Bab 3

3229 Words
Kediaman Lady Daphne Frances, adik tiri dari William Somerset, Earl of Somerset, tidak kecil sama sekali. Sang Lady memiliki lahan yang begitu luas untuk menyambut tamu yang datang jika dibandingkan dengan manor yang ditempati Cleveland. Bangunan besar yang tersusun dari bebatuan kokoh itu berdiri persis di atas bukit, dengan pondasinya yang jika dilihat dari jauh terkesan sedikit miring. Bangunannya tertutup oleh kabut tebal dan pepohonan tinggi. Gerbang depan telah dibuka lebar seolah siap untuk menyambut para tamu. Dan ketika kereta yang ditumpangi Sebastian sampai di dalam sana, ia melihat ke sekelilingnya dan merasa terkesan. Ada dua kolam di halaman depan. Jalanan masuknya cukup besar untuk memuat tiga atau empat kereta kuda yang masuk sekaligus. Dinding batunya memiliki bentuk arsitektur yang menarik. Tidak seperti manor Cleveland, bangunan itu sedikit menjulang ke atas, dengan kedua sisi sayap bangunannya yang lebar. Terdapat sebuah kaca jendela dari ruangan yang menghadap persis ke halaman depan, sementara itu, masih banyak ruangan lainnya di sayap utara maupun selatan. Bangunan kuno yang menarik juga dikelilingi oleh taman yang mengarah langsung ke perbukitan. Di halaman depan, ada dua kolam pancuran air dengan patung batu berbentuk wajah sosok wanita yang sudah terlihat. Sementara itu, tak jauh dari manor sebesar itu, ada pondok lain yang biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul. Bangunannya tidak lebih besar dari manor itu sendiri, tapi tetap merupakan bagian dari manor. Para tamu yang datang harus berjalan sekitar dua ratus meter untuk sampai di pondok, disanalah ia melihat cahaya membanjiri sebuah danau yang terbuka. Semburat keemasannya menyajikan gambaran indah pepohonan yang membingkai tebing setinggi tiga meter yang membatasi kawasan manor dengan lahan terbuka di luar sana. Di dekat danau ada sebuah perahu layar yang ditautkan di pinggirannya. Perahu itu tidak besar, hanya saja cukup untuk menampung dua orang dewasa di atasnya. Danau mengarah persis menuju hutan yang dikatakan Arthur akan menjadi tempat berburu. Kabut musim panas bergerak menjauh perlahan ketika cahaya terang sinar matahari mulai membanjiri puncak-puncak pohon yang menyembul dari balik bukit tinggi. Sebastian turun dari kereta kudanya dan mendapati tiga kereta kuda lain sudah berjejer mengantre disana. Di dekat pondok, lima orang Lady sudah berdiri dengan gaun rapi mereka, tersenyum dan siap untuk menyambut mereka. Dua diantaranya adalah adik William: Daphne dan Anne. Sementara tiga orang Lady lainnya tampak asing. Sebastian mengamati mereka satu persatu. Arthur tidak mengatakan sesuatu tentang para Lady yang juga akan hadir dalam pertemuan itu. Namun perhatiannya telah tertuju pada wanita yang mengenakan gaun satin berwarna biru pucat yang berdiri di sudut paling kiri. Bertubuh ramping dan memiliki rambut ikal bergelombang sewarna coklat kayu dan sepasang mata hazel yang indah. Sekilas, Sebastian menangkap senyum di bibirnya yang lembut dan merah merona. Sementara gaun satin yang digunakannya menyingkap kulit halus tak bercela dan lekuk lehernya yang sempurna. Sebastian mengatupkan rahangnya dengan keras, nyaris tidak menyadari saat Lady lain berusaha meyapanya. “Aku Daphne Frances, adik William,” ucap Lady Daphne yang berambut pirang. Wanita itu cantik, bertubuh mungil, dan memiliki ekspresi yang ceria. Sebastian langsung menyambut tangan sang Lady dan menunduk untuk menciumnya. Dari sudut matanya, ia masih mengamati Lady dengan dress biru yang berdiri tak jauh di belakang sang tuan rumah. Kalau Sebastian cukup jeli, ia yakin bahwa wanita itu sedang mengamatinya. “Saya Arthur, Earl of Cleveland.. sebuah kehormatan bisa hadir di kediamanmu, My Lady.” Sebastian melihat wanita dengan gaun biru satin itu terkesiap seolah baru saja mendengar petir di siang bolong dan ia mulai khawatir kalau sang Lady mengenali penyamarannya. Jika itu benar-benar terjadi, maka ia berada dalam masalah besar. Sialan, Archie! Laki-laki itu tidak mengantisipasi kalau-kalau salah satu dari Lady yang hadir disana akan mengenalinya. Namun, segera setelah wanita itu melangkah maju, kekhawatiran Sebastian langsung sirna. Dari tatapannya, ia menilai tidak ada kecurigaan dalam raut wajah sang Lady kecuali reaksi kejut yang ditunjukkannya di awal. Sang Lady menyambutnya dengan ramah seolah mereka sudah dimaksudkan untuk pertemuan dan sandiwara itu. “Lord Cleveland, sebuah kehormatan bisa menyambutmu di kediamanku. Izinkan aku memperkenalkan sahabatku, Lady Greta Summers, Anne, adikku dan dua lady disana, Sabrina dan Philippa.” Sebastian sedikit membungkukan badannya untuk memberi hormat, kemudian para Lady memberinya anggukan singkat dan tatapan penasaran seolah-olah mereka sedang melihat sesuatu yang sama sekali tidak familier. Itu bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat Arthur tidak pernah menghadiri pertemuan sosial selama dua belas tahun terakhir, wajahnya tentu terlihat asing dikalangan ton. “Para laki-laki sudah menunggu didalam kecuali Lord Caspian. Kau boleh bergabung di dalam, Lady Greta akan mengantarmu. Aku akan berada disini untuk menyambut tamuku yang lain jika kau tidak keberatan,” ucap Daphne. Kedua matanya menyipit saat cahaya matahari menyorot persis ke wajahnya, memperlihatkan sejumlah bintik-bintik hitam di hidungnya. Kalau Sebastian tidak salah ingat, Arthur mengatakan sang Lady memiliki darah Perancis di tubuhnya. Kakeknya merupakan seorang keturunan bangsawan asal Perancis yang kebetulan menikahi ibunya di Inggris, tidak mengerahkan jika Sebastian menangkap aksen Perancis yang masih kental dalam suaranya. “Tentu saja. Aku akan sangat senang ditemani oleh Lady Greta.” Sebastian menjulurkan satu tangannya yang kemudian segera disambut dengan hangat oleh Greta Summers, wanita yang dalam sekejap langsung mencuri perhatiannya. Ia membiarkan wanita itu membimbingnya menuju pondok tepat dimana teman-temannya – atau lebih tepatnya teman-teman dari klub rahasia Arthur, sedang berkumpul. Dan dalam perjalanan menuju kesana, wanita itu berusaha mengajaknya berbicara. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak mengira akan melihatmu disini, Lord Cleveland. Nyaris tidak satupun kalangan bangsawan yang dapat mengenali wajahmu.” Sebastian memandangi wanita yang berjalan di sampingnya selagi berusaha mengimbangi langkah Greta yang pelan. Ia tidak mau bergerak terburu-buru seperti biasanya dan membuat wanita itu tersandung. “Well, aku tidak begitu suka mengekspos diriku di kalangan bangsawan, Lady.. tapi musim berburu ini sangat sulit untuk dilewatkan begitu saja.” “Aku mengerti.. semua orang disini menyebutkannya: musim berburu. Kedengarannya menarik meskipun aku tidak bisa mengerti apa yang begitu menarik tentang bermain-main dengan senjata api.” Sebastian mengerutkan dahinya sebelum menanggapi. “Kalau begitu aku perlu meluruskan beberapa hal padamu, pertama, kami tidak selalu menggunakan senjata api ketika berburu, terkadang kami juga menggunakan anak panah dan pisau. Kedua, itu bukan sekadar ‘bermain-main’ seperti yang kau katakan. Berburu adalah tentang ketepatan dan kecakapan kami dalam menggunakan senjata untuk membidik sasaran yang tepat. Kesenangannya terletak pada saat kau berhasil mengenai sasaranmu tanpa menyebabkan penderitaan baginya.” Sang Lady mengangkat alisnya dan menunjukkan raut bingung seperti yang sudah Sebastian duga. Namun, perhatiannya terus tertuju pada wajah cantik wanita itu; sepasang matanya yang besar, tulang hidung yang menonjol, dan bibir lembut yang sedikit terbuka. Lady Greta adalah wanita mungil. Tingginya tidak sampai bahu Sebastian. Sebastian menilai berat tubuhnya pasti tidak seberapa, dan menilai dari kerutan tipis yang terlihat di bawah matanya, Sebastian berpikir bahwa usia sang Lady pasti lebih tua dari penampilannya. Mungkin sekitar pertengahan dua puluhan, tidak begitu muda, tapi juga tidak terlalu tua untuk Sebastian yang telah berusia tiga puluh tiga tahun kala itu. “Mengenai sasaran tanpa menyebabkan penderitaan..” sang Lady mengulangi. “Bagaimana kau bisa menyebutnya sebagai ‘tanpa menyebabkan penderitaan’?” “Karena, Lady..” Sebastian menjelaskan dengan sabar. “Bidikan yang tepat sasaran akan langsung membunuh mangsa dan tidak menyebabkannya menderita akibat luka parah.” Sebastian sudah mengantisipasi bahwa sang Lady akan tertawa, dan ketika mendengarnya, ia merasakan suatu sensasi aneh yang bergolak di bawah perutnya. Lady Greta tidak hanya cantik, ia juga memiliki suara tawa yang menarik. Rendah, dan terkesan terlalu menggoda untuk didengar, seolah-olah wanita itu sudah melatihnya sejak dulu. Kalau Sebastian tidak cukup cerdas untuk menangkap isyarat dalam ekspresi wanita itu, ia akan berpikir bahwa Lady Greta hanya berusaha untuk bersikap sopan. Tapi kenyataannya tidak. Sebastian tahu bahwa Lady Greta mengamatinya sejak tadi. Setiap pergerakannya merupakan sebuah isyarat dan Sebastian bisa membaca maksud terselubung dalam sepasang mata hazel yang telah memikat perhatiannya itu. “Baiklah, kurasa aku akan berhenti bertanya soal itu. Sulit untuk menerima bahwa kemampuan membidik yang tepat sama artinya dengan menyelamatkan mangsa yang malang itu dari penderitaannya. Bagaimanapun, mangsa itu akan tetap mati dan tidak ada yang dapat disyukuri tentang itu.” “Untunglah kami hanya menjadikan burung dan rusa sebagai mangsa – dan beruang jika kami cukup beruntung menemukannya..” “Oh, beruang! Kalian memburu beruang?” Kedua mata itu membesar. Lady Greta sempat berhenti sebentar, tapi kemudian melanjutkan langkahnya begitu teringat kalau para pria sudah menunggu kehadiran Sebastian di pondok itu. “Tidak selalu. Beruang bukan target utama kami,” jelas Sebastian untuk meredakan keterkejutan wanita itu. “Lagipula beruang sangat sulit ditemukan di hutan bagian selatan.” “Apakah tidak terlalu berbahaya? Bagaimana jika beruang itu menerkam kalian?” “Itu bisa saja terjadi,” Sebastian tidak mau berbohong. “Tapi itu tidak akan menghentikan kalian, bukan?” “Aku,” sudut bibirnya terangkat ketika Sebastian mengulas senyuman lebar. Ia mengamati bagaimana kedua mata Lady Greta membesar dan rona merah muncul di wajahnya yang anggun. “Hanya aku. Para pemburu yang cukup waras akan berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Sangat sedikit kemungkinan untuk menang jika mangsa itu seekor beruang. Terutama jika kau bertemu dengan induknya. Mereka adalah mangsa yang akan menyerangmu balik jika kau tidak cukup cakap dengan bidikanmu. Dan ketika beruang itu berhasil menerkammu, kemungkinan untuk tetap hidup sangat tipis.” “Hmm.. menarik.” “Apa kau baru saja mempertimbangkan diri untuk ikut perjalanan berburu kami, My Lady?” Greta Summers memaksakan senyum dibibirnya yang menarik perhatian. Sebastian bertanya-tanya berapa banyak pria yang sudah menyentuh bibir itu. Ia mengusir pikiran kotornya dengan cepat saat mengamati bagaimana reaksinya membuat wanita itu tersipu malu. “Kedengarannya cukup menyenangkan, tapi duduk di rumah untuk acara pesta minum teh lebih menjamin keselamatanku. Kehidupan mungkin tidak sempurna tapi aku memilih untuk tetap hidup dan berumur panjang, My Lord.” Sebastian tidak dapat menahan tawanya ketika mendengar ucapan itu. Sampai tidak terasa mereka sudah tiba di depan pintu pondok. “Nah sekarang tugasku sudah selesai. Mereka sudah menunggumu di dalam sana. Jika kau tidak keberatan aku akan pergi menyusul Daphne.” “Tentu, terima kasih sudah menemaniku, Lady Summers..” “Greta. Teman-temanku memanggilku Greta.” Sebastian. Kau boleh memanggilku Bastian. Namun kalimat itu hanya dapat tertahan di ujung lidah. Sebastian mengerti bahwa untuk mempertahankan sandiwara itu, ia harus tetap bersedia menerima perlakuan formal apapun. Arthur mungkin tidak akan setuju, namun sikap tidak formal akan membuat seseorang lebih mudah mengenali kedoknya. Oleh karena itu Sebastian memilih untuk membiarkan wanita itu memanggilnya dengan sebutan apapun yang digunakannya. “Baiklah, Greta.” “Dengan senang hati, My Lord.” Greta melenggang pergi meninggalkan Sebastian yang masih mengamatinya di depan pintu. Wanita itu sempat menatapnya dari atas pundak dan jika pengelihatannya masih cukup jelas, Sebastian tidak mungkin salah menangkap senyum yang diulas wanita itu, sebuah undangan yang begitu menggoda kalau saja ia tidak sedang berpura-pura. Darahnya mengalir deras ketika suatu emosi yang aneh kembali berpusar di bawah perutnya. Pikirnya, mungkin pertemuan itu tidak akan seburuk yang ia bayangkan di sepanjang perjalanan untuk sampai disana. Ia akan mengirim surat pada Arthur setelah ini dan mengatakan bahwa semuanya berjalan lancar – bahkan terkesan melebihi harapannya. Semoga itu benar. Lord Cleveland sama sekali tidak terlihat seburuk rumor yang beredar tentangnya – tidak sama sekali! Dan jika diminta untuk jujur, laki-laki itu tampak begitu menawan dan terkesan melampaui sempurna dengan parasnya yang rupawan, dan juga tubuhnya yang tampak seperti patung-patung pualam sosok dewa yang sering dipajang di museum-museum tua. Greta merasa seakan jantungnya melompat keluar begitu mendengar laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai sang Earl. Ya, Earl of Cleveland seperti yang tertulis dalam daftarnya. Awalnya Greta menduga kalau pria yang datang adalah Lord Caspian, namun jelas bahwa semua informasi yang dikumpulkan Greta mengenai sang Earl tidak sepenuhnya akurat. Faktanya, laki-laki itu tidak memiliki kecacatan sama sekali dan rasanya mustahil memikirkan pria seperti itu memilih untuk menghindari pertemuan dengan kalangan ton selama belasan tahun. Kalau Lord Cleveland hadir dalam setiap undangan pesta dan jamuan makan malam, Greta membayangkan akan banyak Lady yang bergelayutan di sampingnya, berusaha untuk mendekati sang Earl yang terkesan ‘sempurna’ dengan gelar dan juga parasnya yang menawan. Banyak sumber mengatakan kalau Lord Cleveland memiliki rambut dan sepasang mata gelap seperti almarhum ayahnya. Namun, pria yang dilihatnya benar-benar berbeda. Pria itu memiliki rambut ikal pirang yang sedikit panjang, sepasang mata biru yang cemerlang, dan belahan dagu dibalik janggut tipisnya yang berusia beberapa hari. Kulit wajahnya yang terbakar sinar matahari anehnya membuat pria itu tampak lebih memikat, seolah-olah pria itu baru saja keluar keluar dari neraka persembunyiannya dan menampakkan diri sebagai malaikat maut tepat di hadapan Greta dan tiga Lady lainnya. Melihat reaksi Daphne, Greta cukup yakin kalau sahabatnya itu juga memiliki pendapat yang sama mengenai sang Earl. Namun jika dipikir-pikir, reaksi Daphne selalu seperti itu terhadap semua tamu-tamunya yang datang, jadi belum tentu Daphne berpendapat bahwa Lord Cleveland-lah laki-laki paling menarik yang mengunjungi kediaman milik keluarganya pagi ini. Meskipun begitu, Greta penasaran tentang pendapat Daphne dan berniat untuk menanyakannya nanti. Sementara itu, Daphne Frances yang sudah berteman dekat dengan Greta selama hampir dua belas tahun sekarang, begitu mengenalnya untuk membiarkan Greta mendapatkan kesempatan mengobrol dengan sang Earl. Greta tahu bahwa Daphne bisa saja pergi bersamanya mengantar sang Earl sampai ke pondok, tapi Daphne tidak akan menghalanginya setelah melihat bagaimana cara Greta menatap Lord Cleveland kali pertama laki-laki itu menjejalkan kakinya di halaman rumahnya. Kalau saja pria itu tidak memperkenalkan dirinya sebagai Earl of Cleveland, hatinya pasti akan tertusuk oleh rasa kecewa mengingat tujuan awalnya datang kesana untuk mendekati Lord Cleveland. Bagaimanapun juga Greta merasa sedikit tenang saat mendapati sang Earl membalas tatapannya dengan cara yang sama. Masih terlalu dini untuk mengantisipasi sebuah ketertarikan di antara mereka, tapi Greta percaya bahwa ia hanya perlu mengerahkan sedikit usaha untuk mendekati laki-laki itu. Cepat atau lambat sang Earl akan menyukainya. Laki-laki itu tidak perlu mencintai Greta, ia hanya perlu menikahinya. Berdasarkan apa yang sudah dipelajarinya selama satu tahun terakhir, menggoda para lelaki dengan aura kecantikannya selalu ampuh. Greta percaya kalau Lord Cleveland sudah memerhatikannya. Tidak akan butuh waktu lama, Greta mengingatkan dirinya. Ia hanya memiliki waktu beberapa hari – paling lama seminggu sebelum musim berburu berakhir. Dan ia bertekad untuk mendapatkan Lord Cleveland bagaimanapun caranya. “Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Greta!” Ucapan itu membuyarkan Greta dari lamunannya. Ia memutar tubuhnya dari jendela dan melihat Daphne sudah berdiri di dekat pintu sembari tersenyum memandanginya. Greta yakin ia sudah menutup pintu kamarnya, namun ia sama sekali tidak mendengar suara ketukan pintu ataupun mendapatkan sebuah pertanda kehadiran Daphne disana. Pemikirannya tentang Lord Cleveland pasti sudah menyita perhatiannya sampai Greta tidak menyadari semua itu. Daphne yang blak-blakan tidak akan menyembunyikan sesuatu darinya. Greta sudah menebak kalau wanita itu akan menggodanya setelah ini. “Itu tentang Lord Cleveland, bukan?” Greta berjalan ke sisi kasur, tempat dimana ia sedang menjejerkan beberapa pakaiannya untuk jamuan makan malam yang akan diadakan beberapa jam lagi. Sudah hampir satu jam Greta berada di dalam kamar itu, sibuk memilin pakaian yang sekiranya akan menarik perhatian sang Earl, namun belum juga mengambil keputusan dan malah memandang keluar jendela, persis ke arah pondok di seberang sana. Greta bertanya-tanya apa yang dilakukan para laki-laki itu disana - selain mengobrol dan tertawa terbahak-bahak, tentu saja. Sejak Greta meninggalkan Lord Cleveland di depan pondok pagi tadi, ia bisa mendengar suara tawa yang keras dari dalam. Para pria bisa melakukan apa saja ketika mereka berkumpul disatu ruangan, termasuk mabuk-mabukan dan membuat begitu banyak suara gaduh dari percakapan mereka yang terkesan blak-blakan. “Ayolah.. Kakatan padaku!” desak Daphne ketika berjalan mendekati Greta dan menghempaskan tubuh di atas kasur. Sosok Daphne beberapa senti lebih tinggi darinya. Wanita itu memiliki rambut pirang dan sepasang mata hijau yang menonjolkan sosoknya yang hangat. Usianya dua tahun lebih muda dari Greta dan mereka sudah berteman akrab selama hampir dua belas tahun. Greta mengingat pertemuan pertamanya dengan Daphne dalam pesta perayaan valentine di Eastwood. Daphne pergi bersama dua kakak laki-lakinya William dan Francis. Mereka semua diizinkan berlayar di danau yang masih menjadi bagian dari properti Eastwood yang indah, bersama Mr. Bowels yang ditugaskan untuk mengawasi mereka. Greta masih kanak-kanak pada masa itu dan Daphne muda yang suka berbicara tidak pernah melepas tangan Greta karena ketakutan ketika perahu mulai bergerak di atas permukaan danau yang tenang. Daphne bisa melakukan apa saja, kecuali berenang. Wanita itu memiliki ketakutan jika mereka semua akan tenggelam, dan setelah hampir selama belasan tahun berteman baik dengannya, Greta menjadi semakin memahami dari mana ketakutan itu berasal. Daphne Frances yang ceria memiliki masa lalu yang mengerikan dengan salah satu kakaknya yang meninggal akibat tenggelam. Meskipun sudah lama berlalu, bahkan sampai sekarang, sang Lady masih menyimpan ketakutan yang sama. “Greta!” Desakan Daphne berhasil membuat wajahnya merona. “Ah, benar, kan!” “Apa yang kau pikirkan tentangnya?” Greta yang penasaran mengempas tubuhnya di atas kasur. Ia duduk persis di samping sang Lady. “Kupikir dia tidak seperti yang dikatakan kebanyakan orang..” “Itu juga yang kupikirkan.” “Tapi jelas kalau dia tidak polos sama sekali. Aku melihat caranya memandangimu tadi. Siapa wanita yang tidak akan meleleh ketika dipandangi seperti itu..” “Tidak, kau melebih-lebihkannya..” “Itu benar!” Daphne bersikeras, tubuhnya dicondongkan ke arah Greta. “Aku percaya dia juga sama tertariknya denganmu.” “Benarkah?” “Ya, sayang. Lihat saja nanti.” “Menurutmu apakah terlalu lancang jika aku mendekatinya?” “Tentu saja tidak. Kurasa Lord Cleveland tidak akan keberatan mengingat bagaimana cara dia memandangimu. Bahkan, aku yakin tanpa harus berusaha keras, dia akan melakukan hal yang sama padamu. Kalau kau mau, aku bisa membantumu.” Kini kedua mata Greta bersinar penuh harap. “Dan bagaimana persisnya kau akan melakukan itu?” “Itu mudah. Para Lord akan berkumpul di meja makan malam ini untuk membicarakan perjalanan berburu mereka. Dan aku juga berencana untuk mengajak mereka semua mengelilingi estat besok pagi. Kau punya kesempatan untuk bersamanya kalau kau mau, serahkan saja semuanya padaku, aku bisa mengaturnya.” Wajah Greta kembali bersemu karena malu. Wanita itu menundukkan kepalanya selagi menatap kuku-kuku jari di pangkuannya. “Ini konyol sekali. Aku tidak pernah meminta bantuan siapapun untuk mendekati seseorang.” Daphne mengibaskan satu tangannya di udara seolah-olah semua urusan itu sama sekali bukan suatu persoalan yang besar untuknya. “Jangan khawatir soal itu. Aku senang jika kau benar-benar bisa mendapatkan pasangan. Lagipula, kau sudah semakin tua dan kau harus segera menikah. Meskipun begitu ada banyak hal yang perlu kita gali lebih jauh tentang Lord Cleveland. Tidak satupun orang disini yang benar-benar mengenalnya. Aku berharap kau juga harus berhati-hati..” Greta tidak bermaksud menyepelekan hal itu, namun ia juga punya firasat bahwa sang earl sama sekali tidak berbahaya untuknya. Lord Cleveland mungkin memiliki kesan ‘liar’ dari penampilannya yang memikat, tapi Greta sudah berbicara dengannya pagi tadi. Meskipun singkat, ia mendapat kesan bahwa dari cara laki-laki itu menuturkan kalimatnya, sang earl tampak seperti orang yang cukup sopan, tidak tergesa-gesa, dan bahkan terkesan cukup santai. Bagaimanapun Greta perlu berbicara dengannya lebih jauh sebelum ia mengambil kesimpulan cepat tentang sang Lord. “Aku tahu..” ucap Greta sembari berjalan kembali mendekati kaca jendela. Ia memandang keluar sana, persis ke hamparan bukit tinggi yang mengarah langsung ke pondok. Diam-diam mengingat-ingat kembali wajah sang earl. Sempurna. Terlalu sempurna dan jauh di luar ekspektasinya. Greta khawatir bahwa kesempurnaan itu-lah yang nantinya akan menjadi senjata yang menyerangnya balik. Ia memerlukan antisipasi, jika tidak ia akan membiarkan sang earl melubangi hatinya begitu dalam. “Mungkin ini akan menjadi musim keberuntunganmu..” ucap Daphne dari seberang ruangan. Greta masih berdiri menatap keluar jendela. Ia berharap apa yang dikatakan Daphne benar adanya, meskipun peluangnya amat kecil. “Kuharap begitu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD