Sebastian tahu apa yang akan dihadapinya bahkan sebelum ia berjalan masuk melewati pintu kayu pondok itu. Di dalam ruangan yang temaram itu, para laki-laki dari klub rahasia Arthur sudah berkumpul dan membicarakan banyak hal yang telah dilewatkan Sebastian karena kedatangannya yang terlambat. Tidak satupun dari wajah mereka yang terlihat familier – satu pertanda baik untuknya. Namun, ia merasa cukup bijaksana untuk tidak berbicara banyak sehingga mereka tidak akan mencurigai penyamarannya.
Kali pertama Sebastian menginjakkan kakinya di pondok itu, ia merasakan udara hangat dari dalam ruangan langsung mendekapnya. Pondok itu memiliki kaca-kaca yang tinggi. Cahaya matahari yang menembus masuk membanjiri permukaan lantai marmernya yang terawat serta memberikan seberkas penerangan di lorong-lorongnya yang panjang. Ruang utama di dalam pondok itu memiliki gaya arsitektur yang bagus. Mereka memiliki lubang perapian yang cukup besar untuk menghangatkan seisi ruangan. Sofa berlapis bahan kulit disusun melingkar di sekitar perapian, dilengkapi oleh kursi-kursi kayu dan juga meja persegi di tengah-tengah ruangan. Ruangan itu mengingatkan Sebastian tentang ruang pertemuan para petinggi yang pernah dikunjunginya ketika ia masih bertugas di London sebagai komando prajurit perang. Sejumlah botol rum yang masih terisi penuh mengisi meja kecil di sudut ruangan. Beberapa lukisan dipajang di dinding ruangan dan tirai-tirai emas menggantung rendah di setiap sisi jendela.
Pajangan lilin di dekat perapian memperindah tampilan seisi ruangan. Lantai di bawah meja juga dilapisi oleh karpet hijau dengan ukiran yang sama persis seperti dindingnya. Sebastian mendapat kesan bahwa seisi pondok memiliki gaya arsitektur yang menarik dan terkesan feminim dengan semua pajangan dan tirai emas itu. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah suara berisik percakapan yang berasal dari ruang utama. Empat orang pria sudah duduk disana, tampak santai menikmati obrolan mereka. Sebastian mengamatinya satu persatu. Dua orang pria; satu yang berambut pirang dan satu lagi berambut coklat, terlihat sedang duduk berhadap-hadapan di atas sofa sembari tertawa keras dengan obrolan mereka. Sebastian mengamati wajah pria berambut pirang itu memiliki kemiripan yang identik seperti Lady Daphne Fances yang menyambutnya tadi. Jadi, pria itu pasti William Somerset, sang Earl. Sementara itu, laki-laki yang lebih muda, dengan tampilan yang lebih santai sedang duduk membelakangi Sebastian. Laki-laki itu tertawa ketika sang Earl melanturkan gurauannya. Di sudut lain ruangan, pria yang memiliki warna rambut dan kulit yang lebih gelap di antara yang lainnya dan juga wajah khas timur tengah, sedang berdiri di dekat perapian. Tatapannya tampak murung, dan jika diamati lebih baik, laki-laki tinggi yang memiliki tubuh besar dan bahu lebar itu seolah sedang memikirkan sesuatu. Dugaan terbaik Sebastian, laki-laki itu merupakan Clydesdale, Duke of Wellington yang terkenal pemurung.
Kehadiran Sebastian di tengah-tengah ruangan, telah menyita perhatian masing-masing dari mereka. Kini orang-orang itu langsung menatapnya. William adalah orang pertama yang berdiri untuk memberinya sambutan.
“Caspian? Kami sudah menunggumu...”
“Bukan, ini Cleveland,” sanggah Sebastian ketika melangkah keluar dari bayangan gelap lorong. Ia berdiri sembari mengulas senyum.
Laki-laki yang tadi sedang berbicara dengan William tertawa keras. Ia menghampiri Sebastian untuk memberinya sapaan hangat.
“Tebakanku, benar, kan! Kami sudah menunggumu, sobat. Aku Jeffrey, ini William dan Henry..” Jeffrey, Marquess of Donegall menunjuk ke arah laki-laki yang lebih muda itu. Ketika laki-laki itu ikut berdiri untuk menyambutnya, Sebastian langsung dapat menatap wajahnya dengan jelas. Laki-laki itu bahkan tampak lebih muda dari dugaannya, mungkin usianya masih belasan tahun. Tubuhnya kurus, tapi ia cukup tinggi dan berambut pirang. Mungkin sepupu atau keponakan William.
“Henry salah satu pelayan terbaik disini dan juga pelatih yang andal,” ujar William untuk mengoreksi dugaan Sebastian. “Dia pandai menggunakan busur dan senjata. Dan dia yang akan memimpin perjalanan berburu kita nanti..”
Sebastian mengangguk selagi mengamati Henry, diam-diam merasa penasaran tentang seberapa besar kemampuan laki-laki muda itu dalam menggunakan senjata.
“Dan pria di ujung sana..”
“Tidak perlu repot-repot memperkenalkan diriku, William.. aku bisa melakukannya sendiri..” potong laki-laki yang memiliki perawakan khas timur tengah itu. Laki-laki itu kini berjalan mendekati Sebastian dengan percaya diri. Ia mengulas senyumnya yang tampak ganjil dalam raut wajahnya yang serius dan langsung menjulurkan tangan selagi memperkenalkan dirinya. “Aku Clydesdale..” ucap Sang duke. “Kau boleh memanggilku Cly atau Dale.”
Kedua mata sang duke menyipit ketika mengamati Sebastian. Ia memiliki aura kuat yang memancar dari dirinya. Tatapannya menyelidik, namun ekspresinya tertutup. Sang duke berhasil membuat Sebastian merasa khawatir selama sesaat, namun ketika pria itu mengulas senyuman, tatapannya yang tajam tiba-tiba berubah menjadi hangat.
“Kau tidak seperti yang dikatakan kebanyakan orang tentangmu,” komentar sang Duke.
Rahang Sebastian mengeras, tubuhnya menjadi tegang. “Benarkah?”
Sang Duke melenggang ke arah sofa dan mengempaskan tubuhnya disana. “Jangan khawatirkan soal itu. Aku selalu membenci rumor sejak dulu.”
“Kita semua begitu,” timpal Jeffrey.
“Pilihlah tempat dudukmu, Cleveland!” seru William saat berjalan mendekati nakas di sudut ruangan. “Rum?”
Masih terlalu pagi untuk alkohol, pikir Sebastian. Arthur mungkin akan menolaknya, tapi Sebastian tidak.
“Tentu, terima kasih.”
“Jadi kau sudah bertemu dengan adikku, Daphne?”
“Ya.”
“Kuharap dia tidak mengganggumu..” William menjulurkan segelas rum yang segera disambut oleh Sebastian.
“Tidak, tentu saja tidak. Dia cukup ramah.”
Jeffrey tersenyum lebar kemudian menggoda William dengan berkata, “keluarga Somerset memang seramah itu, bukan?”
“Diamlah, Jeff!”
Alih-alih mengacuhkan peringatan William, Jeffrey malah melanjutkan. “Aku terkejut Daphne tidak mengundang semua orang ke rumahnya. Kudengar Somerset memiliki relasi yang cukup luas di seluruh penjuru Inggris..”
“Itu berlebihan. Orangtua kami memang tenar di kalangan ton, tapi itu sebatas bisnis saja. Kami bahkan jarang menghadiri acara sosial.”
“Itu tidak mengejutkan melihat sikap adik-adik perempuanmu yang canggung – kecuali Daphne, tentu saja. Dia sedikit berbeda, bukan begitu, Cleveland? Kurasa.. sedikit lebih bersemangat.”
“Tutup mulutmu! Sekali lagi aku mendengarmu menggoda adikku..”
Jeffrey tertawa puas. “Santai sedikit, Somerset! Pasti tidak mudah mengambil peran sebagai kepala keluarga, tapi ayolah.. aku hanya berusaha memuji adikmu yang luar biasa..”
William mendengus keras. “Kedengarannya tidak begitu.”
Jeffrey menyeringat lebar kemudian mengangkat gelasnya yang setengah kosong ke udara.
“Itu karena kau terlalu keras kepala untuk menerima pujian. Kau harus belajar untuk santai sedikit.. nikmati kunjungan ini. Ini sebuah kemajuan karena kita semua akhirnya bisa bertatap muka. Hanya saja kita perlu membuat pertemuan ini menjadi lebih berkesan..”
“Aku tidak membutuhkan ini, Jeff.. kubilang aku tidak akan menerima masukan apapun darimu sekarang.”
“Tidak, dengarkan dulu! Aku yakin Cleveland akan sependapat denganku..”
“Tunggu dulu tuan-tuan..” setelah lama terdiam, Sebastian menginterupsi percakapan itu sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Keberatan jika aku bertanya apa yang sedang kita bicarakan disini?”
“Hanya ide konyol,” ucap William dengan ketus.
Seolah memahami kesulitannya, Henry menjelaskan, “Lord Donegall bermaksud mengundang beberapa relasi untuk bertaruh permainan kartu..”
“Henry terlalu sopan,” sergah William. “Beberapa relasi yang dimaksud adalah musuh-musuh kita dikalangan ton. Jeffrey berpikir kalau akan jadi menarik jika kita mengundang mereka untuk taruhan. Dia begitu berambisi untuk mengalahkan Kit Martin setelah pria itu mempermalukannya di meja taruhan bertahun-tahun yang lalu. Kupikir ini bukan ide bagus mengingat betapa buruknya kelakuan si Amerika berengsek itu. Aku sendiri tidak ingin orang-orang itu menginjakkan kakinya di propertiku..”
“Kenapa tidak mendengarkan dulu pendapat Cleveland mengenai hal ini?” sanggah Jeffrey sebelum menatap Sebastian dengan penuh arti, seolah-olah sang Marquess berusaha mencari dukungannya. “Ini bukan hanya tentangku, ini tentang kita. Dia mempermalukanku di meja taruhan dan bermain curang. Kalau kalian lupa, dia dan pengikutnya juga memukuli Dale secara membabi buta di tempat pacuan kuda. Dan adiknya.. Adelaide – aku yakin Kit memengaruhi gadis malang itu untuk menyebarkan rumor buruk tentang Caspian dan Cleveland di surat kabar dengan menggunakan nama samaran. Kudengar Kit juga mengungkit sesuatu yang buruk tentang keluargamu..”
“Aku tidak tahu itu?” William menaikkan sebelah alisnya, tiba-tiba bersikap defensif sembari menegakkan tubuhnya di atas sofa.
“Oh ya, tentu saja Daphne tidak menceritakannya padamu..”
“Demi Tuhan, menceritakan apa?!”
“Intinya..” jelas Jeffrey dengan sabar. “Kit menyerang kita dengan cara kotor; menyebar rumor, bermain curang, dan memukuli Dale, dan kupikir sekarang sudah saatnya kita menyerang balik.”
“Dan kau berencana untuk menghajarnya habis-habisan di meja taruhan dan menjadikan propertiku sebagai wadah pertumpahan darah? Tentu saja tidak!” sergah William.
“Aku tidak mengatakan ingin menghajarnya habis-habisan. Aku tidak akan bersikap sebar-bar itu,” Jeffrey membenarkan. “Yang kukatakan adalah.. aku ingin membuatnya menyadari posisinya dan berhenti bermain curang. Dia selalu ditemani oleh antek-antek pendukungnya yang membuat dia menjadi lawan yang tidak sebanding. Dia ingin orang-orang takut padanya – dia sudah berhasil, tapi aku tidak akan diam saja. Dan karena kita semua berkumpul disini, dia akan menjadi lawan yang seimbang. Kita tidak akan melakukan lebih dari sekadar memeringatinya tentang siapa lawannya, itu saja.”
Sebastian tidak bisa menahan dirinya mengulas senyum pada sang Marquess. Persis seperti yang dikatakan Arthur, Jeffrey sangat pandai berbicara. Laki-laki itu dapat dikatakan selalu mendominasi percakapan mereka. Ia memiliki kemauan yang kuat dan sikap angkuh seorang bangsawan. Meskipun begitu, Jeffrey juga menjadi orang yang paling loyal dalam klub rahasia mereka. Arthur mengatakan Jeffrey bisa melakukan apa saja untuk membela orang-orang terdekatnya, termasuk memukuli Kit Martin – musuh mereka – secara membabi buta.
“Tidak,” William menolak.
“Cleveland?”
“Kurasa tidak ada salahnya memberi sedikit pelajaran pada musuh bebuyutanmu,” Sebastian menyetujui.
“Ah! Itu dia!” Jeffrey kembali mengangkat gelasnya di udara, Sebastian kemudian mengikuti gerakannya dan mereka membuat isyarat bersulang tanpa suara.
“Aku juga setuju!” suara itu datangnya dari arah lorong, dan tiba-tiba seluruh perhatian tertuju pada sosok yang baru saja muncul di balik bayangan gelap lorong. Satu lagi laki-laki berambut gelap, bertubuh tegap dengan paras yang tak bercela muncul di tengah-tengah mereka. Pria itu mengedarkan pandangannya yang skeptis ke sekitar kemudian senyumnya pecah begitu mendengar seruan Jeffrey di seberang ruangan.
“Ah, Caspian! Si hidung belang akhirnya datang.. Kami sedang berusaha mencari dukungan.”
Caspian berjalan melintasi ruangan dan tanpa kesulitan sang Viscount segera menemukan tempatnya di samping Sebastian. Pria itu sempat mengamatinya, kemudian berjengit selagi berkata, “sial, kupikir tampangmu lebih jelek dari kelihatannya.”
Sebastian tertawa keras, sementara William masih terus menggerutu.
“Aku tidak butuh ini.. aku tidak akan..”
“Jadi, kapan kau akan mengundang mereka?” potong Caspian dengan cepat.
William menggertakkan giginya dengan kesal. “Kubilang aku tidak akan..”
“Kau harus mengingat aturan nomor dua di klub ini, Will..” Jeffrey mengingatkan. “Suka atau tidak, suara terbanyak yang akan menang.”
“Dale belum menyetujuinya..”
Sang Duke diam sebentar, kemudian menggindikkan bahunya dengan tidak acuh. “Secara jumlah, jelas kau sudah kalah suara, Will. Tidak ada gunanya menolak.”
“Dale benar.. Dan Henry..”
“Aku juga ingin melihat tampang si berengsek itu..”
Seluruh orang di dalam ruangan itu tertawa, kecuali William yang melayangkan pelototan sengit ke arah pelayan kebanggaannya. Meskipun begitu, Henry sama sekali tidak merasa gentar. Semua orang di dalam ruangan itu mengenal satu sama lain dengan begitu baik. Meskipun dapat dikatakan kalau pertemuan itu nyaris tidak pernah diwujudkan, namun mereka sudah berkomunikasi lama melalui surat-surat. William dan Jeff bertemu beberapakali dalam sejumlah kesempatan, begitupun dengan anggota lainnya. Namun bagi Arthur, pertemuan itu adalah yang pertama. Sayang sekali Arthur menolak untuk menunjukkan dirinya dan Sebastian mulai memahami hal itu.
Nyaris tidak satupun diantara anggota klub itu yang memiliki cacat fisik seperti yang dialami Arthur. Mereka lahir dan dibesarkan tanpa merasa kekurangan apa-apa. Mereka juga tidak memiliki kesulitan untuk membaur dalam kehidupan sosial dan tampaknya bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Arthur mungkin khawatir jika teman-temannya akan menjauh begitu mengetahui keterbatasan fisik yang dialaminya. Jelas bahwa Arthur ingin menciptakan suatu kesan tertentu di antara pria-pria dalam klub rahasianya ini. Arthur ingin mereka melihatnya sebagai sosok bangsawan normal tanpa satu kekurangan apapun. Selama sebelas tahun, Arthur menyembunyikan fakta mengenai kondisinya dari mereka, dan Sebastian khawatir kalau kebohongan itu hanya akan berbalik menyerang Arthur nantinya. Namun, setelah berbicara dengan mereka sepanjang hari itu, Sebastian mendapat kesan bahwa mereka tidak punya asalan untuk meninggalkan Arthur sekalipun Arthur menguak kebenaran mengenai kondisinya. Bahkan, Sebastian sendiri mulai menyukai mereka. Tidak sulit bagi mereka untuk menerima Sebastian, dan karena Sebastian memiliki kebiasaan mudah bergabung dengan orang-orang, ia juga tidak menemukan kesulitan untuk membaur dalam lingkaran itu. Pikirnya, semua itu akan berjalan baik-baik saja. Ia hanya perlu membuat penyamarannya tampak lebih meyakinkan.