Semenjak saat itu, Kiran rutin kembali ke rumah sakit saat obat penghilang rasa sakitnya habis. Bertemu kembali dengan dokter yang saat itu mendiagnosanya, dan mulai berteman dengan bau ethanol yang sangat pekat. Kiran duduk di kursi berhadapan dengan dokter yang berada di balik mejanya.
"Kamu tahu, nona? Obat ini bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk meringankan rasa sakit saja. Tidak baik untuk dikonsumsi dalam jangka panjang." Jelas Dokter yang diketahui bernama Taufik.
"Aku hanya butuh obat ini saja, Dok," jawab Kiran.
"Tapi lambat laun tubuhmu akan kebal dengan obat ini, dan rasa sakit yang dirasakan akan lebih terasa sangat sakit," lanjut Taufik berusaha memberitahukan efek samping obat yang diminta Kiran lagi.
"Aku gak masalah dok. Aku hanya belum siap. Hanya itu! tolong mengerti," pinta Kiran dengan nada memohon.
Taufik mau tidak mau memberikan kembali resep obat untuk Kiran. Ia menuliskan resep tersebut tetapi terlihat enggan untuk memberikannya pada Kiran.
"Kamu yakin? Saya tidak ingin, kamu salah dalam memilih jalan. Saya mohon pertimbangkan kembali mengenai tindakan operasi yang kami sarankan." ujar Taufik dengan sedikit menekan.
"Saya harap, dokter menghargai keputusan yang saya buat." sahut Kira yang lalu berdiri dari tempat duduknya, menunduk sesaat lalu keluar dari ruangan Taufik untuk menebus resep di loket penebusan obat.
‘Ayah ... Ibu ... bantu Kiran untuk kuat. Kiran mohon.’
***
Tanpa terasa, sudah satu bulan sejak kejadian nahas yang menghancurkan dunia Kiran. Dan sejak saat itu pula, perlahan Kiran mulai menjaga jarak dari Rio. Perlahan namun pasti.
Tetapi, Rio yang tak punya pemikiran buruk pada kekasihnya itu, masih tak menyadarinya. Pria itu bahkan kini mulai disibukkan dengan pekerjaannya di rumah sakit milik Ayahnya yang kini dikelola oleh Rio.
Dan hari ini, tepat di hari liburnya. Rio mengajak Kiran berkencan ke sebuah taman hiburan di pusat kota Bandung yang saat itu sedang diadakannya sebuah bazzar kuliner yang memenuhi sepanjang jalan Braga. Kiran terlihat sangat bahagia, begitu juga dengan Rio.
Mereka menikmati detik demi detik waktu yang sedang mereka lewati saat ini. Membeli berbagai macam makanan, menyuapi Rio makanan kesukaan dia, mencoba beberapa barang yang di jajakkan disana seraya berjalan bergandengan tangan, bercanda gurau dan melepaskan bebannya sesaat.
"Ki, semangat banget sih kalau lihat makanan," goda Rio seraya menarik pergelangan tangan Kiran yang kini sedang melihat deretan dessert beraneka ragam.
Kiran menoleh sesaat dengan senyum manis tercetak dikedua sudut bibirnya. Gadis itu kembali terfokus memilih makaron cantik berwarna warni yang berada di hadapannya. Namun tiba-tiba, pandangannya perlahan kabur. Kakinya pun mulai sulit untuk seimbang. Kiran mecoba berpegangan pada meja di depannya sambil berusaha menahan rasa sakit di kepalanya yang semakin terasa sangat sakit. Wanita itu bergegas pergi meninggalkan Rio yang terhalang oleh para pengunjung lainnya tanpa pamit sekalipun. Langkah kakinya berhenti tepat di samping sebuah toko buku dan mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia disana.
Ia berusaha mengatur napasnya sedikit demi sedikit, menyandarkan kepalanya ke dinding dengan mata tertutup, dan menunggu rasa sakit di kepalanyapun itu hilang. Setelah perasaannya cukup tenang dan rasa sakit dikepalanya mulai mereda, Kiran merogoh ponselnya dari dalam tas lalu mencoba menghubungi Rio. Butuh waktu cukup lama, hingga panggilan tersebut tersambung.
"Rio ...."
"Ya ampun Ki, kamu kemana sih? Dari tadi aku cariin," cecar Rio di seberang telepon.
"Maaf iya Rio, aku duluan. Barusan dari resto telepon harus gantiin shiftnya Anjar," jelas Kiran berusaha menutupi semuanya dengan berbohong.
Dari seberang telepon, terdengar suara helaan napas dari Rio yang cukup panjang.
"Kenapa gak bilang sih Ki? akukan bisa anter, gak usah pergi sendiri juga," cecar Rio dengan napas yang terengah-engah.
"Maaf …." lirih Kiranyang sedang berusaha menahan air matanya.
"Ya udah, kamu hati-hati di jalan iya. Begitu sampai langsung kabari aku," sahut Rio. Mendengar suara Rio yang mengkhawatirkannya, membuat perasaan Kiran semakin tak bisa ia kendalikan. Dan tanpa menjawab perkataan kekasihnya itu, ia segera memutuskan panggilannya dan terisak menatap layar ponselnya yang gelap.
"Rio ... Rio ... Rio ...." gumamnya disela isak tangisnya.
***
Rio benar-benar tipe pria yang sangat sabar dan selalu berpikir positif. Tak pernah sekalipun dia mencurigai Kiran, selalu percaya apa yang Kiran katakan dan rasa sayangnya yang tak pernah berubah sejak pertama kali bertemu. Selama berpacaran delapan tahun ini, Rio yang selalu mengalah ketika berselisih paham dengan Kiran, dan selalu seperti itu. Bahkan, tak jarang, kata putus selalu terlontar dari mulut Kiran, tetapi Rio selalu bisa bertahan dan akhirnya mereka kembali bersama.
Mereka hanya terpaut usia dua tahun. Rio yang lebih dewasa lebih bisa membimbing Kiran menjadi pribadi yang lebih sabar dan dapat mengontrol emosinya.
Ya ....
Kiran termasuk wanita yang sangat sulit mengontrol emosinya sejak dulu. Bahkan ketika awal berpacaran dengan Rio pun mereka sangat sering bertengkar karena hal sepele. Namun lambat laun Kiran mulai berubah.
Hati tulus Rio, rasa sayang Rio yang sangat besar mengalahkan emosi Kiran. Bahkan bertahan hingga saat ini.
Hingga saat Kiran memutuskan hubungannya di sebuah cafe, hubungan yang sudah mereka pertahankan selama delapan tahun. Rio tahu, Ada yang Kiran sembunyikan dibelakangnya. Pria itu tidak ingin hubungannya berakhir tanpa alasan yang jelas seperti sekarang. Untuk pertama kalinya, Kiran benar-benar dengan serius mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka.
Sakit??
Kecewa??
Sudah pasti!
Itu yang di rasakan Rio saat ini. Dia tidak berprasangka buruk pada Kiran, dia justru berusaha berpikir positif dengan ujian yang sedang menyapa hubungan mereka saat ini.
Namun, untuk pertama kalinya juga Rio melihat sisi berbeda dari Kiran. Sisi yang tak pernah Kiran perlihatkan dihadapan Rio sedikitpun.
Apakah Rio harus merelakannya dan menerima keputusan Kiran begitu saja? Jawabannya iya dan tidak.
Rio akan menerima keputusan Kiran tapi ia tak ingin merelekan Kiran pergi begitu saja.
‘Aku yakin Kiran, jika takdir tidak rela kita berpisah, maka waktu yang akan bicara dan waktu jugalah yang akan merubah segalanya,’ ucap batin Rio seraya menatap kepergian Kiran.
***
Wanita itu kini tiba di kamar kost-nya yang masih gelap gulita dengan pakaian basah kuyup. Dia segera menuju kamar mandi dan kemudian membersihkan dirinya. Wanita itu cukup lama berdiam diri didalam dan hanya terdengar suara air shower yang berjatuhan diatas lantai. Setelah selesai dan berganti pakaian, Kiran kembali duduk di atas tempat tidurnya dan termenung.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan seperti ada sesuatu yang hilang. Untuk pertama kalinya juga, Kiran benar-benar merasa sendiri, tanpa hadirnya Rio disisinya.
Kiran meraih sebuah figura diatas nakas yang mana terselip foto ketika Kiran dan Rio SMA, saling merangkul satu sama lain dan seulas senyuman yang terlihat tanpa beban.
Tak terasa, air matanya kembali berjatuhan diatas wajahnya. Ia memeluk foto tersebut, seakan dirinya tak ingin melepasnya.
'Rio ... Jika boleh aku jujur, sebenarnya aku gak sanggup mengatak semua itu. Aku gak rela harus berpisah sama kamu kaya gini. Tapi aku lebih gak rela, jika harus melihat kamu terluka karena aku yang lebih dulu pergi dari sisi kamu untuk selamanya. Rio... Duniaku benar-benar hancur, duniaku runtuh seketika. Ingin rasanya aku memceritakan segalanya sama kamu. Tapi aku berusaha menahannya semampuku. Aku gak mau kamu melihatku makin melemah setiap harinya. Aku juga gak mau kamu melihatku mati. Aku gak mau kamu sedih. Dan aku gak mau membebani hidup kamu.
Tuhan, jika boleh aku menawar, jangan aku! Jangan rusak duniaku, jangan rebut kebahagiaanku. Tapi mungkin memang ini jalan hidupku, jalan yang sudah tertulis dalam buku takdirku.'
***
Mobil Rio, kini sedang terparkir di halaman sebuah gedung kost. Dari dalam mobil, Rio tak henti-hentinya menatap ke arah jendela kamar Kiran. Kost-kostan Kiran yang lebih mirip apartment itu berada tepat di lantai tiga. Pria itu terdiam sesaat dan akhirnya memberanikan diri keluar dari dalam mobilnya, lalu berjalan menuju kamar kost Kiran.
Sesampainya di lantai tiga, Rio mengatur napasnya terlebih dahulu lalu mengetuk pintu kamar dihadapannya.
Tak ada jawaban.
Rio kembali mengetuk pintunya sekali lagi.
"Ki, aku tahu kamu didalam. Ki, tolong buka!!" pinta Rio.
Masih tidak ada jawaban juga dari dalam.
"Ki ... Aku butuh penjelasan, Ki ... Tolong katakan sesuatu, jangan kayak gini!" Lanjut Rio memohon.
Kiran masih tak memberi jawaban apapun. Rio menghentikkan ketukannya, lalu berlutut di depan kamar Kiran dengan kepala menunduk.
"Ki ... Untuk pertama kalinya kamu kaya gini sama aku. Kalau aku memang ada salah sama kamu, aku minta maaf, dan aku akan terima keputusan kamu ini. Tapi aku butuh penjelasan juga Kiran. Aku gak bisa terima keputusan secara sepihak kaya gini."
Tepat sesaat setelah Rio menyelesaikan perkataannya, terdengar suara pintu terbuka. Rio segera berdiri dari posisinya. Menatap lebih dalam pada iris mata kekasihnya itu.
Disana, Kiran berdiri dengan wajah yang sebisa mungkin ia perlihatkan datar sehingga dapat menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Aku gak perlu alasan buat mengakhiri hubungan kita. Aku hanya ingin hubungan kita berakhir sampai disini Rio," Jelas Kiran.
"Tapi aku butuh alasan Ki!" tuntut Rio dengan penuh penekanan.
Kiran menarik napas dalam-dalam,
"Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku Rio. Kamu pria hebat, pintar, tampan, dan memiliki segalanya. Aku yakin, kamu akan menemukan pengganti yang jauh ... jauh lebih baik dari aku Rio," sahut Kiran.
Rio terkesiap mendengar penjelasan Kiran yang secara tiba-tiba. Wanita yang berdiri dihadapannya itu kini berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Rio membelalak, menatap tak percaya atas apa yang di dengarnya barusan. Ingin rasanya memeluk Kiran saat ini, tapi semua itu sudah tidak mungkin lagi baginya.
"Jadilah dokter yang paling hebat Rio, yang bisa menyelamatkan banyak nyawa. Aku yakin, masa depan kamu akan sangat cerah. Jaga diri kamu baik-baik, luangkan waktumu untuk makan dan beristirahat. Jangan sampai kamu kelelahan," Pesan Kiran, Aku sangat mencintai dan menyayangimu Rio. Lanjutnya dalam hati. Dan di detik berikutnya, tanpa menunggu jawaban dari Rio, Kiran menutup pintu kamarnya kembali.
"Tapi semua itu gak ada artinya tanpa kamu disisi aku, Kiran." Lirih Rio sambil menunduk. Dan dalam beberapa saat, air matanya terjatuh tanpa bisa Rio tolak.
Pria itu mulai melangkahkan kakinya. Berjalan dengan gontai meninggalkan pintu kamar kost mantan kekasihnya itu. Menuruni anak tangga satu per satu dengan pikiran yang masih berkecamuk dengan berbagai pertanyaan yang datang menghampirinya silih berganti,
Setibanya di anak tangga terakhir, hujan mulai kembali turun. Tetapi Rio tak memperdulikannya, dia tetap berjalan menuju mobilnya, melewati air hujan dengan ingatannya yang kembali memutar segala kenangan ketika dirinya bersama Kiran.
"Kamu tau Rio, kenapa aku suka sekali hujan?" Tanya Kiran.
"Kenapa?" Tanya Rio seraya menoleh menatap wajah kekasihnya itu.
Kiran menengadahkan wajahnya menatap langit yang kala itu sedang turun hujan yang cukup deras dan mereka memilih berteduh di halaman sebuah toko yang sudah tutup.
"Mereka akan menghapus air mata aku dan membawanya jauh dari wajahku, agar aku gak merasa sedih lagi dan membawa semua kesedihanku pergi dari hidup aku." Sahut Kiran.
"Kenapa kamu harus menangis di bawah air hujan? Aku gak akan pernah buat kamu ngerasa sedih kok Ki!" timpal Rio penasaran.
Kiran menoleh dan menatap wajah Rio lekat-lekat. "Karena hujan dapat menyamarkan kesedihan aku, dan membuat aku tetap terlihat kuat walaupun nyatanya perasaan aku sedang sangat rapuh." Jawab Kiran seraya tersenyum hangat.
***