisa sampai jatuh hati kepada lelaki seperti itu!" jawab Bu Aminah lagi. "Sejak kamu berpisah dari imam dulu, Ibu lebih setuju kamu untuk berpuasa dulu, menjalani kehidupanmu sendiri dan memperjuangkan kedua anakmu yang telah direnggut darimu oleh suamimu dulu! tapi apakah kamu mendengar ibu? Tentu jawabannya tidak!" seolah Bu Aminah memiliki waktu yang tepat untuk mencecar sang anak, maka dengan enteng Bu Aminah berbicara panjang lebar kepada anaknya itu. "Usiamu baru 28 saat itu, dan jika kamu puasa 10 tahun saja maka usiamu baru 38 tahun, dan pandangan ibu usia 38 tahun itu belum begitu tua, menikah sekarang atau nanti tentu yang didapat nanti hanyalah anak, betul Apa betul? Tapi lagi-lagi kamu membantah kata-kata ibumu ini! dan sekarang jika terjadi seperti ini, itu tandanya kamu harus intropeksi diri!" kata Bu Aminah lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD