Sebagaimana rumor yang telah beredar tentang sang Earl, pertemuan rahasia dalam pesta kecil yang digelar di Housted Hill semalam, mungkin akan menambah catatan misterius lain yang tidak ketahui banyak orang. Siapa sangka bahwa Earl of Cleveland akhirnya memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya untuk menciptakan skandal bersama Lady Greta Summers, wanita yang dirumorkan telah merayu sang Earl! Tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa hubungan Sang Earl bersama wanita itu, tapi besar kemungkinan kalau mereka sudah menjalin hubungan gelap untuk waktu yang lama. Siapa yang tahu mengingat betapa misteriusnya laki-laki itu..
“Wanita itu!” Ellie mengulangi kalimat itu dengan penekanan yang terkesan dilebih-lebihkan. “Penulis sialan itu menyebutmu dengan ‘wanita itu’, berani-beraninya dia!”
“Shhh.. Eloise! Jaga bicaramu!” Greta memeringati dengan suara keras. Wajah adiknya seketika memerah dan tubuhnya kembali melesak di atas kursi.
Sejak kepulangannya ke rumah, Greta nyaris tidak bisa beristirahat dengan tenang. Ia terlalu khawatir tentang rumor yang akan beredar, dan benar saja, pagi itu Greta melihat namanya sudah tercantum dalam salah satu kolom di surat kabar. Tidak diragukan lagi seseorang yang menulis kolom itu adalah Lord X – Miss Huxley yang lancang. Wanita itu melihat Greta berduaan dengan Cleveland di tengah ruangan gelap dalam kondisi yang nyaris tidak berpakaian. Bagaimana mungkin Miss Huxley akan melewatkan kesempatan untuk menulis skandal itu dalam surat kabarnya? Greta sendiri sudah mengantisipasi hal itu terjadi – sulit membayangkan bahwa semua itu adalah bagian dari rencananya. Greta berpikir bahwa dengan tersebarnya rumor itu, ia akan berhasil menjebak Cleveland dalam pernikahan bersamanya. Dengan begitu, Greta mendapat kesempatan untuk memeras Cleveland dan melunasi utang-utang keluarganya.
Sekitar dua malam yang lalu, rencana itu terdengar sangat masuk akal baginya. Sekarang, Greta tidak bisa merasa lebih bodoh lagi. Ia tidak menginginkan sebuah skandal bersama Cleveland, dan tindakannya yang gegabah itu benar-benar telah menyeret mereka berdua dalam masalah besar. Setelah ini, Greta tidak akan menemukan calon pendamping yang melihatnya dengan cara yang sama. Mereka semua akan berpikir kalau Greta sudah dinodai oleh sang Earl – bahwa Greta sudah tidak perawan lagi. Orang-orang itu tidak akan mengesampingkannya dalam society, mereka mungkin akan menghindarinya, tidak peduli bagaimana Greta menebar pesonanya di hadapan mereka.
Greta merasa menyesal, malu, sekaligus sedih. Ellie merupakan satu-satunya orang yang bisa melihat semua emosi itu dengan jelas saat menyadari apa yang menimpanya. Greta benci ketika Ellie harus mengetahui semua itu dan Greta tidak mungkin mengatakan kalau ia melakukannya untuk memastikan mereka tetap aman. Adiknya sudah cukup bersabar dengan penyakit yang dideritanya, Greta tidak berniat menambah beban Ellie dengan mengatakan semua itu. Namun, menilai dari karakter Ellie yang keras kepala, Greta seharusnya tahu bahwa adiknya tidak akan menerima semua berita itu begitu saja. Selain Daphne, Ellie adalah orang terdekat yang begitu mengenalnya, dan sekarang Ellie sudah tumbuh dewasa untuk dapat dibodohinya tentang hal-hal seperti itu.
“Aku tahu kau tidak akan bertindak seperti itu tanpa tujuan tertentu. Jangan membohongiku lagi, Greta! Apakah benar apa yang dikatakan dalam surat kabar itu? Apakah benar kau..”
“Itu benar!” erang Greta dengan frustrasi. Wajahnya memerah dan air matanya kembali merebak. “Aku memang merayu pria itu.”
Kini Ellie menyipitkan kedua matanya dengan sedih. Adiknya begitu skeptis mengenai hal itu. “Tapi itu tidak terdengar seperti dirimu. Kau tidak melakukan itu pada pria manapun, kau tidak melakukannya kecuali..”
“Tidak, Ellie. Itu salahku. Aku memang bodoh, dan gegabah..”
“Oh Tuhan, Greta.. apa yang sudah kau lakukan..”
“Aku minta maaf.. aku benar-benar minta maaf!” Greta berlari ke arah adiknya dan mengempaskan tubuh di atas lantai kayu. Selagi menggengam tangan adiknya dengan erat, Greta menegadahkan kepala untuk menatap wajah pucat Ellie yang duduk di atas kursi kayu itu. Mata besar Ellie menatapnya, mata itu segelap langit malam, dan bulu matanya yang lentik terlihat basah oleh air mata. Greta lupa betapa cantik adiknya. Ellie mewarisi semua kecantikan yang dimiliki ibunya sejak kecil. Meskipun sifatnya terkadang bisa menjadi sangat keras kepala, perawakan Ellie menunjukkan yang sebaliknya. Setiap sudut wajah Ellie menggambarkan sisi feminisme yang begitu kental dan ketika tersenyum, sepasang mata besar Ellie akan terlihat berbinar-binar. Greta ingat Ellie pernah terlihat lebih cantik dari itu. Kalau bukan karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya, Ellie akan menjadi wanita paling cantik yang pernah dilihat Greta sepanjang hidupnya.
“Maafkan aku..” ucap Greta sekali lagi. Ia menundukkan wajahnya untuk mencium tangan adiknya yang bergetar. Pada saat itu Ellie meraih wajah Greta untuk menghapus air matanya.
“Kau tidak perlu meminta maaf.. Ini semua salahku. Aku tidak bisa membantumu keluar dari situasi ini.. Kau sudah melakukan banyak hal untuk keluarga ini, sementara aku hanya menjadi beban untukmu.”
“Shhh.. jangan bicara begitu!” Greta mengeratkan genggamannya. “Aku tidak pernah menganggapmu sebagai beban, Ellie.”
“Tapi itu benar,” Ellie menunduk. Setelah menjadi lebih tenang, kedua matanya kini menatap Greta lekat-lekat. “Apa yang harus kita lakukan? Mereka akan membicarakanmu setelah ini..”
“Aku tahu, tapi jangan terlalu memikirkan tentang hal itu.”
Ellie hendak membuka mulut untuk membantah, tapi tiba-tiba rasa sakitnya yang kambuh membuatnya terbaruk-batuk. Greta yang panik langsung memanggil Mrs. Gilbert untuk membantunya membawa Ellie ke dalam kamar dan membaringkannya di atas kasur. Ia duduk di tepi kasur sementara Mrs. Gilbert mengoleskan salep di tubuh Ellie. Wajah adiknya saat itu tampak sangat pucat sementara tangannya yang kurus bergetar. Greta mengusapkan kain kering di atas pelipis Ellie yang berkeringat dan membisikkan kata-kata yang menenangkan ketelinganya. Kondisi Ellie yang semakin parah hanya memicu kepedihan dalam dirinya hingga Greta tidak bisa menahan tangisnya pecah kembali. Ia duduk tepi kasur hingga sore hari, menemani Ellie yang masih tertidur pulas, menahan semua rasa sakitnya sembari berdoa.
Sore itu juga, Greta kedatangan tamu. Ia sempat berpikir kalau orang yang datang adalah orang suruhan Mr. Breuman, tapi dugaannya salah karena yang mengetuk pintunya sore itu adalah seorang pelayan berpakaian rapi. Ia menyerahkan sebuah surat untuk Greta yang ditulis langsung oleh tuannya, Earl of Cleveland kemudian menyampaikan bahwa sang Earl mengharapkan kedatangannya besok pagi di kediamannya. Greta berterima kasih pada pelayan itu kemudian membiarkannya pergi.
Malamnya ia duduk diam di atas meja makan, sembari memandangi surat yang ditulis oleh Cleveland. Greta begitu penasaran tentang maksud undangan itu sampai-sampai ia mengabaikan makan malamnya. Dalam surat itu, Cleveland memintanya dengan sopan untuk datang menemuinya besok. Laki-laki itu bahkan mengatakan bahwa ia akan menyediakan kereta kuda untuk menjemput Greta besok pagi sekitar pukul sembilan. Greta tidak tahu mana yang lebih membuatnya heran; sikap ramah sang earl dalam suratnya atau perasaannya yang mengatakan bahwa surat iu ditulis oleh seseorang yang berbeda – bukan Cleveland seperti yang dikenalnya. Karena, Cleveland yang dikenalnya tidak pernah memanggil Greta dengan sebutan Lady Greta. Laki-laki itu lebih akrab memanggilnya dengan menyebutkan namanya secara langsung. Entah apa yang membuat semua itu tampak berbeda, Greta berniat untuk mendapatkan jawabannya besok.
Paginya, Greta berusaha mengusir sisa-sisa kesedihan yang masih terlihat dalam raut wajahnya. Ia memilih pakaian yang cukup sopan – tidak bagus hanya saja cukup sopan untuk dikenakan. Greta juga tidak repot-repot menata rambutnya seperti yang biasa ia lakukan untuk memikat Cleveland, Kali ini ia membiarkan helai ikal sewarna coklat kayu itu tergerai begitu saja. Ia tidak mengenakan banyak aksesori karena Greta tidak melihat alasan untuk membuat sang earl terkesan oleh penampilannya. Greta juga mengingatkan dirinya untuk menyelesaikan urusan itu secepatnya. Mengingat sang earl juga tidak menyampaikan maksud undangannya, tidak ada alasan untuk berada lama disana.
Greta merasa gentar untuk memenuhi undangan itu. Itu akan menjadi kali pertama ia datang ke kediaman Cleveland. Ia dipenuhi oleh ketakutan jika kehadirannya tidak akan disambut baik oleh sang earl mengingat betapa marahnya laki-laki itu kali terakhir Greta melihatnya. Tapi disisi lain, Greta juga ingin menemui Cleveland dan berbicara padanya. Selama tiga malam terakhir tidurnya tidak nyenyak karena memilikirkan Cleveland, dan Greta berharap ia dapat mengusir semua itu dengan cepat. Tidak ada yang lebih diinginkannya saat ini selain mendapatkan kembali kehidupan lamanya yang tenang – kehidupan sebelum ia mengenal laki-laki itu. Jadi, dengan tekad bulat, Greta menelan rasa takutnya dan memutuskan untuk beranjak meninggalkan kamarnya yang nyaman.
Ia berpamitan dengan Ellie sebelum pergi. Adiknya sedang berbaring di atas kasur, masih sama tidak berdayanya seperti kemarin sore dan perasaan Greta terenyuh begitu melihatnya. Ia harus segera menemukan cara untuk menyembuhkan Ellie, jika tidak harapan keselamatan Ellie akan semakin tipis dan jika hal itu terjadi, Greta tidak akan berhenti menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga adiknya yang malang.
“Aku pergi dulu Ellie..” ucap Greta pelan sembari mengusap kepala Ellie dengan lembut.
Ellie mengerjapkan matanya pelan, dan bertanya, suaranya terdengar pelan dan serak. “Kemana kau mau pergi?”
“Aku ingin menemui Cleveland. Dia mengundangku kesana.”
Kedua mata Ellie kini terbuka lebar, adiknya tampak tidak setuju. “Aku harus menemanimu..”
“Tidak. Kau harus tetap disini.”
“Bagaimana jika dia..”
“Jangan khawatir, Ellie. Aku bisa menjaga diriku. Kau tunggu sampai aku pulang. Aku janji tidak akan lama.”
“Kau janji?”
“Ya, sayang.”
Greta kemudian menunduk untuk mencium kening Ellie. Kemudian, dengan nafas tersendat dan jantung yang mencelos, Greta segera pergi meninggalkan adiknya. Ia tidak akan sanggup berada lama di dekat Ellie tanpa meneteskan air mata sementara jika Greta menangis, ia hanya akan membuat Ellie merasa lebih buruk dengan kondisinya. Jadi, Greta pergi dengan cepat meninggalkan rumah itu. Di luar, Mr. Gilbert sedang berbicara dengan seorang kusir suruhan Cleveland yang sudah menunggunya. Greta mengangguk pada pelayan itu kemudian meninggalkan pesan padanya untuk menjaga Ellie. Segera setelah Mr. Gilbert membantunya naik ke atas kereta kuda, kusir yang suruhan Cleveland mengarahkan kuda-kudanya membawa kereta bergerak menjauhi halaman rumahnya.
Greta duduk diam dengan perasaan sedih sekaligus bimbang di sepanjang perjalanan. Sesekali ia membuka jendela dan mengintip keluar. Perjalanan yang ditempuhnya tidak cukup jauh, tapi cukup memakan waktu. Meskipun begitu Greta menikmati pemandangannya di sepanjang perjalanan. Properti Cleveland cukup luas. Pria itu memiliki banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Sang Earl ditinggalkan kedua orangtuanya di usia yang masih sangat muda, dan mengingat pria itu tidak memiliki saudara selain paman dan bibinya, wajar jika laki-laki itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan bimbingan untuk mengolah semua lahan kosong milik keluarganya itu. Meskipun begitu, Greta melihat beberapa lahan kosong yang lain juga sudah dikembangkan dengan baik. Bahkan sesampainya dikediaman laki-laki itu yang terletak di atas bukit, Greta melihat tanaman jenis lavender dikembangkan dengan begitu baik untuk mengisi halaman rumah, taman, maupun pekarangannya. Terlalu banyak lavender, menurut Greta. Laki-laki itu juga memiliki sebuah kolam air dengan patung pahatan yang bentuknya hampir mirip dengan yang dilihatnya di Housted Hill. Sekarang terjawab mengapa pria itu begitu terpukau saat memandangi patung batu di housted hill malam itu. Cleveland mungkin melihat kemiripan yang jelas seperti patung batu di rumahnya sendiri.
Begitu kereta berhenti, seorang pelayan membukakan pintu dan membantunya turun. Kini Greta dapat melihat bangunan itu dengan lebih jelas. Rumah yang ditempati Cleveland tidak lebih menarik dari Housted Hill, tapi ukurannya cukup besar dan dinding-dinding batanya memiliki kesan misterius yang menegaskan sosok sang earl.
Sang earl juga memiliki taman yang luas, Di antara propertinya, Greta paling suka melihat tamannya, ada banyak jenis pepohonan dan semak-semak yang terawat disana. Pria itu sepertinya lebih tertarik untuk merawat tamannya ketimbang bangunan tempatnya tinggal. Hal itu terlihat baru untuknya. Ia tidak pernah membayangkan Cleveland adalah pria yang cukup tertarik mengembangkan jenis tumbuh-tumbuhan obat di dalam propertinya. Jelas bahwa Greta belum benar-benar mengenal laki-laki itu. Pertemuan mereka selama beberapa hari di Housted Hill hanya menunjukkan sebagian kecil sisi Earl of Cleveland yang asli, dan Greta tidak yakin apakah ia akan menyukai sisi lainnya.
Pelayan itu membimbingnya masuk, dan Greta mengikutinya dengan patuh. Begitu sampai di lorong utama, Greta membeku saat melihat laki-laki itu berdiri tak jauh disana – mengenakan pakaian rapih dan siap untuk menyambutnya. Cleveland sama sekali tidak tersenyum, ekspresinya tertutup dan dingin. Ketika mendekat, Greta bisa merasakan sepasang mata biru itu berusaha mengintimidasinya, dan itu saja sudah cukup membuat Greta menyesali keputusannya untuk datang kesana.
“Sampai disini saja, Mr. Jullian. Aku yang akan mengantarnya ke atas.”
Pelayan itu menunduk kemudian memberi salam pada tuannya sebelum beranjak pergi meninggalkan mereka di lorong, “ baik, Sir.”
Sir? Greta menautkan kedua alisnya dengan heran. Ia masih memandangi kepergian pelayan itu ketika Cleveland menegurnya dengan berkata, “ikuti aku!”
Laki-laki itu sudah berbalik pergi menyusuri lorong dengan langkah cpeat dan tergesa-gesa. Greta harus berusaha keras untuk menginmbangi langkahnya. Jelas bahwa Cleveland tidak mau repot-repot memperlakukannya dengan sopan. Namun, Greta tidak mempermasalahkan hal itu sekarang. Ia lebih penasaran tentang apa yang baru saja didengarnya.
“Kenapa pelayanmu memanggilmu, ‘Sir’?”
Cleveland tidak merespons, dan Greta tidak bisa menerimanya begitu saja. Laki-laki itu boleh saja marah padanya, tapi Greta sama sekali tidak suka saat seseorang mengabaikannya.
“My Lord!” seru Greta dengan ketus. “Kau mengundangku kesini dan maaf jika aku lancang, tapi aku harap kau tidak mengabaikanku seperti ini.”
Tanpa berbalik menatapnya, pria itu berkata, “apakah aku terlihat seperti mengabaikanmu, Lady?”
“Ya, kau baru saja mengabaikan pertanyaanku.”
“Maaf, tapi apakah itu terlihat aneh buatmu?”
“Ya, tentu saja itu terdengar aneh mengingat aku tidak benar-benar mengenalmu.”
“Kau tidak harus mengenalku dan aku tidak memiliki kewajiban apapun untuk membuatmu memahamiku, Lady. Akan ada baiknya jika kau menyimpan semua pertanyaanmu untuk dirimu sendiri, setidaknya sampai kau menemuinya..”
“Menemuinya?” Greta menyipitkan kedua mata. Laki-laki itu benar-benar membuatnya frustrasi. “Menemui siapa maksudmu?”
“Cleveland.”
“Apa? Aku tidak mengerti..”
“Seperti yang kukatakan, kau tidak perlu mengerti.”
“Aku tidak datang kesini untuk semua omong kosong ini. Aku tahu kau membenciku, tapi kau tidak seharusnya memperlakukanku seperti ini.”
Rahang pria itu mengeras. “Aku tidak berutang apapun padamu..”
“Ya, kau berutang penjelasan padaku tentang mengapa aku diundang kesini. Aku tidak mau mengikutimu sampai kau mengatakan apa maksud semua ini..”
“Kau tidak akan senang mendengarnya dariku..”
“Coba kita buktikan saja!” tantang Greta yang dengan cepat mengentikan langkahnya. Wajahnya merah padam dan ia sudah siap untuk mengadapi kemarahan laki-laki itu. Ketika Cleveland berbalik ke arahnya, Greta merasakan perutnya melilit. Firasatnya mengatakan bahwa situasinya lebih kacau dari yang ia duga.
“Well, kau mau tahu kejutannya sekarang, baiklah. Aku akan memberitamu..” Cleveland mendekat hingga tubuhnya hanya berjarak satu langkah jauhnya dari Greta. Mata birunya kini menatap Greta dengan penuh permusuhan. “Tebak apa? Aku bukan Earl of Cleveland. Aku hanya teman dekatnya. Dan pria yang kau cari sedang menunggumu di ruangannya sekarang. Jadi, jangan buat ini menjadi sulit dan aku memohon padamu.. ikuti aku!”
Greta berdiri dengan tercegang. Dalam sekejap ia kehilangan kata-katanya. Matanya masih mengawasi laki-laki itu yang sudah berbalik pergi melanjutkan langkahnya. Sementara benak masih terus bertanya-tanya, Greta akhirnya melanjutkan langkah mengikuti pria itu hingga ia sampai di dalam sebuah ruangan besar yang lebih mirip ruang kerja, dengan dua jendela tinggi yang mengadap persis ke arah pekarangan. Ruangan itu dikelilingi oleh rak-rak tinggi berisi buku-buku. Di bagian tengahnya ada meja kayu dan tumpukan buku lainnya. Sementara di sudut ruangan, sosok pria asing terlihat sedang duduk di atas kursi roda. Rambutnya hitam legam, kedua matanya sayup, garis rahangnya tampak tegas. Pria itu mengangguk dengan sopan ke arah Greta dan tersenyum, kemudian saat pintu ruangan ditutup, pria asing di atas kursi roda itu mendekat dan langsung menyapanya dengan lembut.
“Lady Greta Summers! Selamat datang di rumahku. Aku Arthur, Lord Cleveland,” belum sempat Greta memproses kalimat itu, Cleveland - atau pria yang selama ini dikenalnya sebagai Cleveland melangkah maju mendekati pria yang duduk di kursi roda kemudian menatapnya dengan dingin. “.. dan izinkan aku memperkenalmu pada sahabatku, Sebastian.”