Rumah petak yang kami tempati posisinya paling ujung, nomor delapan. Kebetulan paling luas dan memiliki beranda depan. Biasanya jika dikontrak pada orang lain, harganya pun beda.
Tujuh rumah lainnya diisi pasangan muda. Kontrakan ini di design hanya untuk pasangan suami istri yang baru memiliki satu atau dua balita Para suami tetangga, rata-rata pekerja pabrik dan kuli pasar. Sementara para istrinya, hampir 24 jam berada di rumah. Berbanding terbalik dengan aku dan Tiara.
Entahlah mungkin aku terlalu kegeeran atau memang faktanya demikian. Setelah beberapa hari bertetangga dan berinteraksi, aku melihat ada sedikit perubahan pada gaya mereka. Para istri muda yang rata-rata cantik dan seger-seger itu, mulai sedikit aneh. Di saat para suami tidak ada di rumah, mereka sibuk berdandan dan berpakaian seksi.
"Kamu jangan terlalu dekat dengan ibu-ibu muda yang ganjen itu. Nanti kalau suaminya cemburu dan salah paham, akan timbul masalah baru. Ingat kita orang baru di sini." Istriku tiba-tiba mencak-mencak saat baru tiba di rumah setelah berbisnis di luar.
Tampaknya istriku mencium gelagat kurang baik dari para istri tetangga yang genit-genit itu. Atau mungkin mendengar bisikkan jahat dari para penggosip dan pengghibah yang tidak berbudi luhur.
"Mana mungkin, Sayang. Hanya kamu, wanita cantik yang mau menggodaku dan tetap setia menjadi istri lelaki miskin sepertiku."
"Ya! Saat ini kamu memang sedang miskin. Tapi kegantengan kamu gak berubah, malah tambah oke. Belum ada saingan di daerah sini. Mata-mata mereka selaku jelalatan ngelihat kamu. Wanita mana yang tidak tergoda brondong seganteng kamu?" Tiara memegangi daguku lalu mencium bibirku dengan mesra.
"Aku bukan brondong, Sayang. Aku ini suaminya Mutiara Kusuma Wardani. Wanita paling cantik dan shalihah yang pernah aku miliki," ucapku setelah membalas ciumannya.
"Hmmm, mereka tak akan peduli kamu punya istri. Perhatikan aja, mereka udah kaya orang kelaparan liat nasi, kalau mandangin kamu. Apalagi sekarang kamu sering aku tinggalkan." Tiara tetap dengan kecurigaannya.
"Hmmm kenapa si Sayangku, akhir-akhir ini jadi jutek dan sensi, jangan-jangan lagi ngidam, jadi cemburuan lagi, hehehe."
"Wajar, aku istrimu. Aku tahu bagaimana kamu dulunya. Walau sudah mantan, tetap aja jiwa playboy mu akan mudah bangkit kalau ada godaan dan kesempatan."
"Kenapa Sayangku meragukan cinta dan kesetiaan suamimu ini?"
"Will aku ini istrimu. Sangat tahu bagaimana sangean, hyper dan gak berdayanya kamu saat dilanda birahi. Kamu itu sangat gampang on dan gak pernah puas kalau cuma dikasih sekali."
"Oh my God! Sayang kenapa jadi ketus begini. Apakah aku ada tanda-tanda sebagai suami yang suka selingkuh?"
"Belum sih."
"Sayang, dulu saat kita punya segalanya, aku tak pernah kepikiran untuk berpaling darimu. Apalagi sekarang setelah tak punya apa-apa. Aku sudah cukup bersyukur masih punya kamu."
"Memang, keadaan ekonomi kita dulu jauh lebih baik. Dan hampir 24 jam kita selalu bersama. Lingkungan tempat tinggal pun sangat sehat, tak ada seliweran para pelakor. Tapi sekarang? Semuanya sangat berbeda. Di komplek kontrakan begini, pelakor itu kaya musuh dalam selimut."
"Sayang, please jangan curiga terus, nanti malah kejadian loh. Tapi aku tetap senang kok, dicemburi kamu. Asal jangan cemburu buta aja, hehehe." Aku tetap berusaha mencairkan ketegangan.
"Aku gak pernah cemburu buta. Tapi sudah ada selentingan yang masuk ke telinga. Beberapa suami tetangga, mulai tidak suka dengan kehadiranmu di sini. Mereka ketakutan istri-istrinya tergoda."
"Oh my God!" aku hanya terbelalak dan speachless.
Ketika berada di rumah dan istriku sedang tidak ada, aku tak pernah berinteraksi dengan istei-istri tetangga. Kecuali ada keperluan yang benar-benar sangat mendesak.
Namun merekalah yang makin gencar menggodaku. Mereka pun sering menjadikan teras depan rumahku, sebagai ajang kumpul untuk bergosip.
Aku tidak mungkin mengusir mereka. Walau bete, jengkel dan bosan, terpaksa membiarkan mereka dan hanya bisa mengurung diri di kamar. Ternyata itu pun masih dicurigai para suami.
Kini istriku sendiri yang tidak percaya dengan cinta dan kesetiaanku. Sedangkan aku, masih tetap percaya pada cinta dan kesetiaannya. Walau segala bentuk pelayanan istriku jauh berbeda.
Aku tetap memaklumi, berusaha bersabar dan mempertahankan segalanya. Istriku makin sibuk kesana kemari dengan ayahnya sendiri, hingga aku sering terbengkalai.
Riak-riak perdebatan yang kadang berujung pertengkaran kecil, mulai sering terjadi di rumah kami. Semua bermuara pada hal sepele yang semestinya tidak perlu jadi perdebatan apalagi pertengkaran. Cemburu buta yang kadang merembet kemana-mana.
Aku terus mencoba bersabar walau perubahan sikap istriku sudah mulai mengganggu pikiran. Dalam keadaan jiwa yang masih trauma dengan tragedi yang datang bertubi-tubi, kini aku pun harus menghadapi istri sendiri yang mulai tidak aku kenali.
Aku pernah mengajaknya untuk pindah kontrakan. Namun dia tidak mau. Takut aku semakin menjadi karena tidak ada yang mengawasi. Sungguh alasan yang tidak masuk akal.
Kini aku diawasi oleh Tendy, adik ipar ku, namun masih saja dicemburui setiap saat.
Sejujurnya aku mulai bosan dan jenuh. Jiwaku meronta ingin berontak.
"Wil, kamu emang gak cemburu atau curiga sama aku?" Tiara bertanya pada suatu malam sesaat setelah kami menyelesaikan putaran kedua mengarungi lautan kenikmatan surga dunia.
"Kenapa bertanya demikian?" Aku memeluk kepalanya di dadaku, "beri aku alasan agar bisa cemburu pada istriku?" lanjutku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh kami yang b***l, bermandikan keringat.
"Aku kan sering keluar rumah, hampir setiap hari malah. Terkadang juga menginap di tempat lain?" Tiara memelukku sambil menahan tanganku yang menarik selimut. Tampaknya dia tak ingin ada selembar kain pun yang menutupi tubuh kami.
"Bukankah setiap keluar, istriku selalu memberikan penjelasan dan alasan yang rinci? Bahkan nelpon hampir setiap jam. Kalau pun terpaksa harus menginap, bukankah ayah sendiri yang selalu memintakan izin pada suamimu ini? Haruskah aku tidak percaya pada ayahmu sendiri?" balasku dengan pertanyaan balik.
"Jadi selama ini, kamu gak pernah cemburu sama aku?" Wajah Tiara sedikit cemberut.
"Sayang, bukankah kamu yang selalu mengajarkan aku untuk tidak cemburu jika alasannya tak jelas." Aku memegangi dagu dan bibir istriku yang kini tidak bisa lagi aku nikmati setiap saat.
"Berarti kamu sudah gak cinta dong sama aku?" Tiara memegangi si Bangla yang sudah kembali berdiri tegak dan siap melaksanakan tugas untuk putaran yang ketiga.
"Hmmm, apakah cinta itu wajib cemburu? Aku tidak cemburu bukan berarti tidak cinta. Tapi aku sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan istriku. Aku bukan Dilan yang tak percaya diri, makanya dia sering cemburu sama Milea, hehehehe." Aku mencoba menggodanya.
Lawan main si Bangla pun mulai ikut-ikutan menggoda lagi.
"Makasih atas kepercayaannya, Sayang. Aku pun sekarang tenang ninggalin kamu. Aku tuh terlanjur percaya sama kamu dan terlanjur sayang sama si Bangla yang tak pernah mengecewakan, hehehe." Tiara semringah.
Malam ini, sepertinya dia benar-benar siap dengan keperkasaan dan keberingasan si Bangla yang pastinya tidak puas hanya dua atau tiga putaran.
"Emang malam ini, kamu berani berapa putaran?" Aku bertanya pada sarangnya si Bangla yang sudah kembali basah.
"Sejumlah jari tangan kanan tuan putriku, hihihihi." Tiara menjawab mewakilinya.
"Siaaaap Tuan Putri. Kebetulan malam ini si Bangla sedang membuka diskon besar-besaran. Minta lima dikasih sepuluh, hehehe." Jawabku sambil kembali merengkuh dan menindih tubuh istriku yang sudah siap kembali terbang ke awan biru.
"Aaaaaaaw, kebanyakan kalau delapan, Bangla...! tujuh kali aja deh, hihihi." Tiara menjawab terengah-engah.
"Siaaaap, begadang sampai pagi, yes!" Si Bangla berseru kegirangan mewakiliku. Dan malam pun berlalu dengan panas dan basah keringat. Ruang tengah, kamar tidur, dapur dan kamar mandi pun kembali berwarna dan memanas.
Setelah Shalat Subuh, aku segera merapikan seluruh ruangan rumah yang relatif sempit, walau tidak banyak furniture. Lalu aku pun mempersiapkan sarapan pagi. Tiara masih tidur dan aku sengaja tak mengganggunya.
Dia tertidur sangat pulas dan kelelahan. Semalam diajak berkeliling surga dunia hingga lima putaran. Si Bangla benar-benar lepas kendali setelah hampir seminggu menganggur dan hanya jadi dirigen lagu mars 'Halo-halo Bandung.'
Jam delapan pagi, aku membangunkan istriku, sesuai pesannya. Karena jam sembilan, dia harus sudah kembali pergi untuk urusan bisnis.
Sebenarnya hatiku mulai tak rela. Atau lebih tepatnya tak tega melihat kesibukan dan kelelahannya. Pergi pagi pulang sore kadang malam.
Sebagai suami, keadaan ini teramat menyakitkan. Namun harus bagaimana lagi. Ekonomi kami sedang acak-acakan dan Tiara pun masih tidak mengizinkan aku untuk bekerja di tempat lain.
"Sayang, mulai hari ini, kamu gak usah kerja bantu-bantu Mama Elma." Tiba-tiba istriku bicara mengejutkan.
Nasi goreng spesial yang sengaja aku buat untuk sarapan pagi, nyaris menyembur dari mulutku yang sedang mengunyahnya. Untung saja tangan kananku refleks menutup mulut.
Dengan wajah melongo dan mata sedikit terbelalak menatap heran istriku, "Why?" tanyaku pelan.
"Gak enak. Sudah mulai beredar selentingan gosip di tengah-tengah warga. Mereka mencurigai kedekatan kamu dengan mantan penyanyi dangdut itu." Tiara menjawab tak acuh seraya mengunyah sarapannya.
"Oh s**t!" Aku makin terbelalak.
"Dan kamu percaya begitu saja?" mataku makin membesar menatap wajah Tiara yang terlihat sangat anggun dalam polesan make up tipis natural.
Namun sayang, ekspresinya sangat dingin dan datar. Bertentangan dengan sinar mentari pagi yang cerah dan hangat.
Tiara menggelengkan kepala.
"Gak terlalu percaya. Cuma demi menjaga kehormatan keluarga, sebaiknya jangan bermain api. Lebih baik jaga jarak atau kamu akan terbakarnya nanti." Tiara menyesap teh hangat yang dengan sangat spesial, aku tambahkan sejumput gula pasir dan sekarung cinta.
"Sayang, aku tak pernah bermain api dengan Mama Elma atau siapa pun. Kecuali kalau lagi masak mie rebus. Itupun main apinya hanya sendirian, hehehe." Aku mengklarifikasi dengan candaan agar hangatnya pagi dan indahnya malam tadi, tidak mendadak hilang berubah jadi panas, tegang dan garing.
"Saat ini mungkin belum, tapi lama kelamaan kalau terus-terusan bersama, siapa yang bisa menjamin? Lagian ikut dengan dia juga gak terlalu berpengaruh. Gaji yang kamu terima pun tak seberapa. Bahkan tak mencukupi buat sekedar mengirimi bapak dan ibumu."
Deg! Jantungku sedikit tersentak. Tak menduga istriku akan bicara semenohok itu.
"Asragfirallah! Kamu bicara serius, Sayang?" tanyaku kemudian dengan jantung yang masih berdebar.
"Serius." Tiara menjawab simpel.
"Apakah kamu sudah mulai tidak nyaman bersuamikan aku lelaki pengangguran yang miskin ini?" Aku pasrah sambil melebarkan kedua tangan. Selera makanku sudah terbang entah kemana.
"Wildan, Sayang. Kamu jangan salah paham. Karena aku masih tetap ingin jadi istrimu dan gak mau kehilangan kamu, makanya aku melindungi keutuhan rumah tangga kita." Tiara menatapku serius, senyum manisnya kembali terbit di bibir indahnya.
"Aku gak mau, kamu diterpa lagi gosip tak sedap. Apalagi kalau sampai mengganggu rumah tangga kita. Aku hanya jaga-jaga sebelum semuanya terjadi. Yang pasti aku gak mau kamu terjerat syahwat para penggoda dan pelakor, siapa pun dia. Bukan hanya mantan artis dangdut saja." Tiara melontarkan kalimat bersayap.
"Aku bisa aja gak kerja di Mama Elma. Apakah kamu sudah bicara dengan Ayah? Terus apa yang harus aku lakukan? Ikut dengan kamu atau boleh mencari pekerjaan di tempat lain?" Aku makin pasrah, walau masih ada setitik harapan.
"Ayah udah setuju. Untuk sementara kamu tetap di rumah aja, anggap saja isolasi mandiri pandemi. Biar aku yang keluar dengan ayah. Sekali-kali coba datang lagi ke Polres, siapa tahu sudah ada perkembangan kasus penipuan itu." Tiara bicara lembut, seperti seorang ibu yang menasihati anaknya.
^^^