Greta begitu terguncang dengan apa yang baru saja didengarnya. Sulit untuk memercayai hal itu. Dua pria di hadapannya kini lebih tampak seperti penampakan alih-alih pria tampan yang memikat perhatian. Tubuhnya terasa lemas, dan Greta berpikir bahwa ia benar-benar bisa ambruk di lantai kayu pada saat itu. Pria yang duduk di kursi roda lebih pengertian, setidaknya pria itu berbicara dengan sopan dan bukannya menatap Greta dengan penuh kemarahan seperti Cleveland - tidak, bukan! Bukan Cleveland, tapi Sebastian.
“Apa kau ingin minum sesuatu, Lady? Aku akan meminta pelayanku..”
“Tidak..” potong Greta dengan cepat. “Apa semua ini? Apa kau berusaha meledekku..”
“Aku minta maaf karena membuatmu berpikir begitu, tapi kita tahu bahwa situasi ini lebih serius daripada itu. Aku tidak akan mengambil kesempatan sedikitpun untuk menghina ataupun meledekmu, Lady. Aku tahu bahwa ini terdengar sangat tidak masuk akal bagimu, tapi aku akan menjelaskannya. Mungkin kau perlu duduk sementara aku menjelaskan situasinya.”
Greta hendak membantah sang earl dan mendesak laki-laki cacat itu – Oh Tuhan! Pria itu benar-benar cacat seperti rumor yang beredar - untuk mengungkapkan maksud dari ucapannya. Namun Greta tahu bahwa sikapnya akan terasa sangat tidak sopan dan menurutnya, dalam situasi itu ia benar-benar butuh untuk duduk dan mengistirahatkan dirinya.
Greta kemudian berjalan mendekati sofa terdekat dan duduk disana. Punggungnya menegak dengan kaku sementara ia terus mengedarkan pandangannya dari laki-laki yang duduk di kursi roda – dan laki-laki berambut pirang yang telah menipunya. Sialan pria itu! Rupanya, Greta bukan satu-satunya orang munafik disana.
Segera setelah Greta duduk, sang earl – pria yang duduk di kursi roda itu, mendekati sebuah meja kayu seolah hendak mendapat posisi yang tepat untuk bisa melihat seisi ruangan, sebelum mulai berbicara.
“Kau mungkin pernah mendengar rumor yang beredar tentangku..”
“Ya, aku mendengar beberapa.”
“Aku menyesal harus mengatakan kalau beberapa rumor itu memang terbukti benar – bahwa aku seorang earl yang cacat. Dan aku lebih senang berada di dalam sini ketimbang harus membaur dengan orang-orang di kalangan bangsawan. Tapi jangan salah paham tentangku. Aku sama sekali bukan seorang p****************g seperti yang dikatakan rumor itu. Aku menyukai privasi, hanya saja orang-orang lebih suka bergosip dan merusak ketenangan orang lain, bukan begitu?”
Sebastian – pria berambut pirang itu menatap sang earl kemudian berdeham, seolah-olah meminta laki-laki itu melewati basa-basi dan langsung menyentuh inti masalah mereka. Greta bisa saja salah lihat, tapi ia cukup yakin kalau ia menangkap senyuman yang dilemparkan sang earl pada temannya.
“Jadi begini situasinya, Lady. Aku merencanakan sebuah pertemuan dengan teman-temanku, dan kami semua akan bertaruh. Sayangnya dengan kondisiku yang seperti ini, aku tidak akan bisa mengikuti taruhan itu. Jadi aku mengutus Sebastian untuk menggantikanku.”
“Dan tidak ada seorangpun yang tahu kalau dia bukan..” Greta melirik ke arah Sebastian kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya kembali pada sang Earl. Pria itu sangat tidak enak dipandang saat sedang kesal.
“Tidak ada siapapun yang tahu,” Cleveland menyetujui. “Kami berencana untuk melanjutkan semua itu kalau saja insiden di perpustakaan itu tidak terjadi.”
Tiba-tiba Greta merasa malu, tapi ia juga kesal karena menjadi bagian dari orang-orang yang ditipu oleh laki-laki itu.
“Kau membohongi semua orang..” tuding Greta dengan kesal.
“Kau juga begitu,” timpal Sebastian secara defensif. Laki-laki itu melangkah maju, tubuhnya dicondongkan ke arah Greta dan seketika membuatnya membeku. Cleveland yang menyadari ketegangan itu cepat-cepat menengahi mereka dengan berkata,
“Melihat situasinya, kita berada di posisi yang sama, Lady Summers. Aku sama sekali tidak melihat penyamaran Sebastian akan merugikanmu. Dia datang kesana untuk menyelesaikan urusanku dengan para Lord.”
Ya, tapi pria itu membuatku berpikir kalau aku telah menjerat mangsa yang tepat! Greta hendak meneriakinya, tapi hanya duduk diam dengan kaku, tahu bahwa jika ia menyuarakan itu dengan keras, sang Earl akan menanyakan maksudnya. Segera setelah Greta mengungkapkan semua itu, sang Earl mungkin akan membencinya.
“Jadi.. aku akan sangat menghargainya jika kau bersedia menjaga rahasia ini tetap tertutup sampai aku memutuskan untuk membukanya.”
Greta menyipitkan kedua mata dengan skeptis. Ia masih tidak percaya kalau pria itu – Sebastian – berhasil mengelabui Greta dengan identitasnya.
“Tolong jangan melimpahkan kesalahan ini pada Bastian. Dia hanya menjalankan apa yang kuperintahkan, dia sama sekali bukan seseorang yang mencetuskan ide itu. Hanya saja..” sang earl menghela nafas. Kini bukan hanya Greta yang menatap laki-laki itu, tapi Sebastian juga, seolah-olah mereka sudah mengantisipasi apa yang hendak disampaikan oleh sang earl. “.. seperti yang kau tahu, dia agak sedikit.. terbawa suasana ketika mengerjakan tugasnya..”
Sebastian memelototi yang earl dan kali ini Greta tidak mungkin salah menangkap senyuman tipis yang tersungging di bibir Cleveland. Hubungan mereka sebagai teman agak sedikit aneh.
“.. dan mungkin..” Cleveland melanjutkan dengan suara yang tenang dan teratur. “.. mungkin kau juga begitu, Lady Summers.”
Wajah Greta terasa panas. Ia malu untuk mengakuinya, tapi pria itu tidak sepenuhnya salah.
“Tapi tentu saja aku tidak ingin berspekulasi. Untuk itulah aku mengundangmu kesini. Aku ingin tahu penjelasan mengapa kau mendatangi Sebastian di perpustakaan malam itu. Apakah ada sesuatu yang begitu menganggumu hingga.. kau tahu.. rumor sudah tersebar dan untuk menyelesaikan masalah ini, aku benar-benar perlu mendengarnya darimu.”
Greta menatap sang earl kemudian Sebastian secara bergiliran. Ia ragu-ragu, terutama ketika Sebastian juga ada disana. Bagaimana mungkin Greta dapat menyampaikan alasan apapun ketika Sebastian ada di dalam ruangan yang sama dan berusaha menerjemahkan perasaannya atau bahkan bersiap untuk menudingnya sebagai pembohong ulung. Sang Earl tampaknya menyadari ketidaknyamanan itu karena segera setelah melihatnya, pria itu menatap temannya dengan lurus dan berkata,
“Kau boleh meninggalkan kami sekarang.”
“Apa? Tidak. Aku tinggal. Aku berhak untuk mendengarnya juga.”
“Ya, tapi aku melihat kehadiramu disini membuat Lady Summers merasa tidak nyaman.”
Sebastian hendak membantah sang earl, tapi dengan cepat mengurung niatnya. Rahangnya kembali mengeras dengan kesal sementara kedua tangannya terkepal. Ketika Cleveland tidak kunjung memberinya kesempatan untuk tetap tinggal, Sebastian akhirnya mengalah dan melangkah pergi meninggalkan ruangan. Greta sempat merasakan tatapan pria itu menusuknya saat berjalan melewatinya. Sampai ia mendengar pintu digeser menutup, Greta baru bisa bernafas lega.
“Aku minta maaf soal itu,” ucap Cleveland dengan sopan. “Terkadang dia bisa menjadi sangat keras, tapi itu bukan kebiasaannya. Sekarang, berhubung rumor ini mengamcam reputasimu, aku ingin kau mengatakan padaku yang sebenarnya alasan mengapa kau melakukan semua itu.”
“Aku tidak..”
“Lady..” potong Cleveland. “Aku tidak bodoh dan aku mengenal sahabatku. Dia mungkin agak ceroboh menyangkut masalah hatinya, tapi dia cukup waras jika hal itu menyangkut tanggungjawabnya. Dia tidak mengambil keuntungan darimu, aku tahu itu secara pasti. Dan jangan salah paham! Aku tidak menyalahkanmu dalam situasi ini. Aku hanya berusaha menolongmu. Reputasiku sudah buruk di kalangan ton, skandal ini tidak akan berpegaruh besar untukku. Tapi kau.. reputasimu adalah satu-satunya yang dipertaruhkan disini. Aku tahu itu tidak adil mengingat aku juga membohongi kalian semua tentang identitas kami, tapi aku tidak melihat hal itu dapat merugikan atau merusak reputasi siapapun kecuali diriku sendiri. Jadi jangan berusaha untuk mengelaknya dariku.”
Greta duduk dengan gelisah di atas sofanya. Ia menatap laki-laki itu selagi menimbang. Apakah ia benar-benar bisa memercayai sang Earl – pria yang baru saja dijumpainya. Rasanya tidak masuk akal, tapi bagaimanapun Greta sudah merusak reputasi pria itu karena keputusan gegabahnya. Sekarang orang-orang di kalangan ton tidak akan menyebut Greta tanpa mengaitkannya dengan Cleveland dan meskipun mereka dikaitkan dengan satu skandal yang sama, reputasi Greta-lah yang paling dipertaruhkan disana.
“Apakah aku bisa memercayaimu untuk tidak menyebarkan informasi apapun yang kusampaikan padamu setelah ini?”
“Kau bisa memercayaiku sepenuhnya. Aku menjamin kalau infomasi itu tidak akan pernah keluar dari dinding tebal ruangan ini.”
“Termasuk temanmu?”
“Sebastian?” Sang Earl mengerutkan dahinya. “Itu agak sulit. Aku bisa saja menyembunyikan ini darinya, tapi aku tidak bisa mencegahnya kalau dia memutuskan untuk mendesakmu mengatakan alasannya.”
“Aku mengerti.”
Greta menundukkan kepala menatap lantai kayu itu. Ia masih ragu-ragu untuk mengatakan kebenarannya pada sang earl, namun penerimaan laki-laki itu membuatnya sedikit lebih tenang. Setelah mengetahui kalau Greta berniat untuk mengelabuinya, sang earl mungkin akan marah besar, tapi apa yang bisa menjadi lebih buruk dari itu? Pada titik ini Greta sudah tidak memiliki apapun lagi untuk dipertaruhkan.
Akhirnya, setelah membulatkan tekad, Greta menegakkan punggungnya dan menatap laki-laki itu dengan berani. Ia mengungkapkan semua rencana busuknya pada laki-laki itu tanpa niat untuk menyembunyikan detail sekecil apapun. Greta sudah siap untuk menghadapi kemarahan laki-laki itu. Ia tahu betul bahwa tidak ada jalan untuk kembali dalam situasi ini.
Sebastian menunggu di luar dengan kesal. Sudah hampir satu jam sejak Arthur mengusirnya keluar dari ruangan itu dan ia belum melihat tanda-tanda kemunculan Greta. Sialan, apa yang mereka bicarakan sebenarnya?
Seorang pelayan berusaha menghiburnya dengan menawarinya teh dan camilan. Berhubung Sebastian belum melahap apapun sejak pagi tadi, ia tidak menolak. Tapi, selera makannya langsung hilang ketika melihat Greta keluar dari ruangan itu dengan wajah pucat. Pada saat itu, perut Sebastian melilit. Apa yang disampaikan Arthur hingga membuat wanita itu begitu linglung? Sebastian berniat untuk memastikannya secara langsung, jadi ia meninggalkan santapannya dan pergi menghampiri sang lady.
Greta kelihatannya hendak pergi dengan terburu-buru. Wanita itu berjalan cepat menghampiri kereta kuda yang sudah menunggunya sebelum Sebastian menghentikannya di tengah-tengah lorong. Tapi pada saat itu, Greta sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Menatapnya saja enggan dan karenanya kekesalan yang dirasakan Sebastian kian menjadi-jadi.
“Apa yang dia katakan padamu?” tuding Sebastian tanpa basa-basi.
“Bukan apapun.”
Sebastian tidak memercayainya sedikitpun. Setelah wanita itu menipu dan merayunya, bagaimana mungkin Greta berpikir dirinya dapat mengabaikan Sebastian juga? Sebastian terlalu keras kepala untuk membiarkan wanita itu menginjak-injak harga dirinya.
“Itu tidak kelihatan seperti ‘bukan apapun’.”
“Oh?” Kini sang Lady menghentikan langkahnya, kemudian memutar tubuh hingga berhadap-hadapan langsung dengannya. Ekspresi wanita itu tidak lagi terlihat takut, malahan Greta tampak seperti sedang menantangnya. “Kupikir kau hanya menjalankan tugasmu. Kenapa aku harus memberitahumu, toh.. kau bukan pria yang kurusak reputasinya..”
Sebastian menggertakkan giginya dengan kesal. “Memang bukan, tapi aku pria yang kau rayu. Aku pria yang kau datangi di tengah-tengah ruangan yang gelap sementara kau hanya mengenakan piyama tipis itu. Aku pria yang kau cium..”
“Cukup!”
Sudut bibir Sebastian sedikit terangkat saat menyadari bagaimana wajah Greta tiba-tiba merona malu. Sementara wanita itu berusaha menghindari tatapannya, Sebastian mendekatinya hingga mereka berada begitu dekat untuk bisa merasakan panas yang menguar dari tubuh mereka masing-masing.
“Jadi.. beritahu aku apa yang dia katakan padamu!”
“Dia bilang dia akan membereskannya.”
“Bagaimana tepatnya dia akan membereskannya?”
“Aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku rencananya.”
“Tidak mungkin. Kalian berada di ruangan itu selama satu jam, aku yakin itu waktu yang cukup lama untuk menyampaikan banyak hal.”
Greta mengangkat wajahnya, kedua matanya menatap Sebastian dengan tajam. “Aku mengatakan padamu yang sebenarnya.”
“Baiklah, kalau begitu apa yang kau katakan padanya?”
Kini Greta berdiri dengan linglung. Tatapannya jatuh ke arah yang tidak menentu. Tidak sulit bagi Sebastian untuk menilai ekspresinya saat wanita itu mulai berbohong.
“Aku hanya mengatakan kalau apa yang terjadi.. diantara kita.. hanyalah tidakan gegabahku saja..”
“Bohong.”
Sang Lady membeku, kedua matanya terpaku pada wajah Sebastian dan ekspresinya tampak tertutup.
“Aku tidak berutang penjelasan apapun padamu. Kupikir urusan kita sudah selesai, jadi permisi..”
Sebastian tidak bisa mencegah kepergian wanita itu. Meskipun begitu, satu bagian dalam dirinya tahu bahwa Greta merasa terpengaruh. Ada sesuatu yang jelas-jelas masih disembunyikan wanita itu darinya, dan Sebastian mengalami desakan kuat untuk mengetahui alasan mengapa Greta mendatanginya malam itu di perpustakaan. Fakta bahwa Greta tidak cukup memercayai Sebastian untuk mengungkapkan rahasianya membuat Sebastian merasa kecewa. Namun, Sebastian tahu bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Tiga hari terakhir sejak mereka tertangkap basah di perpustakaan itu, Sebastian menjalani harinya dengan menahan desakan untuk berada dekat dengan Greta hingga membuat tubuhnya terasa sakit. Ia tidak bisa menyingkirkan wajah Greta dari kepalanya barang sedetikpun. Bahkan semalam, Sebastian terbangun dari tidurnya dengan perasaan gelisah sekaligus mendamba. Bagaimana mungkin ia begitu membenci seseorang dan menginginkannya di waktu yang bersamaan?
Pagi tadi ketika Sebastian melihat Greta turun dari kereta kudanya, ia merasakan sengatan akan kebutuhannya muncul kembali. Greta tampak seperti penampakan yang tidak ingin diingatnya. Namun Sebastian mengamati beberapa hal berubah dari penampilannya. Greta tidak berpakaian rapi. Wanita itu tidak repot-repot merias wajahnya atau memajang aksesori di sekujur tubuhnya. Ia tampil lebih sederhana yang anehnya membuat wanita itu terlihat semakin menarik untuk Sebastian.
Sialan, Greta!
Rasanya sulit untuk mengabaikan keberadaan wanita itu – lebih sulit lagi ketika Sebastian harus menatapnya. Greta mengingatkannya akan momen singkat yang sulit untuk dilupakan; momen ketika wanita itu menyibak piyama tidurnya hingga memperlihatkan gundukan lembut payudaranya yang mengundang untuk disentuh. Sementara tatapannya terpaku disana, tenggorokannya sarat akan gairah. Kemudian sebelum sempat pulih dari apa yang baru saja disaksikannya, pada detik berikutnya, Sebastian merasakan bibir wanita itu di bibirnya, tangan wanita itu melingkari pundaknya, menahan tubuh Sebastian tetap dekat hingga Sebastian bisa merasakan kulit telanjang Greta di atas kain pakaiannya. Desakan untuk menjauh, sama besarnya seperti desakan untuk menarik Greta lebih dekat. Karena kendalinya tidak cukup kuat, gairahnya-pun menang. Sebastian tidak menyambut, tapi juga tidak menolak Greta, alih-alih berdiri membeku, terkejut oleh keintiman yang muncul secara tiba-tiba itu – di tempat dan waktu yang salah. Baru pada saat ia mendengar seseorang menyerukan tudingan kasar padanya, kewarasannya kembali. Dan pada detik itu, Sebastian baru menemukan kekuatan untuk mendorong Greta menjauh.
Rasanya momen itu sudah berakhir sejak beberapa hari yang lalu, tapi Sebastian tidak bisa melupakannya begitu saja. Faktanya adalah, Sebastian menyukai sentuhan itu sebanyak yang bisa diberikan Greta. Ia akan menyambut kesempatan yang sama jika situasinya berbeda. Dan sekarang, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang mendapati wanita itu membencinya.
Aku akan menikahi pria yang memiliki gelar. Itu yang kuinginkan.
Kalimat yang disampaikan Greta itu masih terus terpatri dalam benaknya. Bagaimana mungkin Sebastian dapat melupakannya begitu saja? Itu merupakan satu-satunya hal yang membebaninya selama ini. Dan ketika ia sudah bersedia untuk melepas harapannya pada wanita itu, Greta justru menjebaknya dalam perangkap yang membuat Sebastian tidak akan merelakan harapannya lagi – tidak setelah wanita itu memberinya ciuman yang tergesa-gesa.
Sebastian pergi ke ruangan Arthur sembari memikirkan semua itu. Tidak ada yang lebih membuatnya marah ketika mendapati sang Earl sedang duduk tenang menikmati santapannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Ah, Bastian!” sapa Arthur dari kursinya. “Duduklah. Mr. Jullian baru saja membawakan pai kalkun kesukaanmu.”
“Aku sedang tidak berselera makan,” ujar Sebastian sembari berjalan melintasi ruangan. Ia telah memilih tempatnya yang menghadap ke arah jendela. Dari sana, Sebastian menyaksikan kereta yang ditumpangi Greta bergerak menjauhi properti Cleveland.
“Sayang sekali,” gumam Arthur sembari melahap pai kalkun dalam potongan besar. “Ini enak sekali.”
Sebastian berdeham menghadap sang Earl. Sementara jari-jarinya ditautkan di belakang pinggul, ia menatap laki-laki itu dengan skeptis.
“Jadi? Apa yang dia katakan?”
Arthur mengangkat kedua alisnya dan mulai memerankan sosok bodoh yang selalu dibenci Sebastian setiapkali laki-laki itu berusaha menyebunyikan sesuatu darinya.
“Apa?”
“Kau tahu apa yang kubicarakan. Mari kita langsung melompat pada intinya saja.”
“Kenapa kau tidak duduk..”
“Kenapa kau tidak katakan saja padaku tentang apa yang dia sampaikan padamu!” tukas Sebastian dengan kesal.
Arthur meletakkan potongan pai kalkun kembali ke atas piringnya kemudian menunduk ke arah kursi kosong di seberang ruangan. Dengan tampang dingin yang serius, laki-laki itu menegaskan.
“Duduk!”
Mereka saling menatap untuk waktu yang lama sebelum Sebastian mengerang dan akhirnya menurut untuk duduk disana. Pada saat itu, sang earl membawa kursi rodanya bergerak mendekati Sebastian hingga mereka hanya berjarak beberapa meter jauhnya.
“Menurutmu, mengapa dia mendatangimu malam itu?”
Dengan kesal, Sebastian memutar bola matanya. Seolah basa-basi tentang pai kalkun itu saja tidak cukup. Arthur bisa menjadi sangat menyebalkan. “Aku tidak tahu, itu sebabnya aku bertanya padamu.”
“Aku ingin tahu apakah kau menyukainya?”
“Greta Summers?”
“Kita sedang membicarakannya sejak tadi.”
“Tidak, sudah kukatakan padamu aku tidak menyukainya. Kenapa kau bertanya?”
Arthur mengangkat wajahnya selagi menilai. Dari caranya bersikap Sebastian berpikir kalau Arthur tidak memercayainya sedikitpun.
“Tidak apa-apa..”
“Jadi?”
“Dia mengatakan bahwa tadinya dia berpikir itu akan jadi sesuatu yang menyenangkan untuk menggoda seorang earl..”
Sebastian mendengus keras. “Kau percaya itu?”
“Aku percaya semua yang dikatakannya. Apa yang membuatmu berpikir sebaliknya?”
Tertegun, Sebastian menimbang bahwa ia tidak akan termakan umpan Arthur kali ini. Arthur mungkin orang terdekatnya sejak dulu, tapi Sebastian tidak akan membiarkan Arthur merasuki pikirannya untuk mengetahui semua yang ia rasakan tentang Greta Summers kali ini. Jadi, alih-alih mengelak, Sebastian melempar pertanyaan.
“Jadi apa rencanamu?”
“Bukan sesuatu yang besar,” Arthur menjawab sembari memutar kursi rodanya membelakangi Sebastian. Laki-laki itu kembali menghampiri meja kerja dan bersiap untuk kembali pada tumpukan kertas di atas sana.
“Apa artinya itu?”
“Artinya aku akan berusaha semampuku untuk membersihkan reputasinya.”
“Kenapa kau mau repot-repot membantunya?”
Sembari menatapnya datar, Arthur balik bertanya, “kenapa kau mau repot-repot bertanya? Kau boleh berpaling dan melanjutkan hidupmu jika kau mau. Ini masalahku dan aku akan membereskannya.”
Bangkit berdiri, Sebastian mengamati sang earl yang bersikap tidak acuh. Ia sudah cukup mengenal Arthur untuk tahu ketika ia harus pergi meninggalkannya sendirian. Tapi Sebastian juga tahu kalau Arthur tidak sepenuhnya mengatakan apa yang terjadi. Dan karena Sebastian tidak mau berdebat, ia memilih untuk beranjak pergi meninggalkan ruangan. Namun ketika Sebastian sampai di ambang pintu, Arthur menyerukan sesuatu padanya.
“Besok temui aku di kaki bukit, sudah lama kita tidak memanah bersama.”
Segera setelah mendengar perintah itu, Sebastian berlalu pergi dan menutup pintu di belakangnya. Wajahnya memerah saat ia berjalan menyusuri lorong. Ia berencana untuk menghabiskan waktunya di bar, dan kalau perlu ia akan mendatangi Greta dan memaksa wanita itu untuk mengungkapkan kebenarannya.