Hari ini, restaurant cukup dipadati pengunjung. Dan itu membuat Kiran benar-benar kewalahan hingga tak ada jeda sedikitpun untuk dirinya beristirahat.
Manager baru di tempat Kiran bekerja memperhatikan Kiran dari kejauhan tanpa wanita itu sadari. Hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan restaurant sudah mulai sepi dari pengunjung.
Kiran, Bella dan Rian mulai merapihkan dan mengelap setiap meja yang ada. Tiba-tiba, manager itu datang menghampiri Kiran yang sedang menaikkan kursi ke atas meja.
“Kiran? Benarkan?” Tanya pria itu.
Kiran menoleh segera, dahinya berkerut kala melihat pria yang berdiri di sampingnya itu.
“Iya ... maaf siapa iya?” tanya Kiran ragu.
“Ya ampun, Ki, udah lama banget gak ketemu. Gue Banyu, teman sekelas Rio waktu SMA,” jawabnya.
“Kak Banyu? Gimana kabarnya? Ngapain kak disini?” tanya Kiran yang baru saja teringat siapa pria dihadapannya itu.
“Alhamdulillah gue baik. Gue manager baru disini pengganti Derin. Dari tadi gue perhatiin, gue kira bukan lo Ki. Gimana kabar Rio?” Tanya Banyu yang tak tahu apa-apa mengenai masalah Kiran dan Rio.
Seketika senyum Kiran menghilang dari kedua sudut bibirnya mendengar nama Rio kembali. Gadis itu menatap Banyu dengan sendu dan kembali tersenyum. “Rio baik-baik aja ka.”
“Syukurlah,” balas Banyu.
Belum sempat Banyu bertanya lebih lanjut, tiba-tiba sebelah bahunya ditarik dari belakang dan dalam hitungan detik sebuah pukulan melayang ke wajahnya hingga Banyu tersungkur kebelakang.
“Astaga, kak Banyu,” pekik Kiran seraya berjalan cepat menghampiri Banyu. Banyu hanya tersenyum sambil menghapus sedikit darah di ujung bibirnya. Pria itu melirik pada Rian dan Bella yang sedang menatap ke arahnya dengan wajah terkejut, lalu memberi isyarat dengan gerakan matanya agar meninggalkan mereka bertiga untuk menyelesaikan masalah disana.
Kiran seketika menoleh dan menengadahkan kepalanya keatas, dan baru menyadari siapa yang memukul Banyu. Dia Rio, pria yang sedang berdiri dengan napas memburu itu, menatap tajam pada Banyu. Kiran segera berdiri dan menghampiri Rio yang terlihat akan menghampiri Banyu lagi, memegang lengan pria itu untuk menahan Rio berbuat lebih jauh lagi.
“Rio!! Apa-apa sih kamu?” bentak Kiran.
Rio balik menatap tajam pada Kiran lalu menyeringai. “Jadi ini alasan kamu mengakhiri hubungan kita?”
“Aku punya alasan lain, kamu gak bisa asal tuduh kaya gini!” Jawab Kiran dengan nada yang lebih tinggi.
Rio mendengkus kesal seraya berkacak pinggang. “Terus ... apa alasan kamu?” Tanya Rio penuh penekanan.
Kiran terdiam. Gadis itu hanya menatap dalam pada Rio tanpa bisa memberi jawaban pasti dan hal itu semakin membuat Rio yakin atas tebakannya.
“Karena b******n ini, iyakan? Jawab Kiran, Jawab!!” Bentak Rio.
Melihat apa yang dilakukan Rio pada Kiran, Banyu yang sudah kembali berdiri bergegas menghampiri dan menengahi mereka berdua. Pria itu berdiri di depan Kiran dengan sebelah tangan terulur untuk menghalangi.
“Apa sih yang lo pikirin? Gue sama Kiran ...” Belum sempat Banyu meneruskan perkataannya, suara bergetar Kiran sudah lebih dulu terdengar.
“Ya, aku putus sama kamu karena Banyu, puas?” Potong Kiran dengan sorot mata tajam dan berkaca-kaca.
Banyu sontak menoleh ke belakang, memberi tatapan tak percaya pada Kiran. Sedangkan Kiran menatap Banyu dengan tatapan meminta bantuan. Pria itu beralih menatap wajah Rio yang terlihat sangat marah dan terus memberi tatapan tajam pada Kiran.
“Jadi aku mohon sama kamu Rio, lepaskan aku dan biarkan aku bahagia dengan pilihanku,” pinta Kiran walau dalam hatinya terus menolak atas apa yang sudah diucapkannya.
Ya ....
Membuat Rio kesal adalah jalan satu-satunya agar Rio bisa segera melepasnya dan menerima keputusannya, menerima jalan yang sudah Kiran ambil walau harus menyakiti perasaan Rio sekalipun.
Tanpa berkata apapun Rio berbalik dan keluar dari restaurant tersebut, masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Seperginya Rio, Kiran menghela napas lega bahkan hingga kakinya terasa lemas dan tak sanggup untuk berdiri, sebelah tangannya berpegangan pada meja di sampingnya sedangkan sebelah tangannya lagi memegang kepalanya yang kembali terasa sangat sakit dan tiba-tiba saja, Kiran terkulai lemas tak sadarkan diri.
Banyu yang terkejut segera menghampiri lalu menggendong Kiran dan membawanya ke mobilnya di bantu oleh Rian dan Adit, menidurkannya di kursi belakang di temani oleh Bella. Banyu segera duduk di kursi pengemudi dan melajukan mobilnya dengan cepat.
“Ki ....” lirih Bella dengan perasaan khawatir.
***
Mobil Range Rover hitam tersebut berhenti tepat di depan pintu lobby rumah sakit. Seorang valet mobil hendak membukakan pintu pengemudi namun Banyu lebih dulu membukanya dan berlari ke arah kursi penumpang. Valet itu mengerti ada keadaan darurat dan langsung bergegas memanggil para tim perawat dan dokter UGD agar segera membawa brankar dorong ke depan pintu lobby.
Dengan perlahan dan hati-hati, Banyu mengeluarkan Kiran dari dalam mobilnya, menggendongnya dan menidurkannya di atas brankar. Para perawat bergegas membawa Kiran masuk ke ruang UGD untuk segera di tindaklanjuti.
Terlihat seorang dokter tiba dan mulai memeriksa keadaan Kiran yang masih tak sadarkan diri. Dokter tersebut melirik pada sang perawat, lalu menatap Banyu dan Bella bergantian.
“Panggilkan Dokter Taufik, sekarang!” titah Dokter UGD pada salah seorang perawat.
Perawat itu bergegas keluar dari ruang tindakan untuk menghubungi Dokter Taufik. Hanya menunggu selama delapan menit hingga Dokter Taufik tiba di ruangan tersebut.
“Apa yang terjadi?” tanya Dokter Taufik seraya mengeluarkan stetoskop dari dalam saku snelinya.
“Dia sempat beradu argumen dengan seseorang, tetapi tiba-tiba saja pingsan Dok, ” jawab Banyu.
“Apa anda walinya?” tanya Dokter Taufik lagi.
“Bukan Dok, saya manager di tempatnya bekerja,” jawab Banyu lagi.
Dokter Taufik menghela napas panjang, lalu menatap pada Banyu dan Bella bergantian.
“Dia pasien saya selama dua bulan terakhir ini,” ujar Dokter Taufik.
Banyu dan Bella saling bertukar tatap lalu kembali menatap pada Dokter Taufik.
“Pasien? Maksudnya dok?” tanya Banyu.
“Kiran terkena hematoma epidural yang harus segera di tindak lanjuti. Namun Kiran menolak untuk menjalankan operasi dan lebih memilih meminum obat penahan sakit untuk menekan rasa sakit saat gejalanya muncul,” jelas Dokter Taufik.
Bella dan Banyu terkesiap mendengan penjelasan Dokter. Kiran yang bahkan tak terlihat sakit dan biasa saja ternyata menyembunyikan penyakitnya selama ini.
“Dok ....” Ucap Bella terjeda. Bella berpikir sejenak dan memberanikan diri bertanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bella.
Dokter Taufik menghela napas dalam. “Hematoma epidural bisa muncul dari beberapa faktor. Namun, kasus hematoma epidural yang di alami Kiran terjadi karena suatu benturan yang sangat keras di kepala yang menyebabkan pendarahan di sekitar dura,”
Jawaban dari Dokter membuat Bella mengerutkan dahinya. Dia mengingat apa yang terjadi dua bulan yang lalu, ketika Kiran terlibat adu mulut dengan Dika. Seketika rasa penyesalannya menyeruak, Bella menatap pada Kiran dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya..
“Astaga, Ki .... “ lirihnya.
***
Bola matanya perlahan mulai bergerak, kemudian kelopak matanya perlahan terbuka sedikit demi sedikit. Kiran mengerjapkan matanya sesaat, memfokuskan pandangannya dan kemudian menoleh ke sisi kanannya. Disana, Bella dan Banyu terlihat sedang berbincang serius dengan Dokter Taufik, tetapi untuk sesaat entah kenapa telinganya tiba-tiba berdenging, tak dapat mendengar apapun.
Kiran berusaha menggerakkan mulutnya juga sangat sulit, hanya dalam beberapa menit saja hingga segalanya kembali normal.
“Kak!” Panggil Kiran.dengan napas yang agak tersengal.
Mendengar suara Kiran, Banyu, Bella dan dokter Taufik segera menghampiri Kiran dan memeriksa keadaan Kiran.
“Saya sudah katakan untuk segera ditindaklanjuti,” ujar Dokter Taufik saat selesai memeriksa Kiran.
Kiran menggelengkan kepalanya lalu bangun dari posisinya dan melepas infusan yang menempel di pergelangan tangannya.
“Ki!!” pekik Bella dan Banyu bersamaan. Terlihat darah segar menetes dari punggung tangan wanita itu.
“Kamu selalu seperti itu,” gerutu Dokter Taufik.
“Gue mau pulang,” pinta Kiran. Tanda berdiam lebih lama, ia kemudian turun dari atas brankar dan memaksakan diri berjalan menuju bagian administrasi untuk membayar tagihan. Ketika Kiran mulai membuka mulut, satu tangan terulur memberikan sebuah credit card pada pegawai administrasi.
“Tagihan atas nama Kiran saya yang bayar,” ujar Banyu.
Kiran menoleh pada asal suara. “Gak usah kak! Aku gak mau ngerepotin!”
Banyu hanya menoleh sesaat, memasukkan pin kartu kreditnya, lalu mengambil struk pembayarannya. Kiran menghela napas dalam-dalam, lalu berjalan mengikuti Banyu dari belakang bersama Bella.
Setibanya di dalam mobil, Bella tiba-tiba menggenggam tangan Kiran sambil menatapnya lekat-lekat. Sedangkan Banyu sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Kenapa, Bell?” tanya Kiran kebingungan.
Tiba-tiba saja Bella menangis sambil terus menatap Kiran lalu memeluk temannya itu.
“Semuanya karena gue Ki, gue yang udah bikin lo menderita seperti sekarang,” ujarnya disela tangisannya.
Kiran membalas pelukan Bella sambil menepuk-nepuk lembut punggung Bella.
“Semua ini bukan salah lo Bell, ini udah takdirnya gue. Gue gak pernah nyalahin siapa-siapa, saat itu gue yang pengen nolong lo dan gak mungkin gue diem gitu aja lihat temen gue di sakitin. Jadi jangan pernah lo salahin diri lo sendiri!” Sahut Kiran.
“Kalau lo saat itu gak nolong gue dari Dika, gue yakin lo masih baik-baik aja Ki sekarang. Maafin gue.” Lirihnya.
Kiran melepas pelukannya, menatap Bella lalu menghapus air matanya kemudian tersenyum. “Ini udah jadi takdir gue Bell, gue gak nyalahin siapapun. Jadi tolong, jangan pernah menyalahkan diri lo sendiri.”
Bella kembali menangis seraya memeluk kembali Kiran lebih erat. Rasa bersalahnya semakin meyeruak saat melihat wajah Kiran yang sangat nampak kelelahan menahan rasa sakit dan pucat.
"Gue harus gimana Ki?" tanya Bella disela isak tangisnya.
***
Seturunnya Bella di depan rumahnya, kini tinggal Kiran dan Banyu di dalam mobil menuju gedung kost tempat tinggal Kiran. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut mereka masing-masing hingga mereka tiba di tempat tujuan. Kiran melepas seatbelt dan menoleh pada Banyu.
“Kak!!” panggil Kiran.
Banyu menoleh dan menatap Kiran dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Bisa lo rahasiakan ini dari Rio?” tanya Kiran. Untuk sesaat Banyu membuang tatapannya dari Kiran dan menatap lurus ke depan.
“Apa ini alasan lo berbohong sama Rio?” tanya Banyu.
Kiran mengangguk lesu.
“Gue gak bisa, Ki! Lo seegois itu? Sakit lo tuh parah, setiap lo merasakan sakit di kepala lo itu bagai alarm waktu, ngasih lo peringatan kalau penyakit lo itu semakin parah. Gue gak bisa tinggal diam Ki, gue bakal jelasin sama Rio!” jawab Banyu.
Kiran menahan tangan Banyu yang akan mengambil mengambil ponselnya. “Gue mohon ka, gue gak mau nyusahin Rio terus. Gue gak mau Rio sedih karena cepat atau lambat gue bakal meninggal karena penyakit ini, gue mohon kak.”
"Tapi lo masih bisa disembuhkan, Kiran!"
"Gue punya alasan sendiri menolak untuk operasi, ka."
Banyu menghembuskan napasnya kasar. “Jadi, ini alasan lo tadi berpura-pura di depan Rio?”
Kiran mengangguk.
“Tapi Ki, penyakit lo bukan penyakit biasa. Lo gak bisa.selamanya rahasiakan itu dari Rio,” tekan Banyu.
“Alasan gue mutusin Rio karena ini kak, tolong ngertiin posisi gue saat ini.”
Banyu berpikir sejenak lalu menatap Kiran. “Hari pertama kita ketemu lagi dan lo malah kasih kejutan sama gue sehebat ini Ki. Oke, gue bakal rahasiakan ini dari Rio demi lo dan Rio. Demi menebus kesalahan gue yang dulu karena pernah hampir merebut lo dari Rio!” tukas Rio yang dijawab anggukan dengan mata yang berkaca-kaca dari Kiran.
“Makasih kak.”
***
“Pak Yusuf, saya minta rolling tempat bisa gak?” Tanya Kiran pada bagian HRD restaurant melalui teleponnya.
“Tadi Banyu sudah menghubungi saya. Bisa sih, paling saya rolling kamu Minggu depan dan langsung pindah.” Jawab Yusuf dari sebrang telepon.
“Besok aja pak, jangan minggu depan.”
“Besok? Kamu yakin bisa besok?”
“Saya yakin Pak. “
Yusuf terdiam sesaat seperti sedang berpikir.
“Baiklah, besok kamu mulai bekerja di cabang restaurant Bandung,” Jawab Yusuf sambil menutup teleponnya.
Kiran menunduk dan membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang tertekuk. Menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan perasaannya sejenak.
Ya ....
Pindah memang jalan yang terbaik untuk Kiran agar bisa menjauh dari Rio. Agar Kiran benar-benar bisa merelakan hubungannya dengan Rio berakhir.
Sedangkan Banyu, dia sudah tahu permintaan Kiran untuk memindahkan pekerjaannya ke cabang lain, dan Banyu setuju dengan itu, walau awalnya mereka beradu mulut sesaat. Tetapi, Banyu akhirnya mengijinkan dengan syarat Kiran di tempatkan di tempat adik Banyu bekerja agar dapat menemani dan menjaga Kiran.
'Gue harap, semuanya akan berjalan sesuai rencana.'
***
Sebuah mobil BMW i8 terparkir cantik di garasi sebuah rumah besar di komplek perumahan elit di sekitaran Bandung. Rio keluar dari dalam mobil dan berjalan dengan wajah yang lelah setelah seharian dia menyibukkan diri di rumah sakit agar pikirannya tak mengingat Kiran lagi.
Setelah pertemuannya terakhir dengan Kiran di Jakarta, Rio memilih kembali pulang ke rumah orangtuanya di Bandung dan bekerja di rumah sakit Kalandra milik Ayahnya.
Rio membuka pintu dengan malas dan berjalan masuk sambil menenteng tas yang berisi alat-alat medis darurat miliknya.
Di meja makan, kedua orangtuanya sedang makan malam. Menyadari Rio masuk, Sang Ayah yang diketahui bernama Antoni Kalandra menaruh sendok dan garpunya lalu menoleh pada Rio yang sedang berjalan.
“Alterio!” panggil Antoni.
Rio menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Ayahnya.
“Hari pelantikanmu sebagai ahli dokter bedah saraf di rumah sakit akan dilangsungkan besok. Menteri kesehatan akan datang dan menghadiri acara teraebut, persiapkan dirimu.” Lanjut Antoni.
Rio hanya mengangguk dan melanjutkan kembali langkahnya berjalan ke atas, menutup pintu kamarnya lalu menguncinya.
Setelah hubungannya berakhir dengan Kiran, semangat hidup Rio benar-benar hilang. Rio yang periang, hangat, dan mudah tersenyum, kini sudah tak ada lagi. Rio yang sekarang adalah Rio yang pendiam, dingin dan penyendiri. Perubahannya bahkan sangat di sadari oleh Antoni dan Naya sang ibu yang merasa khawatir dengan keadaan sang anak.
“Apa yang harus kita lakukan, Pah?” tanya Naya dengan mata yang berkaca-kaca.
Antoni mengusap punggung tangan Naya, berusaha menenangkan Naya dengan kehangatan sentuhannya.
“Biarkan dia melewati semuanya dengan caranya sendiri selama tindakannya positif dan tidak menyimpang. Dia sedang melalui proses pendewasaan diri. Kita cukup memperhatikannya, bagaimana dia bisa melalui fase itu?” Ujar Antoni.
***