Bab 16

945 Words
Kereta kuda sampai lebih cepat dari dugaannya di kediaman Cleveland. Tanpa mengulur waktu, Sebastian langsung melompat keluar dari sana dan bergegas masuk. Dua orang pelayan menyambutnya di depan, namun Sebastian memilih untuk melewatkan semua sopan santun dan segera berjalan masuk menyusuri lorong-lorongnya yang panjang. Dinding bata itu kembali memerangkapnya. Setelah lebih dari seminggu tidak berada disana, Sebastian nyaris merasa asing dengan suasana di kediaman Arthur. Ia sudah terbiasa dengan bangunan terbuka yang menampilkan gambaran lahan terbuka yang luas dan indah di Housted Hill, sehingga manor Cleveland lebih tampak seperti penjara yang tertutup dimana hanya ada sedikit cahaya yang menerangi setiap lorong-lorongnya. Tidak ada pajangan antik, atau tirai-tirai emas yang memberi sentuhan elegan seperti yang dilihatnya di Housted Hill, yang paling utama adalah, tempat itu terasa lebih dingin sekarang. Pintu-pintu panjang ditutup rapat. Tangganya yang berbentuk melingkar mengarah persis ke ruangan tertutup lainnya. Sebastian sempat menatap ke arah taman yang dikelilingi oleh bangunan itu, tapi tidak menemukan Arthur disana. Ketika seorang pelayan mendekatinya, Sebastian langsung bertanya, “dimana tuanmu?” “Dia sedang duduk di perpustakaan, Sir. Dia bilang dia tidak ingin diganggu sekarang.” Sebastian mengabaikan kalimat itu dan langsung bergerak ke perpustakaan yang pintunya ditutup rapat. Saat pelayan itu berusaha menghentikannya, Sebastian sudah lebih dulu membuka pintu perpustakaan dengan lebar dan melangkah masuk. Di dalam sana, Arthur sedang duduk membelakangi meja kerjanya. Ia sedang menulis sesuatu dan ketika melihatnya, Arthur tergesa-gesa menyembunyikan surat itu. Sang pelayan berdiri di belakang Sebastian dengan ekspresi takut. Ia berusaha menjelaskan pada tuannya sebelum Arthur mengangkat satu tangannya di udara dan meminta pelayan itu untuk pergi meninggalkan mereka di ruangan itu. “Kau pulang lebih awal?” ucap Arthur untuk menyapanya. Ekpresi ketegangan dalam raut wajahnya langsung saja digantikan oleh rasa bingung. Sang Earl mengarahkan kursi rodanya menjauhi meja kerja dan berhenti persis di tengah-tengah ruangan. Selama beberapa saat, Sebastian hanya berdiri diam disana memandangi Arthur. Ia tidak yakin tentang apa yang harus disampaikannya dan apa yang tidak. Namun, Sebastian tahu kalau Arthur akan sangat marah jika Sebastian berusaha menyembunyikan satu kejadianpun yang seharusnya diketahui laki-laki itu. Jadi dengan berat hati, Sebastian bergerak mendekati Arthur sembari berkata, “aku perlu bicara denganmu.” Arthur menunjuk ke arah sofa kosong di sudut ruangan, tapi Sebastian menolaknya dengan cepat. “Ini tidak akan terdengar menyenangkan.” “Aku sudah dilatih untuk menerima kabar buruk. Memangnya apa yang lebih buruk daripada mendengar kabar kematian orangtuaku?” “Sebenarnya ada satu..” Tiba-tiba wajah sang earl memucat. Ia menunduk menatap lututnya di atas kursi roda kemudian setelah mempersiapkan dirinya, Arthur kembali menengadah dan menatap Sebastian, kali ini dengan segenap kesungguhan di kedua matanya. “Baiklah.. kurasa sudah saatnya untuk minuman keras.” Sebastian menceritakan semua kejadian itu pada Arthur. Ia terkejut ketika Arthur tidak mengatakan apapun selain memberinya anggukan sesekali. Kemudian ketika Sebastian selesai menjelaskan situasinya, Arthur berpaling ke arah jendela. Ekspresinya tidak tampak kecewa sama sekali dan karena hal yang sama, Sebastian tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau tidak atas reaksi itu. “Apa kau yakin berita itu akan menyebar?” “Ya, beberapa tamu menyaksikan kejadian itu..” Arthur mengernyitkan dahinya kemudian menggaruk-garuk rahangnya yang tidak gatal. “Jika memang begitu, maka reputasi wanita ini dipertaruhkan.” “Aku khawatir begitu.” “Kau tahu kenapa dia melakukan itu?” Itu juga yang menjadi pertanyaan Sebastian sejauh ini, tapi kemarahannya mencegah Sebastian untuk menyelidiki semua itu lebih lanjut. “Tidak.” “Bagaimana denganmu, apa kau menyukainya?” “Apa? Tidak!” kalimat itu diucapkan dengan spontan, nyaris tanpa dipikirkan dan Sebastian tiba-tiba merasa menyesal karena telah membohongi Arthur. Ia memejamkan mata, tiba-tiba merasakan darahnya mengalir deras ke sekujur tubuhnya. Sebastian dengan cepat berusaha memperbaiki pernyataan itu. “Dengar, kami.. dekat. Tapi.. aku tidak pernah menyentuh atau menodai reputasinya. Aku tidak tahu jika dia akan..” “Kenapa kau tidak mengundangnya untuk datang kesini dan kita bisa bicarakan ini secara langsung dengannya?” Pernyataan itu terdengar seperti sebuah petir di siang bolong untuk Sebastian. Ia memang marah terhadap Greta Summers karena wanita itu telah menjebaknya, tapi Sebastian tidak yakin ia siap untuk bertemu apalagi membongkar identitasnya sekarang. “Apa kau yakin?” “Tentu saja. Kita perlu tahu dimana akar masalahnya, dan kita perlu menyelamatkan reputasinya juga..” “Aku tidak yakin itu ide yang bagus. Mengundangnya kesini berarti membongkar penyamaranku..” “Sudah saatnya dia tahu.” “Bagaimana dengan yang lain? Apa kau sudah siap membongkar identitasmu pada teman-teman dari klub rahasiamu?” “Tidak – belum. Hanya Lady Summers. Kita hanya akan mengundangnya sendiri untuk datang membahas masalah ini.” “Apa yang perlu dibahas lagi? Dia menjebakku, itu sudah jelas!” ucap Sebastian dengan ketus. “Tapi kau tidak tahu penyebabnya..” “Aku tidak peduli soal itu,” satu kebohongan lagi yang keluar dari mulutnya ketika amarah membutakannya. Arthur tampaknya mengenali Sebastian lebih baik untuk dapat tersenyum saat mendengar kalimat itu. “Itu tidak terdengar seperti kalimat yang akan diucapkan oleh saudaraku. Aku tahu kau sangat peduli.. dan itulah sebabnya, kita harus mengundangnya, Saudaraku..” Sebastian menggeram dengan kesal. Ia membuka mulut untuk membantah ucapan Arthur barusan, tapi kemudian menutupnya kembali dengan rapat. Sebastian menyesali keputusan Arthur untuk mengundang Greta hadir disana, dan ia lebih membenci fakta bahwa Arthur dapat bersikap tenang menghadapi semua itu. Greta secara jelas sudah berusaha mengotori nama baiknya, membuat rumor tentang sang earl yang sudah buruk menjadi semakin parah, tapi Arthur sama sekali tidak terpegaruh. Malahan laki-laki itu ingin mendengar penjelasannya langsung dari Greta. Sebastian tidak tahu apakah ia harus membenci atau menghormati Arthur atas tindakannya, yang pasti ia tidak dalam keadaan siap untuk bertemu Greta – tidak ketika ia masih menginginkan dan membenci wanita itu disaat yang bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD